Chapter 20
Jeno bergelung nyaman di bawah selimut yang menutupi hingga setengah wajahnya, jam menunjukkan pukul empat sore, tetapi ia masih enggan bangkit dari ranjang untuk sekedar melihat langit biru dengan sinar keemasan.
Entahlah, tiba-tiba ranjangnya terasa seperti memiliki gravitasi terkuat di alam semesta, ditambah dengan rasa pusing yang mendera menjadi alasan hebat untuk tetap bertahan pada posisi sekarang.
Decitan pintu berbunyi di tengah keheningan, membuat Jeno mengerang kesal ketika mengingat bahwa itu adalah kakaknya yang setiap dua puluh menit sekali masuk ke sana hanya untuk membuat kekacauan.
Dia bangkit, bertumpu pada kasur dengan usaha yang keras. "Taeyong Hyu-" Ucapannya terhenti ketika sebuah kepala menyembul di balik pintu, dan Jeno hampir terjungkal karena penampakan makhluk imut di depan sana, dia juga mendadak terserang gangguan jantung.
Terima kasih banyak!
"Hai." Makhluk imut itu menyapa, menatap Jeno dengan sebuah senyum tipis bertahan di wajahnya, sangat tipis hingga nyaris tidak terlihat.
Jeno berkedip, membalas tatapan makhluk itu dengan pandangan yang dalam, sangat menilai atas apa yang ia lihat. "Aera, sejak kapan gemar berpita?" Sebuah pertanyaan jatuh pada penampilan gadis itu.
Tunik dengan warna pastle dipadu pita merah jambu yang bertengger di rambut keemasan miliknya. Terlihat lembut.
Cantik, imut, lugu, dan polos.
Tidak seperti Aera yang merah muda dan kelam pada hari biasa, kali ini benar-benar beraura pink manis.
Gadis itu melangkah pada sebuah kursi di kamar Jeno, kerutan tercetak di keningnya ketika otak memproses sebuah jawaban. "Entah," kata Aera, dia hanya berpikir bahwa dia tetaplah seorang gadis.
"Kau-"
"Sebentar," sela Aera sebelum melangkah ke arah pintu, kemudian membukanya dengan lebar dan benar-benar lebar.
Bibir Jeno berkedut menahan tawa, dia tahu ke mana arah pemikiran ini berakhir, Aera adalah gadis yang baik budi terkadang.
"Apa?" Aera bertanya galak ketika Jeno menatapnya dengan sebuah wajah menyebalkan.
Lelaki itu mengangkat bahu, tatapannya kini beralih pada plastik putih yang sedari tadi bersama Aera. "Apa itu sebuah hadiah?"
"Tidak," jawabnya sebelum mendaratkan pantat di atas ranjang Jeno. "Ini makananku." Aera memberi tahu seperti menandai sebuah makhluk dalam dunia fantasi, milikku.
Dia mulai mengeluarkan semua miliknya dan menata rapi di atas nakas, sesuatu yang terlihat seperti eskrim, coklat batang, dan lolipop warna-warni dengan bentuk kepala ayam.
Jeno menyeringai. "Oh, kau sangat dewasa," komentarnya, dia mulai berpikir sebenarnya Aera manusia jenis apa, jika dulu gadis itu terlihat seperti sesuatu yang gelap, maka sekarang sedikit membuatnya bingung.
Mungkin Aera adalah warna netral, bisa berubah tergantung dengan sesuatu yang berada bersamanya, ini terdengar lebih masuk akal memang, dan ... oh, apa Jeno terasa seperti sesuatu beraura pink manis? Tidak mungkin, dia adalah lelaki dengan otot kekar.
"Kau sebaiknya diam." Aera menunjuk ke arah Jeno dengan sedikit kekesalan di sana. "Aku pulang dari minimarket!"
Bibir Jeno terbuka, sebuah kata akan melayang dari sana jika saja Nyonya Jung tidak datang dengan nampan berwarna coklat di tangannya.
Wanita itu mengembangkan senyum, yang terlihat sangat berkelas, padahal dia hanya tersenyum seperti manusia normal. "Aera," sapanya, meletakkan nampan berisi jus apel dan kue coklat di atas nakas, di samping semua benda imut Aera. "Oh, ini apa?" Ia menjatuhkan pertanyaan pada semua yang terlihat di sana.
Semua benda imut gadis itu, pastinya!
"Mainan Aera." Jeno memberi tahu yang dihadiahi sebuah delikan tajam dari gadis pemilik benda itu.
Aera meletakkan telunjuk di atas sebuah coklat batang, hanya meletakkan, tidak mengambil. "Tadi pulang dari minimarket," kata gadis itu ketika membawa tatapan pada wajah cantik Nyonya Jung. "Jadi ... ya-"
"Itu menggemaskan," sela Nyonya Jung cepat, ia membawa tangannya untuk mengelus rambut Aera dengan perasaan lembut, tenang, dan nyaman.
Gadis itu tersenyum, ekspresinya jatuh pada sebuah rasa yang sulit untuk ditebak, seperti rindu, haru atau sedih? Sebelum berubah menjadi bahagia. "Rasanya juga enak," kata Aera. "Bibi bisa mencoba, jika mau."
"Bolehkah?" Wanita itu kembali tersenyum, mengambil satu coklat batang yang ada di depannya. "Bagaimana dengan ini?" Ia bertanya, mungkin lebih terlihat seperti meminta izin.
"Iya, tentu." Aera tersenyum semakin lebar daripada yang pertama, terlihat lebih manis dibanding dengan pabrik gula manapun di alam semesta.
"Aw, terima kasih," kata Nyonya Jung, membawa coklat itu ke dalam pelukannya. "Bibi harus kembali ke halaman belakang." Wanita itu membuat sebuah ekspresi sedih di wajahnya, yang secepat mungkin dihadiahi anggukan heboh dari Aera, mengatakan bahwa itu bukan masalah besar. "Baiklah, sampai jumpa, Aera."
Gadis itu mengantar Nyonya Jung hingga di depan pintu kamar Jeno, yang entah untuk alasan apa dia senang melakukan itu, kemudian kembali pada ranjang setelah melambai pelan pada wanita di sana.
"Are u ok?" Jeno bertanya tiba-tiba ketika wajah gadis itu terlihat sedikit tidak sehat, mungkin lebih cocok dengan sebutan sedikit pucat.
Aera menjatuhkan tubuh di atas kursi. "Apa maksudmu? Tentu saja awkay!"
"Kau." Jeno menyentakkan kepala pada benda di belakangnya. "Saat bersama ibu manis sekali," cibir lelaki itu dengan bibir bawah maju beberapa senti, biasalah!
"Ya, dan tidak cocok jika bersamamu," kata Aera di sela kegiatan membuka eskrimnya.
"Iblis kecil."
Aera merasa itu terdengar seperti tidak untuknya, dia tertawa, menatap Jeno dengan seringai kejam di wajah sebelum kembali membawa pandangan pada semua sudut kamar.
"Oh." Aera berseru tiba-tiba ketika menangkap sebuah gambar bocah lelaki dan gadis kecil memakai kostum kelinci. "Itu siapa?"
Jeno mengikuti arah pandang gadis itu. "Cinta pertamaku." Terdengar seperti lelucon, tetapi dengan sebuah ekspresi muram di wajahnya.
"Cheesy," komentar Aera dengan wajah hampir muntah, dia membawa kakinya untuk berada pada jarak dekat dari gambar itu. "Sudah lama sekali, ya?"
Senyum samar merekah di wajah teduh Jeno, ia mengangguk pelan, terlihat sedikit kesakitan pada mata gelapnya, seperti sebuah kerinduan atau apa pun yang serupa. "Iya, saat kami masih kecil," katanya, setiap detik tergores tajam ke dalam ingatan.
Keheningan membentang, dipenuhi oleh suara dentingan jam dan potongan-potongan memori yang telah usang. Hingga akhirnya Aera kembali pada kursi yang ia tempati, mengalihkan atensi pada sebuah laptop hitam di atas meja dan mengabaikan perasaan tidak nyaman sesaat lalu.
"Mari lihat, apa kau gemar menonton video dewasa."
Jeno terkesiap pada pertanyaan gadis itu, membawa tatapan teraniaya ketika bersitatap dengan manik Aera. "Kau ingin menonton bersama?" Ia bertanya, tetapi tidak selaras pada ekspresi yang dikeluarkan.
Selanjutnya, terdengar suara teriakan kesakitan ketika Aera melemparkan sebuah buku cetak, dan mengenai tepat di bagian bawah lelaki itu.
Bagus, tetapi untuk poin terakhir, Aera tidak melakukannya dengan sengaja, kebetulan yang sangat meresahkan jiwa raga.
Ini tuh gemoy sekale 👉🏻👈🏻
Sun dulu sinih😠😗
Masi berani jadi sider?? I see u 👀
Wassap!
Aku mau buat cerita ini alurnya slow gitu, menurut kalian gimana?
Aku ga tega ya kalo Aera-Jeno tamatnya cepat T><T
BTw cii yuu next part.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro