Chapter 8
Mentari pagi di kota Seoul tidak malu untuk bersinar cerah, sengatan teriknya menembus tirai tipis penutup jendela, bahkan kicauan burung pun terdengar nyata, seperti penagih hutang.
Di dalam kamar bernuansa gelap, seorang lelaki tampan dengan surai hitam legam sedikit merasa terganggu, lantaran panasnya sang surya menghantam telak kulit pucat miliknya.
Ia menguap lebar, tubuhnya dibiarkan terduduk di atas kasur, menunggu semua nyawa berkumpul menjadi satu. "Hampir saja," gumamnya ketika melirik jam di atas nakas menunjukkan angka 08 : 30, dan dia sangat bersyukur bahwa ingatannya kembali dengan cepat sehingga tidak perlu panik; ini adalah hari minggu.
Bangun sedikit kesiangan bukan masalah besar, tentu saja!
Kaki kokoh miliknya bergerak, mulai beranjak menuju kamar mandi, ia butuh cuci muka dan sikat gigi sebelum turun untuk sarapan.
🦋
"Good morning," sapa Jeno dengan riang. Kakinya sedikit berlari di atas tangga agar cepat tiba di meja makan.
Di sana, Tuan dan Nyonya Jung sedang bercanda ria dengan segelas teh panas berada di depan mereka. Baiklah, mungkin pasangan ini telah selesai dengan acara memberi nutrisi pagi pada tubuh agar kuat bekerja.
"Ini sudah siang, jika kau mendadak lupa," komentar Taeyong, mulutnya penuh dengan sandwich coklat. Berlagak seolah hanya Jeno yang bangun kesiangan, nyatanya dia sendiri pun baru sarapan.
Si bungsu memutar mata, paham benar dengan kelakuan kakak kesayangannya. "Terserah!"
"Masih pagi juga," komentar Tuan Jung tiba-tiba, melerai adu mulut yang akan terus berlanjut jika tidak dihentikan. Terkadang ia lupa bahwa kedua bayinya kini sudah dewasa, dengan tingkah ajaib mereka terlihat seperti balita.
"Jeno, bisakah membeli beberapa bahan kue? Eomma melupakannya kemarin." Satu-satunya wanita di keluarga Jung bangkit dari duduk, berjalan dengan anggun ke arah belakang sebelum kembali dengan secarik kertas di tangan kanannya. "Ini, semua daftar belanja." Ia menyodorkan kertas itu untuk dimiliki oleh si bungsu.
Jeno mengambil alih, kemudian mulai membaca satu persatu daftar yang ada di sana. "Beli di mana, Ma?"
"Di pasar ikan," jawab Taeyong dengan tawa di akhir kalimat, dan berhasil membuat mata Jeno melebar kesal.
"Aku serius!"
Taeyong memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut, senyum jenaka mekar di wajahnya. "Kau tidak akan mencarinya di sana, kecuali jika otakmu sedikit berkarat."
"Coba carikan di minimarket," balas Tuan Jung, tidak terkejut dengan ucapan putranya —jika dilihat dari bagaimana lelaki tersebut terus menyesap teh panas miliknya.
Sebuah pikiran yang terasa sedikit berbahaya muncul di otak si kecil, menghantarkan sinyal pada jantung untuk bekerja lebih giat.
Hanya dengan memikirkan itu membuat Jeno sedikit berdebar. Ia melengkungkan senyum —terlihat seperti seringai jika diperhatikan lebih dekat.
🦋
Pagi ini, untuk ketiga kalinya ponsel Aera berbunyi, karena dia adalah gadis cantik dengan manners yang baik, mengumpat sama sekali bukan gayanya.
Namun, untuk yang satu ini dia melakukannya dengan kasar, mengabsen seluruh makian di muka bumi tanpa tersisa, tentu saja!
"Ada apa menelpon pagi-pagi buta seperti ini?" tanyanya dengan nada terdengar kesal.
"Sekedar informasi, ini sudah jam 12 siang."
Aera mengernyitkan kening, suara di seberang terdengar sedikit familiar. "Lalu? Aku bebas tidur hingga petang!" ucapnya galak, kembali merebahkan diri ketika menyadari bahwa pemilik suara adalah Jeno.
"Ibu menyuruhku berbelanja."
Kerutan yang dalam kembali bertengger di pelipisnya. "Jadi?"
"Kau tau bahwa aku tidak mengerti, temani!"
Aera memutar mata. "Apa aku terlihat peduli dengan masalahmu?" jawabnya sedikit sarkas.
Di seberang sana terdengar tawa mengalun keras. "Ayolah, anggap ini ucapan terima kasih." Jeno tidak merengek, hanya sedikit memelas. Tolong bedakan antara dua kata itu!
"Hentikan! Aku mual."
Lagi, tawa itu mengalun indah dari celah bibir lelaki bermarga Jung. "Jadi kau mau 'kan, Aera?"
"Hanya hari ini," final Aera pada akhirnya, meskipun tidak ikhlas dengan wajah malas yang terpasang di sana. Namun, tetap saja, dia adalah gadis cantik dengan manners yang baik, dan membalas perlakuan terpuji seseorang adalah hal wajib untuk dilakukan.
Jeno tersenyum lebar, kedua matanya sedikit bersembunyi dengan manis; meskipun Aera tentu tidak bisa menjangkaunya. "Tentu, aku datang dalam 20 menit."
"Tidak, hanya tunggu di halte." Gadis itu bergerak rusuh di atas ranjang, melepaskan diri dari selimut yang melilitnya.
"Kenapa tid-"
"Ikuti saja atau tidak sama sekali!"
"Baiklah, aku menunggumu di halte, 30 menit lagi."
Panggilan diputuskan sepihak, pelakunya adalah gadis cantik dengan panggilan kutub yang bergerak semakin rusuh di atas ranjang. Kemudian, dengan sedikit tidak santai kakinya beranjak menuju kamar mandi.
Ia merasa sedikit aneh, harusnya tidak perlu mengiyakan, kenapa juga repot-repot melakukan ini jika berbaring terasa lebih menyenangkan.
Ah, benar! Balas budi terdengar sedikit masuk akal, terimakasih banyak untuk perasaan aneh itu!
🦋
Jeno menyandarkan tubuh tegapnya pada pintu mobil, tangan kiri bekerja di atas layar ponsel pintar untuk mengetikkan sesuatu yang akan dikirimkan pada Aera, dengan tangan kanan sibuk menyibakkan rambut ke belakang, udara sedikit tinggi dan dia kepanasan.
"Apa ke rumahnya saja, ya?" Jeno bergumam pelan, tangannya meraih jam rolex yang tersembunyi di balik jaket kulit hitam kesayangan.
Ia akan kembali masuk ke dalam mobil jika saja seorang gadis tidak berlari lincah dengan keringat bercucuran dan helai rambut yang sedikit basah ke arahnya. "Aera, apa di rumahmu juga ada anjing liar?"
Aera memicingkan mata, napasnya sedikit tersendat seperti ikan kehabisan napas; atau mungkin air. "Mari tidak membuatku kesal, 30 menit bukan waktu yang tepat untuk menunggu wanita berdandan," cibirnya galak.
"Kau bisa meminta waktu lebih, aku akan menunggu dengan senang hati, tidak perlu terburu-buru seperti ini."
"Lupakan!" Aera terlanjur kesal.
Jeno membuka pintu tempatnya bersandar, menyuruh Aera untuk masuk ke dalam sana. "Maaf, kita bisa membuat itu sedikit santai lain kali," cicitnya pelan.
Sebenarnya dia tidak tahu kenapa harus meminta maaf, tetapi itu terlihat seperti hal yang dilakukan Tuan Jung ketika Nyonya besar sedang marah, dan Jeno tentu saja mengikuti jejaknya!
🦋
"Ini, semua yang ada di sini adalah daftarnya." Jeno menyodorkan kertas dengan list belanjaan pada gadis di depannya.
Mereka tiba dalam 30 menit, bersyukur karena tidak macet dan jarak yang terbilang dekat.
"Jeno Jung!" panggil Aera dengan nada yang terdengar mengancam. "Ini hanya bahan dasar, kau akan menemukannya begitu masuk ke sana, kenapa repot-repot mengajakku ikut." Gadis itu menempelkan ujung lidah pada pipi bagian dalam, matanya terpejam erat dengan emosi siap meledak.
Untuk beberapa saat, Jeno berkedip pelan. "Itu adalah kalimat terpanjang pertamamu," komentarnya dengan nada sedikit menggoda, membuat Aera hampir melayangkan sepatu. "Tetapi, apa kau keberatan dengan itu, karena aku membuatmu ikut?"
Ekpresi Aera sedikit mengerut sebelum kembali menjadi santai. "Sudahlah, cepat selesaikan ini."
Dia melangkahkan kaki dari sana, tangannya mengambil sebuah keranjang untuk diserahkan pada Jeno. "Pegang ini selagi aku memilih belanjaan."
Jeno mengikuti setiap langkah yang gadis itu lewati, terlihat seperti induk bebek dan bayi kecilnya. "Dengan senang hati."
Mereka hampir menyelesaikan semuanya dengan cepat, karena demi apapun ini bukan hal yang sulit untuk dikerjakan, tidak seperti menangkap bayi megalodon. Yang benar saja!
Hanya tersisa keju dan mereka akan selesai, tetapi sedikit bermasalah karena itu berada di rak paling atas. Aera sedikit berjinjit, mencoba meraih benda terakhir untuk jadi miliknya.
"Damn it!" umpat Aera berang sebelum sesuatu yang keras dan terasa bidang menyentuh punggung kecil miliknya, terasa seperti sebuah dada dengan otot yang kekar.
Ia akan berteriak jika saja sebuah lengan lainnya tidak menyusul, ternyata Jeno mencoba memberi sedikit bantuan dengan mengambilkan keju itu untuk menempati keranjang mereka.
"Selesai," ucap Jeno, kakinya mundur selangkah dan kembali mengambil jarak.
Aera mengangguk. "Ya, sekarang bayar." Mata indah miliknya mulai bergulir ke segala arah, mencari di mana tempat kasir berada.
Ia tidak gugup, tentu saja! Pipinya memerah karena hawa dingin dari air conditioner yang terlampau rendah.
Sial!
Jeno tersenyum, matanya melirik sekilas pada wajah datar dengan semburat merah menjalar, bahkan di saat seperti ini tidak ada perubahan yang besar dari ekspresi gadis itu, ia jadi berpikir jika rona merah muda menyebar karena demam atau kedinginan.
Dia tidak akan mengecek suhu di dahi gadis itu, masih ingin hidup lebih lama dengan anggota tubuh yang lengkap.
"Ingin berfoto dengan boneka?" tanyanya tiba-tiba, mencoba untuk mengalihkan atensi Aera.
"Tidak."
"Biar kufotokan."
Aera mendengus. "Kubilang tidak!" ujarnya dengan sedikit tidak santai.
Dan, ya. Jeno tetaplah Jeno, lelaki ini mendadak tunarungu dengan memaksa kakinya melangkah semakin dekat pada boneka. "Cepat!"
Aera sedikit paham sekarang, lelaki ini punya penyakit semacam kepala sekeras batu, untuk itu lebih baik Aera menurut saja. Agar cepat pulang, pikirnya.
"Senyum, Aera. Mukamu seperti tembok di belakang sana," ucap Jeno dengan tangan terangkat; memposisikan letak ponsel untuk menangkap gambar Aera —ketika gadis itu sudah berada di sana nantinya.
Aera memutar mata. "You wanna fight with me, huh?" Ia bertanya kesal, wajah datar miliknya berubah sedikit merengut sebelum kembali seperti semula.
"Hanya sekali, tersenyumlah," pinta Jeno di sela tawanya yang meledak. "Nanti akan kuberi hadiah eskrim jika menurut."
"Tiga porsi ice cream?" tawar Aera, sedikit tergiur juga sebenarnya.
"Dua saja."
"Yasudah, tidak mau."
Jeno menatapnya dengan alis sedikit terangkat. "Baiklah, pabriknya sekalian, akan kubeli semua untuk senyummu."
Gadis itu mengangguk sebelum berjalan melewati Jeno, matanya sedikit mengerling dengan senyum tipis terpasang ketika tubuh mereka sejajar, dan Jeno tidak tahu tentang hal itu, apa dia sedang memilih filter di ponselnya? Yang benar saja!
"Cepat!" ketus si kutub setelah memposisikan dirinya dengan senyum sedikit merekah, dan Aera berharap bahwa itu tidak terkesan memaksa.
"Cantik," komentar Jeno ketika matanya menilik hasil gambar pada ponsel di tangan, ia tahu bahwa Aera sangat cantik, tentu saja! Tetapi ia tidak tahu bahwa cantiknya akan menjadi sangat keterlaluan ketika sebuah senyum bertengger di sana.
Jeno sedikit pusing sekarang, senyum Aera menambah kadar gula dalam dirinya.
"Aku setuju," balas si kutub yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Jeno dengan kepala celingukan, mengintip bayang dirinya di dalam sana.
"Tingkat kepercayaan diri yang tidak diragukan."
Aera mengangkat bahu seirama dengan matanya yang memutar. "Tepati janjimu," ucapnya sebelum melangkah menuju meja kasir.
Jeno membawa tatapannya pada tubuh kurus Aera, ia menyeringai dengan tidak sengaja. "Kau tidak menakutkan, hanya berpura-pura terlihat menakutkan."
🦋
"Ini tidak seperti menuju tempat eskrim," komentar Aera, mereka berada dalam mobil yang melaju sedang, dan Aera sedikit panik ketika arah yang mereka lewati terasa sangat asing.
Baiklah, hanya sedikit panik dengan bangunan-bangunan yang tidak terlihat seperti kota.
Jeno memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara yang satunya menyibakkan rambut kebelakang; berulang kali, entah untuk alasan apa. "Membeli es krim, kita akan menuju ke pabriknya."
"Kekanakan, kita bisa membelinya di toko seberang minimarket." Aera berujar kesal, kening datarnya terlihat sedikit berkerut.
"Duduk saja, kita akan sampai sebentar lagi."
"Tidak akan ada kasus penculikan di sini."
Untuk beberapa saat, Jeno terpejam dengan sesuatu menggelitik pada dirinya, ia mengusap bibir bawah dengan perlahan, mencoba agar tidak meledakkan tawa. "Tergantung," jawabnya dengan nada terlampau serius.
"Aku akan meloncat."
"Sudah sampai," ucap Jeno panik, buru-buru membawa mobilnya ke area parkiran.
Sebenarnya berapa tahun umur gadis itu? Atau dia punya penyakit semacam bertingkah seperti anak kecil untuk waktu tertentu? Dan Jeno sedikit gemas sebenarnya.
"Taman," gumam Aera, kepalanya celingukan untuk menjangkau sekitar, jaga-jaga jika ternyata Jeno membawanya ke kebun binatang.
Dia masih ingin hidup tenang tanpa bekas gigitan singa, tentunya!
"Kau suka?"
Gadis itu menoleh ke belakang, menatap lelaki yang baru saja melemparkan pertanyaan. "Sedikit," jawabnya.
Jeno tersenyum. Iya sedikit, batin lelaki itu. Apa susahnya mengatakan sangat senang ketika wajah dan manik bulat milik si gadis terlihat cukup berseri dengan bahagia. "Baiklah, itu terlihat sangat sedikit," komentar Jeno pada diri sendiri, ia mengitari mobil untuk membuka pintu sebelah Aera, dan menemukan gadis itu sudah menginjak tanah.
Dia bukan gadis yang manja —setidaknya untuk beberapa hal.
"Mana eskrimnya?"
Jeno menatap Aera dengan senyum tidak santai terpasang di wajahnya. "Tidak sabaran."
"I don't give a fuck."
"Your words, Kim Aera."
Gadis itu lagi-lagi mengangkat bahu, kakinya mulai melangkah menuju tempat di mana logo eskrim tergambar, dan untuk beberapa saat pula, gadis ini terlihat sedikit menggemaskan.
"Kim Aera!"
Tangga nada yang terdengar tinggi dan cukup feminim membuat kakinya berhenti seketika, ia menoleh ke belakang, menemukan pemilik suara berdiri tidak jauh darinya.
Jantung milik gadis itu terasa seperti jam tangan antik yang telah rusak, berhenti berdetak untuk beberapa saat sebelum kembali berpacu dengan cepat hingga nyaris meledak.
Jeno menatap keduanya dengan tatapan tidak santai, dan sedikit bingung ketika wajah merah muda Aera berubah menjadi sedikit pucat, juga embun bening yang mengalir di atas pipi mulusnya.
"Aera?" panggil Jeno dengan sangat lembut.
Lee Taeyong
Jangan insekyur ya gais T.T
Haruskah ku hadirkan Jaehyun disini?
Maafkan aku T.T
Uhm, Ok! :)
Jae be like "Sedang memantau" Awokawokawok
Bonus, Kakak beradik wkwk
***
2.1k kata :)
Sedikit tidak santai ketika membacanya, hwhw!
Dan sedikit tidak santai juga ketika aku merevisinya, sampai masuk angin coba, hiks, kenapa sih.
Udah tau punya penyakit lambung, masih aja begadang tanpa makan, emang nyari gara-gara.
Kalian jaga kesehatan, tetap bahagia dan jangan lelah untuk tersenyum ;'D
Sudah dulu, sampai jumpa!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro