Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•✩Back-side Story: Jeon Changie✩•

—Years ago,

that little girl was trapped while seeking for love

KALAU dulu ditanya mengenai mimpi dan cita-citanya sepuluh tahun mendatang, Changie kecil dengan semangat akan menyahut, "Menjadi orang sukses yang kaya raya. Supaya punya banyak uang, supaya bisa membeli banyak baju bagus, mobil mewah, dan satu rumah besar." Kemudian ia akan menjeda, membiarkan detik berlabuh dalam keheningan, membiarkan beberapa pasang mata menatapnya dalam kuriositas sebelum benar-benar melanjutkan, "Supaya bisa cepat kabur dari rumah."

Kebanyakan orang yang mendengar akan membelalak tak percaya, gurunya pun ternganga dan terkejut luar biasa, kendati sekon berikutnya langsung mengubah air muka dan tertawa demi meredakan suasana kelas yang berubah canggung tiba-tiba. Setelah itu pun, tidak banyak siswa yang memberinya tepuk tangan riuh, tak ada pula tatapan mata yang mengarah padanya dengan sekelumat kagum.

Hanya beberapa bocah kelewat penasaran dengan mata sebulat kelereng bertanya, "Rumahmu 'kan besar, ada banyak mainan juga. Kenapa tidak suka tinggal di sana?"

Oh, sayang sekali. Andai saat itu Changie cukup paham untuk menukas bahwa bangunan semegah istana dan mainan berlaksa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang anak yang haus akan kasih sayang. Semenjak ibunya pergi, sebagian besar hatinya seolah ikut dibawa lari, setengah jiwanya seolah dirampas paksa dan tak menyisakan apa-apa selain segelintir memori pahit.

Saat itulah, lukanya mulai menggenangーluruh bersama seluruh rasa sakit dan perih yang ditahan bertahun-tahun; mengalir bersama air mata yang tumpah ruah di sela-sela semilir angin malam.

Hingga dengan puing hati yang tersisa, emosi diredam, juga segala macam dugaan buruk yang dipikirkan tiap malam, sampailah gadis itu pada sebuah kesimpulan sederhana, "Rumahku itu tetap tidak menyenangkan. Tidak ada pelukan ibu, tidak ada bau masakan sedap, tidak ada pula dongeng penghantar lelap."

Rumah jadi memuakkan.

Tetapi toh alih-alih menyahut demikian, Changie kecil agaknya cukup bijak untuk tidak berceloteh panjang dan membeberkan masa lalu pelik keluarganya. Pernah mendengar bahwa mereka yang bertanya terkadang hanya ingin memuaskan hasrat kuriositas tanpa benar-benar peduli masalahmu? Barangkali, itu pula yang Changie pikirkan kala tiap orang bertanya hal serupa.

Mereka tidak usah tahu, hanya diri sendiri. Itu sudah cukup.

Namun gadis itu tak pernah sadar, bahwa sampah yang terus dipupuk kian lama kian menumpuk, pada akhirnya meledak tanpa dapat dikendalikan. Mungkin benar kata orang, tiap insan memiliki kapasitas sabar yang tak dapat dipaksakan, tiap pribadi pada dasarnya membutuhkan seseorang untuk tempat berkeluh kesah; untuk tempat membuang segala jenis racun kehidupan; untuk tempat berpulang tatkala dunia menamparnya habis-habisan.

Pada dasarnya, setiap orang mendambakan cinta.

Hanya saja, terkadang manusia tidak cukup pintar untuk meletakkan hati dan perasaan pada tempat yang tepat. Cinta itu tak jauh beda dengan heroin, kau tahu? Sama-sama melilit candu. Dan alih-alih menjaga hati agar tidak terluka dan bernanah terlalu banyak, kita lebih suka menjadikan perasaan sebagai objek percobaanーtanpa sadar betul bahwa satu tusukan mampu memberi efek luar biasa, tanpa paham bahwa satu luka akibat cinta dapat mengubahmu menjadi sosok yang berbeda.

Barangkali pula, inilah segelintir dari banyaknya alasan mengapa beberapa orang memilih untuk tidak merasa.

Sebab sekali lagi, terluka bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

***

—once she was being a dumb

once she really believe in naive

"APA kau ingin sebuah kebebasan?"

Melewati satu di antara puluhan malam dihantui mimpi buruk, satu kalimat lawas itu mendadak terputar dalam benak. Suara sedalam lautan, setenang jelaga, selembut lantunan nyanyian sebelum lelap. Saat mendongak, Changie ingat kedua iris bulatnya berhadapan dengan sepasang tatapan hangat yang bertahun-tahun ia rindukanーseolah dari iris itu, ada jaminan akan sebuah harapan baru, ada cagaran mengenai sebuah tempat bersemayam nyaman, ada kepastian bahwa ia akan baik-baik saja terlepas segala lika-liku dalam hidup.

Ia akan tetap baik-baik saja.

"Bibi bisa berbicara baik-baik dengan ayahmu dan menyuruh dia untukーya, kau tahu, mengubah sikap demi putrinya yang manis ini. Ah, menyebalkan sekali bila pria mesum sepertinya masih bisa berkeliaran bebas dan menyentuh tubuh wanita, bukan?"

Benar, benar sekali!

Respon impulsif bocah cilik itu lantas mengangguk cepat. Pupilnya melebar, sisa-sisa air mata yang bertengger di pelupuk mata lantas ditepis dengan kasar. Nyaris tampak menggebu dan membuat diri tampak menyedihkan di depan seorang wanita asing, Changie kecil kemudian menyahut lugu, "Apa bibi yakin bisa membuat ayah sadar dan jera? Dia orang yang keras kepala, aku yakin akan susah."

Namun wanita di hadapannya menyeringai, sebelum tawanya meledak keras-keras. Saat itu ujung gang sedang sepi, Changie ingat betul langit diterkam gelap yang pekat dan keduanya duduk berhadapan di salah satu bangku minimarket yang letaknya bersampingan dengan tembok pembatas jalan. Ini kali kesepuluh Changie keluar rumah tanpa ijin, kali kesepuluh pula ia bertemu bibi penjaga market yang bekerja pada shift malam dan selalu menenggak tiga botol sojuayah sering membawanya ke rumah, tak heran Changie hafal bentuk minumannya.

Namun poin utama hari ini jelas tidak terletak pada beberapa botol soju kosong yang tergeletak di atas meja, bukan pula pada cahaya redup purnama yang nyaris menelan Seoul dalam kegelapan mentah-mentah. Pernah mendengar ungkapan bahwa tatkala hidupmu berada pada titik paling rendah, saat itulah Tuhan berbelas kasihan dan mengirim malaikat penghibur?

Supaya kau sadar, kau tidak benar-benar sendirian.

Bibi di hadapannya ini persis bagai sosok malaikat. Tidak secantik bidadari memang; matanya selalu sayu, tubuhnya ringkih dan surainya kusut, apalagi selera pakaiannya jauh-jauh dari kata feminin. Tetapi penampilan bukanlah tolak ukur yang besar. Sebab tak dapat disangkal, selalu ada aura hangat yang terpancar tiap bibi itu menatap, selalu ada rasa nyaman tatkala Changie duduk di sampingnya, selalu ada sentuhan menenangkan saat bibi membelai surainya.

Mendadak Changie ingat ibu.

"Ayah sudah keterlaluan, Bi. Aku bahkan tidak bisa mengajak teman main ke rumah sebab mereka tahu banyak perempuan jalang masuk ke rumahku seenaknya. Aku selalu terbangun tiap malam sebab desahan yang begitu keras." Tangan kecilnya terkepal, wajahnya merah padam sebab terlampau kesal. "Karena ayah juga ... ibu pergi dari rumah. Aku benci pada ayahーsangat benci."

"Tidak salah, Sayang." Bibi Min berkata, menyeringai tipis. "Tidak salah untuk membenci seseorang yang salah. Ayahmu memang bukan orang baik. Tidak ada pria yang benar-benar baik, Sayang. Tidak ada kasih yang benar-benar diberikan secara tulus."

Changie terhenyak. Dalam satu momen yang begitu singkat, benaknya memutar segala memori yang ada; pasal murkanya ibu saat tahu ayah berselingkuh, saat ayahnya memilih mabuk di klub alih-alih datang ke pentas seni pertamanya dulu, tatkala ibunya pergi tanpa pamit bahkan tanpa memikirkan nasib kedua anaknya.

Tidak ada kasih yang benar-benar diberi secara tulus.

"Sekarang, kau pasti ingin ayahmu pergi, bukan?"

Gadis itu mendongak, hendak bertanya apa maksud dari kata pergi yang disebutーwalau memang, ia ingin sekali ayahnya pergi sehingga hidupnya akan tenang, masa depannya akan terjamin aman. Namun untuk sepersekon yang kelewat cepat, Bibi Min seolah tidak memberi kesempatan untuk Changie bertanya saat menukas, "Kepergian ayahmu akan membuat hidupmu lebih baik, Sayang. Lihatlah dirimu." Ia membelai surai Changie. "Kau gadis yang cantik, cerdas, memesona. Bagaimana bila suatu hari, kau yang jadi korban oleh ayah kandungmu sendiri?"

Korban?

Kemudian bibi Min mendekat, membisikkan sesuatu yang membuat mata bulatnya menatap horror, "Bagaimana kalau suatu hari, ayahmu kehabisan jalang-jalang dan ia akan menyentuhmuーmenyentuh putrinya sendiri?"

Membayangkannya saja sudah cukup membuat mual.

"Itu ... itu tidak mungkin, Bi," katanya gemetar, menggeleng ketakutan. "Ayahーayah tidak mungkin ..." Jarinya terpelintir kuat di atas pangkuan paha, kedua maniknya berkaca-kaca. "Ayah tidak mungkin senekad itu, 'kan?"

Yoo Ri menaikkan alis. Nadanya masih mengalun lembut saat menyahut, "Kenapa tidak mungkin? Kalau ia saja tak peduli kepergian istrinya dan malah menyentuh banyak gadis asing, mengapa kauーputri kandungnyatidak mungkin juga menjadi korban?"

Ayah tidak seperti itu. Ayah tidak

Changie terpaku.

tidak apa?

Kemudian suara batinnya menyahut, bisa jadi, bukan? Kau perempuan, Changie.

Dan ayahmu adalah seorang pria bejat.

Saat itu bola matanya langsung membulat dan jantungnya bertalu gila-gilaan. Dengan sisa kekuatan dan setengah ketakutan, Changie menggeleng kuat-kuat dan berkata terisak, "Bibi, aku benar-benar tidak mau sampai hal itu terjadi. Aku tidak mau menjadi korban ayah selanjutnya! Tolong―" rintihnya putus asa, "Tolong katakan, bagaimana agar aku bisa lepas dari ayah?"

Yoo Ri mengangkat dagu. "Bibi benci menakut-nakutimu, Sayang. Tetapi bibi ingin kau tahu, bahwa para pria itu berbahaya."

Kemudian jeda teramat panjang, mata bulat Changie masih menatap penuh kuriositas, lehernya basah oleh keringat, poninya yang berminyak ditepis jauh-jauh dari wajah.

Jemari Yoo Ri membelai surainya halus, merapikan helai demi helai dan seringainya melebar saat berkata, "Sederhana sebenarnya untuk lepas dari ayah. Tapi jangan berkata pada siapapun, berjanjilah ini hanya rahasia di antara kita. Bagaimana?"

Seolah dihipnotis dalam sihir kalimat lembut, tidak butuh waktu lama untuk Changie mengangguk lugu. Seringai Yoo Ri pun melebar.

"Yang kau harus lakukan sederhana; pergi dari rumah dan jangan pernah kembali, maka kau akan bahagia, kau akan lepas dari pria bejat itu."

***

but the day she agreed she never realized,

regretful was on its way.

"BAGAIMANAPUN juga, keluarga adalah tempat berpulang yang paling aman, Nak. Kau tak tahu bagaimana iblis mengkaver diri sebagai tuan putri di luar sana, kau tak tahu bagaimana dengan embel-embel manis gula, mereka malah mencemplungkanmu dalam kubangan masalah yang hebat."

Harusnya malam itu, Changie tetap mengingat pesan gurunya.

Harusnya malam itu, Changie tidak mengambil keputusan bodoh dengan memilih pergi meninggalkan rumah diam-diam.

Harusnya pada malam kesepuluh pertemuannya dengan Bibi Min, Changie masih dapat berpikir rasional sebagai seorang kakak dan tidak meninggalkan Wonwoo yang masih balita di rumah. Sendiri. Bersama pria itu.

Menilik masa lalu persis dengan menelan bongkahan beling yang mampu mengoyak tenggorokan lebar-lebar, membuat genangan darah mengalir deras bersamaan dengan penyesalan hebat. Changie bukanlah kakak yang baik, bukan pula wanita sempurna dengan talenta luar biasa seperti yang tertera pada berita di Koran.

Kenyataan naasnya, ia hanyalah seorang wanita muda yang pengecut luar biasa.

Hari itu, kala ia memutuskan untuk menurut pada nasihat Min Yoo Ri, hidupnya yang berantakan kian menjadi puing tak beraturan―walau awalnya tampak menyenangkan. Ia menginap beberapa waktu di rumah Paman Joon, memohon-mohon untuk tidak membiarkan siapapun tahu tak terkecuali ayahnya sendiri. Tahun melesat cepat, hari-hari berlalu bagai gulungan mimpi indah.

Tidurnya nyenyak, tak ada desahan, tak lagi harus melihat gadis-gadis jalang.

Namun saat mimpi indah mulai datang, saat itu pula kegelapan mulai menerkam.

Yoo Ri tanpa segan membawa sebuah berita menakjubkan―tepat pada pertemuan ketigapuluh mereka; tepat pada tahun ketujuh hari kelahiran Wonwoo, tepat pula pada saat Changie begitu ingin mengungkapkan rasa sayangnya pada bibi Min dengan sebuah surat dan hadiah kecil.

Saat itulah, untuk kesekian kali dalam hidup, harapannya luntur bersama seluruh air mata yang turun.

"Aku sudah membantumu, Gadis Kecil." Senyuman itu melebar, mendadak Yoo Ri tidak tampak sebagai malaikat. Atau penolong. Atau bidadari.

Melainkan sosok gelap yang suram dan menyeramkan.

"Ayahmu sudah pergi. Selamanya. Bukankah itu berita bagus?"

Senyum Changie luruh. Ia masih ingat bagaimana semilir angin sempat menampar surainya yang panjang, bagaimana keheningan dan suasana sepi malam mampu merenggut sebagian oksigennya. "A-apa?"

"Yah, harus kuakui dia punya tenaga kuat. Butuh waktu belasan menit untuk menyekapnya sebelum kuputuskan untuk menusuk jantungnya." Bibi Min menenggak botol keempat soju-nya, mendesah keras-keras dalam kenikmatan. "Ah, sayang aku tidak bisa mempertotonkan itu padamu. Pasti menyenangkan."

Tawa riang.

Sementara Changie gemetar hebat. "Bibi―bibi tidak sedang bercanda bukan ...?"

Yoo Ri mendengkus tak sabar. "Aku sudah membantumu menyingkirkan pria bejat itu!" Tapi lagi-lagi, senyumnya merekah, kedua bola matanya berbinar cerah-cerah. "Jadi kau tidak perlu merasa terbebani lagi, kau bisa pulang ke rumah tanpa harus melihat tontonan tak senonoh itu lagi."

Bibi Min membunuh ayah.

Hatinya hancur dalam sekejap.

Tidak, tidak.

"Kenapa―" Kini matanya sudah basah oleh air mata. Bibirnya bergetar, kedua kakinya gemetar hebat. "Kenapa bibi membunuh ayah?! Tidak, bibi sama sekali bukan orang baik! Bibi tidak seperti ibu! Bibi jahat! Jahat!"

"Sialan, sudah kubantu kau malah berteriak semaumu!" Yoo Ri menampar pipi Changie keras, menoleh waspada ke sekeliling tetapi untungnya tidak ada orang yang mendengar. "Dengar, aku melakukan ini karena aku sayang padamu! Kehilangan pria bejat itu tentu merupakan sebuah keuntungan untukmu! Kau harusnya bisa lebih bijak mengucapkan terima kasih pada seseorang yang jelas-jelas tulus membantumu."

Tulus?

Dengan membunuh?

"Aku akan laporkan kejahatan bibi ke polisi! Aku akan bilang bibi wanita jahat yang menyuruhku kabur dari rumah!"

Namun, alih-alih ketakutan Yoo Ri malah tertawa lebih keras. "Silakan saja. Kau tak tahu apa-apa tentangku, Gadis Kecil. Hati-hati dengan bibi." Ia meletakkan kedua tangannya pada pundak Changie. "Bisa jadi nanti kau yang terluka. Jangan sampai bibi terpaksa melakukan itu, ya."

Saat itulah Changie sadar; ia telah meletakkan harapan pada orang yang salah. Malam paling krusial saat gadis itu harus melarikan diri dari minimarket, menangis di lorong jalan yang sepi, terisak saat kembali menjejakkan kaki di rumah dan pulang tapi tidak dengan kehangatan.

Rasanya menyesakkan.

Hari-hari berlalu bagai menelan sekelumat biji mentah yang mencekik tenggorokan. Adiknya Wonwoo kerapkali bertanya, "Kakak, kenapa ayah belum pulang? Katanya ia akan bercerita lagi tentang hidup remaja di club. Aku ingin dengar."

Changie mati-matian berusaha untuk membungkam mulut.

"Kakak, kenapa ayah belum pulang?"

"Kakak, kenapa polisi datang ke rumah kita?"

"Kakak, kenapa polisi berkata ayah sudah tidak ada?"

Changie yang saat itu tercampur dengan dendam, amarah, kegelisahan, kesedihan hanya dapat berteriak kalut, "Itu karena ayah memang sudah meninggal, Bodoh! Kau pikir pekerjaanku hanya memikirkan pria bejat itu?!"

Wonwoo tersentak, perlahan melangkah menjauh, menatap kakaknya seolah ia adalah monster menakutkan. Tubuhnya gemetar. Kedua bola matanya bergetar, menahan air mata. Hubungan adik-kakak itu pecah begitu saja. Renggang termakan waktu, pudar tersamarkan kesibukan.

Tetapi sedikitpun Wonwoo tidak pernah tahu, bahwa berhari-hari kakaknya habiskan dengan menangis di sudut dapur, bahwa berjam-jam lebih wanita itu mengurung diri di kamar dan melukai diri atas kentalnya rasa menyesal yang mengendap.

Changie yang penuh rasa bersalah kemudian memutuskan untuk pergi.

Dan tak pernah kembali.

Bibinya mengirim Changie ke Singapore sementara paman Joon mengasuh Wonwoo. Puing yang runtuh pun mulai berhasil dibangun kembali, Changie merasa Singapore merupakan pilihan tepat untuk membangun hidup baru; pendidikannya mengalir lancar, bisnisnya melejit luar biasa, Changie beroleh ratusan pujian setelah desain pertamanya berhasil diluncurkan.

Ia bahagia. Ia sudah cukup puas dengan pencapaian dan kesuksesannya.

Tetapi sesuatu dalam hatinya meraung; kosong; hampa.

Termenung.

Saat itu Changie belum benar-benar sadar ...

... bahwa seluruh kesalahannya harus tetap dibayar lunas sampai ia memutuskan pulang ke Seoul.

Dan menemukan fakta getir, bahwa gadis yang dikencani Wonwoo, adiknya, adalah putri tunggal dari seorang wanita keji penyebab kematian ayahnya dulu.

Min Yoo Ri. []

Next chapter will be updated ASAP:) (hopefully).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro