Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

👣28. I'll Walk on My Own Path👀

MENGUNGKAP sedikit kisah pelik di antara rentetan memori manis, Hye Sang rasa masa lalunya kelewat baik untuk disandingkan dengan skrip drama roman dimana tokoh utama wanita menderita dan butuh sokongan pria. Hah, memang siapa orang dungu yang percaya bahwa drama Cinderella itu nyata? Siapa gadis bodoh yang dengan mudah meletakkan harapan pada hal-hal muluk melampaui angkasa?

Dan siapa bilang kau dapat menggapai bintang sementara lahir hanya sebagai pecundang?

Sebab mau tak mau, dunia itu hanyalah soal kesetaraan. Kodrat yang menggantung pada lehermu tak akan lesap semudah uap. Pangeran tampan dengan putri jelita, seorang bangsawan bersanding dengan ratu di altar, serta pemuda ternama bersatu dengan gadis terkenal. Bukankah mudah kalau hanya menilai dari kriteria yang manusia beri?

Tetapi well, barangkali orang memiliki spekulasi masing-masing, dan soal itu Hye Sang tak begitu peduli. Toh menyangkut hidupnya pribadi, gadis itu memiliki opini dan pemikiran yang pasti. Tentu ia tak akan berkata hidupnya sengsara dan menyedihkan, penuh penderitaan dan butuh seseorang sebagai penopang. Tidak, terlalu klise dan murahanーrasanya persis seperti berada dalam drama roman yang cheesy. Ewh.

Bahkan kalau diminta untuk mendeskripsikan lebih jelas, Hye Sang tak perlu menunjukkan dengan susah payah bahwa hidupnya bahagia. Semua terasa sempurna. Wajah mulus yang dipuja, surai berkilauan membuat iri para gadis, serta dekapan gelimang harta dengan segala jenis fasilitas mahal. Atas semua itu, Hye Sang bahagiaーoh jelas saja, ia menjadi penguasa sekolah, ditakuti seantreo junior, disukai nyaris seluruh senior. Prestasinya pun melejit, dikenal sebagai primadona sekolah tentu memberi kebanggaan tersendiri.

Hye Sang punya semua. Semuanya, jadi tak ada alasan untuk ia tidak bahagia.

Namun hak kepemilikan yang dilimpahkan terlalu banyak tanpa sadar mulai memupuk candu. Candu kepada perasaan bangga ketika seluruh atensi diberi hanya untuknya, candu pada perasaan berharga ketika seluruh lelaki memujanya tanpa henti, candu pula pada kekuasaan yang digenggam tatkala seluruh gadis di sekolah tak berani berbuat apapun kecuali bertekuk lutut di hadapannya.

Dan ia tahu, ia akan selalu menjadi pusat dari segala sesuatu. Maka tak perlu risau, sebab keinginannya pasti akan terpenuhi.

Pasti.

Namun kembali pada kejadian beberapa jam lalu, Hye Sang seolah merasa kepalanya ditimpa beton besi berat. Harga dirinya diinjak mentah-mentah, dipecahkan menjadi taburan puing tanpa sedikitpun sisa kecuali rasa malu yang luar biasa. Purnama yang menyorot seolah ikut memaki, embusan angin membisik cacian dalam hening. Malam itu memang sepi, tetapi perasaan hina yang didapat benar-benar gamblang. Rasanya persis seolah tengah berdiri telanjang di hadapan banyak orang.

Sampai sekarang pun gadis itu masih tak percaya Wonwoo membandingkannya dengan Young Soーpadahal ia hanya Min Young So; gadis aneh yang galak, seorang antisosial yang membosankan, pula seorang perempuan dengan dada rata dan tubuh tak berlekuk.

Tetapi Wonwoo jatuh untuknya. Sesederhana itu.

Hye Sang benar-benar tidak mengerti. Ia membuang napas tanpa henti, berusaha memutar otak demi mencari seulas jawaban kendati isi kepalanya malah menyisakan sebuah tanda tanya besar. Bukankah fisik menjadi kriteria utama dalam seseorang menjalin cinta?

Bukankah dunia akan terus memandang kesetaraan? Jeon Wonwoo pria yang tampan, seksi dan menggoda. Maka Hye Sang adalah satu-satunya gadis yang layak bersanding dengannya.

Bukankah teorinya memang begitu?

Gadis itu memperhatikan refleksi tubuhnya pada cermin lekat-lekat. "Apa yang salah?" katanya tak paham, nyaris menjerit kesal saat melanjutkan, "Apa keriputku bertambah? Apa pipiku mulai berlemak? Apa make up ini terlalu tebal?" Bahkan saat lirikan matanya bergeser untuk melihat lekuk tubuhnya, Hye Sang tetap tak mendapat jawaban selain rasa panas yang membara dalam dada.

Lelaki brengsek! Sialan! Tak berguna!

Amarah mendadak menguasai ujung kepala. Seolah merasa rambutnya baru disiram air panas, gadis itu lantas meninju segala arah, melempar kepalan tangan pada cermin yang tak bersalah. Kosmetiknya jatuh berantakan, meja riasnya berubah menjadi kekacauan. Semua benar-benar terjadi di luar kehendak.

Bahkan sampai napasnya terengah, Hye Sang masih belum puas juga.

Wonwoo sudah mencicipi bibirnya terlebih dulu. Sebelum Young So muncul, hubungan mereka baik-baik saja. Wonwoo terus mengirimnya pesan, menggodanya di teleponーsemua indah. Perasaan saat kau menjadi obsesei orang, perasaan tatkala kau sadar bahwa kau diinginkan. Semua itu melilit candu.

Hye Sang tak mau Wonwoo berpaling semudah itu.

Namun bak mimpi malam yang datang semudah uap dan berjalan tak tentu arah, semua lantas berubah menjadi gulungan benang rumit tatkala Young So hadir. Cih, peduli setan dengan cinta, peduli setan dengan afeksi serta kata manis yang Wonwoo lontarkan. Hye Sang tahu betul, semua itu hanya pengelabuan semata. Pemuda itu hanya termakan nafsu. Barangkali Wonwoo memang tengah diombang-ambing candu sebab rasa bibir Young So, barangkali Wonwoo mendekati Young So hanya karena ingin meluluhkan hati gadis itu sebelum mengajaknya main di ranjang. Cinta, euforia, semua itu hanya omong kosong belaka.

Hye Sang mendengkus kasar, meraih ponsel dan mengetik nomor dengan amarah yag berpendar dalam dada. Lantas setelah layar tertempel di telinga, suara dari sebrang telepon menyapa, tanpa menunda waktu gadis itu langsung berkata, "Rencana bodoh itu gagal. Bibi, kau berjanji akan mengenyahkan putrimu dari milikku. Sampai sekarang aku tak mau ..." Ia menjeda, berusaha mengambil napas di sela-sela geramannya, "aku tak mau putrimu mengambil apa yang sudah menjadi milikku."

Dan akan selalu begitu;

Hye Sang tak akan membiarkan hak miliknya dirampas semudah itu.

***

"Hari ini kau tidak usah sekolah."

Adalah kalimat pertama yang Yoo Ri ucapkan setelah pertengkaran kecil semalam. Young So tentu mengernyit. Ah, yang benar saja! Gadis itu bahkan baru menapaki langkah keluar dari kamarーrapi berbalut seragam sekolah, surai diikat ke belakang serta beberapa buku di genggaman. Ia melempar tatapan bertanya pada ibunya, berharap wanita itu memberi penjelasan lebih. Tetapi tidak, tidak ada kalimat tambahan lain. Yoo Ri bahkan tidak menoleh ke arahnya dan terus mengupas apel di meja makan.

Young So mendengkus pelan. Agaknya batahan seperti apa pun rasanya percuma. Ia sendiri cukup lelah setelah semalaman bergadang hanya untuk mempelajari materi sejarah yang diujikan hari ini. Jadi mengeraskan hati untuk tetap melangkah ke pintu luar, gadis itu sempat merasa napasnya tertarik dengan desahan kecil tatkala sesuatu yang keras menghantam kepalanya dalam sepersekon yang kelewat cepat. Young So menoleh, di belakang Yoo Ri sudah menatapnya dengan emosi menyala-nyala.

"Sudah berapa kali ibu ingatkan untuk menjaga sopan santun saat berbicara dengan orang tua?!"

Dilempar kaleng tepat di belakang kepala tentu menghasilkan rasa nyeri luar biasa. Young So meringis tertahan, masih mengusap-usap bagian kepalanya yang sakit saat ibunya kembali berkata, "Kau tahu ibu benci diabaikan. Bahkan oleh putri ibu sendiri."

Ada gejolak rasa tak terima saat Young So harus mendengar nasihat itu lagi. Menenggak saliva dan berusaha untuk tetap tenang dan tidak berteriak, gadis itu akhirnya membuka mulut, "Ibu, tolong." Hanya bisikan, Young So benar-benar tak ingin membiarkan emosinya berkoar liar dengan teriakan keras di hadapan ibunya. "Aku sudah mengacaukan ujianku kemarin. Aku masih ingin lulus dengan nilai yang bagus. Jadi tolongー"

"Tidak usah khawatir soal nilai," tukas Yoo Ri tajam, bahkan sebelum Young So sempat menyelesaikan kalimatnya. "Kau akan dipindahkan ke sekolah baru. Tidak usah memikirkan ujian kemarin terlalu berlebihan. Ibu juga tidak tahu bila kau memang sengaja melakukannya agar dapat berduaan dengan Si Tengik itu."

Young So mendengkus tak paham, tertawa sinis entah pada siapa. Bahkan setelah semua yang terjadi ibunya masih menganggap itu sebagai sebuah kesengajaan. Ibunya masih memandangnya sebagai gadis penggoda; sebagai gadis murahan yang hobinya menarik atensi pria.

Lucu sekali.

"Ibu harus tahu kalau aku juga bukan gadis bodoh yang melakukan kesalahan sengaja pada ujian pertama," ujarnya tak habis pikir, "Sepertinya sesuatu memang tak beres di sini. Tetapi sudahlah, mencari perdebatan hanya akan membuat kepala penat. Jadi maaf, bu. Aku permisi."

"Min Young So!" Ibunya berteriak histeris. Rasa panas langsung menjalar dalam saraf kepala. Wajahnya merah padam, napasnya tersengal tak karuan. Rasanya menjengkelkan saat seseorang yang biasa patuh kini berubah tak acuh. Benar-benar sebuah kegeraman tatkala seseorang yang biasa taat kini berubah membangkang. "Ibu belum selesai denganmu."

Young So berhenti. Namun ia tak berbalik. Menghela napas panjang, gadis itu baru berkata setelah beberapa detik berlalu lambat, "Ibu tidak usah khawatir." Lagi-lagi sebuah jeda. Kali ini penuh keraguan. Young So bahkan sempat merasa dadanya berdebar saat ia berkata pelan, "Aku tidak akan mendekati Wonwo seperti yang ibu katakan."

Yoo Ri bungkam. Amarahnya surut seketika. Rasa panas dalam kepala mendadak lesap terganti oleh kelegaan yang merembes lewat ujung tenggorokan. Oh, tetapi salah kalau Yoo Ri pikir semua berakhir dengan mudah. Sebab tiga detik setelahnya, Young So menyambung kalimatnya lagi, "Tidak, selama ibu menunjukkan bukti bahwa ia memang lelaki berbahaya. Sebab pemuda itu tidak punya kekasih. Dan ia pemuda yang baik."

Yoo Ri kesal setengah mati. Wanita itu hendak berteriak, ia rasa pembuluh darahnya nyaris pecah sebab terlampau emosi. Namun baru mulutnya terbuka, suara bel di luar rumah berbunyi. Yoo Ri mengutuk dalam hati. Siapa tamu yang berani datang pagi-pagi di kala suasana hatinya sedang buruk begini.

Nyatanya setelah pintu terbuka dan menampilkan presensi seorang pemuda di teras, Yoo Ri tak dapat bereaksi lain dan hanya menekuk alis dalam dengkus kesal yang ditahan.

Pemuda itu. Lagi.

Yoo Ri mengepal tangan tanpa sadar. Apa sedekat itu hubungan mereka?

Jeon Wonwoo tersenyum lebar saat menatap gadisnya yang membuka pintu. Baru tatkala sudut matanya menangkap siluet Yoo Ri, berdiri beberapa langkah di belakang dengan tangan terlipat di depan dada, pemuda itu berusaha mengontrol ekspresi wajah, membungkuk sopan dan menyapa, "Selamat pagi, Bibi."

Young So refleks menoleh, mengangkat alis saat Yoo Ri berjalan mendekat dengan mulut terkatup rapat. "Ibu, aku akanー"

"Kau akan mengantarnya ke sekolah?" tanya Yoo Ri tajam, irisnya menyipit menatap Wonwoo.

Wonwoo berdeham, sedikit gugup tatkala menyahut, "Em ... iya. Aku tiー"

"Kau mengantar gadis orang? Di mana kekasihmu? Sudah lupa bahwa kau memiliki kekasih?"

Suasana mulai menegang. Tiga pertanyaan sederhana ternyata mampu membawa pengaruh luar biasa. Young So menghela napas, hendak membuka mulut tetapi Wonwoo sudah terlebih dulu menjawab dengan cengiran tak berdosa, "Ah ... ada kesalahpahaman di sini. Gadis yang kemarin itu bukan kekasihku. Aku tidak memiliki kekasih."

Yoo Ri mengangkat alis. Sebelum ia sempat mengatakan sepatah kata lagi, Young So sudah terlebih dulu menyela, "Kita sudah hampir terlambat," katanya pada Wonwoo, kemudian berbalik pada ibunya, "Ibu, kami permisi."

Tanpa menunggu lama atau memberi kesempatan untuk Wonwoo berpamitan, Young So lantas menarik tangan pemuda itu dan berjalan cepat.

Yoo Ri melihat kepergian putrinya geram. Kini, Young So dapat mudah menggenggam tangan lelaki. Kini, putrinya dapat mudah tertawa dan mengulas senyum bersama pemuda yang dicintai. Lucu sekali bagaimana anak yang belasan tahun dididik untuk tinggal dalam cangkang akhirnya mencoba keluar dan mencari udara bebasーtanpa seijin ibunya.

Yoo Ri mengepal tangan kuat. Rahangnya mengeras tanpa sadar.

Dulu, cinta pertamanya hancur. Dulu, cinta pertamanya berakhir sebatas uap yang mengenaskan sebab presensi anak itu. Dulu, ia pernah mencicip bahagia kendati akhirnya berendam dalam kubangan luka.

Maka Young So pun tak layak untuk mencicip cinta.

Tidak, kendati Wonwoo pemuda yang baik luar biasa.

"Kesalahannya tidak terletak pada pemuda itu, Young So," katanya pada diri sendiri, menggenggam erat ujung jemari saat kembali mendesis, "Kau memang keras kepala. Apa susahnya diam dan menurut? Kau seharusnya tahu, aku paling benci dengan seorang pembangkang." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro