Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11

Tiga hari semenjak kejadian aneh di taman, selama itu pula Aera absen dari kelas, dan semua hal yang terjadi membuat Jeno uring-uringan dengan jumlah sangat banyak karena tidak bertemu dengan si kutub.

"Jarum jam bergerak sangat lambat," komentar Jeno, terdengar banyak nada jengkel di dalamnya.

Atensi Haechan teralihkan, lelaki berkulit tan itu membawa pandangannya pada teman di bangku belakang. "Kau terlihat seperti ikan tanpa air," cibir Haechan setelah mengambil pena dari mulut yang sedari tadi ia gigit, terlihat seperti; Haechan butuh sedikit asupan makanan ketika mencerna pelajaran.

Lucas membalikkan badan 90 derajat, menatap penuh pada lelaki yang baru saja berbicara. "Kita akan terkena demam tifoid jika tidak menyuntik vaksin." Dia memberitahu, kemudian kembali sibuk dengan catatan di atas mejanya.

"Apa tadi? Kau bilang apa?"

"IQ satu digit mana bisa mengerti."

"Apa?!"

"Haechan!? Kau boleh keluar jika merasa sudah pintar." Pak Kwon berkata dengan sengit, membuat seolah aliran listrik 'tak kasat mata terhubung di antaranya, seperti induk ayam yang anaknya dibawa lari.

Haechan menyikut pelan dada Lucas, lelaki yang membuatnya berteriak sedikit tinggi seperti barusan. "Bukan seperti itu, mari bicarakan ini baik-baik," tawarnya pada guru yang sedang melayangkan tatapan permusuhan, dan Haechan mencoba mengibarkan bendera perdamaian.

Mulut Pak Kwon akan mengeluarkan banyak kata jika saja bel pulang tidak berbunyi, lelaki tua itu mengakhiri tatapan mautnya, kemudian mulai memungut buku di atas meja. "Kau sedikit beruntung hari ini," katanya sebelum meninggalkan kelas.

"Epe?!" Lucas mengejek dengan senang hati, mengulang kata terakhir yang dilayangkan teman kecilnya sesaat sebelum terkena petir.

Perang dunia ke-3 benar-benar akan terjadi jika saja Lucas tidak bergegas keluar dari kelas ketika Haechan siap dengan sapu dan sepatu di tangannya.

Itu terdengar bagus untuk disaksikan, pertumpahan darah yang terasa seperti komedi.

Jeno menatap temannya dengan wajah nakal, lebih tepatnya seperti mengatakan akan bagus jika Haechan berhasil menemukan Lucas, dia terlihat seperti seorang teman yang baik.

Lelaki pemilik senyum teduh bangkit dari duduk, memutar badan menghadap bangku gadis kutub berada. "Sebaiknya kita membuat rapat rahasia," gumamnya, tepat sebelum kaki kokoh itu beranjak.

Mungkin, hanya mungkin. Sesuatu yang menggerakkan Jeno kali ini bukan lagi rasa penasaran, itu lebih merujuk pada sesuatu yang sedikit berlebihan.

Jeno dan tunangan masa kecilnya, sial! Membayangkan Aera lupa akan semua hal membuat dadanya berdenyut tidak menyenangkan.

Sebaiknya gadis itu sedikit mempermudah, seperti akan mengingat kembali hanya dengan sebuah ciuman, terdengar bagus untuk kedua belah pihak.


🦋

Aera pikir, dengan mengurung diri di kamar akan membawa ketenangan pada jiwanya yang terlanjur sakit.

Ia hanya mengharapkan sebuah kehidupan, bukan hanya gelar hidup yang tersandang.

Kehidupan yang terlihat seperti kehidupan, banyak tawa dan cinta, matahari bersinar dengan naungan langit biru sebagai pelengkap.

Atau sekedar menikmati akhir pekan di beranda rumah dengan tenang dan bahagia.

Sesederhana itu sebenarnya.

"Aera?"

Dia tersentak dari renungan sia-sia, pandangannya dibawa menuju pintu, di mana suara panggilan itu berasal. "Tidak dikunci," katanya tanpa emosi yang tersirat, terasa hampa dan mengawang.

Sang pemilik suara masuk ke sana, membawa tubuhnya untuk berjarak dekat dengan Aera. "Tidak habiskan makananmu?" tuduh Nyonya Kim ketika menangkap sebuah piring yang masih terisi utuh di atas nakas.

"Tidak selera."

"Aera?"

Suara lainnya yang terdengar lebih dalam menyapa, membuat jantung Aera sedikit tidak sabaran untuk berdetak, terasa dalam tempo teramat cepat. Ia celingukan, mencoba meraih pandangan yang tertutup dengan tubuh ibunya.

"Jeno?" panggilnya, atau lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan.

Lelaki itu menyembulkan senyum, matanya selalu tampak menawan ketika sudut bibir tipis itu terangkat. "Hai," sapa Jeno dengan riang, atau lebih terdengar seperti mencoba membuat suasana sedikit cerah, karena demi apa pun mata sembab dengan wajah berantakan gadis itu sangat tidak cocok untuk hatinya, terasa sedikit sesak.

"Kenapa kau ke sini? Siapa yang mengizinkan?" Aera bertanya galak, jika pada karakter komik, mungkin kepala gadis itu sudah menunjukkan tanduk dua. Sangat tidak sinkron dengan kondisi wajah yang menampakkan keputusasaan.

Nyonya Kim mendelik, mengusap wajah putrinya dengan kedua telapak tangan, jaga-jaga jika ternyata gadis ini di bawah pengaruh setan. "Tenang, tolong," pintanya, lebih terlihat seperti godaan. "Mommy akan ke belakang, ajaklah Jeno berbicara, besok kau akan masuk sekolah."

Aera terpejam ketika tangan lembut ibunya menyentuh puncak kepala. "Jika Mommy memaksa," jawabnya sebelum sang ibu menghilang di balik pintu setelah memberikan sebuah kecupan singkat.

"Kau berantakan," kata Jeno tiba-tiba.

Gadis itu menatap tidak suka, keningnya sedikit berkerut dengan sebelah bibir ikut terangkat. "Untuk apa kemari?"

"Mengunjungi teman yang sakit."

"T-teman?" koreksi Aera, jaga-jaga jika telinganya salah menangkap suara.

Jeno menyeringai, ia berjalan menuju pintu, membuka kayu bewarna lembut dengan sangat lebar. "Jaga jarak, aman," katanya.

"Humormu sangat tidak jelas."

"Kau sangat tidak santai, Aera. Aku akan memaklumi jika itu para lansia, terdengar masuk akal, tetapi kau masih bocah."

Gadis itu melebarkan mata. "Remaja," koreksi Aera, lagi.

Jeno mengangkat bahu, seperti yang dilakukan para gadis sok berada di kalangan atas. "Terserah," ujarnya sangat centil, kemudian menyodorkan sesuatu yang sedari tadi berada dalam genggaman.

Untuk beberapa hal, Aera merasa bahwa lelaki di depannya sedikit tidak normal, bagaimana dia merubah diri menjadi hangat, dingin, misterius bahkan sangat centil. "Apa itu bom?" tanya Aera, sebelah keningnya terangkat sempurna.

"Kita akan mencoba itu lain kali." Dan Jeno merasa bahwa matanya berotasi adalah hal yang sangat diperlukan sekarang.

"Eskrim dengan rasa pisang."

"Vanila," Jeno berujar tidak santai, sedikit panik juga ketika memikirkan bahwa gadis ini mengidap rabun buah, yang terdengar seperti buta warna.

Aera memicingkan mata. "Karamel, aku jadi takut kalau ini mengandung racun, jika dilihat dari kau yang bahkan tidak tahu variannya." Gadis itu menyeringai.

Lagi, dia memutar mata, berbicara dengan Aera terasa seperti menyusun sesuatu di akhir sekolah, atau yang disebut dengan tugas akhir, sedikit memicu darah tinggi. "Ada apa dengan bibirmu? Hilang keseimbangan?" tanya Jeno sebelum mendudukkan tubuh di atas kursi yang terlihat seperti tempat belajar.

Gadis kutub mengacuhkan, merasa jika itu tidak menghasilkan sesuatu yang berguna, ia mulai menelanjangkan kotak eskrim, kemudian memakannya dengan lahap.

"Kenapa tidak sekolah? Sudah pintar?" Jeno bertanya dengan pandangan menghadap jendela, tetapi tentu saja bola matanya mengerling dengan lihai ke arah gadis itu.

"Hanya tidak ingin," jawab Aera, setelah menerawang beberapa saat.

"Aku akan menjemput besok pagi."

Gadis itu mendengus. "Dan kembali dengan beberapa tulang yang patah."

"Terdengar bagus, girl."

"Tentu saja!" Aera berseru kesal, lelaki ini selalu dalam kondisi mental yang tidak bisa diajak bekerja sama. Baiklah, mari dipersingkat dengan keras kepala.

Jeno menangkup kedua pipinya, pandangan lelaki itu tertuju pada benda berbulu halus di samping pigura hitam. "Siapa yang memberikan boneka ini?"

Aera membawa pandangan menuju boneka beruang yang duduk manis di sana. "Ayahku," jawabnya, terdengar sangat tidak yakin jika dilihat dari nada dan air muka yang dikeluarkan.

Jeno mendadak panas dingin ketika lagi-lagi gadis ini tidak mengingatnya. Hey! Jeno adalah hal paling indah, sebaiknya gadis ini menyimpan dengan baik segala sesuatu yang menyangkut dengannya. "Baiklah, aku harus menangkap belalang sekarang."

"Kau ... akan apa?"

Jeno bangkit dari duduk, kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku celana, ia menatap Aera tanpa senyum atau ekspresi apa pun, dan Aera akan lebih senang jika itu terlihat netral, bukan malah menakutkan.

"Apa?" tanya Aera galak, dengan suara teredam sendok eskrim.

"Habiskan makananmu." Jeno menyentakkan wajah ke atas nakas. "Aku pulang," lanjutnya tepat sebelum kaki itu melangkah ke luar kamar.

Aera merasa bahwa omelannya benar-benaar perlu untuk didengar, meski hanya dua kata yang keluar, tetapi lelaki ini sudah lebih dulu menghilang seperti bayangan petir menyusul suara, atau mungkin sebaliknya.

"Apa-apaan dengan suasana hati itu, seperti ibu hamil." Aera misuh-misuh kesal, dan semakin kesal ketika menyadari bahwa dia mendengarkannya untuk diri sendiri.

Setelah suapan entah keberapa kali, gadis itu ingat sesuatu yang seharusnya dia katakan.

Karena dia adalah gadis dengan manners yang baik!

"Thanks for this shit."

Jeno benar-benar merapatkan kelopak mata ketika kalimat estetik yang terdengar seperti makian menyapanya. "Dia butuh sedikit hukuman." Dan lelaki itu tidak bisa menahan senyum untuk apa yang terasa berputar di perutnya.

"Sebaiknya kau tidak merindukanku, gadis nakal."

Hey, >,,<

Terima kasih sudah meninggalkan jejak!

See you, Ai!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro