Pertanyaan Menjelang Subuh
Haura baru saja selesai salat istikharah untuk mencari jalan keluar atas kebimbanganannya perkara perjodohan yang ada. Ia pun menyambungnya dengan salat tahajud dan tadarus al-Quran.
Satu jam setelah tadarus al-Quran, Haura beringsut ke kamar, menyinggahkan pantatnya di pinggiran kasur, menyempatkan mengecek ponsel dengan masih mengenakan mukenah.
Jemari Haura berselancar di atas layar digital benda pipih yang dipegangnya. Ia mengisi list laporan tadarus al-Quran online di sebuah grup WA.
Sedangkan, di waktu yang sama, di apartemen Hyun Jae. Lelaki bongsor ini mengerjap dari tidurnya. Tatapannya langsung disuguhkan oleh langit-langit kamar dengan pencahayaan minim.
Hyun Jae mencoba mengingat tentang mimpi barusan yang sungguh seperti nyata. Mimpi yang seperti dirinya berada di dalam Surga. Bertemu sekelompok orang mengaji. Dan bertemu seorang syekh.
Hyun Jae menghembuskan napasnya. Ia pikir sosok syekh dalam mimpinya barusan bukan sembarang syekh; pasalnya wajah beliau bercahaya dan ....
Hyun Jae beringsut menarik tangan kanannya. Mencium tangan kanan yang dalam mimpi digunakannya bersalaman dengan syekh.
Seketika Hyun Jae tercekat dengan aroma kasturi yang menjalari indera penciumannya.
Hyun Jae menggeleng. Ia berasumsi dirinya sedang halusinasi dengan aroma kasturi sang syekh dalam mimpi yang tertinggal di tangannya. Ia pun beringsut duduk. Mencium sebelah tangannya lagi. Dan sama ... aroma kasturi itu menjalari rongga hidungnya.
Dengan masih mencium sebelah tangan, Hyun Jae seperti orang linglung dengan terus menerka-nerka kemungkinan, hingga sampailah pada asumsi jika dalam mimpi barusan itu adalah ... Rasulullah Saw?
Hyun Jae menggeleng cepat untuk asumsi terlalu bagus itu. Ia masih ragu, pasalnya bagaimana sosok Hyun Jae yang kotor ini dan bahkan belum menjadi Muslim bisa memimpikan beliau? Ah, tidak, palingan ini hanya sekedar bunga tidur atau malah barangkali ... tipu daya setan?
Mencoba mengaihkan pikirannya. Hyun Jae cepat-cepat tiduran kembali. Menarik bed cover hingga leher. Memejamkan mata.
Namun, tak sampai satu menit memejam, Hyun Jae sudah membuka mata lagi. Pikirannya tidak bisa dihentikan oleh mimpi barusan. Sial sekali.
Ia pun akhirnya beringsut ke kamar mandi. Membasuh mukanya dengan air hangat dan mencuci tangannya dengan sabun. Setelah cucian tangannya sudah dibilas, ia mencoba mencium aroma tangan kanannya. Dan .... masih sama, aroma kasturi syekh dalam mimpi tetap melekat di satu tangannya ini sekalipun sekarang sedikit tercampur dengan aroma mint sabun.
Hyun Jae mendesah. Ia bingung dengan apa yang sebenarnya sedang dirinya alami. Ia pikir dirinya sedang dilanda halusinasi dengan bisa mencium aroma kasturi, tetapi ... entahlah. Ia memilih beranjak ke ranjang tidurnya. Duduk di pinggiran kasur. Mengambil ponsel di nakas. Membuka Line dan atensinya menuju ke arah Haura.
Apakah kau sudah bangun, Haura?
Ketik Hyun Jae. Tapi belum sempat dikirim, ia hapus bersih.
Aku bermimpi aneh, Haura.
Ketiknya kemudian. Berakhir hapus tanpa sisa.
Aku sedang bingung, Haura.
Membaca ulang pesan itu. Lalu buru-buru menghapusnya.
Aku ingin menceritakan sesuatu, Haura.
Akhirnya pesan seperti itu yang dikirimkan Hyun Jae. Tak terbesit Haura bakalan langsung membalasnya. Ia pun menaruh ponselnya ke nakas. Namun, tertahan juga karena dengan cepat Haura membalas.
Menceritakan sesuatu apa?
Seutas senyum singgah di bibir Hyun Jae mendapati balasan dari Haura ini.
***
Melalui telepon via Line, Hyun Jae menceritakan mimpi anehnya barusan pada Haura. Ia menceritakannya secara detail yang dirinya ingat hingga ke momen bersalaman pada sosok syekh itu.
"Tidak salah lagi. Itu Rasulullah, Ahjussi," kata Haura dengan antusias. Dia merinding mengatakan itu.
"B-bagaimana bisa, Haura. Aku 'kan bukan sosok Muslim?" Hyun Jae menjadi tergagap. Di kamarnya, ia membenahi letak ponsel di samping telinga. Kedua matanya membulat.
"Jika ada seseorang memimpikan beliau, itu berarti seseorang itu benar-benar didatangi beliau karena setan tak kuasa menyerupai beliau, sekalipun hanya dalam mimpi, tak peduli yang didatangi sosok Muslim atau bukan," jelas Haura. Sebelah tangannya yang tak memegang ponsel membenahi ujung mukenah di dagu.
"T-tapi ak--"
"Katanya kau bersalaman. Apakah tanganmu bau harum seperti--"
"Kasturi," interupsi Hyun Jae, "Tangan kananku beraroma kasturi parfum beliau, Haura. Padahal aku sudah mencucinya berkali-kali, tetapi tak bisa mengurangi kadar aroma kasturi yang ada."
Haura bergeming sejemang. Ia merinding lagi. Ada rasa iri yang menghinggapinya mendapati begitu beruntungnya Ahjussi satu ini yang bisa bertemu Rasulullah Saw dalam mimpi. Selama hidup menjadi seorang Muslim, bahkan dirinya ini belum pernah satu kalipun.
"Aroma kasturi-nya belum hilang, Haura," ungkap Hyun Jae. Menciumi tangan kanannya. Wangi kasturi ini membuatnya tenang.
Seutas senyum singgah di bibir Haura. Ia ikut merasa senang mendengar nada bicara bahagia lelaki yang sebelumnya kebingungan itu.
"Haura ...."
"Iya?"
"Jika Allah Maha Kuasa dan Maha Esa, lalu kenapa Allah tidak menjadikan manusia di bumi ini dengan satu umat agama saja, bukankah itu akan sangat memudahkan sosok hamba untuk taat kepada-Nya? Bukankah dengan membiarkan banyak golongan itu akan menjadikan para manusia di bumi ini rawan akan sesat, menyeleweng dari jalan-Nya, Haura?" Tetiba Hyun Jae melontarkan pertanyaan ini. Pertanyaan yang akhir-akhir ini banyak dipikirkannya.
Haura membisu sesaat, bergeming pikir, hingga bibir kenyalnya yang lembap alami itu melekuk jawab. Pertanyaan Hyun Jae di waktu sebelum subuh ini, saat fajar kadzib menyongsong, sangatlah menarik.
"Menjadi umat dalam satu golongan saja itu sebenarnya sangatlah mudah bagi Allah, Ahjussi. Namun, manusia memang tidak ditakdirkan akan hal itu. Layaknya malaikat; mereka tidak memiliki kehendak bebas, mereka tak punya nafsu, semua malaikat adalah hamba Allah yang beriman dan tidak akan pernah membangkang terhadap-Nya, menjadi satu golongan taat--kecuali Malaikat Harut dan Marut."
Haura menukik senyum tipis. Hyun Jae semakin khidmat menyimak.
"Sebaliknya, manusia diciptakan dalam bentuk hamba yang paling sempurna, yaitu; dari adanya jasad, ruh, hawa nafsu, serta akal. Allah menciptakan manusia untuk menjadi makhluk penuh yang bebas; di mana berhak memilih segala sesuatu semaunya. Diberi banyak pilihan, banyak kemungkinan, itulah sebabnya Tuhan menguji kita dengan kehidupan di dunia ini. Kita mempunyai akal. Kita bisa mencari, membedakan mana yang haq dan bathil dengan pikiran kita. Lantas bebas memilih ke arah mana diri kita ini melangkah untuk sampai tujuan ...."
"... Termasuk dalam memilih agama itu, kita bebas memilih melangkah ke arah mana, karena pada dasarnya kita bisa mencari, merasakan sesuatu yang haq itu dalam hati nurani kita dengan kemantapan. Dunia ini sesungguhnya adalah ajang hamba untuk berlomba-lomba dalam kebaikan untuk meraih ridho-Nya, jembatan menuju kehidupan akhirat yang kekal. Namun, manusia mempunyai nafsu yang kerap menjadi sebuah rintangan dalam dirinya sendiri agar terbuai, lalai pada-Nya ...."
"... Kenapa Tuhan tidak menjadikan manusia di muka bumi hanya dengan satu umat agama saja? Kau pasti sekarang sudah tahu 'kan, jawabannya, Ahjussi?" Haura mulai membuat kesimpulan dari paparannya. Namun, kesimpulan yang harus disimpulkan oleh Hyun Jae sendiri.
Hyun Jae membisu, tetapi hatinya mengiyakan. Dan ia mulai semakin yakin akan sebuah keputusan yang akan diambilnya sebagai tujuan hidup di dunia ini. Ia semakin yakin dengan tambahan mimpi terindah barusan.
Perlahan, kepala Hyun Jae mengangguk. Bibirnya mengurva. Lalu meliuk membuat ucap, "Gomawo, Haura."
Seutas senyum singgah di bibir Haura.
"Aku sudah yakin sekarang, Haura. Aku sudah tahu arah tujuan hidupku. Aku ...." Suara bass Hyun Jae mengambang mendengar suara adzan subuh dari TOA masjid samping rumah Haura, berhasil menyusup hingga indera pendengarannya.
Seperti sudah paham akan tatakrama saat adzan berkumandang, Hyun Jae memilih diam dengan menunduk khidmat mendengarkan syahdunya lantunan adzan subuh itu.
Begitu pula Haura, ia menunduk, mendengar suara adzan subuh itu pula dengan khidmat seraya menimpali setiap kalimat dalam lantunan adzan yang tengah berkumandang itu dalam benak.
Sedangkan Hyun Jae, lelaki oriental ini sekarang memorinya dihinggapi perkataan beliau di akhir mimpinya.
"Kapan engkau hendak menjadi bagian dari kelurga kami, Wahai Anak Muda?"
Senyuman terbaik singgah di bibir Hyun Jae. Lesung pipitnya tampak sempurna.
_______________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro