Aku Tidak Sedang Bermain-Main
Aku mengikuti ke mana Tiara pergi. Dia di bawa oleh ketiga gadis tadi ke tempat yang sepertinya adalah gudang sekolah. Gudang sekolah, bangunannya terpisah dari gedung utama. Bukan hanya itu, tempatnya lumayan jauh dari gedung utama dan setahuku, di sana kedap suara. Aku memastikan kalau mereka berempat masuk ke sana, tidak lupa, pintunya mereka tutup dari dalam.
Sekarang, karena mereka telah pergi ke ruangan yang tertutup, aku tidak bisa melihatnya dari kejauhan. Aku harus mencari celah agar bisa melihat ke dalam gudang tanpa harus masuk ke sana.
Mencari celah sampai akhirnya aku menemukan ventilasi udara di sisi kanan bangunan. Tentu saja, tempatnya tinggi. Aku harus mengambil tangga lipat agar bisa melihat ke dalam lewat ventilasi itu. Syukurlah, aku bisa melihat dengan jelas lewat celah ini.
Aku mencari-cari keberadaan Tiara di dalam gudang, dia dalam posisi duduk sementara tiga gadis tadi berdiri mengelilingi Tiara. Salah satu gadis itu membuka seragamnya karena di gudang memang panas, apalagi ruangannya tertutup. Dia hanya mengenakan kaus hitam dan rok seragam yang berwarna abu-abu.
Selain gadis dengan kaus hitam, ada gadis yang rambutnya dikuncir kuda dan gadis yang tidak pernah melepas headphone-nya.
"Sekarang, enaknya kita ngapain, nih? Oi, Riana, ambilkan rokok di tasku," perintah gadis yang mengenakan kaus hitam. Dia berlagak seakan-akan dirinya adalah pemimpin di kelompok itu. Mendengar perintah, gadis yang rambutnya dikuncir kuda mengambilkan rokok dari tas.
Gadis itu bernama Riana. Dia memberikan rokok pada orang yang sepertinya adalah pemimpin baginya. "Rin, aku boleh minta satu?" tanyanya saat memberikan satu kotak rokok pada gadis yang dipanggil Rin.
"Ambil saja, sebagai gantinya kerja maksimal hari ini, ya." Rin mengambil korek api dan mulai menyalakan rokoknya. Di sisi lain, gadis yang tidak pernah melepas headphone-nya merasa tidak suka. Dia kerap kali menutup hidung saat asap rokok menghampiri dirinya.
"Kenapa, Fah? Kau tidak senang kalau aku merokok?" ketus Rin sambil menghembus nafas yang dipenuhi asap rokok. Gadis yang dipanggil Fah menanggapi, "Tentu saja, itu bisa merusak kulitku. Selain itu, jangan cuma merokok. Kita akhirnya bisa menemukan dia setelah lari selama berminggu-minggu. Ada hukuman?"
"Ma-maafkan aku," ucap Tiara lemah saat posisinya duduk merendahkan diri di hadapan mereka. Rin yang melihat Tiara meminta maaf sambil menundukkan kepalanya merasa kesal. Dia kemudian menjambak rambut hitam Tiara sampai kepalanya terangkat, dipaksa saling tatap wajah.
"Kau masih beruntung karena kami tidak bongkar rahasiamu selama kau kabur. Kami juga tidak membuli di kelas selama kau melarikan diri. Kami sudah berbaik hati seperti itu, tapi kenapa kau malah begitu!" Rin menutup kalimatnya sambil mendorong kepala Tiara, membuat kepala itu terbentur ke tumpukan kardus yang berdebu.
"Saat itu juga, kami melihat semuanya saat kau pulang dan mampir ke fasilitas hiburan. Kau sengaja bersembunyi pada orang lain untuk melarikan diri? Memangnya kau bisa jadi lebih menjijikkan dari itu, ha!" Masih belum puas, Rin menjambak rambut Tiara sekali lagi sampai kepalanya terangkat. Tiara hanya bisa menangis dan berkata lirih, "He-hentikan ...."
Aku tidak tahan lagi. Aku mencoba turun dari tangga dan hendak melabrak mereka. Sampai ketika aku turun dengan penuh emosi, seseorang menahan diriku. Orang itu berkata, "Sabar, bawahanku. Aku paham bagaimana perasaanmu saat ini. Tapi, balas dendam akan jadi lebih memuaskan ketika kita sudah mempersiapkannya secara matang."
Aku melihatnya, ada Lala yang menghentikanku dan dia secara misterius juga membuntuti Tiara sampai ke sini. "Lala? Bagaimana kau bisa tahu soal ini?"
"Aku hanya menyadari bawahanku yang sedang bermasalah, aku juga hanya ingin membantunya," jawab Lala bertele-tele seperti biasanya sambil melipat tangan di dada.
"Sejak kapan kau menyadarinya? Kenapa kau tidak memberitahukannya padaku?" Aku merasa kesal, tapi, aku tetap harus menjaga emosi agar suaraku tidak terdengar sampai dalam. Aku mengobrak-abrik pundaknya Lala sementara dia hanya diam, berlagak misterius.
"Untuk sekarang, kita perhatikan dulu. Aku sudah melihat pertemuan mereka sebanyak tiga kali dengan pertemuan ini. Semua pertemuan selalu diadakan di gudang ini. Aku juga mulai paham tentang apa yang mereka lakukan pada bawahanku. Aku akan ceritakan semua yang aku tahu. Tapi, untuk sekarang, mari kita perhatikan dulu."
"Aku tanya kenapa kau tidak memberitahuku! Ini bukan permainan, seharusnya kau menceritakan ini padaku!" Aku sekali lagi mengulangi pertanyaanku karena tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan.
Sementara Lala, dia mengubah ekspresinya. Lala kemudian berkata, "Ah, lagi-lagi ... aku dianggap hanya sedang bermain-main. Itulah kenapa aku tidak ingin menceritakannya pada siapa pun. Setiap kali aku menceritakannya, orang-orang pasti menganggap kalau aku hanya sedang bermain-main."
"Ha, ti-tidak, bukan itu maksudku."
"Maaf, bawahanku. Aku tarik kata-kataku soal aku yang akan memberitahukan semuanya tentang ini. Aku akan mengatasi ini sendiri. Jangan halangi aku yang ingin membantu bawahanku yang lain," ujar Lala sambil beranjak pergi dari gudang.
Aku segera mengejar Lala dan menahan pundaknya agar dia tidak pergi lebih jauh. Tapi, ketika aku menahan pundaknya, Lala terlihat kesal sampai-sampai dia mengancamku. "Lepaskan, atau kau mau aku berteriak dan membuat mereka sadar akan keberadaan kita?"
"Tidak masalah, lagipula, aku memang berniat ingin melabrak mereka saat ini," balasku tidak kalah kesal. Membuat Lala juga merasa terancam akan tindakanku saat ini. Pasalnya, jika aku sampai melabrak mereka sekarang, Lala akan kehilangan kesempatannya untuk membuat balas dendam terbaik. Dia tidak mau itu terjadi.
"Sialan, beraninya kau mengancamku," gertak Lala sampai-sampai lehernya berurat karena kesal. Aku menyadari ucapanku yang membuat Lala menjadi kesal sampai seperti itu. Aku kemudian berkata, "Aku tidak menganggap kalau kau sedang bermain-main. Maaf karena aku mengatakan itu."
"Hah? Seharusnya kau lebih merendahkan dirimu saat ingin meminta maaf padaku," tukas Lala tidak terima karena aku meminta maaf sambil menahan pundaknya. Aku melepas genggamanku. Aku kemudian berlutut dan meminta maaf sesuai permintaannya. Sialan, untung saja sekolah sudah sepi. Ini sangat memalukan jika orang lain sampai melihatnya.
"Permintaan maaf diterima, sekarang silakan pulang," perintah Lala saat aku masih dalam posisi berlutut di hadapannya. Aku yang bingung kemudian bertanya, "Ke-kenapa?"
"Sudah kusampaikan sebelumnya, aku sudah tiga kali melihat kejadian ini. Karena itu, aku sudah memasang ponselku di dalam gudang dan memberinya peran sebagai perekam. Tenang saja, ponselku mahal, penyimpanannya besar, aku juga sudah meletakkannya di sudut pandang terbaik dan sulit untuk disadari. Karena itu, lebih baik kalau kita pulang sekarang dan datang ke sini besok pagi. Aku akan menunjukkan rekamannya padamu," jelas Lala cukup panjang.
Tidak terduga, Lala sudah menyusun rencana yang selangkah lebih maju dariku. Dia sudah peka lebih dulu terhadap keadaan Tiara dah ingin membantunya sampai seperti ini. Melihat anggota klub ingin membantu anggota yang lain, aku sebagai ketua merasa senang. Akan aku bantu mereka dengan sekuat tenaga!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro