Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🥞6. Special Breakfast for Special Girl🍫

SATU minggu terlewat lebih cepat dari yang Young So duga. Pertengkaran Seokmin dan Wonwoo barangkali menjadi momok yang mengancam tiap siswa, sebab setelahnya Nyonya Ahn langsung memberi sanksi berupa detensi seminggu bagi kedua pihak―sebab setelah diselidiki, keduanya memang saling mencerca sebelum saling memukul satu sama lain.

Seharusnya itu tidak menjadi urusan Young So. Harusnya satu minggu dibalut ketenangan, toh yang gadis itu lakukan hanyalah belajar untuk kuis-kuis mendatang. Namun seolah tidak memberinya kesempatan untuk tenang, siswa-siswi lain sering mengusik Young So dan menyalahkannya sebagai dalang dari pertengkaran antara Seokmin dan Wonwoo.

Oh well, selama ia masih belajar dan tidak dibuli dengan kekerasan, ia rasa ia masih dapat bertahan.

Sudah empat kali terhitung dari awal gadis itu duduk pada bangku belajarnya dalam kamar, decakannya mengudara keras. Rambutnya yang tergerai ditepis kasar, ujung-ujungnya helai lembut itu tetap berbalik dan menampar wajahnya sendiri bak bumerang. Saking terlampau kesal, Young So bahkan sampai mengambil ikat rambut dan mengikat semua helai rambutnya membentuk kunciran satu ke belakang. Awut-awutan memang, siapa peduli?

Toh, ia sendirian di rumah. Tak akan ada yang melihat.

Bergulat dengan tugas fisika ternyata bisa membuat pening kepala. Padahal kalau dulu disuruh memilih antara masuk sekolah dengan andalan science atau bahasa, tentu Young So akan menjawab cepat, "Sekolah IPA jauh lebih menyenangkan."

Well, tidak seharusnya ia menyesali keputusannya sekarang.

Padahal ada banyak hal menyenangkan lain yang dapat gadis itu lakukan, andai Tuan Choi tidak memberi 'beban' dengan lima puluh nomor soal latihan pada buku paket tebal. Gadis itu bisa menonton kelanjutan film action dengan bumbu 'drama' yang baru ia temukan di web episode lengkapnya. Atau ia juga bisa mengerjakan beberapa tugas rumah ekstra agar besok bisa bermalas-malasan di rumah setelah pulang sekolah. Hei, kedengarannya tidak buruk.

Tetapi tatkala otaknya masih memikirkan seribu satu kegiatan menyenangkan lain alih-alih mengerjakan pekerjaan rumah, Young So tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah suara denting ponsel yang mengudara keras di tengah sunyi kamar.

Gadis itu mengernyit, meraih ponsel di atas kasur dengan malas, nampak aras-arasan tatkala menyalakan benda itu untuk melirik notifikasi yang tertera.

Namun sedetik kemudian, raut wajahnya lantas berubah. Sedikit terkejut, namun kedua alisnya yang terangkat disertai mulut yang ternganga juga tak membohongi perasaan bahwa Young So terlihat senang. Senang, sekaligus terkesiap.

Ibu

Bagaimana sekolah?

Lugas dan singkat. Young So menghela napas, tak dapat menyangkal rasa gelisah berdenyar seirama dengan detak jantung. Gadis itu menggigit bibir, mencoba memikirkan beberapa kalimat pas untuk menjawab pertanyaan ibunyaーNyonya Min tidak suka berbasa-basi, mengucapkan kata salam atau perpisahan pun hanya terhitung jari. Namun baru jemarinya mengetik beberapa huruf, ponselnya sudah terlebih dulu bergetar, menampilkan sebuah panggilan masuk dari ibu.

Young So menarik napas dalam-dalam. "Halo, ibu?"

Jeda beberapa saat, sebelum suara serak ibunya menyambut. "Memangnya lama ya untuk sekadar mengetik balasan pesan ibu? Apa hidup tanpa pengawasan menyenangkan untukmu, Min Young So?"

Young So ingin mendesah, tetapi menahan diri sebab itu sama saja dengan menyulut emosi ibunya. Alih-alih protes dan membela diri, gadis itu hanya menjawab dengan suara rendah, "Maaf, Bu. Aku sedang mengerjakan PR danー"

"Alasan klasik," Ibunya menyela. Terdengar dengkusan disertai dengan decak pelan dari sebrang telepon. Nada bicara wanita itu bahkan masih tidak berubah saat melanjutkan, "ibu bekerja keras di luar kota, bangun begitu pagi dan pulang larut hanya supaya kau dapat sekolah. Jadi lebih baik kau tidak membuat masalah apapun."

Young So menelan saliva, tanpa sadar kubu jarinya menggenggam ponsel lebih erat. Kerongkongannya mendadak dijalari rasa getir, tepat dengan degup jantung yang semakin kencang mengetuk bilik.

Tidak, ibunya tak boleh tahu.

"Soal itu ibu tidak usah khawatir. Semua di sini baik-baik saja. Tak ada masalah dengan sekolah ataupun teman, hanya beberapa pekerjaan rumah yang menguras tenaga ekstra. Ibu fokus saja dengan pekerjaan dan kesehatan, jangan sampai jatuh sakit sebab terlalu lelah."

Ibunya menjeda. Ada hela napas yang terdengar samar dari sebrang telepon, sebelum suara ibunya kembali terdengar, "Baguslah kalau begitu. Ibu harap itu bukan hanya sekadar omong kosong yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Kau sudah dewasa, Young So. Kau tentu tahu apa yang harus kau lakukan sebagai seorang anak."

Lalu, sambungan terputus.

Saat itulah hati Young So mencelus. Kewajiban seorang anak, batinnya berdenyar. Tentu ia paham. 

Piramidanya sederhana; seorang anak tunduk pada otoritas orangtua.

Dalam kasus ini, Young So tahu kepada siapa ia harus mengerahkan seluruh tenaga dan asa. Sebab katakan, bagaimana kau dapat duduk tenang dan berhura-hura, sementara di luar sana ibumu bekerja siang-malam untuk memastikan putrinya dapat hidup berkecukupan?

Young So akan menggantikan seluruh keringat lelah ibunya dengan seulas senyum penuh kebanggaanーia berjanji.

***

Janji yang semalam dikumandangkan seolah menjadi bumerang bagi Young So sendiri. Sebab malam itu alih-alih beristirahat dan tidur tenang setelah akhirnya berkomunikasi dengan ibunya lewat telepon, gadis itu harus berjuang keras membolak-balik buku hanya demi menemukan rumus untuk soal Fisika yang tak kunjung rampung juga.

Dan ia masih ingat betul, jam sedang menunjukkan pukul setengah 3 pagi tatkala ia melompat ke kasur dan meninggalkan dua nomor kosong pada buku PR-nya. Tak peduli lagi, sudah lelah kok dipaksa?

Jadilah pagi ini matanya mengantuk berat. Kepalanya berkedut pelan, Ada kantung tebal di bawah matanya yang terus dipaksakan terbuka tatkala melewati koridor hingga sampai pada depan loker besi bertuliskan namanya.

Young So membuka loker malas-malasan, hendak mengambil buku pelajaran musik dan beberapa brush pen yang selalu ia simpan pada loker pribadinya tatkala matanya menangkap sebuah tepat makan merah jambu kecil di sudut loker. Entah karena halusinasinya yang terlalu tinggi, atau juga perutnya yang meraung sebab tak sempat menelan apa-apa sebagai sarapan tadi, namun gadis itu benar-benar dibuat terkejut setelahnya.

Tunggu, tunggu.

Ia tidak pernah menyimpan tempat makan di dalam loker pribadinya. Ia bahkan jarang membawa bekal sebab tak ada waktu untuk menyiapkan.

Lantas ini punya siapa?

Gadis itu mengusap mata, menguceknya berkali-kali hingga seluruh rasa kantuknya hilang seolah diserap entah kemana. Kembali dipelototinya isi loker besi itu, kemudian mengamati sekeliling. Tak ada tanda-tanda keanehan.

Pagi ini sama seperti sebelum-sebelumnya. Beberapa siswa berjalan melewati koridor, kumpulan siswi tertawa kecil dengan membawa tumpukan bukunya masing-masing, beberapa siswa yang hendak berganti baju olahraga. Rutinitas yang sama.

Ah, kecuali satu.

Young So lantas tercenung. Pagi ini, tak ada siswa yang berani menggosipkannya secara terang-terangan seperti kemarin.

Hei, bukankah itu suatu kemajuan yang bagus?

Gadis itu tersenyum kecil tanpa sadar, dalam hati merasakan buncahan rasa lega menggelayuti dada. Ia tak menyangka kalau pertengkaran kemarinーkata-kata tajam Wonwoo yang membelanya di depan seluruh siswaーternyata membawa dampat besar dalam kesehariannya di sekolah.

Tetapi, kembali pada realita dan masalahnya sekarang;

Kotak makan merah jambu yang dikirim tanpa nama.

Young So meraih kotak itu hati-hati, sebelum sadar bahwa ternyata ada secarik kertas putih bergaris terselip di dalamnya. Semacam surat yang sudah dilipat rapi. Dengan cepat diraihnya kertas itu, keningnya yang berkerut mendadak pudar seiring dengan gerakan matanya yang membaca cepat isi kalimat di dalam.

Hai, Cantik! Selamat pagi!

Aku jarang sekali menulis surat untuk mendekati seorang gadis, jadi rasanya sedikit aneh bila menggunakan cara kuno seperti ini. Sedikit memalukan, mungkin?

Tapi, tak apa. Aku menuliskan ini untuk gadis terspesial di dunia, jadi aku tak perlu merasa malu :)

Kalau kau bertanya-tanya soal kotak makan merah jambu yang terletak di lokermu pagi ini, itu ulahku. Aku bangun pagi sekali hari ini, lalu pergi ke supermarket untuk membeli makanan cepat saji dan menyajikannya di kotak makan serapi mungkin.

Hanya untukmu.

Kau tahu, aku banyak berjuang hanya demi sekotak makanan pada gadisku yang manis ini.

Jadi, nikmatilah^^

Anggap saja ini permulaan, untuk masa depan saat kita akan selalu menikmati sarapan pagi berdua setiap hari.

PS: maafkan aku yang terpaksa membobol kunci lokermu, nanti akan kuperbaiki. Pasti. Hehe :D


Itu saja untuk hari ini. Tetap sehat dan ceria ya, Manis. Senyummu sudah menjadi canduku, jadi rasanya mustahil kalau tidak melihat mu seharian.

Salam,

Lelaki yang selalu merindukanmu,

Dan memikirkanmu,

Dan memimpikanmu.

JWW.

Young So meremas kertas itu kuat, matanya kemudian tertuju pada kotak makan merah jambu di tangannya.

Tak diragukan lagi. Pelakunya pasti dia.

Ah, memangnya siapa lagi yang suka berulah kalau bukan Jeon Wonwoo?

Baru nama itu terlintas, tatkala gadis itu membalikkan badan, sosok yang dimaksud sudah berdiri menjulang di belakangnya dengan seulas senyum menggoda.

Rambutnya sekarang disisir ke arah samping dan diberi gel agar tahan lama. Wajahnya masih penuh bekas luka, namun tetap tidak menghilangkan kesan keren dan tampang yang mampu memabukkan banyak gadis, apalagi dengan kerah baju yang sengaja dipasang naik. Kancing jas seragamnya bahkan dibiarkan terbuka, menampilkan bagian dalam seragam putih dengan dasi merah yang terpasang awut-awutan.

Berantakan. Dan Young So tidak suka orang berantakan.

"Kau selalu bertambah manis tiap harinya."

Young So memutar bola mata. "Jangan berbicara aneh-aneh. Dasar, lelaki gila."

"Tapi tampan."

Gadis itu mendecih, ekspresinya menampilkan rasa jijik yang tulus dari hati. Sementara Wonwoo malah terbahak puas.

"Benar, 'kan? Diam kuanggap iya."

Mulai kesal, Young So tak dapat menahan rasa panas menjalari tubuhnya. "Kau ini kenapa, sih?! Menyebalkan sekali!"

Tetapi Wonwoo yang gila itu malah menatap Young So lekat sembari menyeringai tipis. "Aku menyukaimu. Bukankah itu sudah jelas? Jadilah kekasihku."

Young So mendengkus keras-keras. Gadis itu hendak beranjak meninggalkan Wonwoo namun pemuda itu sudah terlebih dulu mengunci langkahnya. "Kenapa aku harus bertemu dengan lelaki yang tidak waras di sekolah? Astaga!"

"Tapi tampan," Wonwoo menyahut.

Young So menatap sengit iris rubah yang menatap penuh percaya diri. "Menyingkirlah dariku," desisnya geram.

Wonwoo mengendikkan kedua bahu tak acuh. "Tak akan, sampai kau mengakui bahwa aku tampan. Dan kau menyukaiku apa adanya."

Young So menatap Wonwoo tak percaya, namun yang ditatap hanya menyengir tanpa dosa. Gadis itu berusaha menahan kesal, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Dengar, aku sudah menciptakan banyak gosip buruk semenjak bertemu denganmu. Dan aku tidak mau memperburuk nama baikku hanya karena terus dekat denganmu. Jadi kumohon, biarkan aku pergi."

Wonwoo hanya menggeleng pelan. "Tidak akan, Manis." Pemuda itu memajukan langkahnya, sontak membuat Young So mundur hingga punggungnya menabrak deretan loker besi siswa. Masih dengan senyum menggoda yang terulas, Wonwoo lantas mencondongkan tubuhnya, mengikis jarak hingga hanya tersisa beberapa senti antara wajahnya dengan wajah Young So.

Dekat. Sangat dekat.

Wangi tangerine bercampur dengan thyme dan marjoram langsung menyeruak masuk pada indra penciuman Young So dengan cepat, bahkan saat gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan napas. Ia kira parfum Wonwoo hanya sebatas itu, sebatas wewangian berbagai tanaman yang kalem dan menenangkan. Namun tatkala pemuda itu berbicara, samar-samar ada aroma limau bercampur mint menerobos hidung Young So liar.

Gadis itu bertanya-tanya, berapa banyak uang yang Wonwoo habiskan hanya untuk sekadar parfum.

"Mereka tidak akan menggosipkanmu lagi, Manis. Percayalah," bisik Wonwoo dan Young So hanya bisa bergidik serta mencoba untuk mengontrol diri agar tidak emosi lalu menonjok wajah Wonwoo yang sudah memar itu. "Mereka akan menghormatimu, sebagaimana mereka menghormatiku. Mereka juga akan segan padamu, sebagaimana mereka segan padaku. Karena kau adalah gadisku, maka tak akan ada yang berani denganmu."

"Pergilah," desis gadis itu sebagai sahutan, "jangan terlalu dekat. Banyak orang menatap kita, Bodoh!"

Wonwoo tertawa. Matanya menyipit lucu. Giginya yang putih terpampang rapi. Dari jarak kurang dari sepuluh senti, Young So mendadak paham mengapa seluruh gadis memuja Wonwoo sedemikian rupa.

"Aku akan pergi," kata Wonwoo kemudian. Matanya kembali lekat menatap kedua manik Young So sembari melanjutkan, "tetapi berjanjilah dulu padaku kalau kau akan memakan bekal yang khusus kusiapkan untukmu. Aku berkorban banyak untuk itu, kau tahu?"

Young So melirik kotak bekal di tangannya. "Iya, iya. Aku akan memakannya, tapi menyingkirlah dulu. Kau membuatku gerah tahu!"

"Gerah?" Nada bicara Wonwoo mendadak berubah mesum. Young So langsung menyesali ucapannya barusan. "Kau gerah karena aku tampan? Aku tak keberatan bila harus memberikan ciuー"

"Dasar otak mesum!" potong Young So tajam sebelum melesat pergi dengan cepat.

Tak ada balasan. Young So terus berjalan sembari menghela napas lega. Namun baru satu detik ia dapat kembali tenang, tiba-tiba suara teriakan Wonwoo terdengar.

Kini ia harus menahan malu pada wajah.

"Mesum begini aku tetap lelaki tampan pertama yang berhasil mengirimkanmu bekal. Jangan lupa dimakan, Sweety! Aku membutuhkan komentarmu untuk menu bekal selanjutnya!"

Young So hanya bisa merutuk dalam hati.

Dasar, lelaki sinting! []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro