Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

WARNING!

[EDISI BELUM REVISI]

Hari ini adalah hari pembagian rapor mini. Kertas ulangan murid-murid sudah selesai diperiksa, begitu juga dengan nilai rapor tengah semester yang sudah selesai diisi. Rachael melihat jam tangan pada pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Ia berjalan keluar dari kantor guru sambil memeluk tiga puluh buku rapor anak didiknya.

Lorong lantai tiga yang biasanya rapi, bersih dan luas sudah penuh dengan murid-murid yang ditemani orangtua masing-masing. Rachael berjalan melewati mereka menuju ruang kelas empat. Dengan ujung heels hitamnya ia membuka pintu, lalu menutupnya kembali. Keadaan ruang kelas berbeda drastis dengan keadaan lorong, sepi. Orangtua dan murid memang tidak diperbolehkan untuk masuk sebelum wali kelas mempersilakan mereka.

Rachael berjalan menuju meja di depan papan tulis, meletakkan rapor-rapor yang dipeluknya tadi ke atas meja. Ia lalu berjalan menuju pintu kelas, mendorong pintu kelas agar terbuka, lalu mempersilakan para orangtua murid untuk masuk.

Rachael berdeham halus, membersihkan tenggorokan sebelum menyapa para orangtua murid.

"Pagi, ibu dan bapak. Saya, Rachael, wali kelas empat A. Silahkan duduk dengan nya—" Ucapan Rachael terhenti saat pintu kelas terbuka dan memperlihatkan pria dengan setelan kantor tengah berjalan memasuki ruang kelas. Pria itu berdeham. Setelah mengambil posisi duduk paling belakang, ia membuka kancing jasnya.

"Pagi, ibu dan bapak. Nama saya Rachael, saya wali kelas empat A. Silahkan duduk dengan nyaman. Saya akan membagikan rapor sesuai dengan urutan abjad nama anak-anak. Namun sebelum mulai membagikan rapor, saya akan mengumumkan tiga ranking teratas."

"Ranking tiga, Anastasia Lauren."

Terdengar suara gaduh di luar kelas, suara anak-anak yang mulai menyoraki dan memberi selamat kepada Anastasia Lauren. Situasi yang sama juga terjadi ketika ranking dua disebutkan. Namun begitu ranking pertama disebutkan, suara gaduh di luar kelas semakin menjadi-jadi.

"Baik, sekarang saya akan mengumumkan ranking pertama. Alexander Tanjaya." Tiba-tiba, orangtua murid yang duduk paling belakang berdiri dan berjalan menghampiri Rachael.

"Boleh saya ambil rapor putra saya?" tanyanya kepada Rachael.

"Maaf, Pak. Anda harus menunggu untuk dipanggil, saat ini saya hanya mengumumkan ranking murid-murid. Silahkan kembali ke tempat duduk Anda," ucap Rachael sambil mengulurkan tangannya, meminta pria itu agar duduk kembali.

Rachael mulai mengumpat di dalam hatinya, mengeluhkan orangtua murid yang datang terlambat, namun ingin cepat keluar. Semua perkataan memang tidak bisa diucapkan seenaknya, ia tetap harus menjaga harga dirinya sebagai seorang guru dan ia juga harus tetap mengikuti peraturan sekolah. Lain kali, ia tidak akan selamat jika kali ini ia meloloskan salah satu orangtua murid untuk mengambil rapor lebih dahulu. Nantinya akan muncul orangtua-orangtua lain, dengan sejuta alasan untuk dapat mengambil rapor anak-anak mereka lebih cepat tanpa mengikuti proses sampai selesai.

"Tapi—"

"Maaf, Pak. Bapak harus mengikuti peraturan," tolak Rachael dengan tegas. Setelah itu ia menghindari tatapan orangtua murid di depannya ini, memberi tanda bahwa ia ingin mengakhiri perbincangan dan keputusannya tidak dapat ditawar lagi.

"Baiklah, sekarang saya akan mulai membagikan rapor dan memberitahu secara garis besar nilai dan perilaku anak kalian di sekolah selama ini. Aaron!"

Rachael menjelaskan dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Ibu Aaron, Ibu Abel dan Ayah Airine dengan baik. Tiga orangtua murid, dan Rachael sudah menghabiskan waktu lima belas menit. Sekarang ia akan memanggil nama murid selanjutnya.

"Alex—" Panggilan Rachael terpotong saat pintu kelasnya tergeser dengan keras sehingga menyebabkan suara benturan. Seorang anak kecil tambun berseragam muncul dari balik pintu dengan wajah yang merah.

"Papa!"

Ia berteriak keras sambil berjalan menghampiri orangtua murid yang lagi-lagi... duduk di bagian paling belakang kelas.

"Sudah waktunya Malpel ambil lapol! Kenapa papa tidak datang-datang ke kelas Malpel? Sekalang tinggal Malpel dan ibu gulu di dalam kelas."

Anak kecil yang memanggil dirinya Malpel itu pun mulai menangis di depan lutut pria yang diyakini Rachael sebagai ayah anak itu.

Saat itu juga, rasa bersalah muncul pada diri Rachael. Ia merasa bahwa semua ini adalah salahnya. Ia membuat Malpel menangis karena menunggu ayahnya yang tidak kunjung datang mengambil rapor. Rachael merasa bodoh karena ia melupakan kemungkinan di mana akan ada banyak murid bersaudara yang bersekolah di sini.

"Rachael!"

Terdengar panggilan dari arah pintu, Rachael segera mengalihkan pandangannya pada pintu kelas. Ia mendapati rekan kerja sekaligus sahabatnya, Celine, sedang melambaikan tangan padanya.

"Ini, rapor Marvel. Tolong sekaligus kasihkan, ya!" ucap Celine ketika Rachael sudah berdiri di depannya.

Rachael membalas ucapan Celine dengan senyuman tipis dan anggukan singkat. Ia berjalan menghampiri ayah dan anak yang sedang berpelukan itu sambil membawa rapor Marvel, bukan Malpel seperti pelafalan anak itu tadi.

"Marvel, ini rapornya. Jangan nangis lagi, ya! Ibu guru jadi sedih...," ucap Rachael sambil berjongkok, menyejajarkan tinggi badannya dengan Marvel lalu mengelus puncak kepala anak itu pelan.

"Terima Kasih. Jadi... apakah sekarang saya bisa mengambil rapor Alex dan Marvel?"

"Ah, ya! Sebentar saya ambilkan."

Rachael berjalan mendekati mejanya. Ia meminta orangtua murid lainnya untuk menunggu sebelum berjalan kembali ke belakang kelas.

"Ini rapor Alexander. Tidak ada masalah pada bagian mata pelajaran, tapi—"

"Maaf, bisakah kita lanjutkan pembicaraan ini lain kali? Sebelum anak sulung saya datang dan menyebabkan keadaan semakin kacau. Saya mohon pengertian Anda, Bu Rachael."

Setelah selesai dengan ucapannya, pria itu berdiri sambil menggendong Marvel dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain meraih rapor Marvel dari tangan Rachael.

***

"Rachael! Sudah mau pulang?" tanya Celine ketika Rachael sedang merapikan beberapa kertas di atas mejanya.

"Iya, ini sudah mau pulang. Sebentar ya, aku beres-beres dulu!"

"Aku numpang kamu, ya!" ucap Celine sambil bersandar di ujung meja kerja Rachael.

"Iya. Kenapa harus pakai bilang segala, rumah kita kan searah. Lagipula kita juga setiap hari pergi dan pulang bersama," balas Rachael. Ia meletakkan kembali bolpoin pada tempat semula serta merapikan kertas-kertas yang berceceran menjadi satu tumpukan, lalu meletakkannya di sudut meja.

Setelah selesai merapikan meja kerjanya, Rachael dan Celine berjalan berdampingan menuju area parkir di depan gedung sekolah mereka. Cuaca sore ini cukup panas, sehingga meskipun mereka hanya berjalan menuju area parkir yang berjarak kurang lebih tiga puluh meter dari gedung utama sekolah, kening mereka sudah mulai mengucurkan keringat.

Mereka mengembuskan napas lega setelah berhasil duduk di dalam mobil, menghidupkan AC dan menyalakan lagu dari flash disk. Rachael mulai menjalankan mobilnya keluar dari kompleks sekolah menuju rumah Celine yang memang searah dengan rumahnya.

Celine memulai perbincangan-perbincangan sederhana dengan menanyakan bagaimana nilai-nilai rapor anak didiknya, siapa yang mendapat peringkat satu, siapa yang mendapat peringkat paling rendah, dan tentunya apa yang terjadi antara dirinya dan papa Marvel.

"Ah, papanya Marvel? Maksud kamu itu papanya Alexander, kan? Gak ada apa-apa tuh. Biasa aja," jawab Rachael sambil mengerem mobilnya tepat di perempatan jalan yang menunjukkan lampu lalu lintas yang berwarna merah.

"Ganteng gak?"

"Nggak, kalaupun ganteng juga udah gak mempan. First impression-nya itu loh... sudah telat, mau minta ambil rapor duluan, judes lagi," jawab Rachael sambil mengganti lagu yang sedang diputar.

"Yah kan gimana gak minta ambil rapor duluan, anaknya aja ada tiga! Kamu lupa sama si Marvel? Dia aja nangis gara-gara kelamaan nungguin papanya!"

Celine menegakkan posisi duduknya, saat merasa bahwa perbincangan mereka akan semakin seru.

"Yeeeee, siapa suruh anaknya tiga. Satu sekolah lagi. Emang istrinya ke mana? Kan bisa bagi-bagi tugas ambil rapor," balas Rachael sambil mulai menginjak gas dengan pelan, ketika ia melihat lampu yang sebelumnya berwarna merah sudah berganti kuning kemudian hijau.

"Udah cerai, kali! Kamu gimana sih? Beneran udah kerja di sekolah selama sepuluh tahun? Kok rasanya jadi mustahil?"

"Yah, aku kan gak kayak kamu yang ikut gosip sana sini!"

"Itu namanya sosialisasi bukan gosip! Asal kamu tahu aja, gosip dan sosialisasi itu beti. Beda tipis!"

"Tapikan gak perlu sampai ngomongin orang lain juga! Sudah tuh, sudah sampai depan rumah kamu. Bye!" usir Rachael secara halus.

"Ngusir nih ceritanya?" tanya Celine sambil menunjukkan ekspresi tidak terimanya, setelah itu ia menyampirkan tas selempang abu-abu miliknya pada bahu kiri serta meraih tas bekalnya sebelum membuka pintu mobil Rachael. "Bye, uber!"

Keesokan paginya, Rachael kembali mengajar seperti biasa, melanjutkan materi setelah ulangan tengah semester. Keadaan kelasnya juga seperti biasa, gaduh! Muridmuridnya memang pintar, namun mereka juga nakal. Seperti saat ini, Rachael sedang memanggil biang kerok dari semua kegaduhan ini, Alexander Tanjaya.

"Alex! Jawab soal saya di depan, kalau kamu bisa, saya akan ringankan hukuman kamu!"

"Ini mah gampang, Bu!" ucap Alexander sambil menjentikkan jarinya.

Kurang dari tiga menit, Alexander mampu menyelesaikan tiga soal FPB dan KPK yang diberikannya, padahal Rachael baru saja menjelaskan bahan baru ini.

Yah, mau bagaimana lagi? Alexander memang pintar, namun ia juga nakal! Inilah alasan mengapa Rachael tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menghukumnya dengan benar. Karena meskipun Alexander menciptakan kegaduhan, ia tetap bisa mengerjakan semua soal-soal yang diajarkan Rachael dengan cepat dan benar.

Selama sepuluh tahun Rachael mengajar, ia sudah menemukan banyak murid dengan nama-nama yang unik, manis dan jarang ditemui. Namun ia juga menyadari lima nama yang harus dihindarinya... Vincent, Kevin, Jonathan, Marvel dan Alexander. Lima nama yang banyak dimiliki oleh anak-anak yang kaya, pintar, tampan dan nakal. Sekali lagi, Rachael tegaskan, NAKAL!

Ia sudah mencatat kelima nama itu, nama yang harus dihindari saat memilih nama anak-anaknya kelak.

Saat itu juga, ponselnya yang berada di atas meja bergetar. 1 pesan diterima.

Siang, Ibu Rachael.

Saya papa Alexander, Jonathan Tanjaya.

Hari ini saya akan pergi menemui ibu di sekolah untuk mendengarkan penjelasan tentang rapor Alexander.

Seketika, mata Rachael melebar. Ia tidak menyadari bahwa karmanya dimulai sejak ia membaca kata pertama dari pesan singkat Jonathan Tanjaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro