Chapter 15
"Jadi, ingin menambahkan sesuatu, Tuan Muda?" Aera bertanya untuk kedua kalinya ketika lelaki itu hanya tersenyum ke arah wishlist yang dia buat. Seperti bayi bertemu dengan ayahnya untuk pertama kali, berseri dan bahagia.
Jeno mengangguk dengan alis terangkat, dan mulai mengetikkan beberapa kata pada ponsel dalam genggaman, dia menambahkan itu tepat di bawah tulisan yang Aera tinggalkan. "Cukup satu saja," katanya dengan senyum yang berasal dari serpihan hati terdalam.
Kemudian menunjukkan sebuah mahakarya pada Aera.
· Menua bersama Aera
Oke, untuk yang satu ini, Aera benar-benar akan muntah jika melihatnya di dalam tayangan layar, tetapi apa yang terasa sekarang sangat jauh berbeda.
Dia hampir tidak tahu untuk mengatakan apa, tubuhnya terasa kaku dengan pandangan terkunci pada bola mata yang memantulkan bayangnya, sangat dalam, dan hampir tenggelam.
Pipinya terasa sedikit terbakar, mungkin sinar matahari menyengat lebih kuat sebelum akhirnya beranjak. Hanya jika mungkin.
"Menua bersama Aera?" koreksinya dengan nada yang patah-patah, terlihat seperti hampir tidak percaya pada apa yang sedang terjadi, ini terlalu cepat dan juga tiba-tiba, atau mungkin dia melewatkan sesuatu untuk mengatakan bahwa ini terlalu cepat dan tiba-tiba.
Hey, Jeno hanya orang asing, dan Aera harus terjebak dengannya karena sebuah kesialan, balas budi atau paksaan, Aera tidak tahu harus memilih apa untuk kondisi mereka sekarang. Dan tentu saja! Ini sangat lancang untuk mereka yang sekedar baru kenal, tetapi di waktu yang sama, Aera juga menikmati perasaan yang datang.
Bukan, ini bukan tentang dia yang jatuh dalam pesona Jeno, sesuatu yang dimaksud jelas lebih tertuju pada hal baru yang menyenangkan, memiliki seorang teman untuk bersepeda contohnya, mungkin dia mulai berdamai dengan kegiatan melelahkan, dan Aera tidak pernah berpikir untuk lebih.
"Aku memutuskan untuk menulis itu." Jeno memberi tahu tiba-tiba, atau mungkin dia merasa jika mereka saling menatap dengan waktu yang sangat lama, dan Jeno memilih untuk keluar dari sana sebelum tenggelam dan melakukan hal fatal yang mungkin saja dia akan mati di tangan Aera. "Melakukan apa pun, bersama. Hanya jika itu terasa nyaman untukmu." Dia mengakhiri dengan sebuah senyum teduh, yang entah sejak kapan terasa pas di penglihatan Aera.
"Baiklah," kata Aera, dia membawa pandangannya pada sebuah bangunan tua di seberang sungai, seperti pemandangan abad pertengahan. "Jika itu tidak melelahkan untuk kau lakukan," lanjut si gadis.
Bibir sedari tadi berkedut menahan senyum akhirnya kalah dengan rasa menyenangkan yang datang, ia merekah dengan lebar dan lepas.
"Kau seperti Joker," komentar Jeno pada sebuah senyum manis gadis itu, terdengar jelas dan padat.
Seketika bunga merah muda yang sedang bersemi pada Aera terasa hilang digantikan petir, emosinya naik dengan cepat pada apa yang baru saja ia dengar. "Kau anak setan," katanya dengan nada penuh dendam dan beraura gelap.
"Kau harus lihat senyum itu, aku hanya mengomentari tentang apa yang kulihat." Jeno mengelak, memberi tatapan seperti anak kecil yang mengatakan tidak pada tuduhan memakan eskrim, tetapi mulutnya penuh dengan benda itu.
"Terserah." Aera merengut, wajahnya menjadi datar seperti saat pertama mereka bersapa.
Itu tidak terlihat bagus bagi Jeno, dia baru saja membuat gadis ini sedikit berbicara, tetapi bendera perang mulai dikibarkan ketika candaan melayang di waktu yang kurang tepat.
Aera mengambil plastik sampah makanan mereka, dengan kasar dan brutal, ia berjalan menuju tempat yang terlihat seperti pembuangan, dan melemparkan benda itu ke dalamnya.
Melempar dengan anarkis dan penuh dendam, seolah ia melempar tubuh Jeno ke dalam kolam piranha, dan tersenyum licik setelahnya.
"Aela?" Sengaja Jeno memanggilnya dengan sebutan versi imut, berharap sesuatu yang dingin membuat kobaran api sedikit menjadi jinak.
Jeno tentu saja sedang berusaha menjinakkan api sekarang, sounds good!
Aera kembali duduk dengan kaki berselonjor di atas rumput, menopang tubuh menggunakan kedua tangan yang berada di belakang, gadis itu memiringkan wajah. "Ya," jawabnya dengan muram.
Jeno mencebik. "Ayo ke pantai," pintanya dengan tenang. Tidak, tentu saja dia merengek entah keberapa kali untuk hari ini.
Dia akan terus melakukan itu jika sudah berhadapan dengan Aera dalam versi Antartika.
Gadis itu bergeming, menatap Jeno dengan sangat malas, dia tidak tahu kenapa suasana hatinya mudah berubah, dia tentu saja bukan gadis yang seperti itu biasanya. Kecuali jika siklus bulanan akan datang.
Namun, tetap saja! Jeno itu menyebalkan.
"Ayo," pinta Jeno lagi. Dia menyenggol sepatu Aera menggunakan kakinya, berusaha menarik atensi gadis itu untuk diajak berbicara.
"Malas." Singkat, padat, tetapi bukan seperti yang Jeno inginkan.
Lelaki itu mencibir, selalu dengan bibir bawah yang maju beberapa senti. "Kau akan mendapatkan eskrim nanti," katanya dengan serius setelah mendapatkan tatapan tajam dari Aera.
Si kutub mendengus. "Tidak."
"Dua porsi," kata Jeno lagi. Kali ini tangannya terangkat dengan jemari membentuk isyarat angka dua.
"Kau menyogokku?" tanya Aera, wajahnya mengerut tidak suka.
"Tiga porsi."
Gadis itu bangkit, membuat Jeno sedikit mundur ke belakang, jaga-jaga jika ternyata Aera sedang memasang amunisi untuk membunuhnya, tetapi menjadi lebih santai ketika si kutub ternyata berjalan ke arah sepeda.
"Ayo! kenapa masih di sana?" tanya Aera, wajahnya terlihat tidak sesuram tadi, meskipun tidak secerah itu juga, terlihat lebih netral!
Jeno membawa bola matanya bergerak ke kiri dan kanan dengan tempo cepat, sedikit lega, tetapi juga mencibir, "Egonya hanya sebatas eskrim tiga porsi." Dia menyelesaikan kalimat itu dengan bangkit dan menepuk pantat yang terkena sedikit debu, kemudian mengikuti gadis yang sudah bersiap untuk perjalanan selanjutnya.
-
"Berhenti!"
Jeno merasa teriakan dengan nada setinggi angkasa tidak perlu dilakukan jika hanya untuk menghentikan laju sepeda.
Dia tidak butuh semua orang menatap ke arah mereka dengan pandangan yang beragam, atau mungkin mengira bahwa Jeno baru saja menculik gadis di atas sepedanya.
Terima kasih banyak untuk poin terakhir.
"Pendengaranku masih bagus, santai, Kim."
Aera melirik lelaki itu melalui celah bahu dan rambutnya. "Tidak ada," kata Aera ketika menangkap wajah Jeno yang sedikit mengerut.
Lelaki itu turun dari sepeda, diikuti oleh Aera setelahnya. "Ingin sesuatu?" tanya Jeno, nadanya terasa seperti gumpalan awan lembut, mungkin menyesal ketika melihat wajah Aera yang kembali murung.
Gadis dan pikiran mereka yang sangat rumit!
"Tidak ada," kata Aera lagi.
Jeno mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari tahu sesuatu yang mungkin ingin Aera miliki, dan yang paling terlihat seperti keinginan untuk dimiliki oleh Aera adalah sebuah gerobak dengan permen kapas sebagai menu utama.
"Ingin itu?" tanya Jeno, telunjuknya mengarah pada tempat tujuan.
Aera mengulum bibirnya, mengarahkan tatapan pada apa yang Jeno tunjukkan. "Bolehkah?" Dia bertanya dengan mata yang terlihat seperti sebuah kelereng, bulat dan mengkilat.
Jeno menyentil kening gadis itu, menghasilkan sebuah umpatan yang kasar seperti biasa. "Itu tidak bernilai milyaran," kata Jeno sebelum menarik lengan baju Aera menuju gerobak dengan cepat, tetapi lembut.
"Kau ingin yang mana?"
Gadis itu menatap ke arah Jeno ketika pertanyaan dilayangkan, kemudian mulai menilik warna apa saja yang berada di dalam mesin pembuatan. "Aku mau merah muda," katanya dengan telunjuk bergerak di atas kaca pembatas. "Eh, biru saja." Ia mengerutkan kening ketika semua yang terlihat di dalam sana indah untuk dimiliki. "Tetapi, ungu juga cantik."
"Aela?" panggil Jeno dengan sangat gemas. "Penjualnya jadi bingung."
Paman yang menjadi pemilik gerobak tersenyum. "Kita bisa membuatmu memiliki semua warna, Aela," katanya dengan lembut.
Aera balas tersenyum, tetapi sikunya menghantam dada Jeno dengan keras atas apa yang lelaki itu lakukan, dia baru saja membuat nama Aera berubah dalam sekejap. "Terima kasih," ucap Aera pada paman yang sedang mengolah permen kapas miliknya.
"Kau setan kecil yang jahat." Jeno berbisik kesal pada gadis itu, dia bertaruh bahwa dadanya akan meninggalkan memar untuk semua yang didapat.
Aera memutar mata. "Kau iblis cabul."
Mereka bersitatap.
"Ini pelanginya, Aela."
Ucapan paman itu memutuskan tatapan penuh dendam dari keduanya, Aera membawa pandangan pada sebuah gumpalan pelangi yang terlihat indah, lebih indah daripada wajah Jeno untuk saat ini.
"Ya Tuhan, cantik sekali," komentar Aera, matanya menyala seperti pantulan matahari di atas air laut yang luas, mari membuatnya mudah dengan kata berbinar.
Ah, tatapan itu, Jeno menjadi sedikit bingung sekarang, gadis di depannya bisa menjadi sangat galak dan anarkis, juga dingin untuk beberapa hal, tetapi ketika bersikap manis, dia bisa lebih manis dari pemanis manapun di dunia. Misalnya saat ini, Aera terlihat seperti baru saja melahirkan sebuah permen kapas.
"Terima kasih." Jeno berujar sopan ketika selesai dengan pembayaran.
Mereka kembali dalam perjalanan yang tertunda dengan Aera duduk sedikit lebih bahagia, dia menatap permen kapas itu tanpa henti, tampak sangat memuja.
"Kenapa tidak dimakan?" Jeno bertanya dengan sebuah helaan napas ketika makanan itu hanya menjadi objek untuk dipandang, dan Aera tidak mencubit benda cantik dalam tangannya sama sekali.
"Ini indah, terlalu jahat untuk dimakan."
Jeno akan terserang sweetdrop dan mati muda sebentar lagi, dia sama sekali tidak mengira bahwa komentar itu akan keluar dari mulut Aera, jika dilihat melalui sudut yang mengatakan bahwa gadis itu dingin, brutal, galak, kasar, dan anarkis, setidaknya menurut penilaian Jeno sendiri.
Terima kasih banyak atas semua yang terjadi! Tentu saja.
Hiks, ini imut untuk beberapa hal, aku suka mereka :"
Kamu punya sesuatu untuk dikatakan?
Jika tidak, sampai jumpa, wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro