🍂41. One Last Thing I Hope💐
SENJA tak pernah lagi indah dalam pandangannya.
Dan darah tak lagi asing dalam kecapannya.
Young So tak tahu sudah berapa kali ia mengecap lidah dan yang tercetak jelas di sana hanya rasa asin yang semakin kental. Bau anyir samar-samar merangsek pernapasan, tak peduli kendati hidungnya tersumbat setelah menangis empat jam lebih. Matanya sembab, terasa perih luar biasa saat dipaksa mengerjap. Namun toh, kendati keadaan memaksa bungkam, si gadis tak benar-benar mengerti apa yang hidup inginkan setelah puas mencekik lehernya dengan beribu realita pahit
Kini Young So sadar, sebetapa menyakitkannya sebuah kebenaran.
Logikanya berkali-kali menyerukan ketidakmustahilan, bahwa semua yang ibunya katakan beberapa jam lalu bukanlah kebenaran nyata yang memang terjadi di realita―barangkali hanya racauan asal sebab terlalu lelah, siapa sangka? Kalau dilihat dari paras ibunya tadi, tergambar jelas cekungan hitam di bawah mata, surai yang acak-acakan, pula deru napas tak teratur yang kadang membuat suaranya putus-putus. Barangkali pula realisasi dari efek alkohol setelah menenggak beberapa botol soju semalam.
Barangkali, semua cerita itu hanya karangan belaka.
Masih ada harapan, bukan?
Lagipun, kebencian Yoo Ri terhadapnya tidak mendasar. Mengorek bagaimana dulu masa kecilnya bergulir dengan kebaikan sang ibu, tentang bagaimana Yoo Ri pernah membuatkan bubur―kendati tawar dan teksturnya amburadul―di saat Young So kecil menderita demam tinggi. Yoo Ri pernah menggandengnya masuk ke Taman Kanak-Kanak untuk pertama kali (meski dengan pelototan tajam sebab tak ingin putrinya dekat apalagi berteman dengan bocah laki-laki), Yoo Ri juga pernah memberinya uang jajan saat Young So mengaku ingin mencoba es krim rasa baru.
Bertahun-tahun, dan rasa cinta Young So semakin dalam. Ia tak lagi bertanya alasan kepergian ayahnya, ia cukup sadar bagaimana luka yang ibunya simpan.
Maka ini semua tidak mungkin. Yoo Ri tidak mungkin sekejam itu.
Namun mengingat kembali apa yang sudah ibunya lakukan, mengulas kembali konversasi dan perdebatan panjang mereka beberapa jam lalu, dalam sekejap mampu meruntuhkan seluruh harap yang Young So bangun tinggi-tinggi. Dadanya semakin sesak, dipelintir kuat bersama seribu kenangan yang bergulir pahit.
Sayatan, lebam, goresan luka, helai rambut yang koyak.
Lalu, darah.
"Kau harus tahu, cinta itu egois."
Kebenaran pun terkuak.
Nyatanya, Min Yoo Ri tak lebih dari penipu ulung.
Kini semua kepingan mulai membentuk sebuah puzzle utuh dalam benak―soal panggung sandiwara yang ibunya ciptakan untuk menutupi kebencian dan dosanya belasan tahun silam.
Young So tertawa miris.
Mungkin, ini juga yang menjadi alasan mengapa Yoo Ri selalu menunda kepulangan ke Seoul, barangkali ini pula alasan mengapa sedari dulu wanita itu enggan membeberkan sedikitpun fakta soal ayah kandung Young So. Dan mungkin, ini juga dasar dan landasan konkret, mengapa seorang Min Yoo Ri―ibu kandung penuh kasih―berani memaki putri semata wayangnya sendiri dengan deretan kalimat pedas tanpa sedikitpun merasa bersalah.
Sepahit itu.
Semua yang Min Yoo Ri lakukan sejauh ini hanyalah kedok untuk menyembunyikan wajah aslinya yang busuk; untuk menjatuhkan hidup Young So dalam liang kesengsaraan dengan kaver sosok ibu.
Tapi, mengapa?
Sebesar itukah rasa bencinya?
Di tengah kekalutan benak serta nyeri yang tak henti memukul daging dan ototnya sendiri, Young So mendadak terpikir oleh Wonwoo. Min Yoo Ri pergi setelah puas memukulinya tadi, entah kemana dan hanya meninggalkan Young So di ujung gudang, termangu dengan tangan-kaki terikat tali kapas putih yang tebalnya melebihi kelingking. Remangnya gudang disertai banyak suara aneh membuat gadis itu bergidik.
Ia harus pergi dari sini.
Bagaimana kalau Yoo Ri benar-benar menemui Wonwoo?
Kalau wanita gila itu dapat membunuh suaminya tanpa terendus hukum, maka Wonwoo sama sekali bukan tandingan berat. Dengan sisa kekuatan yang ada, Young So berusaha menahan nyeri, bangkit tertatih seraya menumpu bobot tubuh pada siku. Setengah nekad, gadis itu menggigit ikatan tali pada kedua pergelangan tangan, tak peduli kendati gesekan kapas beradu dengan bengkaknya sudut bibir.
Lukanya tergesek, beret di kakinya bertambah lebar, rasa panas juga perih yang luar biasa menghantam nyaris sekujur tubuh.
Tetapi tidak, ia tidak berhenti.
Sebab kendati tubuhnya rusak oleh sayatan dan lebam, lengkap dengan runtuhnya angan dalam liang harapan, kendati hidup dengan kejam memporak-porandakan seluruh puing asa yang tak lagi tersisa―ia ingin meniupkan satu balon harapan terakhir;
Young So tak ingin ada yang terluka di tangan ibunya lagi. Wonwoo―pemuda bodoh itu―ia layak untuk bahagia. Sesederhana itu.
***
"Jeon Wonwoo Berengsek!"
Lee Seokmin lantas mengangkat kepala, tak bisa menyembunyikan kernyitan kening tatkala menatap gerak-gerik gelisah pada sepupunya di pinggir koridor. Aktivitas sekolah telah usai, harusnya ia mengikuti jam self-study dan bimbel materi tambahan yang dikhususkan untuk para senior. Namun kala pemuda itu menuruni tangga dan mampir di belokan koridor sekolah, irisnya tak sengaja menatap Choi Hye Sang tengah mondar-mandir dengan muka kusut dan kerutan kening, Seokmin tak dapat menahan kuriositas dalam dada.
"Tidak, ia tidak benar-benar melaporkannya, bukan? Ia bahkan punya rekaman dan―AH, SIAL! SEHARUSNYA DARI AWAL LANGSUNG KUHABISI SAJA!" Sang gadis menjerit kalap, menarik surai frustrasi sebelum akhirnya mengempaskan diri di atas bangku besi tua. Ini aneh, pikir Seokmin.
Sebab Hye Sang dan rasa gengsinya yang tinggi tidak akan sudi membiarkan kulit, bahkan seragamnya, tersentuh oleh barang hina seperti itu; bangku karatan di ujung koridor. Namun netranya tidak mungkin mengelabui. Seokmin bahkan sudah maju selangkah, terbayang niat untuk menegur sepupunya sebelum gadis itu kembali mengerang dan berkata dengan emosi meluap-luap, "Pemuda sialan. Ia kira ia siapa bisa mengancam hidup orang begini?!"
Seokmin mengurungkan niat, mengernyit lebih dalam.
Sementara itu, Hye Sang malah menggebu mengetik sesuatu di ponselnya, tak lama menempelkan benda itu ke telinga dan bangkit sembari berjalan mondar-mandir. Menunggu dengan kegusaran terpatri di wajah. "Bibi, semua berjalan di luar dugaan."
Bibi?
"Aku sudah memperingatinya! Seharusnya, giliranku menuntut rencana Bibi selanjutnya. Ketidakhadiran Young So di sekolah hanya membuat suasana menjadi kacau!"
Seokmin mendengkus setengah tak percaya, memejamkan mata seraya menyenderkan kepala pada dinding. Rasanya masih menyesakkan ketika tahu orang yang ia sayang terlibat dalam sebuah kriminalitas. Rasanya masih sama tidak percayanya tatkala Seokmin mendengar suara sepupunya itu mengudara, "Baiklah. Aku akan ke sana sekarang. Lebih baik bibi menepati janji kali ini. Aku sudah muak direndahkan oleh pemuda itu."
Kemudian, habis. Terdengar langkah kaki yang berangsur menjauh, kian lama hanya menyisakan gema sebelum benar-benar sirna.
Ketika itu, Lee Seokmin tak dapat berbuat apa-apa selain menghela napas panjang-panjang. Pemuda itu tentu tidak bodoh, ia tidak terlalu dungu untuk sekadar menebak apa yang terjadi pada sepupunya; apa yang membuat gadis itu marah dan gelisah; apa yang membuat sekolah gempar dua hari belakangan.
Seokmin lantas merogoh ponsel dari saku, irisnya menatap pedih berita yang tersebar di grub angkatan kelas.
Bro, Choi Hye Sang itu ternyata ular dalam kaver seorang putri
Cantik tetapi licik
Gadis tolol itu mengaku terang-terangan, telah membayar tim majalah untuk memalsukan berita Wonwoo
Oi, @Lee Seokmin, begini tabiat sepupu yang kau bangga-banggakan itu?
Kemudian, sebuah rekaman terkirim. Menuai komentar jahat, Seokmin bahkan tak dapat menahan pilu tatkala membaca cacian yang dilempar teman-temannya yang lain.
Namun ini bukan kalanya untuk duduk dan menyerah, belum waktunya untuk pemuda itu menyerah pada tabiat janggal sepupunya.
Seokmin bergegas melangkah, mengikuti Hye Sang dan berharap ia belum terlalu jauh. Gadis itu mencurigakan, ia bahkan menelepon ibu Young So, membicarakan perihal 'rencana' yang entah apa maksudnya, kemudian pergi.
Ada yang janggal di sini.
Young So absen berhari-hari tanpa keterangan jelas, Wonwoo mendadak ingin melaporkan kesalahan Hye Sang―percayalah, Seokmin sendiri tak dapat menahan keterkejutan merangkak dalam dada ketika tahu-tahu Wonwoo berucap, "Kesalahan seseorang tidak bisa terus-terusan dipendam. Apa kau benar akan baik-baik saja, bila kebusukan sepupumu terbongkar?"
Dan, semua bergulir rumit.
Hujatan mulai mencekam. Celaan terlempar dimana-mana. Hukuman diberikan. Ini keadilan, pemuda itu menarik napas dalam-dalam. Seharusnya, ini membuat semua orang bahagia. Bahwa akhirnya, keadilan menemukan titik terangnya.
Namun, tidak. Kenyataannya tidak sesederhana itu.
Setelah reputasinya dijatuhkan, Hye Sang tentu tak akan diam saja. Ia pasti akan memberontak, ia pasti akan marah dan membela diri.
Pasti.
Karena Seokmin mengenal sepupunya dengan baik.
Namun yang masih menjadi tanda tanya; mengapa gadis itu harus pergi dengan ibu Young So? Apa sebenarnya yang mereka rencanakan belakangan ini?
Well, untuk membuktikannya, Seokmin rasa ia harus membolos kelas tambahan lagi. Kalau memang ibu Young So adalah orang berbahaya, maka Seokmin ingin memastikan sepupunya selamat dan tidak terjerat hal-hal berbahaya. Seokmin hanya berharap itu; sesederhana itu.
***
KUBU jarinya memutih. Blazer tipisnya terempas angin.
Dan persis seperti apa yang ia kira akan terjadi tatkala tangan telanjangnya dijejalkan paksa dalam balutan angin musim gugur yang brutal, pemuda itu mendadak mati rasa. Jemarinya kaku, tangannya seolah dipaku beku pada cekalan jembatan besi yang rapuh.
Rasanya, sakit.
Sakit sekali.
Tak pernah menyenangkan saat membuka mata dan menemukan diri berada di ambang tembing yang terjal; antara berpegang pada kenyataan pahit atau justru menjatuhkan diri dan membiarkan alam merenggut liar semua garis takdir. Sebab pada dasarnya, tak ada satupun insan yang suka kala realita memberi tahu, bahwa ia telah gagal.
Pemuda itu tertawa pahit.
Ia gagal.
Lagi. Untuk yang kesekian kali.
Wonwoo mengerang frustrasi, meloloskan dengkusan lelah seraya menjambak surai. Sementara angin mengempas wajahnya yang dihiasi gurat lelah, pemuda itu lantas terduduk pada salah satu bangku besi usang, menyaksikan bagaimana matahari telah merangkak di balik awan dan semburat senja pucat menghiasi cakrawala.
Purnama dengan angkuh menyusup, samar-samar mampu mengirim sensasi aneh dalam lambung. Si Jeon itu tentu sadar sudah berapa senja ia habiskan kemari, sudah berapa purnama yang ia lihat tengah menempati takhta, bersanding anggun di antara jutaan bintang sementara hatinya acak-acakan. Jelas sama sekali tak indah.
Wonwoo merasakan sesuatu dalam sakunya bergetar, butuh berpuluh sekon untuk pemuda itu merogoh saku dan mengambil ponsel. Tatkala menyala, puluhan notifikasi memenuhi mata. Isinya hanya sampah; puluhan siswa mengirimnya pesan sebagai balasan dari berita yang ia sebarkan semalam. Pasal Hye Sang, ide gilanya, bagaimana siswa dengan akun anonim juga mulai mengaku terang-terangan pernah mengalami bulian oleh gadis yang katanya 'Primadona Sekolah'.
Namun setelah menjatuhkan harga diri orang dan melihatnya dihujat banyak orang, Wonwoo rasa tak ada hal lain yang patut dibanggakan selain rasa nyeri yang makin menggelayut dalam dada.
Sebab Young So sendiri masih tak dapat ditemukan.
Si Wonwoo ini tidak diam saja, kau tahu?
Selama empat puluh delapan jam terakhir pemuda itu tetap mencari jalan keluar, tak peduli sesusah apa kondisinya, tak peduli kendati mulut Changie selalu meloloskan kalimat yang menancap di ulu hati―kakaknya yang terlampau jujur itu bahkan pernah menyalak, "Kau kenapa lagi? Bertengkar dengan gadis? Muka pucatmu mengingatkanku dengan mayat hidup kelaparan di film horror."
Walau nada bicaranya datar dan sahutannya menjengkelkan, Wonwoo menilik kedua netra kakaknya dan menemukan sedikit kekhawatiran berpendar di sana. Jadi pemuda itu tidak menjawab, hanya membalas dengan dengkusan setengah tertawa. Namun entah kemampuan khusus apa yang ada dalam batin Changie―Wonwoo mendadak curiga wanita itu bisa menerawang masa depan orang, sebab tak lama kakaknya menukas pelan, "Semua hal butuh waktu dan proses Wonwoo. Kalau hidup terus berjalan mulus sesuai kehendak, maka tidak akan tercetak pribadi yang tangguh."
Well, ucapan kakaknya selalu tepat sasaran.
Itu mengingatkan Wonwoo dengan celutukan Changie yang tiba-tiba, dulu ketika Wonwoo dan Young So pertama berkencan, "Hati-hati dengan wanita itu. Entahlah, aku punya firasat buruk tentang ibu Young So."
Kakaknya benar. Pemuda itu memejamkan mata, mendongak dan membiarkan surainya diterbangkan embusan angin yang lewat. Ibu Young So memang berbahaya.
Kini di kala petunjuk abu-abu, di kala gadisnya masih belum dapat ditemukan sementara rumah Young So kosong tak berpenghuni, Wonwoo malah merasa bak pecundang payah. Rasanya menyakitkan, kau tahu?
Kehilangan seseorang yang ia sayang, rasanya menyakitkan.
"Pada akhirnya tidak ada orang yang benar-benar menyayangimu, Nak. Dunia ini keras, pilihannya hanya dua; mengikuti alur permainan dan memegang kendali dalam bermain, atau dipermainkan dan menjadi budak menyedihkan. Kau kira ayah tidak punya alasan mengapa membawa gadis-gadis seksi itu ke rumah? Selain memuaskan hasrat, setidaknya itu membuat ayah tampak berkuasa. Dan itu yang seluruh manusia dambakan."
Suaranya ayahnya samar-samar terngiang, Wonwoo tertawa getir. Karena keserakahan ayahnya, satu orang anak kehilangan figur pria, satu orang anak harus mengonsumsi banyak siaran dewasa langsung sebelum usianya menginjak sembilan tahun, dan satu orang anak harus kehilangan sosok keluarga sempurna dalam imajinya.
Namun ketika ia larut dalam benak, ketika liquid bening nyaris hendak menetes dari permukaan netranya yang tajam, ponselnya tiba-tiba bergetar. Pemuda itu terkesiap, genggamannya lantas dilepas, matanya melebar dalam keterkejutan.
Lega, haru, rasa bersyukur; semua bercampur satu.
Sebab di layar hitam itu tertulis sebuah notifikasi;
Gadisku
Maaf tak menghubungimu beberapa hari
Sesuatu terjadi dan keadaan kacau balau
Sekarang, setelah semua membaik, ada banyak hal yang ingin kujelaskan
Bisakah kita bertemu malam ini?
Kalau memang selalu ada celah untuk berharap di tengah himpitam keadaan, maka Wonwoo benar-benar berharap, gadisnya baik-baik saja. Kehilangan dua figur penting dalam masa kanak-kanak sudah cukup menyakitkan, ia tidak ingin kehilangan seseorang yang disayangi. Harapannya hanya itu; sesederhana itu.[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro