Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11: Kopi

"Saya juga nggapapa mas, permisi." Hendak buru-buru beranjak, tetapi tangan pria itu menahan lengan Rindu hingga ia terpaksa urungkan niat.

"Kamu ngga ingat, Rin? Aku yang waktu itu kamu tolong di Grand Indonesia. Moonbucks, ingat?"

Perlahan ingatan dua tahun lalu terlintas pada benaknya. Kopi beracun. Rindu pernah bekerja menjadi pegawai di salah satu kedai kopi di sana lalu tanpa sengaja dan niatan tertentu malah menolong pria itu.

Ekspresi Rindu berubah sedikit cerah. "Oh! Iya, lo yang waktu itu. Untungnya nggak viral, jadi tempat kerja gue aman."

"Kamu lebih takut tempat kerjamu tutup karena di investigasi polisi ketimbang nyawaku kenapa-napa?" Arya terkekeh seraya mengulurkan tangan. "Waktu itu kita belum kenalan in proper way. Aku Arsa. Arsa Lakeswara. Suaramu bagus, minusnya kurang lama nyayinya."

Arsa Lakeswara?

Mengindahkan rasa cemas yang muncul dengan kekehan, Rindu membalas uluran tangan Arsa diikuti senyum simpul. "Salam kenal, Arsa. Makasih loh."

"Sekarang kamu kerja jadi penyanyi kafe?" tanya Arsa, melepaskan tautan tangannya.

"Iya, tapi tadi gue cuma jadi pengganti aja, ngulur waktu," tanggap Rindu terlihat canggung.

"I see. Aku ke sini bareng teman," Arsa menunjuk seorang wanita yang duduk di sudut ruangan membelakangi mereka. "Mau join sama kami ngga? Tadi dia juga muji suaramu."

Rindu menarik senyumnya lebih tinggi lagi. "Duh jadi malu. Titip makasih ya ke temen lo dan maaf gue udah janjian sama saudara," Rindu menunjuk Frisanti yang sedang sibuk mengaduk minuman dan berfokus pada gawai, "mungkin lain kali. Nggakpapa kan?"

Arsa memperhatikan Frisanti cukup lama lalu mengangguk pelan dengan senyum menawan. "Oke, lain kali mungkin kita berdua aja? Aku duluan ya, Rin."

Sedikit bingung pasca kepergian pria itu, Rindu langsung menghampiri Frisanti lalu duduk di hadapannya. "Maaf ya Mbak nunggu lama, tadi gue ngobrol dulu sama temen."

"Nggakpapa santai aja. Suara lo ya ampun bagus banget sih! Gue sebagai cewek aja bergetar nih hati mungilku," tutur Frisanti dengan penuh semangat.

"Jangan lebay deh." Rindu tertawa geli. "Thank you Mbak. Um, soal panti gue terima kasih banget udah mau jadi donatur lagi."

"Selama gue masih hidup, Panti Asuhan Amanah bakal terus dapat sokongan dari keluarga Lakeswara. Kemarin ada kesalahpahaman sama kepala panti, tapi sekarang udah beres kok! Jadi lo nggak usah khawatir, oke?" Frisanti menaik turunkan alis. "Dan harusnya terima kasih ke mas Lanang, berkat dia ayah nggak ikut campur lagi soal panti."

Hati Rindu terasa lebih ringan sekarang. "Mas Lanang?"

Frisanti mengangguk antusias. "Detailnya lo tanyain sendiri ke dia. Oh ya, yang itu tadi siapa Rin? Lo masih single kan?"

Baru juga Rindu duduk manis, Frisanti langsung mencecarnya dengan dua pertanyaan sakral. "Nggak bisa dibilang temen juga sih karena nggak terlalu deket. Mbak Frisanti harusnya kenal kan sama Arsa?"

"Kalau yang lo maksud itu Arsa Lakeswara sepupu gue, pastinya dong kenal, tapi nggak akrab banget." Frisanti menatap Rindu curiga dengan menyipitkan mata. "Kenapa? Lo tau dari mana soal mas Arsa?"

"Itu tadi mas Arsa sepupu lo, Mbak. Dia ke sini sama temennya, itu duduk di ...." Hendak menunjuk yang Rindu yakini tempat duduk Arsa, tetapi keberadaannya sudah tidak ada di sana. Kursi di sudut ruangan telah kosong. Ia jadi celingkuan sendiri mencari presensi pria itu.

Frisanti mengikuti arah pandang Rindu dan ikut dibuat bingung. "Yang mana Rin? Aduh penglihatan gue jelek nggak pakai softlens."

"Nggak ada. Udah pergi orangnya."

"Kayaknya lo salah orang deh kalau yang dimaksud itu mas Arsa sepupu gue." Frisanti menggeleng tidak percaya. "Karena kelas dia nggak mungkin di—maaf—kafe kayak gini. I think mas Arsa lebih suka ke bar atau restoran bintang lima."

Mulut Rindu membentuk huruf o sambil mengangguk-angguk kecil. Namun, ia yakin sekali kalau tadi Arsa menyebut nama keluarga Lakeswara atau hanya salah dengar?

"Sambil di minum Rin, gue tadi pesenin lo jus stroberi." Frisanti mengulum senyum lebar. "Tapi, misal pun nanti lo ketemu mas Arsa, harus banget jauhin dia kalau mau hubungan lo mulus sama mas Lanang."

Rindu hampir saja tersedak jus stroberi. "Gue penasaran deh, mas Lanang udah bicara apa aja tentang kami? Terus kenapa gue harus banget jauhin mas Arsa?"

"Gini ya Rin. Gue kalau soal mas Lanang itu paling update karena dia yang paling care banget sama gue sebagai adik angkat. Gue sendiri yang cari tahu lewat asistennya mas Lanang," Frisanti tersenyum hingga menunjukkan deretan giginya, "oke kembali ke topik. Ada beberapa hal yang nggak bisa gue jelasin, pokoknya, mas Arsa ini musuh bebuyutan mas Lanang. Bukan kayak anjing sama kucing lagi, tapi sesama kucing jantan yang nggak bakal bisa akur. Poin terpentingnya, mas Arsa udah punya istri. Info tambahan, dia itu muka dua dan gue sangat berharap lo berdua jangan sampai dipertemukan meskipun mustahil kalau udah berhubungan sama mas Lanang. So, jangan terlibat apa pun sama mas Arsa, sekadar tau aja."

Rindu tercenung, lalu menarik samar sebelah sudut bibirnya. "Gue ... memang harus jauhin dia sih Mbak." Bener-bener penjahat kelamin.

"Yup! Terus, kemarin gimana sama mas Lanang?" Kedua mata Frisanti berbinar sambil menyesap jus semangkanya.

"Gimana apanya Mbak?"

"Berapa ronde? Mas Lanang gentle kan sama lo? Kalau nggak nanti bakal gue getok ubun-ubunnya."

Rindu refleks memperhatikan sekitar lalu mengecilkan suaranya. "Mbak, kayaknya lo kelamaan di luar negeri deh. Pergaulan lo terlalu ...."

"No sex before marriage?" Frisanti ikut mengecilkan suaranya seraya memajukan wajah.

"Yah, gue juga ngga polos-polos amat sih. Ya ampun kita ngomongin ginian di kafe banget nih Mbak?"

Frisanti mencebik. "Nanggung tau!"

"Cuma buat suami gue!"

Frisanti memundurkan wajahnya seraya mengacungkan kedua ibu jarinya. "Good job Rin! Sorry gue cuma bercanda dan bermaksud menguji doang kok," ia terkikik geli melihat respon Rindu, "gue benerin ucapan dulu. Kalau mas Lanang maksa lo, bilang ke gue, oke? Kayaknya perlu deh gue komporin dia buat segera nikahin lo."

Entah kenapa kepala Rindu sekarang terasa pusing. Frisanti sangat getol sekali menjodohkan mereka. "Terserah Mbak Frisanti aja deh."

"Bener loh ya? Gue semangat banget nih. Awalnya lo mau gue jodohin sama mas Yasa, tapi ketuaan. Setelah mas Lanang udah bisa move on gini, gue jadi nggak ragu ngejodohin lo sama dia."

"Ampun deh Mbak, main jodohin gitu. Kayak perempuan di dunia tinggal gue aja." Rindu menyesap jusnya kembali.

"Eits, perempuan di luar sana tuh cuma ngincer harta dan nggak tulus. Apa lagi perjodohan demi merger perusahaan atau apalah itu tanpa cinta di dalamnya. Gue nggak mau kakak-kakak gue salah milih pasangan hidup." Frisanti memegang pundak Rindu dengan sorot mata penuh harap. "Mereka udah mikul beban yang besar, terutama mas Lanang. Gue yakin lo nggak bakal punya niatan buruk, Rin. Jadi, gue titipin mas Lanang sama lo."

***

Sesampainya di indekos, Rindu merebahkan tubuhnya di ranjang kesayangan. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang; tidak bisa fokus. Ia merasa ada yang tidak benar, tapi harus melakukan ini semua demi memberi pelajaran yang setimpal.

"Ini baru awal, Rin. Perjalanan lo masih jauh, harus teguh."

Gawainya bergetar. Rindu meraih benda itu dari dalam tas, lalu terpampang di sana nama bintang utama yang menjadi topik pembicaraannya bersama Frisanti saat di kafe. Ibu jari pun lekas menggeser tombol hijau.

[Saya ada di bawah.]

Rindu sontak membelalakkan mata kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. "Serius? Jam segini ngapain ke sini?"

[Mau tidur. Cepat ke bawah, bawa baju ganti.]

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro