Chapter 4
Semesta terlihat remang dengan pusat tata surya mengintip malu-malu untuk menampakkan diri, udara pegunungan terasa dingin menusuk tulang, membuat siapa saja enggan untuk beranjak dari peraduannya.
Namun, omong kosong itu tidak berlaku untuk seluruh siswa yang sedang mengikuti camping. Yah, mereka terpaksa bangkit melawan dinginnya pagi dan bersiap mengikuti serangkaian acara yang akan diselenggarakan.
"Perhatian! kalian akan menyusuri jalan di peta untuk mencari pita merah, pemenang akan dinilai dari seberapa banyak pita itu didapat, tentukan ketua kelompok dan kembali sebelum jam makan siang!"
Suara instruksi terdengar cukup lantang, nyaris menghancurkan gendang telinga dengan bunyi berdenging di akhir kata, sebaiknya sekolah menyediakan mic dengan kualitas tinggi setelah ini, karena demi apapun suara itu mampu membangunkan seluruh isi hutan. Meresahkan saja!
Jeno menguap lebar, rasa kantuk belum sepenuhnya hilang meski sudah sarapan, lelaki itu melangkah ke arah teman sekelompok yang tampaknya sudah siap berpetualang. "Siapa ketuanya di sini?" Ia bertanya tanpa basi-basi, bukan karena sedang marah, tetapi cuaca pagi benar-benar membuatnya malas.
"Haechan saja." Felix menyahuti dengan suara seberat kelopak mata Jeno, lelaki itu mengambil ranting pohon yang bersarang di mulut layaknya rokok, kemudian membawa ranting itu untuk menuju ke arah Haechan.
Di sela rasa kantuk yang menyerang, Renjun menggelengkan kepala dengan heboh. "Tidak-tidak, dia sama sekali tidak bisa diandalkan," tolaknya sedikit tidak santai.
Melirik lelaki yang baru saja bicara, Haechan menabrakkan ujung lidah pada pipi bagian dalam, memamerkan ekspresi tengil yang menjadi ciri khasnya. "You wanna fight with me, huh?"
Felix menyentakkan kepala dengan pandangan tertuju pada si pemilik senyum menenangkan. "Kau saja, Jeno," ujarnya sedikit serak.
Renjun mengangguk patah, rasa kantuk yang menyerang benar-benar membuat semangat lenyap begitu saja, sebenarnya malam tadi lelaki ini punya sedikit masalah seperti tidak bisa terlelap di tempat asing, cukup merepotkan memang. "Boleh juga, biar cepat kelar, aku ingin tidur kembali."
Mereka memilih untuk bergegas, mengeksekusi tugas agar cepat selesai, masing-masing orang membawa satu ranting pohon sebesar ibu jari, jaga-jaga jika bertemu musang, kata Haechan.
Sekitar 100 meter dari garis start, Aera adalah manusia pertama yang menemukan benda merah terikat setinggi 5 meter di atas tanah, gadis ini diam-diam jeli juga rupanya. "Itu," gumam si cantik, tangan yang memegang ranting terangkat untuk menunjuk benda di atas sana.
Untuk beberapa saat, pandangan para lelaki menatap penuh minat ke arahnya, mungkin rasa kagum mendominasi ketika kehadiran seperti bayangan, tetapi kemampuan laksana sharingan. Ya Tuhan.
"Yah! bagaimana cara mereka mengikatnya! Bahkan jika memanjat pun tidak akan bisa, rantingnya sangat kecil, mereka menyewa jasa makhluk bayangan pasti!"
Haechan merotasikan mata, tangannya mengusap pelan daun telinga yang sedikit gatal karena gigitan nyamuk, makhluk kecil ini nakal juga rupanya. "Tenang, Renjun! Tidak bisakah sehari saja tanpa teriakan?"
Tersenyum simpul, Jeno menyapu pandang ke segala arah dengan tangan mengusap dagu, berharap sesuatu datang seperti keajaiban. "Carikan kayu panjang, kita bisa mengikat pisau di ujungnya untuk membuat ranting itu jatuh."
"Berpencar saja, biar cepat selesai," usul si pemilik suara berat.
"Felix pintar," komentar Lucas. Membuat lelaki yang disebut namanya menaik-turunkan alis dengan sedikit angkuh.
"Aera dan Renjun ikut aku! Felix, Lucas dan Haechan, kalian satu kelompok, kita harus memisahkan Haechan dan Renjun demi kedamaian dunia." Jeno kembali mengambil peran sebagai ketua, mengolah segala cara agar kelompoknya tetap menjadi yang pertama, dari segi kenyamanan maupun kemampuan, lagaknya seperti anggota CIA saja.
Lelaki berkulit tan kembali memutar mata, sedikit kesal juga sebenarnya, tetapi yang Jeno katakan memang benar. Terima sajalah, yang penting cepat selesai.
🦋
"Itu! Sesuatu yang membantu." Renjun berujar heboh, perjalanan melelahkan akhirnya sedikit mulai menampakkan hasil, meskipun masalah lainnya kini datang. Gila saja! itu batang pohon sudah seperti mumi, semak belukar tumbuh sehat di atasnya.
Jeno mulai melancarkan aksi, lelaki itu mengambil pisau kecil yang sengaja ia bawa, jaga-jaga jika diperlukan seperti saat ini. "Hidup tidak mudah," komentarnya membuat Renjun sedikit tertawa.
Di tengah kegaduhan yang dua lelaki itu lakukan, netra cantik Aera tanpa sengaja terarah pada akar pohon yang sudah tumbang, pandangannya menangkap makhluk kecil berwarna putih dengan bulu halus dan lembut, juga sepasang telinga panjang bertengger lucu di atas kepalanya.
Makhluk itu tampak sedikit kesusahan meloncat, lantaran plastik hitam menggantung di leher kecilnya. Manusia memang sangat tidak bertanggung jawab, membuang sampah sembarangan, ini pasti ulah pendaki jahat!
Karena Aera adalah gadis manis dengan hati bak malaikat, kakinya tanpa kendali bergerak ke arah sana, niat ingin membantu semakin kuat tatkala teringat jika dirinya berada di posisi itu. Ya Tuhan, kerandoman yang berguna.
Ketika kaki ramping Aera mendekat, kedua telinga putih itu terangkat tinggi, nampak was-was dengan situasi yang terancam, sifat alami setiap makhluk di alam semesta, menghindari predator dengan tingkat di atasnya.
"Jangan lari," bisik Aera pelan, kakinya semakin bergerak cepat mengikuti buntalan kapas putih yang melesat masuk semakin dalam ke hutan lebat, kecil-kecil larinya cepat juga.
-
Jeno mengusap air yang bercucuran di dahinya, cuaca pagi masih terasa dingin, tetapi keringat sudah mulai diproduksi saja. "Aera, ambil pisau ini." Jeno berujar tanpa mengalihkan pandangan, tampaknya kayu usang di hadapan sana lebih menarik dari pada wajah cantik Aera.
"Aera?" Jeno kembali menyerukan nama gadis itu ketika sang empu tidak menjawab, buru-buru pandangannya beralih ke arah kanan, tempat gadis itu berada. "Ke mana Aera?" tanyanya tidak santai ketika gadis tadi hilang dari sana.
Mengerutkan kening, Renjun ikut membawa pandangannya ke arah belakang, ia yakin betul bahwa si cantik berada di sana. "Tadi ada!"
Untuk beberapa saat, jantung keduanya terasa berhenti bekerja, sebelum kembali berdetak dengan kecepatan di atas rata-rata, jika ikut lomba lari mungkin jantung ini adalah pemenangnya.
"Aera, jangan bercanda!"
Di tengah rasa takut, Renjun tidak kuasa menahan tawa, kelakar sekali lelaki di sampingnya. "Apa menurutmu seseorang seperti Aera akan membuat lelucon?"
"Renjun, aku tidak bercanda."
"Aku juga."
🦋
"Terlihat seperti hutan, kiri-kanan hutan, semuanya hutan." Aera menginjakkan kaki dengan hati-hati di atas dedaunan kering, jaga-jaga jika ada perangkap babi yang dipasang, ia sungguh tidak ingin mati konyol dengan itu.
"Hallo!" teriaknya menggelegar, kemudian kembali menutup mulut ketika suara yang terdengar sedikit menakutkan. Ya Tuhan, Aera benar-benar tidak berharap jika sapaannya dijawab oleh burung hantu.
Persetan dengan rasa takut! Saat ini, hidupnya seperti buah simalakama, tetap berada di tempat bukan ide yang bagus, tetapi melanjutkan langkah pun tidak terdengar cemerlang.
Mengikuti insting alaminya, kaki ramping itu kembali melangkah. Baiklah, dia punya Tuhan untuk tetap menjadi pelindungnya.
"Arghh!"
Aera menelan ludah kasar, sesuatu terasa menyangkut di saluran kerongkongan, dengan patah-patah kepalanya menoleh ke arah belakang, mengikuti sumber suara geraman itu terdengar. "Bajingan!" serunya tidak santai ketika beradu pandang dengan anjing liar yang terlihat beringas.
"Ya Tuhan, jangan sekarang," bisiknya dengan kaki melangkah mundur, jantung Aera serasa berpindah tempat ke lambung karena rasa terkejut yang ia terima.
Pikiran terus saja membisikkan kata 'lari', tetapi hatinya mengatakan 'tidak'. Bahkan di saat seperti ini mereka tidak bisa bekerja sama.
Terserahlah! Ikuti yang lebih rasional saja dulu, badan ramping itu berbalik dan mulai melarikan diri dengan lincah. Pandangannya tidak sekalipun menoleh ke belakang, tidak untuk kembali melihat wajah makhluk yang penuh darah.
"Aha, akan kusimpan cerita ini untuk anakku kelak," desahnya frustasi, dia bukan tipe yang suka berolah raga, dan kegiatan berlari cukup melelahkan baginya. "Yah, jika aku masih hid-"
Brak!
"Damn it!" umpatnya kesakitan, tubuh mulus nan ramping itu baru saja menyentuh tanah ketika sepatu mahal di bawah sana tanpa sengaja menginjak lumut.
Tidak-tidak, Aera serasa menjadi batu sekarang, seluruh bulu di tubuhnya berdiri tegak melawan gravitasi, dengan gerakan pelan dan was-was, pandangannya menoleh ke belakang, sekedar memastikan jika anjing tadi berdiri dalam posisi benar.
"Hampir saja." Helaan napas berat keluar dari bibir merah muda Aera, sejauh mata memandang tidak ada lagi anjing gila yang menghantuinya.
Namun, suara kepakan sayap burung yang menyentuh air kembali mengalihkan atensi Aera, buru-buru kepalanya berputar setengah lingkaran, rasa was-was kembali singgah pada dirinya, hutan terlihat seperti bukan tempat yang aman.
"Oh, my God," serunya tidak santai begitu melihat pemandangan serpihan surga tersaji di hadapannya, kali ini sesuatu yang baik menyapa Aera, terlepas dari dirinya yang masih tersesat di rimba raya.
"Cicip airnya sedikit boleh tidak, ya?" Ah, pikirkan tentang bahaya itu nanti, Aera benar-benar penasaran dengan air yang berada di depan sana, mana tahu suhunya sedikit hangat dan rasa yang berbeda dengan air di kota.
Ringisan kesakitan keluar seirama dengan kakinya yang tenggelam ke dalam air. "Bagus, luka yang indah," komentarnya malas ketika melihat celana yang dikenakan sedikit robek dan berdarah. Baiklah, mungkin ini bukan perkara besar.
Untuk beberapa situasi, Aera bukan gadis yang manja.
AdJKSDKJASKLDJA Bayi siapa ini woi gemesh bgt.
BTW KALO DANAUNYA GINI NGERI GA TUH T.T
See yaa <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro