Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🏹42. Foolish Love, Idiots Lovers📍

PADA dua malam berturut-turut, Wonwoo ingat sebuah bangunan tua pernah tercetak jelas dalam mimpinya yang kalang kabut.

Dua pilar kokoh berdiri teguh, tampak seolah menyambut kehadiran insan gila yang nekad menginjakkan kaki ke dalam kegelapan tak berujung. Pijakan tanahnya berlumut, dindingnya lembap dirambati jamur. Kala itu, Wonwoo rasa akal sehatnya sempat diombang-ambing sebersit ragu, logikanya sempat berseru untuk mundur, tetapi lagi-lagi, pikiran yang kalut mendesak tungkainya untuk maju.

Tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Iya, pasti begitu. Ia hanya akan kemari, menolong Young So, lalu pergi.

Kalaupun menyakitkan, semua hanya berlalu bak badai semalam dalam gulungan mimpi buruk. Esok ia akan bangun dengan napas baru, esoknya pemuda itu percaya ia dapat mengukir senyum dan menggenggam jemari gadisnya lagi, melangkah dengan percaya diri sembari melemparkan candaannya seperti dulu.

Sebab sudah menjadi tugas pria untuk menjaga gadisnya.

Maka dengan sisa nekad yang tidak seberapa, pemuda itu berlari masuk. Tak peduli kendati gulungan awan kelabu membendung di atas kepala, tiupan angin kencang merajam kulit di balik seragamnya yang tipis.

Semua akan baik-baik saja, Wonwoo.

Bangunan tua tersebut nyatanya lebih luas dari penampilan luar yang seram. Di balik pilar-pilar gemuk berlumut, ada satu lapangan internal lebar berlandaskan beton kuat. Permukaannya dipenuhi oleh kerikil, puing beling yang berserakan dimana-mana, pula tumpukan kayu lapuk di sudut. Malam semakin memuncak, gelap kian menerkam sementara napasnya mulai terengah.

Pemuda itu kewalahan, peluh menetesi wajah hingga seragamnya basah tak karuan. Berlari dari stasiun menuju rumah tua yang jaraknya belasan kilo tentu bukan hal mudah. Kendati demikian, Wonwoo tak lagi menunggu lama untuk segera mengambil ponsel dan menyalakan flash.

"Young So!"

Tak ada jawaban apapun.

"Manis, ini aku!"

Tetapi, tak ada sahutan. Wonwoo mengernyit. Penerangan ponselnya pun tidak memberi petunjuk yang berarti, hanya menampakkan lebih banyak debu, sarang laba-laba bertengger di antara dua batang kayu, pecahan beling bertaburan tak jauh dari tempatnya berjejak. Dengan adanya pencahayaan, bangunan internal ini tampak seribu kali lebih seram.

Namun, tunggu.

Setelah lama absen dari sekolah, setelah berhari-hari menimbulkan kerisauan dan tanda tanya besar, setelah menghilang tanpa menjawab pesan atau panggilannya, mengapa Young So malah memilih bangunan tua untuk tempatnya bertemu? Baru pertanyaan itu terlintas dalam benak, tiba-tiba Wonwoo merasa sebuah hantaman keras mengenai punggungnya yang ringkih.

Tubuhnya rubuh, kedua telapak tangannya menyentuh pecahan beling di atas beton yang rapuh. Darah menguar, erangan mengudara, pemuda itu lantas menoleh waspada. Jauh dari dugaan buruknya mengenai begal atau orang gila yang iseng memukulnya dengan kayu―sebab hei, ini lapangan kosong, bangunan tua yang terasing dari keramaian―Wonwoo seolah dapat merasa sengatan dalam diri tatkala netranya menyipit dan mulutnya mendesis,

"Hye Sang?"

Membuang asal kayu yang digunakannya untuk memukul, Choi Hye Sang bahkan masih dapat mengibas tangan dengan senyum lebar penuh kemenangan tatkala menatap rendah lawan bicaranya. "Kau menyalakan flash ponsel, tetapi masih tak tahu seseorang mengincarmu dari belakang." Tawanya menukik sesak, gadis itu memajukan langkah dan menginjak layar ponsel yang tergeletak. "Ternyata benar, pemuda tampan itu otaknya tak lebih besar dari kepala ayam."

Wonwoo mengerutkan kening, meringis setengah ngeri sebab pecahan beling itu menusuk kulitnya lebih dalam. "Kau―" Gelegar keterkejutan jelas tergambar melalui irisnya yang kelabu. Pemuda itu bahkan dapat merasa tenggorokannya tersekat saat melanjutkan, "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Oh, apa itu penting?" Hye Sang menyahut tenang, melipat kedua tangan di depan dada. "Kau tidak mau bertanya mengapa aku memukulmu?"

Semua mendadak kabur menjadi ribuan keping puzzle dalam benak. Entah mana yang lebih penting, mengkhawatirkan pecahan beling yang semakin menembus kulit lebih dalam, atau eksistensi Hye Sang yang tiba-tiba dan tanpa alasan langsung menyerangnya brutal. Oh, kau tak tahu seberapa sakit pukulan itu menghantam tulang dan mengirim beribu sensasi nyeri.

Namun masih terlampau panik dan membiarkan emosi menguasai dirinya saat ini, pada akhirnya Si Bungsu Jeon hanya menggeleng tak sabar, berdecak kuat-kuat dan melayangkan kalimat tajam, "Dimana Young So? Kau apakan gadisku, hah?!"

Choi Hye Sang sudah muak―muak dengan semua keangkuhan Wonwoo, muak dengan kepercayaan diri pemuda itu, muak dengan ucapannya saat menyebut 'gadisku' seolah itu objek paling penting di seluruh semesta. Wonwoo sudah bertindak kurang ajar dengan menyebarkan rekaman pengakuannya di atap sekolah. Kini berita tersebar, seluruh celaan menghunus hatinya, seluruh siswa meliriknya penuh dengki, seluruh siswa tidak sudi memujanya seperti dulu. Popularitasnya lenyap hanya dalam beberapa sekon singkat.

Dan sekarang, dengan mudah Wonwoo memohon untuk bertemu dengan Young So.

Tidak, tidak mungkin.

Pemuda itu harus tahu, bahwa semesta tidak selalu berotasi pada hidupnya yang penuh cinta.

Balas dendam itu mutlak.

"Memang kau pikir Young So benar-benar ada di sini?" Giginya gemeretak, irisnya menatap nyalang. "Memang kau pikir, Young So benar-benar peduli dengan keberadaanmu?"

Sudah cukup permainan emosinya, Wonwoo tak tahan lagi. Persetan dengan ucapan pedas Hye Sang yang tak realistik―Si Manja itu barangkali dapat memercik api keributan kapanpun dan dimanapun ia mau, tapi tidak di kala Wonwoo kalang kabut begini.

Pemuda itu lantas bangkit walau tertatih, hendak menyabet ponsel dengan satu tangannya yang lain ketika tiba-tiba seseorang menyerang bagian belakang lututnya dengan begitu keras, dalam sekejap mampu mengirim rasa ngilu yang luar biasa hingga tubuhnya limbung. Teriakan mengudara, Wonwoo mengerang kuat-kuat.

Kendati rasa sakit membuatnya ingin merutuk jutaan kali lebih keras, pemandangan di depan mata nyatanya jauh lebih mencengangkan.

Seharusnya Wonwoo sadar, gegabah dan bertindak terlalu cepat dalam kepanikan adalah sebuah kesalahan besar.

"Apa kabar, Wonwoo? Rasanya sudah lama sejak terakhir kita bertemu."

Min Yoo Ri mengukir seulas senyum bangga tatkala melihat mangsanya gegalapan. "Kau tampak terkejut sekali. Tidak usah serius begitu, kau tentu sudah tidak sabar bertemu dengan gadismu, bukan?" Dengkusannya lolos perlahan, wanita itu tak butuh waktu lama untuk merogoh saku dan mengambil sebuah barang pipih persegi.

Wonwoo menyipitkan mata, jelas ia tidak salah lihat. Itu ponsel Young So.

Beribu sial.

"Sayang sekali, gadismu itu tidak sama antusiasnya denganmu."

Kalap dalam amarah yang sedari tadi berusaha ditahan, Wonwoo lantas bangkit tertatih dengan satu kaki, nyaris melayangkan serangan pada Yoo Ri kalau-kalau dua pria bertubuh kekar dengan setelan serba hitam tidak segera datang dan mencekal kedua tangannya erat.

"Lepaskan," Wonwoo menggeram, mencoba melawan, "aku bilang lepaskan! Dengar, aku tak segan membunuhmu bila sesuatu terjadi dengan Young So. Kau gila! Kalian semua gila!"

Yoo Ri tampak tak resah kendati di hadapannya Wonwoo terus memberontak. Pemuda itu bahkan meninju 'aset berharga' kedua ajudannya, sempat melepaskan diri dan satu-satunya kalimat ancaman Yoo Ri adalah, "Jangan pernah melawan Wonwoo," ucapnya dengan delikan tajam, "ingat siapa yang sebenarnya memegang kekuasaan di sini. Kau tentu tak ingin sesuatu buruk terjadi pada gadismu, bukan?"

Seolah disengat, Wonwoo mendadak bungkam bak anjing penurut yang diikat rantai. Yoo Ri tersenyum penuh kemenangan. Lihat? Cinta hanya menggiringmu pada kebodohan tak berujung. Tak lama kedua pesuruh Yoo Ri mengapit lengan Wonwoo, mendudukkan pemuda itu di atas tumpukan kayu. "Dimana Young So?" cicitnya lemah, kedua netranya berkaca-kaca putus asa, "sesuatu buruk tidak terjadi padanya, 'kan?"

"Sesuatu buruk?" Yoo Ri tertawa. "Oh, tidak, tentu tidak. Gadismu hanya terlelap manis selepas aku beri pelajaran singkat kemarin. Nyatanya kehadiranmu berharga juga, akhirnya aku tidak perlu berpura-pura lagi, akhirnya aku tidak perlu mengenakan topeng demi merawat anak sialan itu."

Wonwoo tercenung. Tafakur dalam hening. Dadanya seolah ditekan, sesak. Sangat sesak. Mengapa seorang ibu bisa menjadi begitu tega terhadap putri kandungnya sendiri?

"Kau terlalu jauh," ia tertawa pedih, "Min Young So itu putrimu!" teriaknya kuat-kuat, "kenapa bertindak sejauh ini?"

"Karena aku membencinya."

Wonwoo menatap tak percaya.

"Sangat benci." Iris gelap itu semakin redup, tetapi di dalamnya menggebu. Seolah di dalam ada ribuan dendam yang dipendam, ada banyak emosi ditumpuk dan mengikis seluruh kasih. "Eksistensi gadismu itu hanya membuat hidupku sengsara. Layakkah ia hidup dalam bahagia sementara aku, ibu kandungnya harus meronta dalam keterpurukkan seumur hidup?"

"Ia putrimu," Wonwoo terus mendengungkan kalimat itu, terlepas dari semua keterkejutan dan kemarahan yang mendidih dalam benak. "Ia tak seharusnya mendapat perlakuan sekejam itu."

Choi Hye Sang menukas, agaknya sudah terlampau jengkel dengan ungkapan Wonwoo yang itu-itu saja, "Dan Yoo Ri ibunya! Ia berhak melakukan apa saja demi putrinya, Wonwoo. Kau jangan terlalu naif. Lihatlah dirimu. Menjadi manusia bodoh hanya karena dibuta cinta. Benar-benar menyedihkan."

"Diam kau, Manja!" hardik pemuda itu di sela-sela emosinya. "Kau tak tahu apa-apa! Kau hanya gadis manja yang cinta pada popularitas, sampai berakhir menjadi kriminal. Lihat siapa yang menyedihkan sebenarnya!"

Strategi yang buruk. Seharusnya Wonwoo sadar, membela diri seperti itu hanya akan membawanya dalam neraka tak berujung; hanya akan memperkeruh suasana dan membuat dua insan gila di hadapannya mengamuk. Namun sedikitpun pemuda itu tak merasa menyesal tatkala Hye Sang berkata dalam gelegar amarah yang diredam, "Kau benar-benar mencari mati. Kau kira kau bisa sok heroik di kala kami mengeroyokmu begini?"

Dan tak lama gadis itu berkata, "Hajar dia. Beri dia pelajaran. Terutama pada mulut rongsoknya itu."

Detik selanjutnya bagai mimpi buruk yang menghantam kepalanya berturut-turut; tidak menyisakan memori baik selain darah dan air mata. Satu-satunya hal yang menggenang sebelum irisnya terpejam hanya sesosok tangan kekar yang memukul tepat pada lambungnya, tangan yang lain menghajar pipinya hingga lebam tak bersisa. Ia terbatuk pada pukulan keempat, darah bercucuran keluar.

Pada akhrinya, merongrong dalam kesakitan sementara mulut hanya dapat bungkam, Wonwoo tergeletak di atas lapangan beton. Perih, pedih, ngilu, semua teraduk dan membalut tubuh.

Setitik air matanya jatuh.

Young So juga tidak memiliki orang tua yang baik, pemuda itu membatin, entah mengapa fakta tersebut menggiring hatinya dalam nyeri tak berujung.

Gadisnya juga menderita.

"Terima kasih telah membuat aku sadar sebetapa bodohnya cinta, Jeon." Hye Sang tertawa lebih kencang. "Sayang sekali, menyebarkan berita buruk tentangku berarti gadismu juga terkena konsekuensi. Kau pikir aku akan membiarkanmu bahagia sementara aku di sini kesakitan? Yang benar saja."

Yoo Ri menekan wajah Wonwoo dengan boot-nya yang tinggi, membuat darah mengalir semakin deras dari hidung pemuda itu. "Aku ingin sekali membunuhmu, sebab berbahaya menyimpan saksi mata, bukan? Kau sudah tahu kebusukanku, jadi bermain-main dengan tubuhmu agaknya menyenangkan." Ia mengeluarkan sebilah pisau, terkekeh-kekeh bahagia tanpa sedikitpun merasa bersalah.

"Tetapi rasanya sedikit tidak adil, kalau darahmu kuhabiskan sementara Young So masih bisa bernapas lepas. Atau haruskah kubunuh bersama kalian berdua?"

Tawa menggelegar. Penuh kebahagiaan, disulut kepuasan absolut. Ada kelegaan ketika Yoo Ri tahu ia tidak sendiri. Ia tidak menderita sendiri. Pada akhirnya semua merasakan apa yang dulu ia rasakan; Young So dan Wonwoo akhirnya mendapat balasan setimpal.

Benar. Inilah yang disebut keadilan.

Wonwoo sendiri hanya tergolek lemas, tahu ia tak akan dapat melawan kendati ingin luar biasa. Wajahnya penuh lebam, bau anyir beradu dalam indra penciuman seiring dengan derasnya darah keluar, satu kakinya mati rasa. Terror dan kengerian benar-benar menyelimuti tiap inci tubuhnya, tak akan lagi ada harap tersisa.

Semua lebur; hidupnya hancur.

"Ini hukuman untuk pemuda mesum yang sok percaya diri! Kau tidak ada apa-apanya sedikitpun dibanding aku." Yoo Ri mengibas debu dengan sepatunya di depan wajah Wonwoo. "Camkan itu."

Tamatlah riwayatnya. Wonwoo tertawa pahit. Di sela-sela kesakita, pemuda itu ingat dulu seseorang pernah berkata padanya, bahwa hidup persis bak roda yang berputar. Karma tidak akan pernah hilang. Masa lalu dan masa depan pun saling berkaitan. Barangkali, ini balasan setimpal untuk perilaku bejat ayahnya. Barangkali esok pagi mayatnya akan ditemukan naas dengan seluruh organ mencuat keluar dan kulit penuh goresan.

Barangkali pula, ini kali terakhir pemuda itu masih dapat mengecap darah dan air mata.

Namun pikirannya terhenti ketika seseorang tahu-tahu meneriaki sesuatu. Pemuda itu menyipitkan mata, segera menolehkan wajah ke sumber suara dan nyaris tidak memercayai penglihatan sendiri tatkala menemukan siluet seorang gadis tengah berdiri di ujung lapangan, kedua tangan di sisi badan, dengan suara lantang berkata, "Hentikan! Kalian tidak punya hak untuk membuatnya menderita, hentikan semuanya!"

Seluruh insan lantas menoleh, terkejut ketika mendapati seorang gadis yang eksistensinya tak pernah diharapkan tahu-tahu menampakkan wajah.

Tidak, itu bukan gadisnya. Itu sama sekali bukan Young So. Wonwoo bahkan tak dapat menahan diri untuk tidak ternganga, kerutan alisnya bertambah dalam seiring dengan mulutnya yang bergumam samar, "Kakak?"

Bagian paling mengejutkan adalah ketika iris Yoo Ri yang tadinya menyipit waspada, raut wajahnya yang berkerut curiga mendadak berubah cerah. Irisnya berbinar, senyumnya bangkit lebar-lebar. "Ah, Jeon Changie, gadisku! Sudah lama tidak bertemu, kau kelihatan seribu kali lebih menakjubkan dibanding dulu."

Wonwoo tercengang.

Apa-apaan ini? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro