Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 39

Rabu malam, Aera mendadak terserang darah tinggi ketika diseret ke halaman belakang kediaman Jung begitu tiba di rumah, pelakunya tak lain adalah si bungsu dari keluarga itu.

Untuk beberapa alasan, Aera senang karena bertemu kembali setelah beberapa hari menghilang, atau mungkin sengaja menghindar. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada lelaki itu, sedikit rasa kesal, juga mengaku marah. Jadi, berpura-pura sibuk melebihi siapa pun di dunia adalah cara paling cerdik untuk dilakukan.

"Jangan menjual kanebo kering."

Aera mendelik. "Aku masih marah jika kau lupa," ucapnya dengan harga diri yang tinggi.

Lelaki itu tertawa samar hingga nyaris tidak terlihat, kemudian memberikan secangkir coklat panas untuk gadis yang setia memasang wajah mengerut seperti pantat ayam. "Ya, itu sebabnya kita di sini." Dia menghela napas berat. "Meluruskan beberapa kesalahpahaman."

Aera bergeming, jemari lentiknya mengusap bibir gelas coklat panas sebelum menyesap cairan itu dalam diam, tidak ingin repot-repot mengeluarkan beberapa tenaga untuk meladeni Jeno. Sedikit kejam memang, tetapi sangat sepadan.

Mereka menikmati angin malam yang segar di depan sebuah tenda, sangat segar hingga membuat Aera sedikit menggigil di sana, lengkap dengan api unggun dan beberapa alkohol tersaji di atas meja.

Baiklah, mereka tidak benar-benar meminumnya, untuk beberapa alasan biarkan Jeno berlagak keren dengan botol-botol cairan itu, hanya sebagai pelengkap agar terlihat estetik, cantik, dan dewasa.

Ngomong ngomong pt2, gambar ini di ambil saat sore hari, ketika api cemburu —Maksudku api unggun— belum dinyalakan. Lol.


"Apa kau baik?" Jeno yang pertama mengeluarkan suara setelah hening menyelimuti, meski nyaris tersedak dengan ludah sendiri.

Aera kembali menyesap cairan coklat dan menyapu bibirnya dengan ujung lidah, membersihkan cairan manis yang menempel di sana. "Tidak lebih baik dari sekarang."

Lelaki itu menoleh, menatap wajah teman masa kecilnya yang disinari cahaya bulan, terlihat begitu lembut dan manis. "Syukurlah," gumamnya, sedikit melengkungkan bibir ke atas dengan tulus.

Hening kembali menyapa, seakan larut dalam pikiran yang menjadi begitu rumit untuk dimengerti, hingga si cantik bergumam, "Jadi?"

"Aku ... aku pergi agar semua tidak semakin rumit." Jeno mendongak, menatap langit malam dengan pikiran menerawang. "Maaf."

Aera menatapnya dengan sebuah ekspresi dingin yang menusuk kulit pucat lelaki itu. "Aku hanya tidak mengerti."

"Ini tidak masuk akal, tetapi semua yang terjadi ... aku tau dan aku berusaha untuk tidak menyeretmu terlalu jauh, aku ... takut tidak bisa mengendalikannya." Jeno menelan ludah, tiba-tiba tercekat dengan sedikit gugup dan takut ketika bibir tipis itu hendak mengeluarkan kata.

"Bahasamu tolong disederhanakan."

Seketika tawa Jeno pecah, nada ketus dan ekspresi kesal gadis itu sama sekali tidak menakutkan, bahkan terkesan sedikit menggemaskan jika kau bertanya padanya, budak cinta memang beda dalam melihat segala hal di dunia.

"Maksudku Naomi, kau tau? Semua yang terjadi tidak secara kebetulan."

Aera menyeringai, menatap remeh ke arah Jeno. "Oh, kau cukup pengecut untuk lari dari semuanya."

"Mungkin, ya. Aku cukup pengecut untuk tau akan kehilanganmu."

Aera hampir tersedak dengan coklat panas di tepian bibir, sepenggal kalimat frontal itu sedikit menggelitik perut dengan rasa menyenangkan tiba-tiba datang menyapa. "To the point, please," katanya, berusaha agar terdengar netral.

"Kau sangat tidak sabaran."

"Aku ingin beristirahat." Aera menahan diri untuk tidak menyembur lelaki itu dengan ocehan panjang, karena dia sedang di fase bersikap dingin serta menjunjung tinggi harga diri. Tentu saja!

"Sayang sekali, kupikir kita akan menginap di si—tidak, aku hanya bercanda." Jeno buru-buru merevisi kalimatnya ketika si gadis mendelik tajam dengan gelas berisi cairan panas siap melayang. "Naomi bermain dengan obat-obatan, dia ... sarafnya sedikit terganggu kurasa," kata lelaki itu setelah memastikan keadaan kembali aman.

Aera dan semua hal tentangnya, tidak pernah berubah.

"Apa maksudmu?"

"Kau tau bahwa aku berteman dengannya ketika di Chicago, ini sedikit tidak menyenangkan untuk dikatakan, tetapi dari dulu dia menunjukkan ketertarikan padaku." Jeno menjeda ucapannya, sengaja menoleh ke arah Aera untuk memastikan ekspresi gadis itu, dia jelas berharap ada sedikit kecemburuan di sana, tetapi masih sangat datar juga rupanya. "Aku pikir dia masih gadis yang polos, gadis yang pipinya akan memerah ketika kuajak berbicara."

Aera mengencangkan pegangan pada gelas dalam genggaman, dengan wajah teramat datar, dia berpura-pura untuk minum yang nyatanya menggigit bibir gelas sangat keras. Apa-apaan pengakuan itu?

"Ternyata semua tidak seperti itu, dia mulai memakai obat-obatan ketika ibu dan ayahnya berpisah, kupikir ini bukan sepenuhnya salah Naomi."

Aera benci Naomi, itu benar, tetapi untuk beberapa alasan lain, hatinya terasa sakit ketika mendengar bahwa gadis polos itu berubah karena tekanan yang diterima. Sial, seperti besaran vector saja.

Siapapun yang mengerti fisika pasti akan merevisi kalimatku barusan!

"Dia semakin tidak terkontrol karena status sosial dan gelar berkelas yang disandang keluarganya, kau tau maksudku, 'kan?"

Aera menendang kaki Jeno yang berada di bawah meja, dia merengut tidak suka atas semua hal rumit di otak mungil miliknya. "Katakan semua dengan jelas."

"Baiklah, santai." Jeno kembali tertawa, cukup sulit membuat gadis ini angkat bicara rupanya. "Maksudku, mereka melakukan apa pun yang Naomi inginkan, demi menjaga nama baik katanya, agar Naomi tidak berulah, bahkan sepupunya rela mengotori tangan demi membuat Naomi aman, padahal menurutku dia menjadi nakal karena memang ingin menarik perhatian." Lelaki itu menoleh ke arah Aera. "Apa kau bisa mengerti?"

"Ya, siapa sepupunya?" tanya Aera, benar-benar tidak sabar dengan informasi yang Jeno sampaikan secara lambat, sangat lambat hingga dia berpikir baru saja merusak memori otak lelaki itu.

"Yumi," jawab Jeno pelan, nyaris seperti berbisik. "Tetapi jelas tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalumu, kurasa yang satu ini murni kebetulan, atau Yumi memang gadis seperti itu." Jeno buru-buru menggelengkan kepala ketika manik gelap Aera melebar. "Maksudku, itu tidak berhubungan dengan Naomi."

"Jadi? Apa hubungannya dengan kepergianmu?"

"Otakmu sangat pend –ya! Aku bercanda!" Jeno berteriak keras dan menjadi sangat was-was ketika tangan Aera mulai aktif. "Itu karena ... jika aku berada di sekitarmu, maka Naomi tidak akan berhenti untuk menggangu hidupmu, dan aku benci fakta bahwa Naomi tidak bisa ditekan, di keluarga itu dia bosnya, kau paham?"

Kening Aera berkerut dalam, mencoba menyimpulkan semua informasi yang baru saja didapat dan menjadi sebuah pernyataan amat menjengkelkan. "Oh, jadi maksudmu aku akan tidak berdaya di bawah kuasanya dan lemah lembek seperti pudding, kemudian pahlawan datang dan menyelamatkanku dari ketidakberdayaan itu?"

Jeno tertawa keras, sangat keras hingga membuat Taeyong melempar botol minuman dari balkon lantai dua. "Tidak juga, tetapi tidak sepenuhnya salah."

Gadis itu menatap jengah, sangat malas untuk bertengkar sebenarnya, tetapi apa pun yang menyangkut dengan Jeno memang membuat darah naik dengan cepat. "Ke mana Naomi sekarang? Dia juga menghilang, jangan katakan bahwa kau bersamanya di Chicago?" Seketika awan hitam menyelimuti suasana mereka, sedikit gelap dan mencekam ketika Aera tidak jauh dari ibu yang menangkap basah anaknya memakan narkoba.

"Tidak-tidak. Dia di rehabilitasi begitu ketahuan memakai obat-obatan di malam prom night, atau ... seseorang sengaja melapornya, dan untuk Yumi kurasa dia terpaksa harus kuliah di ... maaf Aera untuk itu aku lupa menanyakannya, yang pasti di luar negeri." Jeno tentu saja harus memilih kata-kata yang tepat jika tidak ingin membuat kutub ini menjadi semakin kutub, dia setengah frustasi untuk keadaan sekarang.

"Jadi awalnya keluarga Naomi tidak tau?"

"Mungkin."

Aera menggut-manggut mengerti. "Oh, jadi maksudmu dia nekat menghancurkanku jika jadi penghalangnya untuk memilikimu?"

"Begitulah." Jeno menyengir lebar dengan tingkat kepercayaan diri melewati cakrawala, tiba-tiba merasa begitu diperebutkan oleh dua gadis cantik.

"Ah, Naomi tidak perlu repot-repot melakukan itu, aku akan menyerahkanmu padanya dengan suka rela, lagian kau bukan milikku." Terselip nada candaan di sana, walaupun sedikit sarkas sebenarnya. Apa Aera sedang meminta kejelasan hubungan mereka? Tuhan, jika dipikir-pikir mereka memang terjebak friendzone bertahun-tahun.

Setelah terbang cukup tinggi, Jeno terpaksa jatuh lebih dalam daripada palung Mariana. "Itu kejam," komentarnya, cukup dingin dan terlihat kesal.

Biarkan Aera berpikir seperti itu, karena alasan utama Jeno melakukan semua ini bukan karena Naomi saja. Hey, Jeno bisa mengatasinya jika dia ingin, hanya saja ... beberapa alasan lain ikut menjadi pendukung.

"Sebenarnya kau bisa pulang saat Naomi sudah diamankan." Aera sedikit meringis ketika mengatakan kalimat terakhir, dia tidak suka untuk membuat si chili terlihat seperti seorang penjahat. "Kecuali jika kau memang berniat menjauhiku karena alasan lain."

"Aku baru mengetahuinya kemarin," balas Jeno cepat, berusaha tenang dan tidak goyah ketika Aera bisa dengan pintar menemukan titik lain yang disembunyikan. "Lagi pula, aku benar-benar sibuk dengan buku di sana, aku tidak bersenang-senang. Belajar, belajar dan belajar. Aku harus, karena ingin cepat kembali. Kau tau? Tampan saja tidak cukup."

Aera menyelami netra gelap Jeno, berusaha menemukan sesuatu yang mengganjal di hatinya, gadis itu tersenyum lembut dan sedikit dingin menyelimuti. "Aku akan berpura-pura tidak mendengar beberapa kalimat terakhir," ucapnya pelan seraya memalingkan wajah. "Jadi, siapa yang memberitaumu tentang Naomi?"

"Ka-kakak tirinya, kau tidak lupa jika orang tuanya berpisah, 'kan?" tanya Jeno dengan tercekat yang entah keberapa kali untuk malam ini. Sial, aura yang dikeluarkan Aera sedikit terasa seperti alpha female di dunia keabadian.

Gadis itu kembali mengusap bibir gelasnya dengan senyum dingin yang tidak luntur di wajah. "Jadi ... siapa kakaknya?"

Jantung Jeno berpacu kuat seperti kuda di arena, ini terlihat layaknya Aera dingin dalam versi dewasa yang sangat dominan, dan apa-apaan dengan seringai kejam di bibir merah muda itu.

"Renjun."


Gais, aku berharap bahwa otakmu lebih besar daripada Aera dalam memahami permasalahan hidup ini 🐕💨

Ngomong ngomong, kupikir kita bisa sedikit berpikir ulang jika ingin menghujat Naomi, sudah kukatakan dia adalah gadis polos, kalian sangat tidak percayaan. Ck!

Sudah dulu, ya. See u.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro