Chapter 32
Jeno ga jadi galau percaya deh, dia bahagia bgt!
Happy buah pantat -_-
🍑🍑🍑
"Jeno!"
Gadis mungil yang terbaring lemah di atas ranjang tiba-tiba saja menegakkan badan dengan mata terbuka sempurna. Gila, terlihat seperti memenangkan pertarungan melawan malaikat maut.
Ia berkedip untuk sesaat, membiasakan matanya menerima cahaya terang dari ruangan putih itu.
Dengan napas yang memburu dan keringat berlomba-lomba untuk keluar, Aera menyapu penglihatan ke seluruh isi ruangan, semua tampak normal, kecuali ketika dia menangkap siluet Tuan dan Nyonya Kim yang berkamuflase menjadi patung.
Dua orang dewasa itu menatap Aera dengan banyak kadar keterkejutan di wajahnya. Tangan Nyonya Kim memegang roti yang sedang diolesi selai, sementara Tuan kim sendiri menempatkan minuman di celah bibirnya.
Keadaan menjadi sangat canggung ketika Aera bangun dari tidur dengan menyerukan nama Jeno sebagai ucapan yang terasa layaknya kata aku pulang, aku kembali, atau semua omong kosong seperti itu.
"Bagus, Aera. Daddy menunggumu di sini selama tiga hari sementara kau bangun dengan menyebut nama lelaki lain," ucap Tuan Kim main-main setelah mereka saling menatap dengan waktu yang lama.
Sesuatu yang berkilau terlihat di manik gelap gadis itu, seketika Tuan Kim menjadi panik, mengira bahwa Aera baru saja mendapatkan kesalahpahaman dari ucapannya barusan, dan bonus tambahan tatapan marah dari Nyonya Besar. Terima kasih banyak!
"Kau tau, Daddy tidak benar-benar memarahimu," jelasnya panik.
Gadis itu merentangkan tangan, bersiap untuk menerima sebuah pelukan hangat dengan wajah yang masih menahan tangisan. "Daddy." Ia berbisik pelan, mulutnya melengkung seperti usus dua belas jari.
Tuan Kim sedikit bingung dengan semua yang terjadi, apa Aera kembali mengalami amnesia dan melupakan beberapa ketegangan mereka di hari sebelumnya?
Namun, terlepas dari itu semua, dia tetap maju dan memeluk tubuh kurus Aera yang begetar menahan tangisan.
Di belakangnya, Nyonya Kim menyaksikan tontonan 'Ayah dan Anak melepaskan ketegangan dan mulai berdamai' dengan rasa hangat menjalar di dadanya.
Aera adalah gadis yang selalu menghindar ketika berjarak dekat dengan Tuan Kim, dan momen ini adalah salah satu dari sepuluh hal yang sangat langka di alam semesta, terasa seperti sebuah permen kapas manis merah muda. Mereka telah banyak kehilangan kesempatan untuk ini semua.
"Hey, Nak," bisik Nyonya Kim lembut, ia berjalan mendekat ke tempat gadis itu berada. "Apa yang terjadi? Semua baik-baik saja 'kan?" Tangannya mengusap pelan rambut Aera.
Gadis itu menggeleng ribut dan mengencangkan pelukannya pada sang ayah, mungkin ikatan batin bekerja sama dalam hal ini, seperti kau menyadari bahwa tidak semua orang benar-benar membencimu, terlebih jika ia adalah orang tuamu.
Mereka bertahan dalam posisi itu, membiarkan Aera tenang dari mimpi yang entah seperti apa.
Nyonya Kim menyandarkan kepala pada bahu kokoh sang suami setelah sebelumnya memberi tahu pada Dokter bahwa Aera sudah sadar. Dia menatap gadis itu dengan hangat, kemudian sebuah senyum mekar di wajah ayunya, terlihat begitu bahagia dan beraura cerah.
"Apa kau baru saja bermimpi tentang monster yang berada di bawah tempat tidurmu membawa pergi Mommy dan Daddy?" tanya Nyonya Kim.
Pertanyaan itu kembali membawa Aera pada ingatan di mana hampir setiap malam dirinya bermimpi buruk dan berakhir dengan tidur bersama, mungkin ini juga sebabnya dia menjadi anak tunggal. Tentu saja!
Gadis itu bergeming, otaknya dipaksa untuk memproses semua hal yang terjadi secara bersamaan, sedikit rumit dan juga sulit.
Tidak lama kemudian, seorang pria berumur memasuki ruangan itu dengan jas putih terpasang di tubuhnya. "Selamat datang kembali, gadis kecil."
Tangga nada yang asing membuat mereka mengakhiri acara 'berpelukan ria' dan mengalihkan atensi pada sumber suara. Aera hampir lupa bahwa dirinya masih dirawat dengan selang nutrisi bertengger manis di tangan kiri.
Dua lelaki dewasa di sana terlihat sedikit berbincang setelah sebelumnya memeriksa perkembangan kondisi gadis itu.
Untuk saat ini, biarkan Aera selesai dengan menyusun kembali semua potongan yang sempat hilang, dan mencoba berdamai atas segala rasa asing sekaligus menyenangkan dalam satu waktu.
🦋
"Jeno, berikan daging itu, yang di depanmu," pinta Taeyong pada si bungsu.
Keluarga Jung sedang menikmati makan malam layaknya hari-hari biasa, tidak ada yang berbeda dari semua hal, kecuali sikap Jeno menjadi lebih pendiam dan banyak melamun, bahkan Taeyong tidak perlu bertengkar untuk meminta daging dari lelaki muda itu, sepertinya dia benar-benar dalam masa mood jelek.
"Sayang, ingin tambah?" tawar Nyonya Jung dengan lembut, sedikit tidak tahan juga ketika harus melihat Jeno yang sepertinya sudah bosan untuk hidup.
"Tidak, Ma." Si bungsu menghela napas berat, ia meletakkan semua peralatan makan dan menaruh seluruh atensinya pada sang Ayah –seperti percakapan dua lelaki dewasa. "Appa, bolehkan aku berangkat ke Chicago besok?" tanya Jeno dengan wajah yang terlihat banyak menampung beban hidup.
Tuan Jung menaikkan sebelah alis. "Tiba-tiba?"
Jika kau tidak tau, Jeno melanjutkan pendidikan di Negara tempatnya dibesarkan dulu, dan tinggal bersama sang Nenek di Chicago, maaf terlambat memberitaumu!
"Kau meninggalkan hyung? Secepat ini? Katakan! Apa semangkuk daging barusan menyakiti harga dirimu?"
Jeno kembali menghela napas berat, kali ini lebih dalam dan suram, terlihat sangat lelah untuk semua hal. "Tidak tiba-tiba Appa, aku sudah memikirkan ini dengan matang." Ia menjeda ucapannya dan menatap sinis pada sang kakak. "Hyung, adikmu ini harus sekolah, tampan saja tidak cukup, jika kau mendadak lupa," katanya dengan tangan melipat di dada.
"Ya, tapi itu masih lama, Sayang." Nyonya Jung melerai tatapan sengit dari mereka setelah sedikit melepaskan tawa saat mendengar jawaban dari si bungsu.
"Jeno ... Jeno harus beradaptasi dulu," cicitnya pelan dan menyusut ke bawah meja hingga yang terlihat hanya kepalanya saja.
Si sulung memukul pelan kepala adiknya dengan sendok yang ia pegang. "Kau bahkan bisa tidur di tumpukan sampah, jangan mengada-ngada dengan embel-embel adaptasi."
Tidak ada kedamaian antara kakak beradik itu, tolonglah, Jeno sedang di luar mood untuk bercanda. Lelaki itu mengerang pelan. "Hyung, akan kubocorkan ID-mu pada gadis-gadis kampus, agar kau punya sedikit pekerjaan."
Untuk beberapa alasan, ancaman itu sangat manjur, mengingat bahwa kakaknya digilai banyak gadis, bayangkan saja jika nomor ponselnya tersebar, tidak ada lagi hidup tenang bagi lelaki tampan itu.
"Terkadang menjadi terlalu tampan memang sedikit merepotkan," ucap Taeyong, ikut menyusut ke bawah meja dengan bibir mencebik.
Jeno merasa bahwa memutar bola mata untuk perkataan kakaknya benar-benar perlu dilakukan, dia memutar mata dengan sopan sebelum kembali mengalihkan perhatian pada Tuan dan Nyonya Jung.
"Boleh 'kan, Appa? Eomma?" Dia kembali bertanya saat tidak mendapatkan jawaban.
"Ya, tetapi selalu dalam pengawasan," ucap Tuan Jung setelah selesai dengan pengisian energi.
Satu-satunya perempuan di sana berkedip pelan, menatap sang suami dan anaknya secara bergantian. "Kau sungguh akan meninggalkan Eomma?"
Ini adalah hal yang Jeno takutkan, dan dia menghindari itu, tatapan sang ibu serta pertanyaan yang membuat sudut terdalam di hatinya sedikit nyeri. "Eomma bisa menginap di sana." Dia berkata dengan hati-hati. "Lagi pula, Jeno tidak pergi untuk selamanya, please, Ma, jangan berpikir seolah Jeno akan meninggal."
"Hush! your words Jeno Jung," protes ibunya tidak terima. "Ya, baiklah. Eomma akan membeli Jeno kecil selagi kau pergi." Dan ucapan itu tidak bisa 'tak membuat Tuan jung tersedak dengan minuman.
"Eomma!" rengek Jeno dan Taeyong bersamaan, dan hampir terdengar putus asa, mereka menambahkan banyak kadar tersakiti ke dalam tangga nadanya. "Aku sudah hampir lulus kuliah, demi Tuhan," desah Taeyong dramatis, melebihi semua hal alay di muka bumi.
"Sudah-sudah, waktunya tidur, Appa akan memikirkan itu besok."
Perintah mutlak itu membuat Jeno dan Taeyong bergegas menuju kamar setelah mengucapkan selamat tidur dan mendapat sebuah kecupan manis dari sang ibu.
Walaupun di perjalanan sedikit terjadi senggol-menyenggol, tetapi tentu saja Jeno tidak dalam mood bagus untuk meladeni itu, dia mendorong sang kakak hingga terjungkal ke lantai, kemudian berlari menuju kamar dengan membanting pintu dan menguncinya secepat kilat.
Baiklah, Jeno butuh segelas kopi pahit untuk menyadarkannya saat ini!
Aku sungguh tidak mood dengan sakit gigi ini -_-
Dan Jeno adalah aku! untuk saat ini.
Thanks for supportnya, guys.
I love u so much, muah
See yaa ~
😗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro