Chapter 9
"Aera, dengarkan aku." Gadis yang berdiri di depannya bergumam pelan, suara yang keluar terdengar sedikit bergetar didominasi rasa menyesal, juga tatapan penuh dengan rasa bersalah terpancar dari netranya.
Jeno menatap lekat ke arah gadis itu berada, mendung yang menggantung di kedua mata jernihnya mulai mengalir melewati pipi gembil si gadis. Untuk beberapa saat, Jeno sedikit meringis dengan pemandangan itu.
"Tidak! jangan mendekat, jangan katakan apapun!" Aera memundurkan langkah, kakinya sedikit sulit untuk diajak bekerja sama ketika ingatan mulai memutar kembali semua hal buruk yang pernah terjadi.
Sial, Aera tidak pernah lagi mau terlihat lemah di depan orang lain!
"Aera."
"Kubilang jangan!" teriak Aera dengan nada terlampau tinggi hingga membuat mereka terperanjat, kemudian membawa tubuhnya untuk berlari sejauh mungkin.
Berlari dari tempat yang terasa seperti ruang hampa udara, menyesakkan!
Jeno mengerutkan kening, keadaan berubah menjadi sangat membingungkan, setidaknya untuk dia yang tidak tahu apa-apa. "Aera!" teriaknya, kaki kokoh itu akan melangkah dari sana jika saja sepasang tangan tidak melingkar di lengannya.
"Tolong, pertemukan aku dengannya, lagi."
Ia menghela napas dan terpejam, secara perlahan menarik kembali tangannya dari jangkauan si gadis. "Jelaskan! Apa yang terjadi?"
"Aku menyesal," cicitnya dengan kedua tangan saling meremat, seolah meredam getaran yang terjadi.
"Mari membuatnya mudah, kau terlihat seperti kenangan buruk!"
Gadis itu membulatkan mata, cairan hangat kembali meluncur di pipi berisi miliknya. "K-kami sekelas, ketika masih di bangku junior high school."
Jeno bersidekap, matanya kembali tertuju pada wajah gadis itu dengan pandangan sedikit tajam, seperti elang yang memantau mangsa di bawahnya. "Jelaskan!"
"Aku hampir membuatnya terbunuh."
"Apa kau gila?" bisik Jeno, dengan tangga nada yang jatuh ke lautan terdalam, berat dan sedikit membuat rasa dingin menjalar di tulang punggung.
Gadis itu menelan ludah, memundurkan langkah untuk mengambil jarak. "Aku menyesal, sungguh! Itu sebabnya aku berada di sini." Isakan terdengar semakin keras, dengan suara yang menjadi sedikit tersendat.
Semua orang menaruh atensi pada keduanya, terlihat seperti Jeno baru saja menyuruh gadis itu untuk menggugurkan kandungan! Sial.
"Kau pantas hidup dengan bayangan itu," komentar Jeno pada akhirnya, dengan senyum sedikit tidak seimbang juga tatapan remeh yang dilayangkan pada gadis di depan sana.
Kaki kokoh miliknya kembali melangkah, meninggalkan gadis yang melirihkan sesuatu, terdengar seperti meminta tolong dengan nada putus asa.
Persetan! Jeno tidak akan pernah memaklumi perbuatan atau omong kosong seperti yang gadis itu lakukan, jika korban hidup dengan bayang-bayang menyakitkan, maka pelaku pantas menerima lebih dari itu.
Demi Tuhan, jika saja yang di hadapannya tadi adalah seorang lelaki, maka Jeno pastikan akan menghajarnya hingga babak belur, beberapa tulang rusuk yang patah terdengar menyenangkan, tetapi dia masih cukup waras untuk memukul seorang wanita.
Itu terdengar seperti kabar buruk!
🦋
Jeno kehilangan gadisnya, mungkin kita bisa menyebutkan nama Aera, bukan dengan 'gadisnya'.
Ini kali ketiga lelaki itu mengitari taman, di seluruh sudut yang ada, tetapi tidak terlihat juga sosok gadis dengan wajah tembok dan mahkota senada karamel.
"Angkat telponnya, Aera!" desah Jeno frustasi, dan ini kali ke-15 ia menelpon gadis itu, hanya jawaban dari kakak operator yang terdengar di telinganya.
Ia memasukkan ponsel ke dalam saku, merasa jika itu bukan sesuatu yang akan berhasil untuk dilakukan, netranya melirik jam yang melingkar di pergelangan. "Akan terdengar bagus jika kau di halte, Kim."
Diiringi helaan napas berat, Jeno mulai menginjak pedal gas untuk berlalu dari sana, terdengar masuk akal jika dia mencari gadis itu di tempat yang menjadi favoritnya ketika sedang merasa kacau, tetapi dia bahkan tidak tahu di mana tempat itu.
Gila! Aera bukan seseorang yang akan mengatakan hal seperti yang Jeno pikirkan, ia bahkan baru menikmati udara bebas lagi setelah sekian lama.
Tentu saja! Jeno membuatnya lepas dari pengawasan, kemudian menghilang, kenapa terdengar seperti Jeno baru saja mengasuh seorang balita?
"Aku akan membuat perhitungan jika ternyata kau sudah di rumah," gumamnya dengan pandangan menyapu sekitar, jaga-jaga jika ternyata Aera masih berjalan kaki di sana. "Dan aku berada di sini untuk mencarimu, terdengar sedikit tidak adil."
Ia akan mampir ke rumah gadis itu jika saja tidak ingat bahwa Aera melarang keras untuk berkunjung, seperti siang tadi, dan Jeno tentu saja tidak akan membuat gadis itu memutilasinya.
Dia memilih pulang ke rumah. Di umur yang tidak bayi lagi, Aera tentu tahu jalan pulang.
Jeno dan pemikirannya yang sangat beraura positif.
🦋
"Aera belum juga pulang?" tanya Nyonya Kim dengan nada terlampau khawatir pada asisten di rumahnya.
"Belum, Nyonya."
Baiklah, sebaiknya Jeno tidak membawa Aera ke tempat gelap, hingga tidak tahu jalan untuk pulang ke rumah, dan jika itu benar maka sebaiknya lelaki bungsu dengan marga Jung menyiapkan tempat untuk kuburannya.
"Aku akan ke rumah Jeno, siang tadi Aera pergi dengannya," ucap wanita itu seraya mengetikkan beberapa kata di ponsel pintarnya.
-
"Malam-malam bertamu, merindukanku?" Nyonya Jung membuka suara ketika pandangan menangkap siluet temannya di depan beranda rumah.
"Terdengar bagus, tetapi aku mencari putriku sekarang."
Kening Taeyeon berkerut dalam, mencoba mengingat segala sesuatu yang menimpanya hari ini. "Aku tidak ingat jika Aera berkunjung."
"Tentu saja, anakmu membawanya siang tadi," komentar Yoona dengan tangan mengusap keringat yang keluar dari pelipis. Udara malam terasa dingin, tetapi sesuatu yang sedikit membuatnya panik ternyata cukup cepat untuk memproduksi cairan itu.
Taeyeon memutar matanya. "Mereka sudah dewasa."
"Ya, tetapi ini hampir tengah malam," protes Yoona, dengan mata sedikit melebar.
"Ya Tuhan, tunggu di sini." Taeyeon berseru tiba-tiba, nada yang terlampau tinggi membuat Nyonya Kim sedikit terperanjat.
Tanpa aba-aba kaki jenjang nan mulus miliknya mulai masuk ke dalam rumah, meninggalkan Nyonya Kim dengan tangan terangkat dan kalimat yang menggantung.
Tidak pernah berubah. Batinnya, berdecak sebal.
-
"Jeno! Apa kau baru saja menjual anak gadis dari keluarga Kim?" tanya Taeyeon dengan tenang dan anggun, karena dia adalah seorang ibu dan wanita yang berpendidikan, dan seorang ibu yang berpendidikan tentu saja tidak boleh berteriak.
Namun, untuk kali ini! Dia berteriak dengan nada terlampau tinggi, bahkan untuk dirinya sendiri.
Jeno celingukan, melihat sumber lengkingan yang tidak santai itu berasal. "Apa aku terlihat seperti seorang mafia?" balasnya dengan kening berkerut dalam.
Taeyeon mendengus. "Aera belum pulang."
"Ooh," komentar Jeno ringan, kemudian mulai mengeringkan rambutnya yang masih meneteskan air. "Tunggu! Apa?!" Lelaki itu menambahkan kadar keterkejutan yang sangat tinggi di dalam pertanyaannya, terlihat sangat alami.
Lagi, Taeyeon mendengus kesal, kali ini tangannya ikut andil untuk berbicara, mengenai lengan Jeno dengan brutal. "Cari dia, atau Tuan Kim akan menguburmu!"
Jeno terkesiap, keras dan dramatis. "Ma, doakan agar aku selamat." Adalah kata terakhir sebelum kakinya melangkah kembali untuk mencari Aera.
"Jeno!" Suara lengkingan untuk kedua kalinya terdengar.
"Ma, ini urgent, mari melanjutkan omelan saat aku pulang."
Taeyeon menatap tidak santai. "Ya, terdengar sangat waras jika kau keluar hanya menggunakan handuk di pinggang."
Sial!
-
Jeno memukul stir dengan kuat, dia tahu bahwa Aera mungkin butuh tempat untuk tenang, tetapi dia tentu saja tidak tahu jika Aera butuh waktu selama ini.
Seketika otaknya dirasuki pikiran kuno yang sedikit masuk akal, seperti Aera ternyata diculik dan dijual dengan organ dalam yang terpisah.
Terima kasih banyak, semoga Jeno tidak mati di tangan Tuan Kim.
"Kau di mana?" tanyanya dengan suara sangat tidak santai ketika panggilan yang sedari tadi gagal akhirnya diangkat.
"Tidak tahu," balas gadis di seberang, suara yang keluar terdengar lemah dan sedikit menggigil di dalamnya, mungkin angin malam menjadi pelaku utama untuk yang satu ini.
"Mari tidak membuat lelucon, ini hampir tengah malam."
Panggilan diputuskan sepihak, pelakunya tentu saja makhluk dengan gelar seorang wanita.
Jeno hampir membanting stir ke trotoar jika saja pesan singkat berisi sebuah lokasi tidak menyusul setelahnya, mati karena kecelakaan terdengar lebih elegant dibandingkan dengan dikubur hidup-hidup.
🦋
Gadis cantik dengan wajah sembab berada di bangku taman, cairan bening terlihat masih mengalir juga hidung yang sedikit memerah. Kondisinya tidak jauh beda dari seorang penggemar yang ditinggal menikah oleh sang idola. Terdengar bagus.
Ia menghela napas; hal yang terus saja dilakukan sedari tadi. Tangannya terangkat untuk menyapu jejak anak sungai di pipi putih yang terasa semakin dingin.
Sebuah jaket kulit tersampir di bahunya dan sedikit menimbulkan rasa terkejut, tetapi Aera menambah kesan horor juga rasa panik semakin banyak ke dalam sana.
"Ini aku."
Suara yang sangat familiar memasuki indra pendengarnya, ia mengadah, menemukan wajah teduh dengan bibir sedikit melengkung di atasnya. "Jeno," bisiknya pelan, sebelum air mata kembali mengalir dengan deras seperti banjir bandang.
"Jangan menangis," ucap Jeno dengan nada terdengar sedih, sesuatu dalam dirinya terasa sangat tidak nyaman ketika melihat air mata mengalir deras di wajah yang selalu terlihat angkuh.
Aera yang sombong dan menyebalkan terasa lebih pas untuk pandangannya dibanding dengan gadis yang terlihat rapuh seperti sekarang.
"Maaf," kata Jeno, tangannya terangkat untuk mengeratkan jaket pada tubuh kurus si kutub yang telah mencair dengan kesakitan. "Maaf karena tidak mencarimu, maaf karena membuatmu menangis, maaf-"
"Jeno," desah Aera lelah, mencoba menghentikan perkataan Jeno yang semakin melantur, juga terdapat banyak emosi di dalam sana. "Bukan salahmu," lanjut si kutub, sebelum lelaki itu membawa tubuhnya ke dalam dekapan.
Jika pada hari normal, Jeno akan mati sekarang! Siapa pun berani bertaruh.
Namun, untuk malam ini, Aera hanya akan menelusupkan wajah basahnya pada dada bidang lelaki yang akan menerima itu dengan senang hati.
Kemudian mulai terisak keras, berat dan menyayat.
"Maafkan aku," ucap Jeno, lagi. Sebelum membawa dagunya untuk bersarang di atas puncak kepala Aera, meredam tangis gadis itu dengan dadanya.
Untuk beberapa hal, mereka terlihat seperti orang asing, tetapi sesuatu dalam dada Jeno bergerak sangat menyakitkan ketika melihat gadis ini dengan keadaan yang tidak baik.
Terdengar bagus, untuk poin terakhir!
Terima kasih untukmu yang meluangkan waktu untuk ini, aku benar-benar bahagia saat tahu bahwa kamu berada di sini <3
Sampai jumpa, Ai!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro