Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Faktor X

Hyun Jae mendadak kikuk. Mobil SUV-nya terus berjalan membelah jalanan malam kota Seoul.

"Hau--"

"Wassalamuaaikum," potong Haura. Ia sudah tidak bisa menahan malu. Segera menaruh ponselnya ke nakas dan bergegas menarik selimut, mencoba tidur.

Sedangkan, Hyun Jae terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Waalaikum salam."

Selanjutnya Hyun Jae merenung di tengah mengemudi. Ia belum percaya jika jawaban Haura adalah sungguh perkara sama-sama suka. Ia menjadi penasaran, kapan tepatnya Haura menaruh perasaan spesial ini untuknya; mungkinkah saat berwisata bersama ke menara N Seoul Tower itu sudah singgah? Jadi, dulu pengungkapan "aku mencintaimu" dalam bahasa Indonesia yang Haura serukan pada angin itu sungguh untuknya?

Seutas senyum singgah di bibir Hyun Jae. Ia tidak tahu pasti jawaban validnya, toh itu tidaklah penting, yang terpenting baginya kini adalah fakta bahwa Haura suka pada dirinya.

Ulangan senyum terukir di bibir Hyun Jae. Perasaan bahagia memenuhi dada. Malam ini tidak jadi sadboy.

Hari terus berjalan. Musim dingin di Korsel usai. Musim semi menyapa dengan hangat.

Luka Haura sudah sembuh sempurna.

Pengungkapan perasaan itu di 3 bulan lalu mengubah perubahan besar di antara Haura dan Hyun Jae. Bukan semakin dekat, justru menjadi jauh, mereka berdua secara alami menjaga jarak.

Ada sesuatu yang mengganjali mereka berdua. Itulah penyebabnya.

Sebuah rasa khawatir, kalau-kalau pertemanan mereka menjadi tidak baik.

Di rumahnya, Haura baru saja selesai memasak kuah soto Sokaraja dalam porsi besar, dibantu pembantu rumah tangganya--Mbok Suri. Ceritanya, siang ini rumahnya ketempatan yasinan dan arisan RW. Di ruang tamu sudah mulai berdatangan ibu-ibu RW untuk menghadiri acara rutinan ini di setiap hari jumat.

Haura mandi dan berganti baju. Dan setelah dirinya mengenakan kardigan scarf motif batik, ponselnya berdering.

"Haura, apakah kau sudah makan?" tanya Hyun Jae setelah memberi uluk salam beberapa saat lalu.  Sembari makan siang di ruang kerjanya.

Haura masih bergeming--aduh, jujur saja ia kurang suka percakapan modelan begini.

"Eh, tidak-tidak. Tidak usah dijawab, Haura," koreksi Hyun Jae, ia merasa rikuh karena paham Haura selalu tidak nyaman ditanya dengan pertanyaan basa-basi seperti ini.

"Kau sedang apa, Haura?" Hyun Jae membuat pertanyaan lain, tapi masih klise.

Haura menggigit bibir. Ia masih tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Dengan ponsel yang didekatkan ke sebelah telinga, ia memilih beringsut menyisir rambut, lalu hendak menjawab," Aku--"

"Eh, tidak usah dijawab juga, Haura. Maaf," interupsi Hyun Jae. Menggigit bibir bawahnya. Menenggak air putih dengan gugup.

Haura menghela napas. Ajang menyisir rambut selesai.

"Oh, iya, Haura. Aku mau bercerita sedikit," ujar Hyun Jae. Mencoba membuat topik baru.
"Ah, iya. Apa?" jawab Haura sembari duduk di meja rias.

"Itu ... ternyata yang menciptakan metode karantina tokoh Islam, ya?"

"Iya. Ibnu Sina 'kan?" tanggap Haura, berubah semangat. Ia tahu satu ini--entah dari siapa dulu itu, sudah lupa.

"Konsep 40 hari mengisolasi pasien untuk melemahkan infeksi menular." Hyun Jae tak kalah semangat. Sudah tidak tertarik lagi dengan makan siangnya yang tinggal separuh.

"Dulunya disebut al-Arba'iniya yang berarti 40 dalam bahasa Arab," tanggap Haura.

"Dan setelah konsep ini masuk Eropa, istilahnya menjadi Quaranta yang berarti 40 hari dalam bahasa Italia," sambung Hyun Jae. Menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Quaranta, menjadi asal kata Quarantine atau Karantina." Haura menutup kesimpulannya dengan mengembangkan senyum.

Di sana juga sama, Hyun Jae mengembangkan senyum tak kalah lebar, lesung pipitnya tampak sempurna.

Lalu sesaat ke depan suasana menjadi kaku lagi. Tidak ada percakapan mengalir.  Saling membisu. Kehabisan topik yang dirasa perlu--sekalipun barusan juga tidak begitu perlu, tapi lebih baik daripada bertanya sudah makan atau sedang apa.

Obrolan sungguh mati. Selalu seperti ini ... setelah pada akhirnya Haura berkata jujur soal perasaannya.

Pun sama. Setelah saling membisu, Hyun Jae mengakhiri telepon dengan perasaannya yang tak karu-karuan ... bingung.

***

Bingung. Satu perasaan ini yang selalu mengantui Hyun Jae setelah Haura jujur jika suka padanya.

Ternyata menjalani pertemanan tanpa menautkan perasaan itu sungguh sulit setelah semuanya tampak jelas; bahwa mereka berdua sama-sama suka.

Sudah dijelaskan sebelumnya, jika dulu Hyun Jae berniat menjadikan Haura pacar kalau saja Haura suka padanya. Namun, setelah menjadi Muslim, itu sudah tidak lagi berlaku, soal saling tahu satu perasaan ini tak bisa menjadikan apa pun selain sekedar tahu saja. Ia tidak mungkin mengajak Haura berpacaran dengannya. Pun, berkirim pesan online atau telepon dengan mengobrol hal ringan menjadikannya sungkan; karena ia tahu sekarang bahwa semua itu lebih baik dihindari, bisa menimbulkan fitnah.

Haura juga sama. Ia merasa bingung dengan hubungan pertemanannya dengan Hyun Jae karena dirasa tidak lagi murni. Contoh kecilnya adalah pertanyaan basa-basi itu; seperti sedang apa atau sudah makan belum yang khas obrolan pasangan kekasih.

Ia akui bahwa di lubuk hatinya, ia menyukai pertanyaan ringan seperti itu, mengobrol ringan setiap hari sekalipun lewat telepon, diselipi saling bergurau satu-dua kali. Ia sangat menyukai hal-hal seperti ini dengan Hyun Jae, tapi juga tetap sadar bahwa ia tidak boleh melakukannya. Karena itulah memilih bersikap dingin pada Hyun Jae dan rupanya lelaki oriental ini cepat peka, membatasi bertelepon atau sekedar mengirim pesan, palingan sekarang 1-2 kali dalam sebulan, itupun diisi dengan banyak saling membisu.

Hyun Jae sudah tidak lagi banyak bertanya tentang Islam pada Haura karena lelaki itu sudah mempunyai guru spiritual dari Syekh terbaik di Seoul. Ini bagus sekali untuk Haura agar bisa sempurna menjaga jarak dengan Hyun Jae.

Namun, cinta tetaplah cinta, sekalipun sudah mencoba menjaga jarak, rindu itu selalu muncul setiap saat 'kan?

Rindu itu yang bisa diaplikasikan dengan ... selalu haus ingin melihat wajahnya, selalu haus ingin mendengar suara beratnya, dan masih banyak jenis kehausan lagi.

Dan inilah penyakit itu. Pada akhirnya pertemanan yang ada menjadi tidak lagi murni.

Setelah saling suka, lalu apa? Pertanyaan ini sebenarnya jawabannya mudah; yaitu menikah--agar dapat berpacaran secara halal. Tetapi jika belum siap ke jenjang serius ini, lalu harus apa? Inilah salah satu faktor X yang membuat Hyun Jae ataupun Haura bingung, sama-sama galau.

Pada akhirnya, perlahan tapi pasti, mereka berdua memilih menjaga jarak, mengurangi ajang berkontakan.

Jadinya saling menarik diri untuk menjauh memang, tetapi, sekali lagi; cinta tetaplah cinta, rasa suka itu semakin berat seiring berjalannya waktu.

Hyun Jae memilih menyampaikan salam cintanya lewat doa-doa yang dilambungkan ke langit.

Pun sama dengan Haura. Setelah proses taaruf itu gagal, ia menjadi berani mengobrolkan perasaan yang bersemi ini pada Sang Pencipta Perasaan itu. Memohon hal terbaiknya ... yang entah akan berakhir seperti apa.

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro