Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

"Apa yang kau lakukan sih?! Kenapa kau sampai sakit segala?" ucap Sakura dengan ketus pada seorang lelaki berambut pirang jabrik yang duduk dihadapannya.

Lelaki berambut pirang jabrik itu hanya tersenyum dan tidak mempedulikan sahabatnya yang sedang terlihat jengkel. Ia meringis dan berkata, "Sahabat macam apa kau ini? Padahal aku sedang sakit, seharusnya ucapkan 'Semoga cepat sembuh' atau kalimat yang semacam itu, dong."

Sakura meringis menghadapi sahabat pirangnya. Sikapnya memang berlebihan, namun ia merasa sebal karena ia terpaksa menghadapi situasi yang canggung karena pria itu tidak masuk kerja kemarin.

"Berkat kau tidak masuk kerja kemarin, aku terpaksa membawa si laki-laki aneh yang kuceritakan waktu itu ke rumahku."

Naruto, si lelaki pirang jabrik itu, meminum kopi nya dan meneguknya sebelum meletakkan cangkirnya di atas meja. Hubungan pertemanannya dengan Sakura benar-benar akrab hingga mereka bercerita apa saja, termasuk mengenai lelaki aneh yang mendadak menghampiri meja Sakura di restoran.

"Maksudmu si teme?"

Sakura mengernyitkan dahi, "Teme? Siapa?"

"Kau sedang membahas Sasuke, kan?" Naruto balik bertanya.

Sakura meringis mendengar ucapan Naruto. Berani sekali lelaki itu menyebut boss nya sendiri dengan sebutan 'teme'. Apakah lelaki itu benar-benar benci dengan boss nya? Tapi kenapa lelaki itu masih tetap mau bekerja di perusahaan itu?

"Kau menyebutnya 'teme'? Bagaimana kalau dia tahu? Nanti kau dipecat."

"Dia memang tahu, kok. Bahkan dia juga memanggilku 'dobe'. Itu panggilan sejak kecil."

Sakura benar-benar terkejut dengan ucapan Naruto. Ia tak mengira kalau Naruto ternyata memiliki hubungan yang sangat dekat dengan CEO perusahaannya. Pantas saja lelaki itu bisa dengan mudah membuat Sakura mendapat pekerjaan di perusahaan ini dengan jabatan dan gaji yang lebih besar dari perusahaan sebelumnya.

"Ya ampun. Kau tahu, semalam dia mabuk setelah lomba minum dengan Yamato-buchou. Akhirnya aku terpaksa membawa dia pulang, soalnya alamat rumah yang tertera di kartu identitasnya ternyata apartemen. Untung saja orang tuaku tidak berani marah padaku setelah tahu lelaki yang kubawa pulang adalah bossku."

Naruto menatap Sakura dengan tatapan tidak percaya. Ia sudah mengenal Sasuke selama dua puluh tahun dan ia cukup mengenal Sasuke meskipun lelaki itu cenderung pendiam dan dingin. Lelaki itu tak pernah mabuk sebelumnya dan tampaknya tak begitu menyukai alkohol. Ia terkejut mendengar lelaki itu bisa mabuk.

"Mabuk? Bagaimana mungkin? Selama aku mengenalnya, dia hampir tidak pernah minum lebih dari segelas alkohol."

Sakura menggelengkan kepala, "Aku juga tidak tahu. Yamato-buchou memintaku menemaninya minum dan mendadak temanmu itu menawarkan untuk menggantikanku."

Naruto tersenyum tipis. Entah kenapa ia merasa senang setiap kali ia mengetahui Sasuke menunjukkan kehangatan hatinya. Lelaki itu adalah orang yang dingin, namun sebetulnya lelaki itu adalah orang yang perhatian meski tak ingin menunjukkannya secara terang-terangan.

"Kurasa itu caranya menunjukkan perhatian padamu."

Sakura hampir menyemburkan minuman yang akan ditelannya tepat di depan wajah Naruto. Pada akhirnya ia tersedak dan terbatuk-batuk hingga membuat Naruto mengkhawatirkannya. Rasanya sungguh sulit dipercaya, untuk apa lelaki yang baru mengenalnya satu hari mempedulikannya?

.

.

"Kau tidak berniat menikah, Sasuke-kun?"

Sasuke menghela nafas perlahan ketika mendengar ucapan ibunya. Malam ini ia memutuskan untuk makan malam bersama sang kakak di rumah orang tuanya .Makan malam rutin seperti ini dilakukan setiap bulan dan hanya dihadiri Sasuke, kakaknya dan kedua orang tuanya saja. Biasanya mereka akan membahas berbagai hal, khususnya mengenai kondisi perusahaan.

"Hn. Ketika aku seusiamu, aku telah memiliki Itachi," timpal ayahnya.

Sasuke merasa cukup terbebani dengan pertanyaan orang tuanya. Bukan berarti ia tak pernah berpikir untuk menikah, namun saat ini ia bahkan tidak memiliki kekasih. Dan ia merasa kalau lelaki yang tidak stabil dengan masa lalu yang buruk sepertinya tak seharusnya memiliki hubungan romansa dengan siapapun.

"Bukankah aniki menikah di usia dua puluh sembilan?"

Itachi menganggukan kepala. Di usia dua puluh sembilan ia menikah dengan wanita yang menjadi kekasihnya selama sepuluh tahun. Dan kini di usia tiga puluh dua ia telah memliki dua orang anak. Sementara Sasuke bahkan belum pernah berpacaran di usia dua puluh tujuh.

"Setidaknya kau memiliki kekasih, hn?" tanya Fugaku.

Sasuke menggelengkan kepala. Akan lebih runyam jika ia memutuskan untuk berbohong.

Fugaku menggeleng-gelengkan kepala, merasa khawatir pada putranya. Ia mulai takut kalau Sasuke ternyata adalah seorang penyuka sesama jenis, terlebih dengan apa yang telah terjadi pada Sasuke di masa lalu. Bagaimana kalau kini Sasuke malah menikmati apa yang dialaminya di masa lalu dan ia menjadi gay.

"Kau gay?"

Kata 'gay' seketika membuat Sasuke teringat dengan apa yang dilakukan Hidan padanya di masa lalu. Ia merasa dirinya begitu tolol karena bersedia melakukan hal menjijikan demi iming-iming murahan dari lelaki bajingan itu.

Sasuke merasa mual seketika setiap membayangkannya meski ia telah meminum obat anti depresan setiap hari. Hingga kini Sasuke masih membenci Hidan dan menyesal karena tak bisa membunuhnya meski kini lelaki itu sudah mati setelah disiksa di penjara dan menjadi gila sebelum akhirnya bunuh diri berkat 'hadiah' yang diberikan ayahnya atas tindakan bajingan itu pada Sasuke.

Sasuke masih belum bisa melupakan rasa cairan putih asin dengan bau amis menjijikan yang terpaksa ia minum bagaikan kupu-kupu yang menghisap nektar. Dan ia merasa jijik ketika mengingat bahwa lidahnya pernah menjilat-jilat kemaluan lelaki itu dengan air mata yang menggenang karena ketakutan.

Sasuke menggelengkan kepala sebagai jawaban dan ia cepat-cepat bangkit berdiri. Ia bahkan tak bisa membuka mulutnya untuk mengucapkan apapun karena ia benar-benar mual dan ia yakin akan mengeluarkan seluruh isi perutnya jika ia membuka mulutnya.

Sasuke cepat-cepat meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju kamar mandi terdekat untuk mengeluarkan isi perutnya untuk kesekian kalinya karena mengingat tindakan yang dilakukan bajingan itu.

Selama ini seorang laki-laki cenderung dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan, dan masyarakat cenderung 'merengkuh' wanita yang menjadi korban pemerkosaan dengan pemikiran bahwa wanita memiliki mental yang rapuh. Seorang pria seharusnya kuat secara fisik dan emosional, dan meski menjadi korban pelecehan, seorang lelaki tak seharusnya merasa ketakutan atau memerlukan 'rengkuhan' sebanyak wanita.

Faktanya Sasuke tak berbeda dengan wanita korban pemerkosaan. Atau bahkan apa yang ia alami berdampak lebih parah terhadap psikisnya.

Secara alamah, hubungan antar lelaki adalah sesuatu yang tidak wajar dan menjijikan menurut masyarakat. Dan Sasuke benar-benar benci dengan bajingan itu, namun sialnya ia juga adalah seorang lelaki dan tumbuh dewasa serta memiliki organ intim yang sama dengan bajingan yang mencabulinya. Ia bahkan memiliki cairan yang sama dengan yang dimiliki bajingan itu dan ia merasa benci jika memikirkannya, meski sebetulnya itu adalah hal yang normal bagi pria dewasa.

Terkadang ketika Sasuke menatap tubuhnya sendiri, khususnya di bagian tertentu, ia akan terbayang dengan tubuh bajingan itu dan ia merasa benar-benar jijik hingga ia merasa kehilangan keinginan untuk melanjutkan hidupnya. Ia jijik dengan dirinya sendiri.

Sasuke menyentuh matanya sendiri. Ia bahkan tak sadar kalau ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia tak merasa ingin menangis, namun air mata itu malah muncul dengan sendirinya.

Perlahan Sasuke berjalan kembali ke ruang makan dan mengatur nafasnya serta mengusap air matanya. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja dihadapan keluarganya, memakai kembali topeng di wajahnya.

Fugaku menatap putra bungsunya yang baru saja kembali ke ruang makan. Wajah lelaki itu terlihat agak pucat dibanding sebelumnya, dan ia bertanya-tanya dengan apa yang dilakukannya.

Menurutnya Sasuke adalah lelaki dewasa yang sudah mengerti konsekuensi atas segala tindakannya, dan ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan lelaki itu selama tidak menimbulkan aib bagi keluarga. Jika Sasuke memiliki masalah, ia tak akan ikut campur kecuali jika berkaitan dengan keluarga.

Bagi Fugaku, Sasuke adalah kegagalan jika dibanding dengan Itachi. Menurutnya, Sasuke menjadi korban pelecehan berkat ketololannya sendiri. Seandainya saja Itachi yang berada di posisi Sasuke saat itu, lelaki itu pasti sudah menolak dan merasa curiga sejak awal.

"Ada apa denganmu?" Fugaku akhirnya bertanya untuk memuaskan rasa penasarannya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya kurang enak badan," sahut Sasuke sambil menatap ayahnya sejenak sebelum menatap makanan yang tersisa di piringnya. Ia sudah tidak bernafsu makan lagi.

Itachi menatap wajah sang adik dengan khawatir. Instingnya mengatakan kalau ada sesuatu yang salah dengan Sasuke, dan ia segera berbisik dengan pelan, "Tenangkan dirimu, otouto. Kau akan baik-baik saja."

Sasuke mengangguk dan secara refleks sedikit mengangkat sudut bibirnya setelah mendengar ucapan kakaknya. Setidaknya lelaki itu lebih peka dan peduli padanya ketimbang sang ayah.

.

.

Sakura berjalan dengan langkah pelan menuju stasiun yang berjarak sepuluh menit dari kafe. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit dan rasanya ia benar-benar mengantuk. Matanya bahkan setengah terpejam dan ia memaksakan tubuhnya untuk tetap berjalan.

Sakura berharap mendapat tempat duduk di kereta nanti. Rasanya ia ingin segera tiba di kereta dan segera tidur disana. Ia agak menyesal menolak tawaran Naruto untuk mengantarnya pulang ke rumah.

Langkah Sakura terlihat kacau bagaikan orang mabuk. Hotel kapsul yang baru dilewatinya terlihat begitu menggoda untuknya saat ini. Kalau saja ia tidak tinggal bersama orang tua konservatif yang mengharuskannya pulang setiap hari di jam yang telah ditentukan, ia pasti akan masuk ke dalam hotel kapsul itu sekarang dan membuat reservasi.

Terdengar suara klakson yang memekakan telinga dan Sakura mengumpat dalam hati. Bibirnya sudah terlalu lelah mengucapkan sumpah serapah.

Kaca mobil itu terbuka dan terdengar suara seseorang yang memanggil Sakura.

Mata Sakura yang terlihat bagaikan bohlam lampu lima watt kini menatap seseorang yang memanggilnya dan ia terkejut mendapati Sasuke sedang memanggilnya dari dalam mobil.

"Cepat masuk!"

Sakura tak sempat berkata apa-apa lagi. Ia menyadari kalau jalanan lumayan padat dan ia tak ingin pengemudi mobil di belakang Sasuke memakinya sehingga ia segera berjalan menuju mobil lelaki itu dan segera naik ke dalam mobil itu dengan seribu tanda tanya yang memenuhi benaknya.

"Mengapa anda meminta saya untuk naik ke mobil anda, Sasuke-sama?" tanya Sakura dengan mata yang dipaksakan untuk terbuka.

Sasuke tak tahu bagaimana harus mengucapkannya tanpa menunjukkan perhatian berlebih. Sebetulnya ia kebetulan melewati kafe di dekat kantornya untuk pulang. Ia juga tak akan menyadari keberadaan Sakura kalau saja ia tidak melihat seorang wanita berpakaian formal yang berjalan sempoyongan seperti orang mabuk dari kejauhan. Wanita itu berkali-kali hampir terjatuh dan ia yakin wanita itu pasti akan jatuh sebelum sampai ke tempat tujuan.

Sasuke baru menyadari kalau wanita itu adalah Sakura setelah agak dekat dan ia yakin kalau ada sesuatu yang salah dengan wanita itu. Ia harus mengantar wanita itu pulang dengan selamat sebagai ucapan terima kasih atas tindakan wanita itu padanya semalam.

"Dimana rumahmu?"

"Kemarin tidak ingat?" ucap Sakura dengan asal. Ia bahkan hampir tidur kalau saja Sasuke tidak bertanya padanya.

Sasuke bukanlah tipe orang yang mudah menghafal jalan yang baru sekali dilewatinya. Dan tadi pagi ia juga tidak terlalu memperhatikan jalan karena menurutnya dimanapun rumah wanita itu bukanlah urusannya.

"Tidak."

Sakura segera menyebutkan alamat rumahnya dengan suara yang terdengar lelah dan beberapa detik kemudian ia langsung tertidur.

Sasuke segera menuliskan alamat Sakura di GPS dan segera mengemudi mengikuti petunjuk GPS.

.

.

Sasuke menatap kearah mobilnya yang terparkir di depan rumah Sakura sejenak sebelum kembali menekan bel rumah.

Sudah sepuluh menit berlalu sejak Sasuke sampai di rumah wanita itu. Ia segera menekan bel dan bahkan menggedor-gedor pagar, namun tak ada seorangpun yang keluar untuk membukakan pintu.

Sasuke tak memiliki pilihan selain kembali ke dalam mobinya. Ia segera menepuk pundak Sakura dan mengguncangnya.

"Mmm?"

"Kita sudah sampai di rumahmu."

Sakura segera membuka matanya begitu ia mendengar kata 'rumah'. Ia menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil Sasuke.

Sakura baru saja akan mengulurkan tangan untuk menekan bel rumahnya, namun Sasuke segera berkata, "Aku menekal bel dan menggedor pagar sejak sepuluh menit yang lalu dan tak ada yang membukakan pintu untukku."

Sakura mengernyitkan dahi. Rasanya aneh karena tak ada seorangpun yang membukakan pintu. Padahal biasanya ibunya tidur pukul dua belas malam untuk menonton drama favoritnya di televisi atau melihat-lihat posting di sosial media.

"Ah, oke. Terima kasih sudah mengantar saya. Maaf telah merepotkan anda," ucap Sakura dengan formal. Ia merogoh tasnya dan berharap dapat menemukan kunci, namun ia tak menemukan kunci.

"Ya ampun," ucap Sakura dengan suara yang cukup keras untuk dapat didengar Sasuke.

Sasuke baru saja akan masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan rumah Sakura. Ia bahkan sudah bersiap membuka pintu mobil sebelum menoleh.

"Hn?"

"Oh, tidak apa-apa," sahut Sakura sambil tersenyum dan mulai mengeluarkan isi tasnya dan berharap dapat menemukan kunci di dalam tasnya.

Sasuke yakin kalau ada sesuatu yang salah dengan Sakura. Dan hati nuraninya tak membiarkannya untuk meninggalkan wanita itu sendirian di jalanan perumahan yang sepi pada malam hari meskipun wanita itu berada di depan rumahnya sendiri.

Sasuke hanya berdiri diam dan mengamati Sakura yang kini terlihat panik karena tak bisa menemukan apapun yang dicarinya saat ini.

Sakura benar-benar panik karena ia tak menemukan kunci rumahnya sama sekali. Ia bahkan tidak ingat dimana ia menghilangkan kuncinya dan berharap agar ia menemukan kunci itu di dalam mobil Sasuke.

"Maaf. Bolehkah saya masuk ke dalam mobil anda? Saya berniat mencari kunci rumah saya yang hilang."

"Hn."

Sakura segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan lampu mobil. Ia mencari di dalam kolon kursi dan tak menemukannya sama sekali. Ia juga mencari di selipan pintu dan tak menemukannya sama sekali. Ia segera mencari di jok mobil dan bahkan mencari di sela jok mobil pengemudi serta bagian belakang meski terdengar mustahil, namun ia tetap tidak menemukan kunci.

Rasanya Sakura benar-benar ingin menangis saat ini. Ia berusaha menenangkan dirinya dan mengecek ponselnya. Ia harus menelpon orang tuanya untuk meminta dibukakan pintu, namun ia baru ingat kalau tadi sore orang tuanya mengabarkan kalau mereka mendadak pergi ke luar kota karena neneknya sakit parah.

Sakura benar-benar khawatir dan merasa ingin menangis. Namun ia berusaha untuk tetap terlihat tenang dihadapan Sasuke. Ia segera keluar dari mobil setelah selesai mencari kunci yang tidak ia temukan.

"Ketemu?"

"Tidak. Sepertinya kunci itu benar-benar hilang."

"Menginap saja di salah satu rumah temanmu."

Sakura menggelengkan kepala, "Saya tidak enak menghubungi teman saya di tengah malam hanya untuk menginap. Saya benar-benar minta maaf, namun kalau anda tidak keberatan, bolehkah anda mengantar saya ke hotel terdekat yang searah dengan jalan pulang menuju rumah anda?"

Sasuke mencoba mengingat sejenak mengenai hotel yang berda di sekitar jalan pulang menuju rumahnya. Mendadak ia teringat dengan love hotel yang setiap hari ia lewati saat akan berangkat ke kantor maupun pulang ke rumah. Dan ia jelas tidak bisa mengantar Sakura ke hotel semacam itu.

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan belum tentu bisa melakukan reservasi mendadak sekaligus check in di jam seperti ini. Kalaupun bisa, belum tentu ada kamar yang tersedia.

Mungkin terkesan aneh, namun masa lalu Sasuke membuatnya cenderung khawatir berlebihan akan keselamatan orang-orang di sekitarnya. Ia khawatir jika Sakura menginap di kamar hotel sendirian karena menurutnya wanita lebih rentan menjadi korban kekerasan, khususnya seksual. Dan ia tak ingin orang-orang yang dikenalnya mengalami apa yang pernah ia alami.

"Menginap saja di rumahku untuk malam ini."

Seketika Sakura membelalakan mata. Ia memang agak penasaran seperti apa rumah bosnya, namun bukan berarti ia mau begitu saja menginap di rumah lelaki yang baru dikenalnya dua hari. Ia curiga kalau Sasuke memiliki maksud aneh dibalik tawarannya.

"Tidak. Saya bukan perempuan yang bersedia melakukan hal semacam itu dengan sembarang orang."

Sasuke berdecih jengkel, "Aku tidak tertarik padamu."

Wajah Sakura memerah dan ia merasa tidak enak hati. Ia merasa malu dan segera menundukkan kepala tanpa bisa mengatakan apapun karena malu. Ucapan Sasuke benar juga, belum tentu lelaki itu memiliki maksud aneh padanya. Bisa aja lelaki itu adalah pecinta sesama jenis sehingga ia akan baik-baik saja bermalam di rumah lelaki itu.

Sasuke merutuki dirinya sendiri yang cenderung memperhatikan orang lain secara berlebihan dan membuat orang lain memiliki persepsi yang salah atas dirinya.

Sasuke segera masuk ke dalam mobilnya tanpa membukakan pintu untuk Sakura atau menunggu wanita itu yang masih berdiri mematung di tempat.

"Cepatlah, aku mulai mengantuk."

Dengan terpaksa ia berjalan menuju mobil Sasuke dan mengikuti kemanapun lelaki itu akan membawanya. Ia tak memiliki pilihan selain mengikuti lelaki itu karena ia sama sekali tak memiliki tempat yang dapat ditumpanginya malam ini. Ia berharap Sasuke tak akan melakukan sesuatu yang aneh padanya.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro