Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13

Jeno menemukan dirinya berdiri di depan rumah Aera dengan rasa jengkel yang sedikit berlebihan. Jam sembilan pagi, dia akan berpikir bahwa Aera sudah duduk manis di kursi teras untuk menunggu jemputan datang. Itu terdengar baik untuk menjadi kenyataan.

Namun, gadis ini bahkan belum bangkit dari mati sementara sejak semalam, Jeno mengetahui itu dari asisten rumah Kim, dan untuk fakta yang satu ini terdengar sangat buruk, juga menyebalkan. 

Ia akan menerobos ke dalam kamar Aera jika saja tidak ingat mereka hampir dua puluh tahun sekarang, dan Jeno cukup merasa berdosa untuk melihat gadis itu dengan pakaian sedikit terangkat.

Menunggu asisten untuk membangunkan Aera terdengar seperti hal benar untuk dilakukan.

Jeno adalah lelaki baik budi, terkadang.

"Kita tidak ke pemakaman." Adalah kalimat pertama yang mengawali pertemuan mereka ketika pandangan Jeno menangkap setelan Aera, serba hitam dengan mahkota keemasan.

Aera memutar mata. "Kau?" Ia balas berkomentar, membawa pandangannya ke arah Jeno yang bersandar di daun pintu.

Mereka berada di ruang utama, tepatnya Jeno di depan pintu dan Aera menuju meja makan.

"Apa kau punya penyakit semacam tidak bisa membedakan warna?" tanya Jeno ketika setelan yang digunakan adalah warna abu-abu. Ia mengikuti jejak Aera untuk bergabung dengan makan pagi, mari membuatnya elit seperti breakfast.

Aera mengambil mentega, kemudian mengolesinya di atas roti berbentuk segi tiga. "Tidak jauh beda, seperti odol dan pasta gigi." Gadis itu mendorong sepiring roti ke depan Jeno. "Dan ini masih pagi buta untuk datang." Dia memberitahu. "Juga, aku tidak ingat pernah mengiyakan ajakan ini."

Lelaki itu menyeringai. "Pertama, aku tidak peduli, tentu saja." Ia mulai membuat sesuatu yang terlihat seperti kelakuan Aera barusan, mengolesi mentega pada rotinya. "Dan ini sudah jam sembilan pagi, jika kau mendadak tidak memiliki jam."

Aera mengangkat bahu. "Terserah, aku baru saja tidur." Itu terdengar seperti kebenaran jika dilihat dari kantung matanya yang sedikit bengkak.

"Menonton video dewasa terdengar bagus untuk alasan itu," kata Jeno di sela menggigit rotinya. "Jadi, alasan apa yang kau gunakan?"

Aera berhenti dari kegiatannya untuk beberapa saat. "Sialan," umpat gadis itu ketika mencerna maksud dari pertanyaan Jeno barusan. 

"Aku lelah mengatakan sesuatu seperti your words, Aera Kim." Jeno menggoyangkan susu di dalam gelasnya, melakukan hal yang terlihat seperti peminum handal. "Sebagai gantinya, aku akan langsung membungkam your words jika itu terulang."

Aera tersedak, dengan sangat dramatis dan menambah kesan alami di dalamnya. "Lakukan, kemudian kau akan hidup dengan satu mata yang hilang," ancam si kutub galak, menatap Jeno menggunakan matanya yang menyipit. 

Jeno merasa bahwa tertawa dengan semua ini harus untuk dilakukan, ia meledak. "Ya, Madam," katanya setelah menyelesaikan suapan terakhir.

Lelaki itu menghubungi ibu dari gadis yang akan dibawanya, ia mengatakan bahwa Aera akan aman berada di luar rumah, dan kejadian terakhir kali tidak akan terulang. Jeno berjanji dengan sungguh-sungguh pada Nyonya Kim.

Mereka berangkat setelah selesai dengan semua hal, dan mari lihat, hal menarik apa yang Jeno katakan bagus untuk menikmati hidup.

Aera benar-benar tidak berharap bahwa mereka akan melakukan sesuatu yang lebih terlihat seperti hal mengerikan.

🦋


"Ini melelahkan, jujur saja." Aera mengeluh di tengah kakinya bekerja keras untuk mengayuh, gadis itu frustasi, bersepeda terdengar sangat tidak menyenangkan untuk tubuhnya yang centil dan cantik. Ia mulai berpikir akan mengajak Jeno senam zumba, lain kali.

"Ini seratus meter dari garis awal, dan kau sudah bereaksi seperti cuka bertemu hidrogen proksida," komentar Jeno, ia menghentikan laju sepeda untuk menunggu Aera tiba di dekatnya, dan dia bertaruh jika gadis yang berjarak dua puluh meter di belakang sedang mengumpat, keras dan kasar, jika dilihat dari mulut yang komat-kamit dan alis bertekuk dalam.

"Mudah bagimu untuk mengatakannya." Aera mencibir. Jujur saja, ia mengira bahwa bersepeda akan terasa manis seperti dalam drama, dan yang baru saja terjadi sangat bertolak belakang. Bersepeda adalah hal paling melelahkan, Aera akan menambah ini ke dalam list hitamnya, atau mungkin hanya berlaku untuk kali ini.

Ia tiba tepat di samping Jeno, mengangkat wajah dengan angkuh dan tersirat makna bahwa gadis ini bisa mengalahkannya. "Kita istirahat," titah Aera sebelum tubuh itu merosot di atas rumput, dan persetan dengan wajah angkuh, dia lelah.

Jeno menuruti, gadis yang dihadapinya sedikit punya gangguan seperti bereaksi sangat berlebihan, dia memarkir sepeda di samping jalan yang terlihat khusus untuk penikmat jalan kaki dan bersepeda, tentunya. "Kita tidak akan berjarak 300 meter dari rumah jika yang terjadi seperti ini, aku bertaruh." Lelaki itu menyodorkan air mineral yang tersimpan di holder —atau tempat semacamnya— untuk Aera. "Kau dibonceng saja."

"Sepedaku mahal jika hilang."

Jeno mendengus. "Kau lebih menyayangi sepedamu? Dibanding dengan nyawamu?"

Gadis itu mengerutkan hidung dengan sebelah alis terangkat. "Aku tidak mati semudah itu." Aera sedikit ragu dengan jawabannya. "Tetapi baiklah, jika kau memaksa."

"Aku tidak memaks-"

"Kau tidak perlu melanjutkan!" potong Aera cepat, dia memang setuju untuk dibonceng, tetapi dalam waktu yang sama, dia tidak ingin terlihat terang-terangan.

Jeno menyeringai. "Baiklah," jawabnya dengan tenang, kemudian menyentakkan kepala ke arah sepeda, yang terlihat seperti ajakan untuk berangkat dengan makna tersirat.

Mereka menyelesaikan pertengkaran kecil itu dengan sepeda Aera berada di garasi teman Jeno, yang secara kebetulan juga berada di dekat keduanya.

Baiklah, Jeno tidak akan mengambil resiko dengan hilangnya sepeda merah muda yang berhiaskan pita di depan keranjangnya. Itu akan terdengar sedikit tidak bertanggung jawab, terlepas dari bukan Aera yang diculik.

Mereka berakhir dengan berbagi sepeda, Aera duduk di atas top tube —bagian depan sepeda, dan mengabaikan fakta bahwa pantatnya terasa sedikit sakit untuk ini.

Tidak masalah, itu bukan sesuatu yang besar.

"Aera, apa kau punya teman selain lelaki tampan ini?" Jeno bertanya tiba-tiba, di sela napas yang terengah-engah, pandangannya sedikit menunduk untuk menangkap puncak kepala Aera, sebelum kembali menghadap jalanan, dia hanya ingin melihat reaksi gadis itu, dan lupa bahwa mereka tidak sedang berhadapan. Bagus, Jeno! 

Aera menghela napas, matanya dibawa untuk menyapu pandang pada gedung tinggi dan cantik yang berada di sebelah kanan, juga pepohonan rindang mengambil alih sebelah kiri, itu terlihat seperti pembatas jalan dan sungai di sampingnya.

"Memangnya kau temanku?" tanya Aera, terlampau serius dengan semua yang dilayangkan.

"Jadi kekasihmu? Begitu?" Terdengar kental dengan nada godaan dari pertanyaan lelaki itu, untuk sejenak dia melupakan fakta bahwa Aera adalah seseorang yang sedikit irit bicara, pedas, dan anarkis, kemudian tersadar ketika sebuah siku mengenai dadanya dengan keras. 

Aera bukan gadis yang kejam, tetapi ringisan kesakitan yang keluar dari celah bibir tipis Jeno benar-benar terasa pas di telinganya. 

"Perhatikan saja jalannya, Tuan Muda."

"Aku hanya bertanya." Jeno berujar tidak santai, sebuah pengendalian kalimat untuk menyelamatkan diri.

Ketika kedua bahu Aera merosot turun, Jeno merasa bahwa dirinya adalah makhluk paling jahat di dunia. "Maaf," kata Jeno dengan menyesal.

Pertanyaannya tidak terlihat seperti hal yang bisa untuk dilayangkan, jika memakai sudut pandang yang mengatakan bahwa Aera seorang pendiam, juga sedikit menutup diri. Itu sama saja menanyakan hal yang terasa seperti 'apa kau tidak sedih ketika ibu dan ayahmu berpisah?'

Kau benar-benar idiot jika melayangkan kalimat itu, mungkin Jeno tidak bermaksud, tetapi tetap saja!

"Maaf, Aera," bisik Jeno lagi.

Gadis itu memutar kepala sebisa mungkin, menatap Jeno melalui sudut bahunya. "Kenapa?"

"Karena menanyakan ini, apa aku menyakitimu?"

Aera hampir tidak bisa merasakan apa pun tadi, sebelum kalimat yang Jeno katakan dan terdengar tulus membuat dadanya menghangat, lumer, dan manis. "Itu tidak lebih menyakitkan dibanding melewati libur tanpa kasur di bawahku," katanya, terdapat banyak lelucon di dalam kalimat gadis itu.

Jeno menjadi lebih santai pada kalimat yang baru saja didengar. "Baiklah, aku akan menemanimu, sekarang dan selamanya." Ucapan itu diakhiri dengan senyum teduh, membuat matanya terlihat seperti matahari tenggelam, bersembunyi dengan menawan. 

"Tidak perlu, terima kasih."

Jeno mendengus. "Kau memerah, 'kan?"

"Rupanya kau ingin mati, ya?" 

Kalimat terakhir Aera membuat Jeno melepaskan tawa yang terlihat tanpa beban, seperti balita menemukan mangkuk eskrim ke-empat di saat yang sama. 

Aera merekahkan senyum, yang lebih terlihat seperti berkaca-kaca entah untuk alasan apa. Dia merasa sesuatu yang mendebarkan menghuni rongga dadanya, sulit untuk dideskripsikan, tetapi menyenangkan adalah poin utama.




Ootd Aera hari ini 😚




Ootd Jenooo 😚




Merem dulu gais kali aja jumpa sama author pas tidur AWOAKWOAK

Apa kamu memahami secara keseluruhan narasiku yang terlihat kaku dan patah-patah? Hahaha.
Aku suka dengan narasi ini.

Aku hanya butuh sedikit masukan, sesius! Dan terima kasih untuk itu. Sampai jumpa!


Have a wonderful day <3


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro