Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Porak-poranda

Haura menceritakan Yusuf putra Nabi Ya'kub dengan Rahil. Menceritakan sebuah mimpi Yusuf kecil tentang sebelas bintang, matahari, dan bulan yang bersujud padanya. Yusuf kecil pun menceritakan mimpi anehnya pada ayah--Nabi Ya'kub AS. Mengetahui itu, ayahnya justru khawatir jika saudara-saudara Yusuf akan tahu perihal itu. Lalu menyuruh Yusuf untuk jangan menceritakannya pada saudara-saudaranya karena khawatir mereka akan mencoba melenyapkan Yusuf.

Alasan Nabi Ya'kub sekhawatir itu adalah karena paham akan pembukaan tabir mimpi Yusuf. Tak lain menjadikan sebuah pertanda; bahwa Yusuf akan menjadi sesuatu di masa depan, yaitu menjadi nabi dan rosul Allah.

Namun, untuk menjadi hamba semulia itu tidaklah mudah, untuk mencapai titik itu Yusuf harus melewati cobaan yang begitu keras; berawal dari dibuang ke sumur oleh para saudaranya, menjadi budak, dipisahkan dengan ayahnya hingga puluhan tahun, bahkan hingga hampir terkena tipu muslihat Zulaikha.

Kisah perjalanan Nabi Yusuf AS itulah yang diceritakan Haura tadi malam pada Hyun Jae. Berkesan, kalau hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh badai. Apalagi bagi mereka yang berhasil tumbuh layaknya pohon tinggi dengan buah lebat, pastilah badai itu akan lebih kencang menghantamnya. Pula perkara cobaan yang datang itu akan membuat korbannya menjadi lebih tangguh jika mereka kuat atau layu jika menyerah.

Haura percaya sosok Jiyeon itu tipikal wanita tangguh seperti yang Hyun Jae katakan, pula kentara mempunyai budi pekerti luhur, tetapi mengapa hidup Jiyeon berakhir dengan ketidakadilan? Inilah yang Haura tangkap dari problematika hidup Hyun Jae sekarang.

Hidup ini kadang tampak rumit dengan hal-hal demikian. Tampak tidak adil dengan orang sebaik Jiyeon justru dinistakan sekejam itu. Namun, sejatinya sosok hamba tidakah tahu pasti apa yang tengah terjadi di balik semua ini, maksud terselubung dari-Nya, salah satunya bisa jadi semua ini adalah sebuah ujian bagi orang terdekatnya juga; menguji kesetiaannya pada Jiyeon sendiri untuk mencarikan keadilan itu.

Hyun Jae menarik sudut bibirnya mengingat ucapan bocah tengil Haura itu yang tetiba bertransformasi menjadi sosok dengan cara pandang dewasa. Kedua mata sipitnya menatap horizontal ke foto Jiyeon yang terletak di depan guci abu kremasinya.

"Sudah menjadi kewajibanku mencari keadilan untukmu, Jiyeon. Aku bahkan sudah bisa merasakan jika sebentar lagi keadilan itu akan segera didapatkan. Bersabar sebentar lagi, ya?" ujar Hyun Jae sembari sebelah tangannya terangkat ke kotakan lemari berisi guci abu kremasi Jiyeon, menyentuh wajah semringah Jiyeon dalam potret.

Ada rasa sesak yang selalu merayapi Hyun Jae kala berkunjung ke kolumbarium untuk menyapa Jiyeon. Rasa sesak itu yang berasal dari usahanya yang tak kunjung membuahkan hasil untuk membuka misteri kematian Jiyeon. Pun rasa sesak kenapa Jiyeon harus meninggalkannya lebih dulu.

Dulu, sempat Hyun Jae mencoba bunuh diri dengan sengaja menghirup gas beracun karbon monoksida di penthouse-nya karena putus asa dengan semua ini. Namun, nahasnya bukan langsung merenggut nyawa, Asisten Hwan berhasil membawanya ke rumah sakit tepat waktu, ia pun menjalani beberapa hari masa kritis, hingga akhirnya sadar dan sembuh perlahan-lahan.

Di situlah, ia baru menyadari kenapa alam masih membiarkannya hidup, tak lain untuk mencari keadilan Jiyeon satu kali lagi, setelah sebelumnya gagal.

Usai mendapatkan keadilan itu, ia akan melakukan pelarungan abu kremasi Jiyeon di lautan Samudra Pasifik seperti yang kekasihnya itu inginkan dulu, setelahnya ia akan memutuskan pergi dari dunia ini, mengakhiri proses metafisika dan alamiahnya karena tujuan hidupnya sudah terpenuhi seutuhnya. Kecuali ....

Hyun Jae mengulas senyumnya lagi. Lebih merekah dari sebelumnya karena kini berhasil membuat lesung pipit sebelah pipinya sangat tampak.

"Aku percaya semua misteri ini segera tersingkap jika aku berhasil menemukan ponselmu itu. Dan aku yakin akan segera menemukan ponsel itu, Jiyeon. Jangan khawatirkan apa pun, aku segera menemukan bukti-bukti valid atas kejahatan kakak tirimu. Jangan ragukan lelakimu ini, Chagiya," kata Hyun Jae, sebelah tangannya mengusap lembut rambut brunette panjang bergelombang Jiyeon.

"Sampai jumpa lagi, Chagiya," lanjut Hyun Jae, mengakhiri sesi bertemu Jiyeon di kolumbarium.

Selain sesak, ada rasa lega yang juga merayapi hati Hyun Jae kala berkunjung ke kolumbarium. Ia sangat tahu kalau berkunjung ke kolumbarium ini jelaslah tak bisa disamakan dengan mengunjungi Jiyeon karena sejatinya jiwa Jiyeon telah tiada, tinggal menyisakan serbukan abu kremasi dalam guci. Namun, entah kenapa ia tetap merasakan ini sebuah pertemuan, sekalipun sekedar menatap foto Jiyeon dan berdialog dengan sunyi, terlepas bertemu lewat halusinasi.

Barusan, kenapa dirinya tersenyum begitu lebar ketika pikirannya dihinggapi mengakhiri hidup setelah memecahkan misteri kematian Jiyeon, nyatanya tak sesederhana bahagia membayangkan ketercapaian tujuannya itu, ada hal lain dengan adanya biji pengecualian yang mengambigu beberapa saat lalu.

Sebuah pengecualian, ia akan meneruskan hidupnya kala pada akhirnya menemukan sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya selanjutnya, seperti seorang gadis pengganti Jiyeon, mungkin. Nahasnya, sepertinya hal demikian akan sulit menyapa dirinya, ia terlalu mencintai Jiyeon, ia terlalu nyaman dengan Jiyeon, hingga kini pun hatinya masih dimenangkan oleh Jiyeon, ia tidak yakin akan itu.

Langkah kaki Hyun Jae terhenti setelah seutas senyum singgah dan menggelengkan kepala, ia ingat sesuatu; si bocah tengil Haura yang memanggilnya Ahjussi.

Di beranda gedung kolumbarium, Hyun Jae merogoh saku jas kotak-kotak silvernya, mengambil  ponsel.

Segera Hyun Jae berkunjung ke Line-nya. Mengirim pesan ke Haura yang nama kontak Haura ia namakan Bocah Tengil. Semangat mengetik sebuah pesan.

Kau jadi ke Pulau Jeju hari ini, Haura?

Sekedar mengirim pesan itu, Hyun Jae mengantongi ponselnya lagi untuk melanjutkan langkah ke parkiran mobil.

Setelah masuk mobil dan menyalakan mesin mobilnya, pikiran Hyun Jae dihinggapi akan hari ini yang belum juga mendapat kontak informasi dari Ye Jun perkara sedang mencari di mana ponsel Jiyeon itu.

Desahan kesal sempat keluar dari mulut Hyun Jae sebelum membawa mobilnya keluar dari parkiran. Hatinya merutuk kenapa telat sekali sadar jika ponsel Jiyeon itu sangat berharga untuk kasus ini. Sudah setahun lebih kematian Jiyeon dan entah sudah ada di mana itu ponsel sekarang.

Tidak mau lebih banyak berpikir tentang itu, Hyun Jae mencoba fokus ke arah jalan. Pikirannya bertransmigrasi ke Haura, penasaran dengan pesan Line-nya yang sudah dibalas atau belum.

Sebelah tangan Hyun Jae terlepas dari setir, merogoh saku jas silver kotak-kotaknya lagi, memeriksa Line-nya.

Seulas senyum singgah di bibir Hyun Jae kala menemukan balasan Haura.

Bukan urusanmu, Ahjussi.

Huh! Bocah tengil satu ini memang sangat menyebalkan. Lihatlah balasan macam apa yang diberikan Haura; ketus dan masih tidak sopan dengan memanggil Ahjussi.

Namun, anehnya ketiksopanan Haura ini malah membuatnya bahagia, tepatnya ada rasa gemas yang menjalar, ia benar-benar ingin mengangkat Haura menjadi seorang adik, sepertinya seru.

Hyun Jae mengulas senyum lagi. Lesung pipitnya tampak sempurna. Sepertinya memang sungguh seru jika Haura bisa menjadi adiknya, soalnya bisa dibayangkan, hubungan mereka berdua akan berjalan banyak cek-cok, sama-sama bertabiat keras kepala.

Bisakah sedikit lebih sopan, Adik Manis?

Jangan lupa lunasi juga janjimu sebelumnya. Kau sudah berjanji mau mentraktirku makan jajjangmyeon jika akhirnya dapat liburan ke Jeju.

Jangan coba-coba mengingkari mentor gratisan bahasa Korea-mu ini!

Kali ini Hyun Jae mengirim pesan suara.

Karena Haura sudah tidak online, ia pun tak bisa menerima balasan dengan cepat, berakhir menaruh ponselnya ke dasbor.

Fokus kembali ke arah jalanan kota Seoul. Hyun Jae menyalakan radio mobilnya. Salah satu lagu hits dari boyband pun terputar.

Beberapa saat kemudian ponsel Hyun Jae berdering, ia pun mematikan radio, menilik siapa yang menelepon.

Ternyata dari seseorang yang sudah sangat ia tunggu-tunggu kabarnya. Tak lain Ye Jun.

Gesit. Hyun Jae memasang handsfree bluetooth ke telinga.

"Yeboseyo."

"Aku sudah menemukan Ara Ahjumma yang setahun lalu bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah Nyonya Kim."

Dengan tatapannya fokus ke arah jalanan, Hyun Jae cepat tanggap akan omongan Ye Jun.

"Lalu, berarti kau sudah tahu di mana ponsel Jiyeon 'kan, Hyeong?" Semangat sekali nada bass Hyun Jae menanyakan itu, bahkan bibirnya pun mengurva.

"Iya. Tapi ...."

Volume bariton Ye Jun yang terkesan ragu barusan berhasil membuat Hyun Jae menekuk keningnya. Bertanya was-was. "Tapi?"

Cukup lama Ye Jun mau bersuara. Bertambah membuat Hyun Jae takut akan hal buruk yang menjadi informasi terkini dari asisten Detektif Jo itu yang juga adalah kakak angkatnya.

"Ponsel Jiyeon itu sudah dihancurkan oleh Mi Cha. Dan sudah tidak ada lagi yang tersisa."

Seketika otot-otot Hyun Jae terasa lemas. Napasnya tercekat tidak terima.

Harapan besarnya porak-poranda dalam sekejap.

__________________

Translate:
Ahjumma= bibi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro