Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Setiap Orang Punya Masalah Mereka Masing-Masing

Satu-satunya hal yang bisa kupikirkan tentang Dio dan Tobi adalah, apakah mereka sedang melakukan semacam penebusan saat ini? Maksudku, ini mungkin saja adalah satu atau dua rencana yang sudah mereka susun agar bisa kembali pada Klub Tidur Siang.

Dio dan Tobi paham kalau mendaftarkan diri ke sebuah klub di luar minggu pertama tahun ajaran baru akan sangat sulit. Itu menjadi sangat sulit karena kebanyakan klub biasanya akan menutup perekrutan di luar waktu yang telah ditentukan. Siapa juga yang mau mengurusi administrasi pendaftaran sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan? Setiap klub tentunya punya program kerja mereka masing-masing dan kalender kerja mereka masing-masing. Administrasi pendaftaran bukan satu-satunya hal yang harus mereka lakukan.

Tapi, beda ceritanya kalau membahas klub tidur siang. Sampai sejauh ini, klub tidur siang bisa bertahan karena anggotanya yang memang pas-pasan. Bahkan beberapa tugas sampai dipegang oleh satu orang saking kurangnya anggota. Jika Dio dan Tobi kembali hadir, tentu saja itu akan sangat membantu. Sayangnya, ada beberapa poin yang harus dipertimbangkan sebelum merekrut mereka.

Pertama, ketentuan yang mengharuskan Tobi menjadi ketua. Aku bukannya ragu dengan kepemimpinan mereka, tetapi aku mengkhawatirkan apa rencana mereka.

Kedua, konflik masa lalu yang mungkin saja akan membuat suasana klub senantiasa berat dan dipenuhi masalah. Jika Tobi dan Dio kembali, bukan tidak mungkin kalau Tiara dan Ren yang akan pergi. Sekali pun mereka tetap tinggal, suasananya tidak akan sama.

Terakhir, aku ingin menuntaskan semua program kerja yang sudah terbentuk. Program kerja saat ini adalah buah dari pemikiran kami berlima. Rasanya agak menyakitkan jika program kerja yang sudah kami susun tidak terlaksana dan harus diganti oleh program kerja yang baru.

"Lanjut ronde kedua!" Lala memerintah dengan semangat yang berapi-api sampai suaranya terdengar serak. Tolong, jangan berlebihan seperti itu jika kau menjadi seorang delaer. Ke depannya akan menjadi sulit jika kau kehabisan suara atau mengalami serak.

"ABC lima daaaasar!" Kami menghentakkan telapak tangan dan mengeluarkan beberapa jari untuk yang kedua kali. Satu-satunya hal yang membuatku terkejut di ronde ini adalah, Dio dan Tobi tidak mengeluarkan jari mereka sama sekali!

Apa yang mereka pikirkan? Aku bisa melihat senyum licik mereka sudah terpampang penuh bangga. Tidak, memangnya ada pengaruh khusus meski mereka tidak mengeluarkan jari? Bagaimanapun, mereka tetap tidak akan bisa menebak isi pikiranku, Tiara, dan Ren. Mungkin?

"A B C D E F G H! Alfabet penting di ronde kedua adalah huruf H! Lala mengumumkan tentang alfabet penting di ronde ini. Total jari yang terhitung adalah, aku mengeluarkan tiga jari, Tiara mengeluarkan satu jari, dan Ren mengeluarkan empat jari.

" Langsung saja, pertanyaan di ronde kedua adalah ... ada masalah atau sesuatu yang mengganggu dirimu akhir-akhir ini? Pastikan kalau kalian sudah memikirkan ini matang-matang dan menjawabnya dengan benar. Bahkan pembohong kelas kakap tidak akan bisa berkutik di hadapan Poligraf!" Akhir dari kalimatnya ditutup dengan Lala yang memperlihatkan mesin Poligraf.

Setelahnya, Lala mengatur napas sebentar. Dia terlihat begitu kelelahan sampai napasnya tersengal-sengal. Yah, itu wajar saja, sih. Lala tidak menarik napas sedikit pun di tengah-tengah kalimatnya yang panjang. Dia benar-benar menghabiskan kalimat barusan dengan satu tarikan napas. Untuk orang yang gaya bicaranya bertele-tele seperti dia pastinya akan kesusahan.

"Semua ini dimulai dari jawabanmu, orang terpilih." Kalimat itu membuat Tobi terdiam, dia sadar kalau Lala sedang menunjuk dirinya untuk menjawab. Laki-laki berambut gondrong itu menyingkirkan rambut yang menghalangi matanya dan menatap Lala sampai berbinar-binar.

Tobi berkata, "Hari ini, aku menemukan bidadari baru dalam hidupku. Dia membuat jantungku yang lemah berdetak begitu cepat sampai tubuhku merasa lemas. Aku akan segera memperbaiki diriku dan mencukur rambut setelah pulang dari sini."

Serius, apakah Tobi benar-benar memikirkan malu saat mengatakan semua itu? Poligraf menunjukkan kalau dia berkata jujur dan ini adalah kebenaran kalau Tobi sepertinya suka dengan Lala. Masalahnya hanya satu, memangnya Lala akan peka dan menyadari perasaan Tobi? Aku tidak yakin kalau Lala akan menyadarinya meski sudah mendengar kalimat frontal dan melihat sikap Tobi barusan.

Kali ini, Lala mengarahkan telunjuknya untuk Ren. Gadis yang baru saja ditunjuk itu segera menjawab, "Hidupku belakangan ini terasa lebih berat semenjak aku bekerja paruh waktu. Ayahku kena PHK dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Masih ada tiga orang anak yang harus mereka sekolahkan selain aku. Karena aku dianggap sudah besar sebagai anak sulung, orang tuaku meminta agar aku mulai membiayai diri sendiri. Aku akhirnya bekerja paruh waktu setiap hari mulai dari pukul tujuh sampai sebelas malam. Aduh, maaf kalau aku jadi curhat."

Jawaban Ren yang terdengar seperti cerita itu membuat kami merasa simpati. Terlebih lagi Dio yang mulai menunjukkan sifat narsisnya sekali lagi di hadapan Ren. Laki-laki yang rambutnya selalu nampak basah dan tertata rapi itu berkata, "Oh, Ren. Pujaan hatiku. Semua kerja keras dan ketabahanmu sangat menyentuh hatiku. Izinkan aku yang memiliki banyak kekurangan ini untuk membantu dan menemanimu di masa-masa sulit. Maukah kau menghadapi susah senang bersamaku?"

Satu-satunya tanggapan yang Ren tunjukkan hanyalah ekspresi jijik dan memalingkan muka. Tapi, entah penyakit macam apa atau jin jenis apa yang merasuki Dio, dia malah semakin jatuh cinta ketika diperlakukan sinis oleh Ren. Laki-laki eksis itu kerap kali memegang dada kirinya akibat detak jantung yang mungkin saja terlampau cepat saat diperlakukan sinis oleh Ren. Jatuh cinta memang mengerikan.

Beralih ke peserta selanjutnya, Lala mengarahkan telunjuknya ke Tiara. Gadis bersurai panjang itu mendadak gelagapan karena belum selesai berpikir. Lala yang merasa kalau dirinya sedang menunggu mulai menghitung. "Lima, empat, tiga." Aku bisa melihat Tiara berkeringat dan wajahnya benar-benar gelisah. Saat Lala sudah menyebutkan angka satu, Tiara secara tiba-tiba menyampaikan jawabannya.

"Heningnya suasana kelas saat aku bicara sejujurnya sangat mengganggu. Aku ingin orang-orang menanggapiku secara normal tanpa perlakuan khusus atau sejenisnya!" Kalimat itu diakhiri dengan jeritan dan Tiara yang bernapas lega. Sepertinya aku mengerti, masalah Tiara barusan adalah dia kesulitan mencari kata-kata yang diawali oleh huruf 'H'.

"Selanjutnya adalah giliranmu." Lala mengarahkan telunjuknya ke arahku yang sedang melamun. Membuatku memiringkan kepala dan memasang ekspresi bingung luar biasa.

"He?"

"Okta! Kau serius ingin turun jabatan?" Tiara yang kesal kali ini meluapkan emosinya dan menarik dasi abu-abu yang tergantung di leherku. Sementara Lala mulai menghitung mundur dari angka lima, aku harus memikirkan jawaban macam apa yang bisa disampaikan.

Huruf H, selain kata hening, hidup, dan hari. Memangnya kata macam apa lagi yang bisa aku gunakan! Sepertinya tidak ada, sih. Tiara yang emosi semakin keras saat menarik dasi, membuatku merasa tercekik dan tertarik mendekatinya. Serius, aku bisa merasakan napas Tiara yang saat ini dipenuhi amarah. Dia seperti banteng yang siap menyeruduk, seakan-akan aku berhalusinasi sedang melihat napas Tiara mengeluarkan asap. Ah, aku punya satu jawaban yang mungkin saja bisa menolong!

"Hormon lelaki dalam diriku entah kenapa terasa mati. Belakangan ini, aku tidak bisa merasakan suka pada gadis yang cantik, atau merasa berdebar ketika melihat mereka. Di pandanganku, semua gadis terlihat sama saja dan aku sepertinya tidak memiliki ketertarikan pada mereka. Sejujurnya, itu sangat mengganggu sampai-sampai aku merasa kehilangan jati diri."

Baiklah, aku sudah bicara jujur. Meski aku berharap bisa menyampaikan masalah lain, aku tidak punya pilihan karena keharusan peserta yang wajib memenuhi alfabet penting saat menjawab. Sekarang, mari kita lihat.

Ekspresi Tiara kurang lebih sama seperti yang lain. Itu adalah ekspresi bingung, heran, sekaligus jijik. Tiara bertanya, "Kau masih normal?" Dia kemudian melepas genggamannya dari dasi milikku sehingga aku bisa bernapas lega.

"Ayolah, aku tidak bilang kalau aku menyukai lelaki. Aku hanya kehilangan rasa tertarik pada  gadis akhir-akhir ini." Tidak ada tanggapan. Suasana di ruangan klub begitu hening sampai suara jarum jam bisa terdengar. Aku harus berusaha meluruskan ini. Aku kemudian berkata, "Ma-maksudku, ini mungkin saja adalah semacam trauma karena aku putus dengan An, mungkin saja begitu, 'kan?"

Masih belum ada tanggapan. Mereka benar-benar merasa aneh. Suasana klub begitu hening tepat setelah aku menyampaikan jawaban. Wajar saja, sih. Mana ada seseorang yang begitu gila sampai berani menceriterakan soal dirinya yang tidak memiliki ketertarikan. Meski itu adalah semacam trauma, kebanyakan orang tidak akan peduli. Orang-orang hanya akan melihat kalau aku ini aneh, tidak normal. Aku tidak akan memaksa mereka untuk percaya lebih dari ini.

"Kau harus menutup ronde ini." Lala mengarahkan telunjuknya ke arah Dio yang sedang berkaca dan menata rambut. Laki-laki yang sampai barusan sedang bercermin di cermin lipat itu nampak mengedipkan mata kirinya satu kali.

"Hembusan angin malam kerap kali menggangguku sampai kesulitan untuk tidur. Dia membawaku pada halusinasi yang luar biasa mendebarkan, berharap ada satu gadis bisa hadir dalam mimpiku di setiap malam. Ren, maukah kau hadir dalam mimpiku setiap malam?"

"Teng nong!" Lala menyilang kedua tangannya sampai membentuk huruf 'X'. Itu adalah tanda kalau seseorang telah melakukan pelanggaran sampai harus dikenai hukuman. Lala kemudian menyambung, "Inilah akibatnya kalau tidak menyimak dengan baik saat pelajaran bahasa. Tersangka Dio telah ditetapkan bersalah karena melanggar aturan nomor satu tentang KBBI dan PUEBI."

"Melanggarnya? Diriku? Kata-kata yang mana dari kalimatku kalau boleh tahu?" Dio bertanya balik karena dia merasa tidak ada kesalahan dalam kalimatnya. Membuat Lala dengan senang hati menunjukkan kesalahannya.

"Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang baku adalah 'embusan', bukan 'hembusan'. Berdasarkan jawaban tersangka Dio, ada dua potensi pelanggaran. Pertama, jika Dio memang menjawab dengan kata 'embusan' sebagai awal kalimat, maka itu tidak memenuhi alfabet penting yang seharusnya diawali oleh huruf 'H'. Kedua, jika Dio memang menjawab 'hembusan' sebagai awal kalimat, maka itu melanggar aturan nomor satu karena kata 'hembusan' tidak terdaftar dalam KBBI. Tidak percaya? Silakan cek di KBBI Daring!"

Semuanya termasuk diriku segera mengeceknya. Benar saja, tidak ada kata 'hembusan' yang ditemukan. Setelah merasa kalau argumennya benar, Lala lanjut bicara. "Kalau begitu, sekarang saatnya hukuman!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro