Pengkhianat
"Ahjussi!" teriak Haura. Lolos membuat Hyun Jae tersentak, memutar arah pandangnya selaras dengan arah pandang Haura.
Si Rambut Merah sudah sempurna berdiri. Berlari cepat.
Hyun Jae pun tak kalah gesit. Segera mengangkat tubuh jangkungnya. Berlari ke arah Si Rambut Merah.
Sekon kemudian, satu pukulan hampir mendarat di wajah Hyun Jae, tapi cekatan Hyun Jae tangkis dengan sebelah tangan, berbalik Hyun Jae mencengkeram dua bahu lawan, ia pukulkan jidatnya ke jidat lawan dengan keras.
Buk! Buk! Buk!
Si Rambut Merah berkunang-kunang akibat serangan jidat Hyun Jae itu. Rupanya jidat lawannya sangatlah kokoh.
Tak mau menghabiskan banyak waktu, saat lawan lengah, atensi Hyun Jae tertuju pada rahang lawan, ia segera meninju sebelah rahang Si Rambut Merah dengan satu tinju tangannya ke samping. Teknik sideswipe. Si Rambut Merah terjatuh pingsan ke lantai beton.
Hyun Jae menghembuskan napasnya lega setelah berhasil melumpuhkan lawannya. Menyeka peluh di jidat.
Haura yang sedari tadi was-was dan beranjak mencari alat apa pun yang bisa digunakan untuknya membantu Hyun Jae pun menoleh, ikut-ikutan menghempaskan napas lega sembari sebelah tangannya erat memegang ukulele penuh debu.
"Aku harus segera mengikatnya, jika tidak ... kurang dari lima menit dia akan bangun dan segera membuat kekacauan lagi," ujar Hyun Jae sembari menoleh ke arah Haura yang sedang berdiri di pojokan sana.
Haura mengangguk. "Aku akan membantumu mengikat bedebah itu," empatinya.
Tidak banyak omong, Hyun Jae gesit mengambil tali-tali bekas yang mengikatnya. Haura beranjak mendekat untuk membantu Hyun Jae mengikat tubuh Si Rambut Merah, tapi Hyun Jae menolak.
"Tidak usah, aku saja. Kau istirahat saja, Haura. Lagian aku juga tidak mau tanganmu menyentuh seujung kukupun dari tubuh bedebah ini," sangkal Hyun jae seraya kedua tangannya cekatan membuat simpulan di kedua pergelangan kaki Si Rambut Merah.
Haura mengalah. Ia memilih membersihkan beling-beling botol soju yang masih berceceran di sebagian lantai ruangan dengan sapu senar nilon yang sudah ompong di sana-sini. Menyapu beling-beling itu hingga sudut ruangan. Untung sungguh untung, beling-beling ini tidak mengenai tubuh apalagi kepala Si Rambut Merah saat terjatuh pingsan tadi.
"Kau sedang mencari apa, Ahjussi?" tanya Haura beberapa saat ke depan. Mendapati Hyun Jae sudah selesai mengikat tubuh Si Rambut Merah dan menggerednya terbaring ke samping dinding yang cukup dekat perapian, meraba-raba tubuh bongsor si brengsek itu.
"Aku sedang mencari ponselku yang diambilnya. Atau ponsel siapapun juga boleh, setidaknya untuk kita bisa menghubungi nomor darurat, mencari pertolongan," jawab Hyun Jae sembari tetap fokus meraba-raba, kini di bagian saku jaket parka.
Haura bergeming paham. Beringsut mendekat.
"Daebak! Aku menemukan ponsel," seru Hyun Jae ketika tangannya merasakan kehadiran batangan benda pipih.
Haura yang kini sudah jongkok menonton ikut senang.
Bukan ponsel miliknya, tetapi itu bukan masalah, Hyun Jae segera mengaplikasikan ponsel itu untuk menghubungi nomor darurat 112. Namun, sial, ponsel milik si bedebah ini kehabisan daya, dinyalakan pun sudah tidak bisa.
"Aish! Sial!" umpat Hyun Jae.
"Apakah kau membawa ponsel, Haura?"
Haura menggeleng. Tidak tahu akan terjadi seperti ini, ponselnya ia tinggal di kamar. Toh, jikapun membawanya, pastilah sudah disita oleh bedebah itu.
Hyun Jae menghempas napasnya kasar. Menaruh benda pipih tak berguna di tangannya ke lantai sembarangan. Mulai merogoh-rogoh tubuh Si Rambut Merah lagi, berharap menemukan sesuatu yang berguna.
Dan akhirnya, ia menemukan sedompolan kunci dan sebuah belati.
"Yes! Akhirnya kita menemukan sesuatu yang berguna juga, Haura," omong Hyun Jae seraya semangat memamerkan apa yang baru saja ditemukannya.
Bukan ikut antusias, muka Haura malah menjadi suram saat melihat belati.
"Kau tidak akan membunuh seseorang 'kan?" tanya Haura dengan cemas.
"Mwo?" Hyun Jae melipat dahinya, lalu melirik ke belati di sebelah tangan sejemang.
"Aku tidak akan membunuh seseorang, tapi ini tetap dibutuhkan untuk jaga-jaga, Haura. Kita tidak tahu setelah kita berhasil keluar dari ruangan ini, entah apa yang harus kita hadapi setelahnya. Bedebah ini tidak sendiri, Haura. Dia punya rekan. Aku tidak tahu berapa pastinya, tapi aku tahu satu; Si Botak bertubuh gempal. Dan kita tidak tahu mereka mempunyai senjata apa; mungkin belati juga, bisa jadi pistol atau taser gun, eh atau malah AK-47," imbuhnya, berhasil membuat muka Haura berlipat suram.
"Maaf, aku tidak serius mengatakan senjata-senjata itu. Aku juga tidak akan membunuh seseorang. Mereka juga pastilah mudah dilumpuhkan seperti bedebah ini. Kupastikan kita bisa keluar dari sini dengan selamat, aku akan menjagamu, Haura. Jangan khawatirkan apa pun. Lagian, Allah selalu bersama kita, 'kan?" ucap Hyun Jae, menatap dalam Haura, lalu mulai menyelipkan belati di saku celananya.
Haura tetap bergeming. Barusan memang ia takut saat melihat belati karena membuatnya berpikiran tidak-tidak tentang akan ada insiden bacok-bacokan, tetapi ada hal lain yang lebih membuatnya cemas yaitu perkara rekan Si Rambut Merah.
Si Rambut Merah memang tidak bekerja sendirian, Haura juga tahu itu. Bedanya; jika Hyun Jae tahu tentang rekan berkepala botak dengan tubuh gempal, Haura tahu seorang rekan bertubuh atletis dengan perawakan mirip seperti Hyun Jae dengan umur yang masih muda. Haura tahu seseorang ini yang mana seseorang ini bisa membuat Hyun Jae ... ah, lupakan tentang itu, Haura tidak mau membahasnya lagi, ini akan menyebalkan sekali, biarlah untuk sampai saat ini tetap menjadi rahasianya saja.
"Ayo kita segera keluar dari sini, Haura," ajak Hyun Jae sembari memarmerkan sedompolan kunci.
Haura mengangguk pelan.
***
"Ya! Ini topi kesayanganku. Sembarangan sekali dia menaruhnya di sini," kesal Hyun Jae saat beranjak ke pintu, malah menemukan topi miliknya di pojokan, teronggok bisu di lantai beton.
"Aduh, mana banyak sekali debunya," keluhnya setelah berhasil mengambil topi, menepuk-nepuk sebagai ajang menyibak debu. Ia pun terbatuk kecil.
Haura yang sedang mengambil ukulele pun menengok, memerhatikan laku kekanakan lelaki bongsor ini.
"Jaket puffer-ku juga. Sopan sekali sih mereka!" decak Hyun Jae, ia sudah mengenakan topi kesayangannya, beralih mengambil jaket puffer miliknya yang juga teronggok bisu di situ.
"Ah, tapi tidak usah juga dipakai, nanti malah mempersulit pergerakanku saat melawan mereka," lanjutnya. Menaruh asal ke lantai beton. Menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan debu yang menempel di telapak tangannya. Ia memilih membenahi letak topi, menutupkan kepalanya lagi dengan tudung hoodie yang dikenakan.
"Haura," panggil Hyun Jae setelah berbalik.
Haura yang sedang membersihkan debu di ukulele dengan tisu di meja, menengok sejemang.
"Mwo?"
"Apakah aku sudah kelihatan keren?" tanya Hyun Jae. Kedua lembaran tangannya ia masukkan ke saku hoodie.
Haura membenahi posisi, mau tidak mau mengamati tampilan Hyun Jae dari ujung kepala hingga ujung kaki. Merutuk dalam benak jika di situsi segenting ini malah Ahjussi itu sempat-sempatnya bertanya tentang penampilan.
Di sana, Hyun Jae nyengir lebar, lesung pipitnya tampak sempurna.
"Kau terlihat keren seperti Jeha, Ahjussi," ledek Haura.
Mendengar nama Jeha, cengiran Hyun Jae langsung mengendur. Ia tidak terima disamakan dengan orang gila.
Haura tersenyum geli melihat perubahan raut muka Hyun Jae.
"Untuk apa kau mengelapi ukulele? Kau mau memainkannya untukku, Haura?" selidik Hyun Jae, sengaja mengalihkan topik tentang Jeha yang tidak ada keren-kerennya.
"Oh, ini," sahut Haura, menengok ke ukulele di meja, menyentuh ujungnya.
"Jika kau mempunyai belati, maka aku mempunyai ini untuk alat pertahanan, Ahjussi," jelasnya, tersenyum tipis ke arah Hyun Jae.
Tidak langsung menjawab, Hyun Jae malah tampak berpikir keras kenapa harus ukulele, ah tapi memang tidak ada sesuatu lain di sini yang bisa dijadikan alat pukul bagi Haura, selain sapu ompong di pojokan sana itu.
"Baiklah. Itu pilihan yang brilian, Haura," komentarnya kemudian.
Haura tersenyum senang mendapat pujian ini.
"Ahjussi," sebutnya.
"Hmm."
"Apa kau masih penasaran tentang jawaban perasaanku atas ungkapan perasaanmu padaku?"
"Aku jelas masih penasaran, Haura. Tapi tidak usah kau pikirkan. Toh, sekalipun ini sangat penting bagiku, tetapi jelaslah ini tidak penting bagimu. Jadi leb--"
"Aku akan menjawabnya, Ahjussi," interupsi Haura.
Hyun Jae mendadak konslet. Lalu bertanya seperti orang linglung. "Mwo?"
"Jika kita berdua berhasil keluar dari tempat mengerikan ini dengan selamat, aku akan memberi tahumu jawabannya," jelas Haura.
Hyun Jae membeku, belum percaya dengan apa yang barusan didengar.
"Aku serius. Ini pertama kalinya aku seserius ini padamu. Jadi ayo, kita keluar dari sini dengan selamat dan jangan sampai ada yang terluka lagi," ujar Haura. Kedua matanya berkaca-kaca. Sebenarnya ia sedang ketakutan untuk keluar dari ruangan ini, pasalnya ia tahu senjata apa yang rekan Si Rambut Merah gunakan.
Hyun Jae masih bergeming. Ia bisa merasakan dengan gamblang ketakutan yang mendera Haura.
"Dan setelahnya, jangan pernah salahkan dirimu atas semua ini, apa pun yang terjadi. Kau tidak bersalah. Kau sudah melakukan hal yang benar. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Kumohon," imbuh Haura.
Hyun Jae meneguk ludahnya. Tetiba ia menjadi takut dengan sebuah prasangka sialan. Perkataan Haura ini, kenapa terdengar bukan sekedar nasehat, tapi seperti wasiat?
Cepat-cepat Hyun Jae mendekati Haura. Menatap gadis ini yang kedua matanya sudah memerah.
"Aku akan menuruti perintahmu, jadi jangan khawatirkan apa pun lagi. Kita akan segera keluar dari sini dengan selamat, aku yakin itu, aku akan melumpuhkan semua orang jahat itu, Haura. Tidak akan ada lagi orang yang akan menyakiti dirimu dan diriku setelahnya. Semua akan kembali normal seperti sebelumnya. Dan yang tak kalah penting ... kau harus menepati janjimu ini untuk memberikan jawabannya, jangan berkilah ini-itu saat ditagih," kata Hyun Jae dengan hati-hati. Tentang harus menepati janji ini hanya imbuhan agar Haura tidak terlalu kalut.
Setetes cairan bening jatuh dari kelopak mata Haura. Lantas ia mengagguk pelan.
"Ayo, kita keluar dari sini sebelum mereka yang mungkin sedang tidur ngorok sambil ngiler itu terbangun," ajak Hyun Jae seraya meraih ukulele, mengulurkannya pada Haura.
Haura menyeka bekas air matanya di pipi dengan punggung tangan. Lagi-lagi ia hanya bisa mengangguk, tapi cukup sebal juga pada Hyun Jae karena membahas sesuatu yang terdengar jorok; ngorok dan ngiler, itu menjijikkan. Berakhir meraih ukulele dengan masygul.
Sekon kemudian, mereka bergegas ke arah pintu. Sempat tersendat juga karena Si Rambut Merah sadar, tetapi itu bukan masalah, Hyun Jae gesit membuatnya pingsan lagi dan membekap mulutnya dengan kain.
Masalahnya justru sedompolan kunci ini terlalu banyak jumlahnya, ia harus sabar ekstra dengan mencobanya satu per satu.
Hingga kunci ke-9, akhirnya terdengar juga bunyi klek lirih. Pintu terbuka kuncinya.
"Tetap berlindung di belakangku, Haura," titah Hyun Jae sembari membuka pintu.
Haura mengangguk. Mengambil posisi di belakang Hyun Jae.
Pintu sudah berhasil dibuka. Sejauh ini belum terlihat ada ancaman. Hanya lorong remang yang lengang.
Hyun Jae memimpin misi kaburnya. Melangkah perlahan-lahan, tanpa berderap, sesekali menengok ke belakang untuk memastikan situasi.
Beberapa saat ke depan, akhirnya mereka berdua tiba di ujung lorong remang. Mereka berdua hendak berbelok untuk kemudian menuruni tangga, tetapi di belakang sana terdengar beberapa derap langkah berlarian cepat menuju mereka.
Hyun Jae dan Haura reflek menengok ke belakang. Hyun Jae berseru pada Haura untuk bergerak cepat ke depan tubuhnya untuk kemudian berlari menyusuri tangga. Namun, Haura terlampau tegang, ia malah terpaku di tempatnya.
Dua orang dengan pakaian serba hitam yang berlarian ini semakin mengikis jarak.
Dengan terpaksa, Hyun Jae mencengkeram lengan tangan Haura agar cepat berpindah tempat ke depan, tetapi ... semuanya sudah terlambat, seseorang sudah menodongkan pistol ke dahi Haura dengan jarak tembak 2 meter.
Pergerakan Hyun Jae terhenti. Seperti di film-film, Haura reflek mengangkat kedua tangannya.
Semakin mengikis, tinggal satu hasta dari jarak tembak pistol, Hyun Jae sudah bisa melihat jelas wajah seseorang yang menodongkan pistol ini dalam keremangan.
Seseorang itu sangat tak asing di penglihatannya. Dada Hyun Jae ngilu seketika.
"Angkat kedua tanganmu, Tuan Park!"
Hyun Jae bergeming seperti orang linglung. Ia belum percaya dengan kenyataan ini. Kenyataan bahwa bukan sekadar Haura yang menjadi target, tetapi ada orang lain yang pula harus direlakan untuk mengkhianatinya.
Seseorang itu ... Asisten pribadinya sendiri; Hwan.
"Jika kau tak mau gadismu tewas, cepat angkat kedua tanganmu, Tuan Park!" sentak Hwan sembari menyentuhkan moncong pistol ke dahi Haura.
Rahasia Haura beberapa saat lalu ini akhirnya terbongkar sudah.
______________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro