Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

Hembusan angin sejuk bersama sinar matahari menyapa Aera ketika dia melangkah ke bibir pantai, tangannya menenteng sebuah plastik yang berisi beberapa eskrim dan susu kotak, dia mendapatkan itu setelah merengut pada Jeno karena lelaki ini mengatakan 'jika permen kapas maka tidak ada lagi eskrim', tetapi Aera bisa menjadi gadis yang keras kepala untuk beberapa saat, dia berhasil dengan bonus susu kotak, sounds good!

Gadis itu mengangkat tangan yang satunya, melindungi permen kapas dari ombak yang menghempas ke pantai, dia cukup pintar untuk tahu bahwa itu akan menjadi gumpalan gula jika terkena air.

Aera menoleh melalui celah bahu, membawa pandangan pada Jeno yang berada di belakang. "Kemari! Airnya seperti di kulkas," katanya, sedikit meninggikan tangga nada, mencoba untuk mengalahkan suara ombak.

Jeno melepaskan sepatunya, dia tidak suka ketika merasa basah, dan dia akan tetap berada di atas pasir kering untuk selamanya, tetapi tidak jika Aera berseru riang dengan wajah yang bersinar. 

Ia membawa tubuhnya mendekat pada gadis itu. "Tidak lebih dingin darimu, Kim!" komentar Jeno, atau lebih terlihat seperti mengungkapkan sebuah kebenaran. 

Aera akan berpura-pura tidak mendengarnya, dia menggoyangkan kaki untuk bermain dengan ikan di bawah sana, membuat mereka berkumpul dan berenang ke segala arah. "Airnya jernih, ikan di sana tampak nyata," komentar Aera atas apa yang dilihat dengan matanya.

Lelaki itu menekuk lutut, meraih makhluk kecil dengan tangannya, dan mengenai kaki Aera yang berada di sekitar sana, untuk poin terakhir Jeno benar-benar tidak sengaja, meski berulang kali melakukannya. "Mereka bayi yang lucu."

Aera memiringkan wajah, menatap makhluk itu lebih tajam dari sebelumnya. "Kenapa kau berpikir itu adalah bayi?" Dia menyelesaikan dengan sebuah kerutan dalam pada keningnya. 

"Tubuh mereka mungil, itu terlihat seperti bayi." 

Gadis itu manggut-manggut mengerti. Ia menatap Jeno, dalam dan serius. "Haechan dan Renjun adalah bayi," kata Aera pada akhirnya, merasa puas dengan analisis yang baru saja dia paparkan.

Jeno tidak ingin tertawa, tetapi itu meledak dengan semua yang berputar di kepalanya. "Jika dilihat dari badan, tetapi tidak dengan umur. Mereka sudah tua."

Aera kembali membawa tatapannya pada air di bawah sana. "Bagaimana jika mereka juga sama? Kita harus memanggilnya dengan sopan."

Jeno mendengus. "Kakak ikan?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

Aera mendongak, wajahnya terlihat seperti seseorang yang sedang berpikir keras. "Bagaimana jika ternyata mereka bibi dan paman? Atau kakek dan nenek?" 

Lelaki itu memutar mata, membawa kakinya untuk kembali pada pasir kering di belakang, dia merasa bahwa sesuatu yang akan Aera katakan benar-benar tidak berguna. "Kau idiot."

"Terima kasih banyak." Aera menyahuti dengan senang hati. Ia bergabung bersama Jeno yang duduk di tepi pantai, berjalan dengan kaki yang sedikit berjinjit.

Si kutub menemukan sepatunya ketika sedang di perjalanan, dia menendang benda itu ke arah Jeno dengan kuat, dan akan mengenai seorang turis asing jika Jeno tidak menangkapnya.

Dia baru saja merasa bahwa jantungnya turun ke usus dua belas jari ketika itu hampir terjadi, Aera terkesiap, dengan keras dan dramatis, menatap Jeno seolah memberitahu bahwa sebuah benda langit akan menimpa mereka sebentar lagi.

Untuk kali ini, Jeno juga tidak ingin tertawa, tetapi itu kembali terjadi ketika pandangannya jatuh pada wajah Aera yang masih mempertahankan ekspresi tegang, dia bersyukur ternyata Aera masih normal untuk semua hal.

Gadis itu berjalan sedikit kaku setelahnya, mendudukkan diri ketika tiba di tempat Jeno. "Hampir saja," katanya dengan sebuah helaan napas panjang. 

Jeno meletakkan sepatu di depan kaki Aera, menyeringai dengan sebuah ejekan padanya. "Kenapa tidak dimakan?" tanya Jeno setelah keheningan membentang di antara mereka, ia mengarahkan tatapan pada permen kapas di tangan si kutub, dan jika dipikir-pikir, dia tidak sekutub itu padanya.

Aera memutar mata untuk ejekan itu, kemudian menjatuhkan tatapan pada apa yang dia pegang. "Tidak suka, hanya terlihat indah untuk dimiliki," jawabnya dengan santai, atau mungkin akan santai sebentar lagi.

Jeno merasa kewalahan, ini benar-benar hari yang panjang untuk kesehatan mentalnya. "Katakan itu tadi, kita akan membungkus dengan plastik bening cantik, kau bisa memajangnya di samping foto keluarga," kata Jeno, yang lebih terdengar seperti sebuah cibiran.

Gadis itu menyetujui, ia mendorong permen kapas pada wajah Jeno. "Makan saja, kita akan beli yang baru untuk dipajang." 

Sebuah helaan napas panjang, dalam, berat, dan lelah jatuh pada celah bibir Jeno, ia menatap gadis itu dengan wajah yang terlihat seperti hutan luas, gelap. Namun, tetap memakan bagian yang masih terlihat segar, dia akan berpikir bahwa permen kapas terlalu cantik untuk berada di tempat sampah.

Selebihnya mereka duduk dalam diam, membawa pandangan pada semburat jingga yang ditinggalkan oleh matahari ketika selesai dengan tugasnya. Menikmati angin sejuk yang menggoyangkan helaian rambut, juga nyanyian ombak dengan anggun menghantam bebatuan.

"Kita harus pulang." Jeno memberitahu setelah selesai dengan gumpalan permen kapasnya. "Kecuali jika kau berniat menginap di sini."

Aera menatap lelaki itu melalui celah bahunya. "Iya, dan tidak."

Mereka meninggalkan lautan dengan naungan ungu tua di atasnya, menyimpan memori hari ini untuk kembali dibuka pada hari yang akan datang, hanya jika itu bisa.

🦋


Aera menghela napas, terlihat berat dan dalam, dia melakukan itu berulang kali sejak dirinya berada di sana, membawa tatapan pada jutaan air yang jatuh di atas kepala. 

Langit sudah sepenuhnya gelap dan mereka harus terjebak pada sebuah halte kota, terlihat mengerikan dengan empat orang yang tersisa di sana. Ia menyandarkan punggung pada kursi, wajahnya terlihat lebih gelap dari apa yang ada di sana.

"Tuhan mengabulkan keinginanmu untuk bermain hujan," komentar Jeno, lelaki itu mengusap lengan dengan kedua tangannya yang memerah.

Aera memutar mata. "Ya, tetapi tidak sekarang," balasnya, merasa bahwa itu bukan sesuatu yang terlihat seperti daftar keinginan.

Gadis itu bangkit, membawa tangannya untuk menyentuh air yang jatuh dari atap. "Ayo pulang." 

Untuk beberapa hal, Jeno benar-benar tidak suka pada hujan, bukan tidak suka yang terlihat seperti benci atau sebuah kenangan buruk, tetapi tidak suka karena tubuhnya akan bereaksi sangat berlebihan untuk cairan itu.

Ia akan memerah, bukan karena tersipu, tetapi memerah dengan bintik-bintik mengerikan di sekujur tubuh ketika itu terjadi.

Kemudian berakhir dengan suhu tubuh yang naik drastis setelahnya.

Terima kasih banyak untuk poin terakhir!

Di sisi lain, dia juga tidak suka ketika membayangkan Aera pulang sendiri, di tengah hujan, gelap dan sepi. "Apa kau baik-baik saja dengan itu?" tanya Jeno. "Maksudnya apa kau tidak akan demam?"

Aera bersidekap. "Tubuhku tidak akan bereaksi seperti itu." Ia menyelesaikannya dengan kaki yang mulai melangkah, beranjak ke arah utara, di mana sepeda mereka berada.

"Baiklah," kata Jeno pada akhirnya, membuat keputusan dengan yakin dan sungguh. Dia mulai mengikuti jejak gadis itu, membawanya untuk kembali bersepeda bersama.      

Dia benar-benar berharap bahwa tubuhnya tidak akan memulai drama, paling kurang hingga berada di rumah.

-

Mereka tiba di kediaman Aera ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Jeno hanya berkunjung untuk menghubungi Nyonya Kim dan mengatakan bahwa dia membawa pulang putri dari wanita itu dengan keadaan selamat dan bebas dari lecet, kecuali tubuh yang sedikit basah, Jeno merasa itu bukan sesuatu yang fatal, dia berharap seperti itu untuk Aera.

Dia mengakhiri kunjungan dengan sebuah pesan bahwa Aera benar-benar harus meminum teh madu setelah ini, Jeno tidak senang ketika suhu tubuh Aera akan naik beberapa derajat besoknya, itu akan terasa menyakitkan.

-

"Apa kau baru saja diculik oleh penjahat? Atau kau sedang bersembunyi dari kejahatan?!"

Jeno merasa bahwa sebuah teriakan keras dari kakak sulungnya tidak perlu ada untuk penyambutan ketika dia tiba di rumah.

"Ada apa?" Suara itu berasal dari ruang pribadi, ibunya keluar dari sana dengan wajah yang masih terpasang masker hitam.

"Jeno?!"

Jeno juga merasa bahwa tidak perlu ada teriakan kedua untuk malam ini.

"Jeno hanya akan demam," katanya, di sela bibir yang semakin membiru. "Jangan bereaksi seperti Jeno akan mati sebentar lagi."

Nyonya Jung melepaskan masker di wajahnya, menatap kakak-beradik di sana dengan mata yang menyipit. "Kau sebaiknya diam." Ia menunjuk ke arah Jeno. "Dan kau! Bawa adikmu ke kamar mandi! Basuh dia dengan air hangat, Eomma akan menyiapkan teh madu." Wanita itu mengakhiri dengan sebuah tatapan tajam yang berbahaya.    

Mereka berpikir bahwa tidak perlu ada ancaman lain untuk mengerjakan apa yang baru saja diperintah. Taeyong berharap ini tidak akan berlebihan.

Jika adiknya jatuh sakit, maka itu akan menjadi hal paling merepotkan di dunia.  

Aku punya cerita untuk part ini, ketika selesai merevisinya, aku selalu menambahkan nama di akhir chapter, dan setelah itu siap publish.

Tetapi ketika aku ingin menekan huruf 'R', tanpa sengaja diikuti tombol 'ctrl' sebelumnya, dan mereka akan mereload halaman ini :)

Aku akan berterimakasih jika saat itu komputerku tersambung dengan internet, maka halamannya akan baik-baik saja, tetapi itu benar-benar hilang ketika ternyata internetnya terputus.

I wanna cry, so bad!

Aku punya penyakit semacam ... sedikit merepotkan, maksudnya part ini tidak akan sama seperti terakhir kali, dan aku selalu merasa bahwa yang terakhir kali jauh lebih baik.

Aku sedikit depresi untuk ini!

Drama yang panjang, ya Tuhan.

Terima kasih banyak sudah mengapresiasi ini, aku akan lebih hati-hati kedepannya.

Have a wonderful day!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro