Page 3
.
.
.
Lagi-lagi syndrom itu kambuh, membuatmu hanya bisa terdiam duduk di kasur sembari melihat keluar jendela.
Dunia lagi-lagi berubah. Langit biru cerahnya terlihat lebih kelam di matamu. Kicauan burung-burung yang menyambut pagi hari nampak samar.
Entahlah, kau merasa bahwa cerita Alice in Wonderland tidak seindah yang kau bayangkan. Kau tau bahwa itu hanyalah cerita fiksi, bertualang ke dunia lain dengan segala keindahan bentuk keajaiban yang menghibur sang tokoh utama.
Sedikit sekali yang dapat merasakan syndrom ini. Kalaupun merasakannya, akan sangat terasa tidak nyaman.
Ah―benda-benda di sekitarmu mulai terlihat seperti mengambang.
"Sial, kepalaku sakit." Kau mengeluh lalu kembali membaringkan diri. Mengabaikan perutmu yang mulai berbunyi 'tuk meminta diisi.
Dirimu memutuskan untuk memejamkan mata, terlelap kembali ke dalam mimpi daripada harus melihat persepsi aneh yang sudah seringkali menghinggapimu hingga karena saking seringnya kau merasa bosan.
Cklek.
Pintu kamarmu terbuka, menampakkan sosok yang kemarin menghampirimu, menemani sebentar.
"Masih tidur jam segini?" gumam Masky.
Harusnya, ia tau. Ia tidak boleh sering mengunjungi gadis yang sekarang berada tepat di depan matanya. Namun, tubuhnya bertindak lain―tak sesuai dengan jalan pikirannya saat ini.
Masky berjalan pelan, berhati-hati agar kau tidak terbangun. Tangannya bergerak, ingin menyentuh suraimu.
Belum sempat tangannya menyentuh. Irisnya terfokus pada sebuah buku yang terletak di meja, samping kasur milikmu.
Penasaran, Masky pun membuka buku tersebut.
Alice in Wonderland
"Buku dongeng―? Kau bercanda atau apa, dia ini masih anak-anak yah?" Masky menggelengkan kepalanya setelah membaca sekilas. Tangannya kembali meletakkan buku tersebut.
Lalu, ia merogoh sesuatu di sakunya. Mengambil dengan perlahan, lalu ikut menaruhnya di atas buku yang ia sebut dongeng.
Dua buah biskuit.
Tanpa berlama-lama lagi, pria itu pergi dari kamarmu, meninggalkan dirimu yang terlelap.
―beberapa menit kemudian, kau membuka kelopak matamu. Mengerjapkannya dengan pelan, lalu berdiam diri, berusaha mengumpulkan nyawa untuk sejenak.
Setelah dirasa cukup, kau menoleh, memperhatikan setiap sudut kamar yang terasa mulai normal.
Kau meraba meja di samping kasurmu, berusaha untuk bangun dan berdiri.
Grap!
"Eh?"
Menyadari ada sesuatu yang kau pegang, kau memperhatikan mejamu. Mendapati sebuah biskuit yang kini tengah berada di tanganmu, juga satu biskuit lainnya yang berada di atas bukumu.
Kau mengambil biskuit tersebut lalu membukanya, "biskuit darimana yah?" Dirimu pun menikmati makanan pengganjal perut itu.
Sementara Masky, di tempat lain tengah memikirkan sesuatu.
Alice dapat kembali ke dunianya, terbangun dari mimpi setelah mengalahkan ratu jahat. Sedangkan aku, harus kembali normal dengan cara apa?
"Apa maksudnya dengan perkataan itu, hah..." Masky menggeram, kesal karena dirinya harus repot-repot memikirkan sesuatu yang bahkan tidak berurusan dengan dirinya.
Pistol yang selalu ia bawa, ia jatuhkan. Ini tidak seperti dirinya. Harusnya ia fokus pada misi balas dendamnya. Atau ia langsung membunuh saja dirimu saat itu.
"Sial, emosiku tidak terkontrol lagi."
Bersamaan dengan perkataannya, Masky kembali mengambil pistolnya lalu berlari entah kemana. Sepertinya gumamannya benar, emosinya mulai tidak terkendali.
Topeng yang ia gunakan tidaklah berguna untuk menutupi emosinya. Sembari berlari, ia sedikit mengeratkan hoodie-nya.
"Mungkin menguntit sedikit dapat membuatku tenang―"
Crak!
Kau memakan biskuitmu dengan perasaan senang. Siapapun yang memberikan biskuit ini, akan kau doakan. Hm, tapi kau jadi penasaran...
"Siapa yang membawa biskuit ini, yah?" gumammu sembari berpikir.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro