Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13: Mimpi

OSO Ristorante. Di sanalah Lanang sekarang, memesan sebuah ruangan private pada restoran itu. Ia berdiri tepat dekat jendela dalam diam memperhatikan langit dan gedung-gedung yang terhampar luas di daerah Thamrin. Bundaran HI yang tampak sibuk di bawah sana pun menjadi sorotan langsung. Suasana ibu kota di malam hari memang yang terbaik. Meski sudah gelap, cahaya dari lampu-lampu yang menyala seakan siap sedia selama 24 jam, menghilangkan kekhawatirannya soal warna hitam di langit. Ia merasa bisa mengistirahatkan matanya setelah seharian berkutat dengan tulisan-tulisan padat pada dokumen.

"Nang," Auriga datang masih mengenakan setelan jas hitam tanpa dasi, "ini CCTV yang lo minta dua hari lalu."

Lanang yang mengenakan setelan jas abu sedikit membalikkan badan seraya menerima tab milik Auriga. "Thanks." Jemarinya menekan tombol mulai, bersamaan dengan itu ada sebuah panggilan masuk pada gawainya. Manik legam itu terlihat menajam ketika melihat nama yang terpampang di sana.

"Ada apa?"

[Aku baru balik loh dari London, dan belum dapat sambutan 'baik' dari kamu.]

Lanang fokus memperhatikan situasi yang terekam pada potongan CCTV di tab. Alisnya perlahan menukik kala salah satu wanita di video itu menampar seseorang.

"Let's meet for dinner or wherever you would like to go."

Rekaman itu terus berlanjut hingga memperlihatkan lemparan gawai ke wajah seorang gadis berperawakan mungil.

[Are you serious? OMG. Oke, aku shareloc.]

"Suamimu?" Lanang memberikan tab ke Auriga. Akhirnya sekarang jelas kenapa Rindu mendiamkannya selama dua hari dan mungkin akan terus berlanjut. Ia kira tidak akan sefatal itu, nyatanya mendapat kekerasan yang membuat hatinya ikut mencelos.

[I've told you, jangan bahas dia pas kita lagi ngobrol berdua. Udah aku kirim lokasinya ya, see you sayang.]

Suara pintu terbuka dari belakang menjadi atensi Lanang usai panggilan telepon dengan wanita diseberang. Auriga pun dengan sigap menyambut kedatangan tamu istimewa yang telah mereka tunggu sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Auriga, kamu makin bugar saja sih. Kapan ajak orang tuamu ke rumah? Tante sudah nggak sabar loh jadi besan," canda wanita paruh baya itu sembari dapat kecupan sopan di pipinya dari Auriga.

Ira Triani Lakeswara. Ibu Lanang yang memiliki kendali kedua cukup berpengaruh di dalam keluarga besar terutama pada perusahaan. Presensinya sebagai istri dari direktur utama serta menjadi salah satu pemegang saham Lakeswara Grup membuatnya sangat disegani banyak orang. Sifatnya yang ramah juga supel tapi tetap bijak dan tegas dalam mengambil keputusan menjadi daya tarik tersendiri.

"Welcome home, Ma." Gantian Lanang yang menyambut wanita berumur 65 tahun itu dengan pelukan erat, tidak lupa senyum mengembang pada rupa.

"Terima kasih. Aduh pelan-pelan peluknya nak, gelungan rambut Mama nanti rusak nih," keluh Ira sembari menyudahi pelukan. Tarikan tinggi pada masing-masing ujung bibirnya diagihkan dengan senang hati lalu detik setelahnya memudar tergantikan tatapan kesal. "Anak durhaka kamu! Masa baru sempat ketemu mama hari ini? Sibuk banget Nang?"

"Yasa sering limpahin kerjaannya ke Lanang, ini aja dia masih betah di luar negeri dan ngga ketemu mama dulu. Coba, lebih durhaka Yasa atau Lanang?" tutur Lanang dengan tenang sembari menuntun Ira untuk duduk di kursi.

"Ah, benar-benar deh anak itu! Lihat saja nanti pas pulang kalau nggak bawa mantu, bakal Mama kawinin sama Surti," ujar Ira menggebu-gebu sembari membenarkan letak selendang motif batik kawung yang dikenakan.

Lanang terkekeh mendengar nama ART yang disebut sembari duduk di hadapan Ira. Ia pun mempersilakan Auriga agar ikut bergabung.

"AURIGA SAYANG!" Suara Frisanti melengking memenuhi ruangan di sana, kedatangannya menambah ramai suasana private room yang sebelumnya tenang.

"Mampus," gumam Auriga yang hendak kembali berdiri tetapi pundaknya terlebih dahulu ditahan oleh Lanang. Sontak ia melotot, ingin layangkan protes tapi diurungkan kala Frisanti memeluknya dari belakang. Setelahnya, hanya bisa pasrah.

"Ya ampun Frisanti, kamu bisa bikin orang budeg tau nggak. Ayo sini duduk yang manis atau minta pangku Auriga juga boleh biar kamu anteng." Ira tertawa kecil seraya mengerling.

Frisanti membalas kerlingan Ira lalu duduk disebelah Auriga dengan senyum mengembang. "Maaf telat, aku tadi ngecek kain dulu di studio. Jadi sampai mana nih, aku ketinggalan apa? Mas Lanang belum pesan makanan?"

"Sudah, tinggal dihidangkan saja biar masih hangat." Lanang pun meminta pelayan untuk memanggilkan chef yang mengurus hidangan di sana. Fokusnya pun beralih mengecek jam tangan. "Ma, Frisanti. Maaf ya Lanang harus pergi sekarang, ada janji dinner yang ngga bisa di cancel."

"Loh? Dinner sama siapa? Masa Mama sama Frisanti ditinggal?" Ira mengerjap cepat, memperhatikan Lanang yang beranjak mengecup pipinya lalu beralih menatap Auriga meminta penjelasan.

Auriga menyunggingkan senyum canggung sembari melepas kacamatnya. Di dalam hati ia bersumpah akan meminta kenaikan gaji pada Lanang.

Lanang hanya mengagihkan senyum simpul sembari berkata, "Janji, besok Lanang akan mampir ke rumah bawa calon istri. Omong-omong Auriga mau bicara soal tanggal pernikahan." Ia melirik Auriga sekilas, kalimat terakhirnya terdengar penuh kebohongan. Sengaja mengoper masalah agar dapat segera berpamitan dengan mudah.

"Calon istri? Kamu serius? Auriga juga serius nih?" Ira tampak gembira hingga tidak dapat menyembunyikan deretan giginya. "Senang banget deh Mama kembali ke Indonesia lalu dapat dua kabar bahagia sekaligus!"

"Nggak perlu cari tanggal, kelamaan. Mending langsung aja nggak sih, besok kita nikah?" celetuk Frisanti seraya bertopang dagu menatap Auriga.

Selepas kepergian Lanang, pria yang kini terus dicecar adalah Auriga. Bukan hanya naik dua kali lipat, ia harus mengajukan kenaikan gaji sepuluh kali lipat sebab pengorbanannya hari ini sangatlah besar.

***

Remang cahaya menghiasi suatu ruangan tidur. Pada atas ranjang, dua manusia berbeda jenis kelamin sedang memadu kasih tanpa sehelai kain yang menempel. Kulit polos keduanya saling bergesekan penuh nafsu diikuti napas memburu. Butiran samar keringat yang menyebar pada tubuh langsing Rindu menambah gairah Lanang untuk terus menghujam liang lembab nan sempit milik gadis itu.

Sesuatu yang nikmat perlahan bisa memenjarakanmu.

Lanang menegapkan tubuhnya bertumpu pada lutut. Kedua paha Rindu terangkat kemudian dibuka lebih lebar, memberikan akses miliknya untuk masuk lebih dalam. Ia menggeram seraya mencengkeram pinggul Rindu kuat-kuat. Akibat gerakan pinggul yang semakin cepat, membuat Rindu tak mampu menahan desahan yang lolos begitu saja. Bagian bawah tubuhnya terasa penuh. Kedutan yang semakin terasa membawanya pada pelepasan pertama hingga membuat Rindu menggelinjang penuh kenikmatan.

"Ngh ... u-udah ...." Rindu masih belum terbiasa dengan ukuran 'adik' Lanang, jadi masih terasa perih meski seperti dimanjakan juga. Entahlah, akal sehat Rindu sedang tertidur sekarang. Tubuhnya terasa lemas dan hanya berfokus menenangkan jantung yang berdegup sangat kencang.

Lanang tidak mengira Rindu akan datang lebih cepat. Sungguh sayang, ia belum mendapatkan yang seharusnya, tapi mungkin sebentar lagi.

"Rindu ...."

"AAA!" Teriakan Rindu barusan membuatnya kembali ke dunia nyata. Bukan lagi di sebuah ruangan atau atas ranjang, melainkan teras kantor berlatarkan suasana sore hari. Ia duduk manis pada kursi besi sembari membungkuk frustasi, meremas helaian rambut bagian samping dengan kedua tangan seakan meluapkan kekesalan yang sudah ditahan seharian.

Rita yang baru saja mengunci pintu kantor terlonjak kaget seraya mengelus dadanya. "Ya Tuhan, kamu kenapa lagi Rin?"

"Abaikan aja. Mbak Rita bisa pulang duluan, aku nggak apa-apa kok," tanggap Rindu tanpa mengubah posisi. Ia masih meratapi nasib, meski sudah terasa sedikit lega setelah berteriak. Bisa-bisanya tadi malam bermimpi erotis dengan Lanang. Bersyukur seharian masih bisa berkonsentrasi dan sialnya kini teringat lagi.

"Tapi kamu kelihatan jauh dari kata nggak apa-apa." Rita pun mendekat dengan khawatir. Takut-takut otak rekan kerjanya itu bermasalah. Mengingat lebam pada wajah Rindu masih terlihat jelas. "Mas Danu marah? Kamu sekarang ngilangin apa lagi?"

Rindu menggeleng pelan seraya mengatur napas. "Otakku kotor banget, Mbak."

"Hah? Apanya yang kotor Rin?"

Sontak Rindu menegapkan tubuhnya lalu berdiri menatap Rita dengan sorot mata yakin. "Mbak, ada yang mau aku omongin soal Mas Danu. Eh nggak, soal si bajingan itu."

"O-oke ...." Rita mengerjap bingung, apa lagi menangkap kata ganti nama Danu yang terdengar kasar. Ia menyimpulkan hubungan keduanya memang sedang tidak baik-baik saja. "Tarik napas dulu ya Rin, pelan-pelan aja."

"Aku sama Mas Danu"

Deru mesin mobil yang memasuki pekarangan kantor mengalihkan fokus Rindu dan Rita. Keduanya refleks menoleh disertai rasa penasaran sebab bukan mobil bosnya yang datang. Pupil Rindu membesar diikuti mulut yang perlahan menganga. Hatinya belum siap untuk bertemu si pemilik mobil, sungguh. Juga, tiga hari masih kurang untuk meredakan murka perihal Dira.

Dengan terkesima Rita tidak dapat melepas pandang dari sosok jangkung yang keluar dari mobil hitam. Tanpa menoleh ia berujar, "Rin ... jangan bilang Mas Danu berubah glowing, tajir dan kamu shock kayak barusan? Kok bisa dia jadi seganteng itu?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro