Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8: Brownies

"Iya! Bawel."

Kalimat itu terngiang dalam kepala Rindu, terus berputar hingga membuatnya sulit berkonsentrasi hari ini. Merutuki diri sendiri sejak pagi tadi sudah seperti doa yang wajib dilakukan setiap melakukan sesuatu. Bisa-bisanya dengan angkuh mengiyakan ucapan Lanang. Rasanya ingin buru-buru pulang untuk memastikan kembali keberadaan jaket milik pria itu karena betulan tidak ketemu di indekos. Lantas bingung, kenapa jadi berkepanjangan begini sih?

"Halooo Rindu Sediakala." Rita—rekan kerja Rindu—menggerakkan tangan tepat di depan wajah kawannya hingga membuat Rindu mengerjap kaget dan tersadar dari lamunan. "Ini nama penjualnya kenapa jadi Lanang Ngeselin? Untung aku cek lagi sebelum diserahin ke Pak Raga. Kalau nggak, kamu bisa dicekek beliau, Rin."

Rindu melotot setelah menerima akta yang baru saja dicetak. Betul, itu hasil karyanya. "Ya Allah maaf Mbak Rita, sebentar, aku print lagi ya."

Rita hanya bisa geleng-geleng kepala.

Kantor Notaris tempat Rindu bekerja berisi tujuh pegawai dan isinya perempuan semua. Masing-masing sudah memiliki tugasnya seperti mengetik, menjahit akta, membayar pajak dan menerima tamu. Rindu bagian menjahit akta dan kadang bantu mengetik jika transaksi sedang banyak. Pak Raga selaku Notarisnya akan ada di kantor hanya bila diperlukan karena klien yang datang sudah dipegang oleh Rita dan dua pegawai lain.

"Perkara hoodie udah bikin kamu nggak konsen seharian lho Rin. Tadi pagi, pakai baju bisa kebalik, terus ikan Pak Raga kamu kasih makan beras, astaga ... memangnya kamu takut banget ya kalau Danu sampai marah besar?"

Lebih parah dari itu Mbak Rita! Aku bakal tidur sama singa!

Rindu belum bercerita soal Danu ke Rita dan semua rekan kerjanya. Kenyataan jika gagal menikah, diperparah calon suaminya itu tukang tipu dan bermuka dua. Menebalkan wajah adalah usaha yang sedang gadis itu lakukan sebelum menjelaskan semuanya.

Dengan terpaksa Rindu mengangguk ragu. Tidak berani lempar pandang ke Rita, ia fokus pada layar komputer untuk merevisi kesalahan ketik.

"Coba inget-inget lagi deh di mana terakhir kamu bawa. Kalau ngga ada di kos, mungkin kereta? atau Panti? Kamu ke mana lagi selain tempat-tempat itu?"

Pikirannya seketika tercerahkan kala mendengar kata Panti. Rindu menoleh dengan raut wajah berseri. "Aku belum ke Panti, semoga ada di sana deh. Makasih Mbak Rita!"

"Rindu, boleh ke sini sebentar?" Raga menyembul dari balik pintu yang menghubungan kantor dengan rumahnya, setelah itu berlalu begitu saja.

"Baik Pak." Rindu menoleh ke Rita sekilas. "Udah aku klik print. Tinggal tunggu aja ya Mbak." Setelah itu ia langsung mengikuti bosnya ke arah pantry yang sepi dari kegiatan bekerja.

Sosok tinggi dengan kacamata dan pakaian formal itu menyodorkan pembukuan keuangan kepada Rindu. Wajahnya tampak serius. "Kenapa kamu ngga jujur? Pendapatan kemarin masih kurang tiga ratus ribu. Di buku kamu tulis lima juta empat ratus, fisiknya cuma ada lima juta seratus."

Merasa dituduh, Rindu memperhatikan buku itu diikuti gelengen heran. "Tapi saya kemarin cek sudah cocok antara di buku ini sama jumlah fisiknya, Pak. Nggak mungkin saya—"

"Terus siapa lagi? Yang tanggung jawab kemarin itu kamu." Raga menyilangkan kedua lengan. "Rindu, Saya nggak mempermasalahkan jumlah uangnya, tapi kejujuranmu. Tolong fokus dan profesional saat sedang bekerja. Kamu butuh uang atau bagaimana?"

"Ma-maaf Pak. Saya memang lagi ada masalah pribadi. Tapi saya nggak ngambil uang itu dan nggak kepikiran sama sekali buat mencuri." Dan ya, tiga ratus ribu adalah nominal yang besar bagi Rindu.

"Cukup ya Rin. Tolong bilangin ke yang lain nanti jangan pada pulang dulu, ada yang mau saya bicarakan."

***

Langkah gontai Rindu membawanya ke pekarangan Panti setelah turun dari ojek daring. Tenaganya hampir habis karena menerima wejangan dari Raga seusai jam kantor tadi. Rasanya jadi tidak enak dengan rekan-rekan di kantor yang harus pulang lebih lama. Seketika ia berhenti berjalan saat gawainya bergetar.

Om jelek:
sent a photo.

"Ini orang kenapa deh." Rindu memperhatikan foto kue brownies yang dikirimkan Lanang. Tunggu, kenapa dapurnya kelihatan familiar ya? Seingatnya keramik apartemen pria itu tidak berwarna biru.

"Kak Rindu!"

"Mbak Rindu!"

Dua anak kecil berumur 9 tahun berhambur pada pelukan Rindu, hingga hampir saja ia terhuyung ke belakang. Satu berambut cokelat diikat dua bernama Cici, satunya rambut panjang hitam sebawah bahu bernama Mina. Tubuh mungil keduanya lantas membuat Rindu sedikit menunduk sambil mengulum senyum lebar untuk membalas ekspresi cerah mereka. Melihat anak-anak di Panti membuat hatinya ringan, menjadi lupa permasalahan yang sedang dialami.

"Aduh cantik-cantiknya aku. Lho, bajunya kenapa kok cokelat-cokelat gitu?"

"Kami baru selesai bikin brownies Kak!" seru Cici sambil menarik lengan kanan Rindu untuk masuk ke dalam.

Begitupula Mina, ia ikut menarik lengan Rindu. "Iya! Ayo Mbak Rindu, ikut cicip dulu."

Rindu terlihat penasaran diikuti kekehan pelan, ia pasrah saja dibawa keduanya sampai ke dapur Panti. Lantas ia terperangah, lengkungan pada bibirnya mengendur kala melihat sosok Lanang dengan sweater abu dan celana kain hitam sedang duduk bersila di lantai sambil berinteraksi dengan Biansalah satu anak Panti berkebutuhan khusus. Mereka berkomunikasi melalui bahasa isyarat.

Lanang menggerakkan tangannya dengan ulas senyum ramah. 'Makanannya enak?'

Bian mengangguk dengan antusias seraya mengunyah brownies.

Cici menarik Rindu hingga duduk di hadapan Lanang. "Om Lanang, Kak Rindu mau satu," tuturnya sambil mengambil kue itu lalu diberikan kepada Rindu.

Lanang menoleh, senyumnya sedikit berubah. "Ambil saja yang banyak."

"Mina mau lagi ya Om!" seru Mina, lalu dibalas Lanang dengan anggukan beserta senyuman yang kembali ditarik tinggi.

Aroma wangi yang sedari tadi menguar jujur saja membuat perut Rindu meronta ingin mencicipi. Ia menggigit brownies itu dengan cukup antusias. Kedua matanya seketika terbelalak sambil mengangguk-angguk pelan. "Enak, ini siapa yang buat? Bu Erna?"

"Om Lanang dong, Mbak. Kami juga bantu, tapi bantu ngabisin," jelas Mina sambil terkikik lucu.

Pandangan Rindu terlempar pada Lanang dengan tidak percaya. Foto tadi. Bersamaan dengan itu, Erna datang sembari berseru, "Ayo anak-anak, mandi dulu keburu kesorean! Habis itu kita makan ayam goreng, pesanannya Om Lanang sudah datang."

"Ih, kita makan ayam! Baik Bu." Cici berdiri sembari menarik pelan tangan Bian dan berjalan keluar mengikuti Erna, begitu pula Mina yang mengekor dibelakangnya.

"Kamu baru pulang kerja?" suara bariton Lanang memecahkan keheningan seraya beranjak berdiri untuk mencuci sisa bekas wadah adonan.

"Kamu ngapain di sini?" Ekspresi Rindu sedikit menyelidik. Tadi perasaan tidak melihat ada mobil yang terparkir di halaman.

"Memangnya tidak boleh?" tanya Lanang sembari menarik lengan sweater-nya sampai ke siku dan memperlihatkan otot-otot indahnya.

Brownies sudah Rindu makan hingga habis, ia pun berdiri dan mendekat tepat di sebelah Lanang. "Aku nggak lagi bercanda."

Lanang tetap fokus dengan cuciannya dan berujar tanpa menoleh. "Bicaramu jadi lebih sopan ya?"

Rindu mencebik, ia memang harus menjaga omongan dan sikap kalau sedang berada di Panti.

"Hoodie saya jadinya gimana?" celetuk Lanang sembari menaruh wadah yang basah ke rak.

Baru ingin menjawab, suara Erna menginterupsi. Wanita itu datang dengan sebuah hoodie di tangan. "Rin, ini jaketmu bukan?"

Anggukan kuat dilaku oleh Rindu dengan wajah gembira. Ia sempat menjulurkan lidah ke Lanang, bermaksud meledek. Namun saat menerima hoodie bolong di bagian bahu, senyum cerahnya seketika meredup. Seperti mati lampu mendadak.

"Aduh maaf ya Rin, dibuat mainan sama Shinta dan Gio, nggak tahu mereka dapat gunting dari mana. Jaketmu jadi begitu ...." Dua anak itu memang terkenal nakal. Biang onar.

"Em, nggakpapa kok Bu. Lagian bisa beli lagi," Rindu meyakinkan Erna dengan senyum terpaksa.

"Mereka sudah ibu tegur, sekali lagi maaf ya Rindu." Erna mengangguk tidak enak. "Ya sudah, ibu mau ngurus anak-anak dulu," timpalnya seraya berlalu.

Kerah Rindu ditarik dari belakang, hingga punggung gadis itu membentur dada bidang Lanang.

"Maaf, jaketnya bolong. Be-berapa harganya? Aku ganti." Rindu mendongak sembari memeluk erat hoodie.

"RINDUUU!" Kehadiran sosok perempuan setinggi 165 sentimeter, berambut pirang pendek sebahu yang masuk ke dalam dapur lantas mengalihkan atensi keduanya. "Cie, udah akrab ya kalian."

Sontak Rindu menjauhkan tubuhnya ke depan ketika tarikan pada kerah terlepas. Kedua alisnya mengernyit memperhatikan wajah perempuan bermata besar di hadapan, selang beberapa detik terbelalak sambil menutup mulutnya. "Mbak Frisanti?" pekik Rindu dengan senyum mengembang tak tertahankan.

Frisanti mengangguk antusias, senyum ramahnya bagaikan mentari pagi, sangat menghangatkan hati. Ia tidak berubah ternyata, masih sama seperti terakhir bertemu tiga tahun yang lalu. Ketika Frisanti hendak memeluk Rindu untuk melepas kangen, tangan besar Lanang menghalangi keduanya.

"Maaf dek, temu kangennya besok-besok saja. Sisanya tolong kamu yang selesaikan ya dengan pihak Panti. Mas ada urusan urgent dengan kawanmu ini." Lanang pun menarik lengan Rindu ke luar dapur.

"Okay no prob, Mas Bro."

"Mbak Frisanti! Tolongin aku!" Ekspresi Rindu dibuat-buat dramatis. Ia berusaha memberatkan tubuh meski Lanang masih dengan mudah menyeretnya menuju mobil.

Frisanti dari jauh menggeleng pelan dengan kedua tangan mengatup tidak dapat membantu. Lalu berganti lambaian tangan mengudara diikuti senyuman lebar. "Have fun kalian! Jangan lupa pakai pengaman!"

***

Pojok Author 🍯:

Halo Honey! Terima kasih sudah mampir membaca hehe. Jangan lupa tekan vote yaaa 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro