Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍃32. I Don't Know Who to Trust🌿

HARI kelimabelas bulan sebelas, dan awan kelabu itu tak kunjung sirna.

Hujan musim gugur memang tak dapat disepelekan.

Young So menopang dagu di atas meja, menghela napas pelan sembari meniti tiap butir gerimis yang mengetuk jendela. Jalanan masih padat, pejalan kaki masih berlalu lalang tak peduli kendati harus membawa payung di genggaman. Café di sebrang jalan ramai bukan kepalang, minimarket mendadak menjadi tempat teduh beberapa anak muda.

Semuanya masih sama seperti apa yang kemarin ia lihat.

Seolah pergerakan Seoul tak berubah, seolah pusat bumi terus berputar dan tiap insan masih terpaku pada jadwal dan aktivitas pribadi.

Seolah rasa kelabu dan kelam yang membendung hanya terasa dalam dunianya; hanya berotasi dalam hela napasnya dan berdenyut seiring irama jantung. Dunia tak perlu tahu bagaimana suasana hatimu untuk melucutkan kejutannya sendiri.

"Jadi, bagaimana keadaanmu?"

Lamunannya bubar, gadis itu mengerjap. Kembali ditarik pada realita yang kini menari-nari di atas garis takdir, ia memberanikan diri mengangkat kepala dan berdeham—hanya untuk memastikan suaranya tidak hilang tatkala berujar, "Begitulah." Ada dengkus pelan yang diloloskan asal, semata-mata demi menyembunyikan senyum tipis yang diulas sebelum melanjutkan, "well, setidaknya lebih baik dari yang kau temukan di sekolah."

Seokmin mengangguk, entah pertanda setuju atau hanya sebagai tanggapan singkat dari jawaban Young So barusan. Gadis itu sendiri sering menemukan lawan bicaranya menatap tak fokus, termenung menatap lantai kayu café dan sedetik kemudian mengerjap gelisah. Latte-nya sudah tak lagi mengepulkan asap, barangkali sudah mendingin kendati belum disesap.

Ada yang salah di sini.

Lee Seokmin bahkan tak kunjung mengatakan maksudnya bertemu kendati dua puluh menit telah berlalu. Samar-samar, Young So dapat melihat kegelisahan berpendar dalam secercah iris coklat itu.

"Kau bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan," Gadis itu memulai, sempat menuai atensi Seokmin dan membuat pemuda itu mengangkat alis seolah tersadar dengan tujuannya kemari.

"Ah, ya, tentu. Tentu ada," katanya salah tingkah. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam. Sepintas, memorinya memutar wajah tengil Wonwoo dengan senyum lebar menyebalkan, wajah merah Hye Sang dengan delikan mata tatkala terakhir kali mereka berdebatーsemua mendadak membuat sesak. "Kau ..." Ia menjeda, tampak kesusahan memilah kata yang tepat sebelum akhirnya melanjutkan, "apa benar kau tidak apa-apa?"

Wo, ini aneh.

Young So mengernyit curiga. Ah, tidak, tidak. Bukan curiga, hanya reaksi refleks sebab terkejut senior 'galak' ini mendadak berubah dramatis dan perhatian. Gadis itu bahkan sempat berpikir sifat melankolis Wonwoo telah menular pada Seokminーsemenjak keduanya akhir-akhir ini berubah sangat dekat entah karena apaーtetapi tatkala gadis itu membuka mulut hendak menyahut, Seokmin sudah terlebih dulu menyela, "Tunggu, jangan berpikir yang aneh-aneh dulu."

Young So mengangkat alis. "Apa?"

Pemuda itu berdeham, merotasikan bola mata dan tampak jengah saat berkata, "Well, menjadi bahan gosip selama berminggu-minggu pasti bukan hal yang mudah. Kau tahu, gadis-gadis lebih suka mendesis kendati kapasitas otak mereka hanya seukuran tai tikus. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Mendengkus setengah tertawa, Young So bahkan mendengar nada sarkastiknya sendiri saat berkata, "Bukan hal mudah untuk pergi diam-diam dari rumah. Hanya itu yang ingin kau katakan?"

Seokmin menghela pendek. Baru kali ini Young So melihat gurat lelah tergores penuh dalam tiap kerut wajah lawan bicaranya. Cekungan hitam di bawah mata pun berkata hal serupa. Pemuda itu nyaris terdengar putus asa tatkala berkata lirih, "Choi Hye Sang."

Kening Young So berkerut.

"Barangkali ia alasan utama mengapa kau mengalami hari buruk di sekolah." Seokmin menarik napas. "Aku minta maaf."

Apa?

"Maaf karena mulut pedas Hye Sang, kau harus mendapat makian yang belum tentu benar. Maaf karena Hye Sang, kau harus jadi target siswa. Satu bulan lebih berlalu. Kejelasan kasus itu masih buram, tetapi tak jarang Hye Sang meracau hal yang bukan-bukan."

Young So tak langung menyahut. Sejenak ia bungkam, merasa ada hal yang salah pada otak seniornya. Oh, astaga! Ini Lee Seokmin, pemuda arogan yang dulu pernah menjadi alasannya memaki foto jajaran senior di majalah sekolah.

Tetapi sekarang ...?

Well, agaknya sebuah kejadian berarti berpotensi ampuh mengubah hati.

"Kau sepupu yang baik." Masih dengan wajah tanpa ekspresi, mulut datar tetapi mata memancarkan ketulusan, Young So kembali berucap, "Hye Sang beruntung memiliki sepupu sepertimu."

Pemuda itu tertawa nanar. "Kalau aku memang pantas disebut sebagai sepupunya."

Apa?

Seolah paham dengan tatapan tanya Young So, pemuda itu tak butuh waktu lama untuk menjelaskan maksud ucapannya, "Ia bukan sepupu kandungku." Tatapannya beralih jengah. Mengendikkan bahu dan melanjutkan, "Kami tidak punya hubungan darah apapun."

Sedikit terkejut dengan kalimat seniornya barusan, Young So bahkan merasa matanya sempat melebar walau hanya beberapa detik singkat. Pemuda itu tidak sedang bercanda, 'kan?

Tetapi tak ada hal lucu apapun. Hatinya seolah ikut diiris-iris.

"Well, setidaknya kalian sangat kompak." Young So tahu ia buruk dalam menghibur. Ia sendiri hanya berniat untuk kembali mencairkan suasana kendati nada datarnya malah terdengar seperti paksaan, "Seburuk-buruknya Hye Sang, aku rasa ia tetap menyayangimu sebagai saudara."

Andai itu benar.

Seokmin mengembangkan kedua sudut bibirnya. Paru-parunya tiba-tiba merasa sesak. Namun tak seharusnya ia menceritakan terlalu banyak pada Young So. Pemuda itu juga tahu kalau lawan bicaranya ini memendam lebih banyak dari yang terlihat. Jadi melipat tangan dan menatap temannya lekat, Seokmin berujar, "Kuharap juga begitu. Tetapi, sudah cukup tentang Hye Sang. Sekarang, giliranku untuk bertanya."

Young So menunggu seraya menyeruput minumannya.

"Apa kau sudah bertemu Wonwoo?"

Nyaris tersedak, gadis itu lantas terbatuk kecil seraya memegang dadanya sendiri dan berusaha agar tak memuntahkan cairan yang telah ditenggaknya tadi. Garis wajahnya mendadak disergap kaku. Tubuhnya meremang seolah baru dikejutkan dengan sengat listrik yang kuat.

Hari kelimabelas bulan kesebelas, dan nama itu akhirnya ia dengar. Hatinya seolah diaduk-aduk. "Ya," sahutnya seraya memalingkan wajah, "tetapi, tak ada yang perlu diingat dari pertemuan itu."

Seokmin menyipitkan mata, tampak khawatir juga penasaran di saat yang sama. Oh, sejak kapan seniornya penasaran dengan si Jeon itu?

"Tunggu, kau tidak berpikir bahwa aku gadis yang dibicarakan di artikel tersebut, bukan?"

"Apa? Tidak! Tentu tidak!" sanggah Seokmin keras. "Astaga, apa yang membuatmu berpikir demikian?"

Young So tidak menyahut, hanya mengendikkan bahu tak acuh dan Seokmin paham mengapa gadis di hadapannya mendadak berubah sensitif. Benar. Menjadi satu-satunya mangsa yang empuk untuh dituduh satu sekolah tentu bukan hal mudah. Seokmin sudah mendengar nama Young So dan Wonwoo dikaitkan dalam rentetan gosip tak masuk akal.

"Kau tahu, Wonwoo bukan lelaki seperti itu. Ia memang tengil, mesum, menyebalkan, dan terlalu percaya diri. Tetapi urusan menyentuh gadis sampai pada tahap tak wajar, percayalah padaku, ia tidak akan melakukannya."

Young So mengangguk tipis. "Aku tahu."

Seokmin mengulas senyum lega.

"Tetapi aku tak tahu, siapa yang harus kupercaya."

"Apa?"

Netra Young So kemudian menatap Seokmin lekat. Di situlah Seokmin menemukan iris lawan bicaranya redup dan sendu. Barulah sedetik kemudian gadis itu berkata, "Beberapa hari terakhir, ibu selalu menjejeliku tentang keburukan Wonwoo. Kau tahu, hal-hal yang seorang ibu memang khawatirkan ketika anak gadisnya dekat dengan lelaki."

Seokmin mendengarkan dengan saksama.

Saat itulah bibir Young So mulai bergetar. "Tetapi, malam ituーmalam sebelum Wonwoo mengajak bertemu, malam sebelum aku sempat melihat Wonwoo, malam sebelum rumor gila itu beredar di web sekolah, ibu berkata bahwa ia melihat Wonwoo pergi ke hotel dengan seorang gadis."

"Dan kau percaya?"

Young So tersenyum tipis. "Gadis itu ialah Hye Sang; sepupumu sendiri. Dan kalau kini rumor tak menyenangkan itu tersebar di web, bukankah berarti ini bukan yang pertama kali? Apa benar ..." Gadis itu berusaha sekuat mungkin mengenyahkan rasa getir yang memenuhi kerongkongan. "Apa benar Wonwoo memang menargetkan seluruh gadis untuk sekadar dijamah demi nafsunya semata?"

***

Hari yang melelahkan. Tatkala sampai di rumah, purnama sudah bergulir di cakrawala.

Young So melangkah gontai ke dalam kamar, mengempaskan diri lelah di atas kursi dan mendesah keras-keras.

Irisnya bergulir menatap isi meja yang berantakan. Bahkan dalam remangnya pencahayaan, gadis itu masih dapat menangkap jelas objek di atas meja belajarnya; belasan lembar kertas tergeletak, ampas penghapus memenuhi permukaan, juga beberapa butir pensil yang menyentuh ujung laci. Kalau mengingat apa yang terjadi akhir-akhir ini, Young So dapat merasa bulunya bergidikーmembayangkan memori buruk ternyata berpotensi memberi rasa kaku yang merayap kulit.

Satu bulan berlalu begitu cepatーrasanya persis seperti membalik kertas dan tahu-tahu waktu sudah terlewat begitu jauh. Tentu banyak perubahan. Dunia seolah tak peduli akan kondisi hati dan mental, tak acuh pada ketakutanmu semata dan tetap memberi kejutan tak terduga. Kelas tambahan, kuis di luar nalar, pula persiapan ujian akhir yang terlalu mendadak.

Young So kelabakan saat harus mengonsumsi semua materi dalam satu malam. Waktu tidurnya terpaksa menjadi korban. Meja belajar mendadak menjadi pendamping yang setia. Gadis itu juga tak perlu mengingat bagaimana detik berlalu lambat tatkala ia menapaki langkah di kelas. Tak ada yang bertambah baik setelah pemuda itu pergi.

Jeon Wonwoo diskors. Dua minggu penuh; masuk pun hanya untuk intrograsi dan klarifikasi di ruang detensi; kendati demikian ia tetap diwajibkan mengikuti ujian kendati tak punya materi apapun.

Seiring dengan kejanggalan kasus Wonwoo, pihak sekolah mengambil banyak tindakan di luar akal. Klub majalah dibubarkan, web tidak resmi diblok permanen, sementara siswa disibukkan dengan berbagai kelas tambahan dengan alasan, 'demi menunjang nilai ujian akhir'. Kendati demikian, gosip yang beredar tak putus begitu saja.

Young So berkali-kali menerima surat terror dalam lokernyaーisinya tak jauh-jauh dari hinaan yang mengatakan bahwa ia gadis murahan yang dihamili Wonwoo tetapi enggan mengaku. Itu bertambah parah kian harinya. Percayalah, Young So bahkan sempat bertengkar dengan kerumunan gadis di koridor dan itu membuatnya harus melangkah dalam kantor Nyonya Ahn.

"Keadaan sedang kacau, Young So. Ibu harap kamu bisa mengerti mengapa gadis-gadis itu begitu sensitif."

Tentu ia paham mengapa. Tak usah dipertanyakan, bahkan Seokmin yang harusnya dapat belajar dengan tenang mendadak hilang fokus. Hye Sang makin berulah. Tindakan dan kalimatnya di luar nalar, terus meracau bahwa siapapun gadis yang dihamili Wonwoo, adalah seorang gadis murah sialan yang menjadi penyebab utama hubungan asmaranya dengan Wonwoo kacauーkalau mereka pernah berhubungan, tentu saja.

Spekulasi-spekulasi akan kasus Wonwoo perlahan buyar seiring bertambahnya kesibukan sekolah.

Menenggak saliva dan memijat pelipis pelan, memori Young So perlahan terputar tentang malam itumalam tatkala alam berusaha bermain-main dengan membawa sosok itu di hadapannya; purnama yang redup, pikiran yang kalut, kemudian tanpa badai atau topan, mendadak lelaki itu hadir di sisinya. Jeon Wonwoo dengan seringainya.

Tetapi tidak, tak ada lagi seringai yang mengusik. Tak ada godaan, sentuhan, atau sesuatu yang biasa mampu membuat gadis itu merotasikan bola mata. Pemuda itu malah berdiri di sampingnya, masih memakai seragam sekolah yang berantakan, surai acak-acakan, dan sedikit luka di sudut bibir yang entah perkara apa. Tatkala itu, Young So tak mampu membuka kata sebab tubuhnya meremang hebat.

Ternyata Wonwoo masih punya nyali untuk menemuinya, bahkan ketika gosip itu tersebar dan semua menjadi runyam.

Semuanya menjadi runyam.

Bahkan ketika pemuda itu menunduk dan mengepal tangan, ketika ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu sebagai keputusasaan dan ketulusan, Young So dapat merasa hatinya teriris saat Wonwoo berkata, "Akan kucari kebenaran di balik kasus yang beredar. Akan kukumpulkan bukti yang kuat sampai kau percaya." Suasana berubah tegang. Udara yang hadir mendadak mengerumun bak ingin mencekik. "Sampai kau percaya, bahwa aku bukan lelaki sembarangan. Sampai kau percaya, bahwa aku tidak semurah itu dalam memilih permainan."

Percaya.

Percaya, ia bilang?

Min Young So tertawa nanar.

Sekarang katakan, bagaimana harus percaya pada pemuda yang dipergok ibumu pergi ke hotel dengan gadis terseksi di sekolah?

Bukannya berniat jahat atau apa, tetapi Young So sendiri ingat bagaimana reaksi Seokmin saat mendengar kalimatnya tadi. Pemuda itu membeku, raut wajahnya mengeras, netranya menatap antara terkejut dan tak percaya. Reaksi yang sama yang gadis itu berikan saat ibunya berkata hal serupa.

"Ibu sudah berkata, hati-hati dengan pria. Ucapan manis mereka hanya pelampiasan rasa suka sementara. Setelahnya, kau akan diempaskanーpersis seperti yang ibu rasakan."

Kepalanya kemudian memutar ulang jawaban Seokmin di café tadi, "Aku harap itu hanya kesalahpahaman belaka." Nadanya sendu, air mukanya penuh akan ketidakpercayaan. "Hye Sang tidak mungkin senekat itu. Dan Wonwoo ... pemuda itu tidak mungkin ..."

Kalimatnya menggantung begitu saja.

Saat itu Young So ingin membalas, tak ada satupun insan yang dapat memperkirakan tingkat kenekatan seseorang. Sekejap tersenyum, selanjutnya menangis. Sekejap tertawa, detik kemudian marahーsiapa sangka?

Mendengar ponselnya berdering tiba-tiba, pikirannya lantas buyar. Young So dengan cepat merogoh isi tas, menggeser jarinya di atas layar setelah membaca nama yang tertera.

Ibu.

"Halo?"

"Young So, apa kau sudah pulang dari perpustakaan? Ibu harap kau pulang cepat, bersihkan rumah, selesaikan tumpukan laundry yang menumpuk. Jangan jadi gadis manja yang malas-malasan." 

Younh So menghela napas, hendak menyahut tapi apalah daya ibunya sudah menyela begitu cepat, "Ibu ada urusan kerja. Kau bisa memanaskan kari semalam untuk dimakan dengan nasi. Barangkali ibu juga tak akan pulang sampai larut nanti, tapi ibu ingin lihat rumah sudah rapi dan bersih."

Young So menoleh ke arah jam dinding. Pukul 7 malam. Tak terasa, ia sudah bertemu Seokmin selama dua jam. "Ah, baiklah. Ibu berhati-hatilah."

Gadis itu bangkit, meregangkan tubuh setelah panggilan ditutup. Ia kemudian berjalan ke lantai satu, segera menuju ruang belakang untuk mencuci baju.

Dua ember penuh. Gadis itu berusaha menahan keluhan. Dua ember penuh.

Well, tak susah. Ia hanya harus memindahkan semua ke mesin cuci, memastikan semua tercuci bersih, lalu menjemurnya di teras belakang. Tidak, sama sekali tak sukar.

Hanya barangkali menguras tenaga.

Namun mengingat ibunya yang bekerja membuat Young So mau tak mau mendengkus. Ia tak boleh mengeluh. Ibunya memikul beban yang lebih berat sebab tetap harus bekerja kendati sudah pulang ke Seoul. Gadis itu mulai memindahkan satu per satu baju ke dalam satu keranjang jaring sebelum memindahkannya ke mesin cuci.

Ia tengah mengecek satu per satu saku tumpukan baju itu tatkala menemukan sesuatu.

Sebuah dompet kulit, terselip di kantung kardigan rajut.

Young So mengernyit. Ini bukan dompetnyaーoh, dompetnya tidak semahal itu. Lagipun, bahan kulit bukanlah favoritnya, model dompet ini juga terlalu elegan, terlalu panjang dengan banyak aksesoris manik yang melekat.

Dipenuhi kuriositas yang membumbung dalam kepalaーlagipula mengecek dompet orang untuk memastikan milik siapa bukanlah hal yang salahーgadis itu membuka isi dompet, menyipitkan mata saat melihat apa yang ada di dalam. Antara percaya dengan netranya atau tidak, Young So tanpa sadar menahan napas dengan kedua bola mata membulat.

Bukan, bukan uang yang mengejutkan dirinya.

Bukan pula banyaknya kartu debit yang tersusun rapi di dalam.

Melainkan sebuah foto.

Foto hitam-putih usang yang disembunyikan di balik lipatan uang, dengan pinggiran memudar dan wajah tak jelas.

Namun ia dapat mengenali ibunya di dalam sana. Ibunya yang masih muda; dengan surai panjang bergelombang, tawa mengembang, serta kebahagiaan tulus yang dapat terasa di netranya tatkala tangannya mengapit lengan seorang pria.

Tidak, ini tidak mungkin ibunya.

Min Yoo Ri benci pria. Ia benci lelaki, ia tak mungkin menyimpan foto berdua dalam dompetnya. Ini benar-benar mustahil.

Kendati demikian, Young So dapat merasa degup jantungnya bertambah cepat seiring dengan jemarinya yang bergetar. Nyaris ambruk dan segera mencari pegangan untuk menumpu tubuhnya, gadis itu merasa napasnya tersengal dengan kebingungan merayap penuh.

Siapa pria itu? []

Sexy Wonwoo with a bit bruise on his lips.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro