🍷40. How I Killed My Own Love🔫
RINTIK gerimis telah mengguyur kota Seoul sedari dini hari.
Sejak itu pula, Yoo Ri tak kunjung memejamkan mata dan mengistirahatkan badan. Kendati tak dapat disangkal kini tubuhnya terasa letih luar biasa, wanita itu tetap memaksakan diri untuk terjaga, memberi asupan tubuh dengan menenggak beberapa botol soju dan menghisap dua pak cerutu.
Di luar suara hujan masih terus mengetuk kaca jendela, awan mendung mengekor diikuti gelegar petir yang menyahut di sana-sini. Tampak seolah alam hendak memberontak atas ketidakadilan yang terjadi dalam rumah kecilnyaーkalau tempat penuh kayu dan debu ini layak disebut rumah alih-alih gudangーtetapi oh, Yoo Ri tentu tak perlu repot-repot menatap keluar dengan sendu bak orang hilang harapan. Ia tentu tak perlu bersusah-payah menyadarkan hati yang keras untuk mendengar teguran alam dan menyesali perbuatan kotornya sendiri.
Sederhananya, Min Yoo Ri tak peduli fakta bahwa ia telah nyaris membunuh putri kandungnya sendiri.
"Balas dendam itu mutlak." Begitu kalimat yang ia simpan selama bertahun-tahun, terus bersemayam dalam hati dan menjadi motivasinya tiap hari. Rasanya melegakan ketika ia bisa menjadi diri sendiri terlepas dari kepura-puraannya belasan tahun silam.
Sebab mulai detik ini, Yoo Ri tak perlu lagi tinggal dalam sebuah bangunan artistik dengan perabotan mahal hasil kerja kerasnya bertahun-tahun, ia tak lagi dituntut untuk menjaga manner sebagai bagian dari sandiwara memuakkan itu, dan yang paling penting, ia tak lagi harus berpura-pura menjadi sosok ibu penuh kasih yang mau melimpahkan peduli dan afeksi pada satu gadis; pada gadis sial itu.
Saat ini, Yoo Ri hanya perlu menjadi dirinya sendiri; seorang medusa bengis yang hobi menenggak alkohol dan ahli pemegang pisau.
Min Yoo Ri lebih suka julukan itu.
"Gadis bodoh," katanya entah pada siapaーsebab tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Ia hanya duduk di atas sofa tua sendiriーdalam ruangan berdebu dengan tumpukan kardus dan kayu yang keropos sebab dikrikiti rayap.
"Harusnya ia tidak bermain-main dengan kesabaranku." Jemarinya memutar-mutar pisau lipat, semakin cepat seiring dengan bangkitnya seringai licik pada bibir. "Harusnya dari awal, anak itu tidak lahir."ーharusnya aku membiarkannya mati di dalam kandungan, kalau tahu ia akan mengacaukan semuanya.
Seharusnya begitu.
Yoo Ri kembali menenggak soju-nya. Memikirkan untaian masa lalu selalu mampu membawa sensasi geli sendiri yang menggelitik isi perut. Namun, toh itu hanya masa laluーhanya sekadar momen duka singkat yang berhasil ia lewati sendirian. Setelahnya barulah wanita itu sadar, bahwa cinta tak pernah membawa kebahagiaan dan keuntungan. Persetan dengan rasa senang, sebab bagaimana kau dapat merasa tenang ketika hatimu direngkuh orang?
Lebih baik untuk mati rasa, dibanding menemukan hati menanggung beribu luka.
Yoo Ri tahu itu.
Ia bahkan tidak menyesal atas tumpahan darah yang ia lakukan dulu.
Sebab kalau itu tidak pernah terjadi, barangkali ia masih menjadi wanita lemah yang hanya tahu berlindung di bawah naungan pria. Ia tak dapat mendirikan bisnis ilegal yang kini sudah merangkak jauh sampai luar kota−oh tentu ini rahasia pribadi, memang seluruh biaya sekolah Young So dan fasilitas mahal di rumah yang dapat gadis itu nikmati adalah hasil dari jerih payah halal?
Bodoh sekali. Wanita itu mana mungkin dapat mengumpulkan uang banyak bila bekerja sendirian.
Jauh dari yang putrinya ketahui, sosok Min Yoo Ri menyimpan lebih banyak rahasia kelam yang tak pernah disuarakan.
Semua berjalan aman dan lancar. Rencananya bergulir sempurna.
Sampai suara parau Young So merusak semua.
"Tempat apa ini?"
Yoo Ri buru-buru menoleh, bola matanya melebar melihat putrinya sudah bangun dan berjalan tertatih. Tangan-kakinya menampilkan bekas luka, surainya berantakan, piyama kebesaran yang melekat pada tubuhnya pun tampak awut-awutan.
Tak bisa dipercaya bagaimana sosok secacat itu dapat menuai atensi pria. Benar-benar tidak layak.
"Kau sudah bangun rupanya," ucap Yoo Ri datar, sama sekali tidak menunjukkan tanda keterkejutan, sama sekali tak memberi kesan ramah saat melanjutkan, "baguslah, kukira aku harus menggunakan rotan untuk membangunkan Putri Tidur ini."
Young So meringis, memegangi beberapa titik pada sikunya yang membengkak. "Dimana ini?" Suaranya parau, serak, dan lemah.
Yoo Ri menyeringai tipis. "Di rumah," sahutnya santai, "Kau bangun lebih cepat dari perkiraan ibu, Sayang."
Young So terdiam beberapa saat, berusaha mencerna dengan saksama apa yang terjadi selama belasan jam terakhir. Samar-samar, rebakan memori mulai datang bertubi. Kini ia ingat bagaimana semalam menjadi malam paling mengerikan yang pernah ada.
Itu bukan sosok ibu yang ia kenal.
Gadis itu tanpa sadar menahan napas, mendelik seraya memandang sekelilingーsaat itulah perasaan ngeri merambati tiap inci kulit tatkala melihat lingkungan sekeliling; debu dimana-mana, tumpukan kardus di ujung ruangan, kayu-kayu panjang tertumpuk tak beraturan.
Ini bukan rumahnya.
Lantas, dimana?
"Jangan ketakutan begitu," Yoo Ri berdiri dan menyunggingkan seulas senyum miring. Sesuatu dalam bola matanya menyiratkan kenaehan; sesuatu dalam ekspresi wajahnya mampu membuat bulu kuduk Young So meremang.
Bahkan ketika wanita itu berucap dengan nada janggal, "Ada ibu di sini."
Jemarinya mulai bergetar, Young So mundur perlahan. "Tidak, tidak," ia bergumam setengah sadar, tenggorokannya terasa tercekat dengan nyeri merambati tubuh saat ia berteriak, "kau bukan ibuku!"
Iris Yoo Ri menggelap. Rahangnya mengeras, wajahnya tertekuk dengan kekesalan yang luar biasa saat membalas, "Anak sialan. Darahku mengalir dalam tubuh hinamu, masih berani kau melawanku?"
Namun Young So tak peduli. Ia terus berjalan mundur hingga punggungnya menabrak tumpukan kardus di ujung pintu. Tetapi ia harus menghindar. Min Yoo Ri bukanlah orang baik. Wanita di hadapannya ini bukanlah sosok ibu yang ia kenal. Belasan jam Young So tak sadarkan diri setelah semalam dipukul habis-habisan, kulitnya disiksa dengan pecahan beling, teriakan mengudara dan semua akhirnya terhenti dalam sebuah rintihan lirih yang tak dapat diucap lidah.
Lalu, gelap. Kesadarannya direnggut. Tubuhnya terluka. Darah mengucur keluar.
"Kalau aku memang putri kandung ibu, kenapa ..." gadis itu merintih terbata, "kenapa ibu berbuat sejauh ini?"
Min Yoo Ri paling benci pertanyaan itu. Ia benci ada orang yang menanyai rencananya, ia benci ada orang yang sok menantangnya padahal ketakutan, ia benci pula pada gadis sok pintar yang kini terisak lemah di hadapannya.
Wanita itu tertawa getir.
Karena gadis ini, Yoo Ri harus melepas seluruh euforianya.
Maka saat itu tak ada hal lain yang terpikir dalam otak Yoo Ri, selain seulas kalimat palak berisi kepahitan, "Kau pikir, kenapa?" Tangannya mengepal, deru napasnya bertambah cepat. "Kau pikir aku membencimu tanpa alasan, hah?!"
Young So mengerjap gamang.
"Aku kehilangan hidupku karenamu! Masih berani bertanya kenapa aku membencimu?!"
Apa?
Lagi-lagi, Yoo Ri tertawa sinis. Rasanya sangat tidak adil. Rasanya benar-benar menyakitkan ketika kini Young So dapat tumbuh seperti gadis kebanyakan; bersekolah, mendapat teman, dekat dengan seorang pria. Jeon Wonwoo. Harusnya ini tidak pernah terjadi, harusnya gadis itu tetap tunduk dalam otoritasnya sebab ialah ibunyaーia berhak mengatur semua yang Young So lakukan.
Hidup benar-benar tidak adil.
Menghela napas panjang-panjang, butuh waktu lima detik untuk akhirnya wanita itu dapat menenangkan diri dan berkata pelan, nyaris serupa bisikan, "Kau ingin tahu, kenapa ayahmu pergi belasan tahun dan tak pernah kembali?"
Young So hendak menyahutーkendati tak tahu jawaban apa yang akan ia lontarkan. Barangkali lambungnya sudah cukup diaduk oleh campuran rasa takut, barangkali kerongkongannya juga ingin menyuarakan pendapat kendati tercekik luar biasa. Namun semua niat itu terhenti bahkan sebelum sempat direalisasikan, sebab detik selanjutnya, Yoo Ri terlebih dulu mendesis tajam, "Ia sudah pergi. Ke alam lain; ke alam berbeda."
Seringainya mengembang. "Aku membunuhnyaー"
Young So memekik dalam bisu.
"ーdengan tanganku sendiri." Tawa mengudara, Yoo Ri tampak begitu bahagia saat melanjutkan, "Bukankah itu lucu? Aku membunuh cinta sejatiku; menusuk lambungnya berkali-kali, melihatnya kehabisan darah hingga mati di bak mandi."
Ibunya sudah gila.
Tidak, tidak.
Tidak mungkin.
"Kau tahu bagian paling menarik?" Yoo Ri mulai menatap mata Young So lekat, maju beberapa langkah tak peduli ketika putrinya sudah jatuh ke lantai dengan gemetar hebat. "Detik sebelum pria malang itu mati, ia masih saja menyebut namamu alih-alih meminta ampun padaku. Itu sangatーsangat menyebalkan."
Young So tak dapat melakukan apapun. Dirinya bungkam. Gamang. Terdiam dalam keterkejutan kendati lambungnya seolah diaduk sekop beribu kali dan ia ingin muntah di tempat. Menjijikkan. Gadis itu menggeleng perlahan. Ibunya seorang pembunuh.
Benar-benar menjijikkan.
"Padahal seharusnya, pria itu adalah milikku seorang. Tidak ada yang boleh merebut atensinya, tidak ada yang boleh merebut hatinya, tidak ada pula yang layak untuk mendapat cintanya!" Yoo Ri mengeraskan rahang. "Tak peduli bahkan bila itu putri kandungnya sekalipun."
"Ibu gila!" Young So mendesis pelan, menepis tangan ibunya dengan pelototan murka. "Tidak, ini tidak benar! Kau bukan ibu yang kukenal! Kau bukan Min Yoo Ri yang akan melakukan apapun demi putrinya." Air mata berderai keluar, isak tangis dan dengkus tak percaya semua terloloskan begitu saja.
Namun amarah datang di saat yang tidak tepat. Seharusnya Young So tahu bahwa kini bukanlah saatnya untuk memaki, bahwa ia sebaiknya diam dan membungkam mulut rapat-rapat tatkala berhadapan dengan wanita setengah waras yang masih dapat tertawa lepas, bahkan setelah mengaku pernah membunuh suaminya sendiri.
Gelegar keterkejutan yang Young So rasa mendadak habis tanpa sisa tatkala Yoo Ri melayangkan satu tamparan tepat pada pipinya keras-keras. "Dasar tak tahu diuntung! Kau kira aku begini karena apa?!"
Di luar kemauannya, air mata melaju deras lebih dari yang ia duga. Young So tergugu dalam pilu. Rasanya semakin menyakitkan tatkala ia mengingat mimpinya semalam, tatkala ia mengingat lantunan suara ayahnya samar-samar melewati benak.
"Ayah harap kau bahagia."
Gadis itu menggeleng nanar. Ia tidak bahagia, tidak, tidak.
"Ibu bilang ibu mencintainya," sahutnya serak, masih dikuasai ketidakpercayaan saat melanjutkan, "Ibu tidak mungkin membunuh orang yang ibu cintai!"
Yoo Ri menatap Young So lama, seulas senyum terlukis pada wajahnya. "Aku mencintainyaーsangat mencintainyaーhingga aku tak ingin ia direbut siapapun. Pria itu milikku seorang, hanya milikku dan aku tidak mau berbagi. Kau harus tahu, cinta itu egois."
Benar.
Cinta itu egois.
Yoo Ri mengangkat dagu Young So kasar. "Lalu tiba-tiba kau lahir, merebut atensinya, merebut semua cinta dan kasihnya, merampas semua waktu yang seharusnya ia beri untukku." Genangan air mata mengkaver bola matanyaーhanya sekejap, sebab setelah wanita itu mengerjap, semua lapisan kaca mendadak lenyap. "Kau penghancur hidupku."
Bak tusukan pisau yang menikam ulu hati dengan tajam, Young So rasa kata-kata ibunya sudah cukup membuat hatinya tergores dan berdarah. Gadis itu terduduk tanpa tenaga, merasa sangat terpukul dengan fakta yang baru didengar. Belasan tahun ditanam doktrin bahwa ayahnya pergi, belasan tahun Young So percaya bahwa ibunya wanita kuat sekaligus sosok ibu terbaik sepanjang masa, belasan tahun ia mengkalim ayahnya sebagai pria bejat yang tak tahu diri.
Namun semua salah. Yoo Ri-lah monster yang harus ia hindari belasan tahun ini.
"Kenapa harus ayah?" Suaranya bergetar, membayangkan bagaimana ayahnya harus menderita di tangan psikopat yang mengkaver diri sebagai sosok wanita berhati lembut, Young So merasa menyesal. "Kenapa ibu tidak membunuhku saja?"
"Membunuhmu?" Yoo Ri mendengkus setengah tertawa. Menarik rambut Young So sampai gadis itu merintih kesakitan, barulah ia menjawab setengah berteriak, "Kau kira kau akan mati dengan mudah sementara aku di sini kesakitan sendirian? Tentu tidak, Bodoh! Aku ingin kau tetap hidup di bawah otoritasku."
Young So merasa napasnya tercekat, sementara ibunya menyeringai lebar.
"Tetaplah hidup di sisi-ku, taati otoritas-ku. Aku bersumpah untuk mengasuhmu sebaik mungkin, dan memastikan bahwa kau tidak akan bertemu cinta manapun." Ia menggeleng kuat-kuat, keseriusan tercetak dalam wajahnya yang penuh kerut kesal. "Sebab kalau aku tidak mendapat cinta, maka kaupun tidak layak mendapatkannya."
Kini, Young So dapat merasa tubuhnya seolah mati rasa. Isi lambungnya barangkali sudah tak berbentuk, sudah cukup kuat diaduk hanya dengan segores kalimat. Menenggak muntahannya kembali, gadis itu hanya dapat tersudut di ruang berdebu dengan rasa ngeri merambati seluruh tubuh.
Saat itulah Yoo Ri berlutut, mengibaskan rambut dan tertawa kesetanan sembari menatap putrinya yang terbaring lemah penuh luka lebam. Rasanya bahagia ketika dendamnya terbalas, rasanya begitu menenangkan kala ia sadar bahwa orang yang dulu telah merampas euforianya berakhir menjadi sampahーtak jauh berbeda dengan sosoknya dulu.
"Maka, jangan pernah berpikir untuk melawan. Kau tahu, aku tak segan-segan melakukan kekerasan pada kekasihmu; sama seperti yang dulu kulakukan pada ayahmu."
Detik itu Young So ingat ia menahan napas, dadanya bergemuruh antara ketakutan juga kepanikan, hatinya meneriaki nama Wonwoo dalam sebuah kebingungan kalut.
Namun, tidak.
Salah kalau ia berpikir ini akhir dari segalanya.
Yoo Ri tak akan menyerah segampang itu. Ia justru melebarkan seringai, irisnya disipitkan menatap Young So dengan rasa puas mengalir dalam dada, jemarinya menarik pisau lipat dari dalam saku celana.
"Kau tentu tak ingin aku meninggalkan banyak tusukan pada tubuh sempurna Wonwoo, bukan?" []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro