Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🎇27. Fall Into You🎼

"KAU lihat sendiri, 'kan? Yoo Ri tertawa merendahkan. Suaranya terdengar halus dan lembut, tetapi diam-diam membawa belati yang menusuk hati. "Pemuda itu punya kekasih. Ia sudah ada yang memiliki. Jadi untuk apa terus dekat dengannya? Kau hanya membuat dirimu tampak rendah di depannya."

Membuat dirimu tampak rendah.

Young So menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Gumpalan nasi dalam mulutnya mendadak terasa hambar. Lambungnya yang tadi melonglong lapar, kini diam tak bersuara. Kerongkongannya pun sama―getir yang tadi membekap perlahan sirna. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa perih. Semua benar-benar datar. Sangat hambar.

"Mencintai dan nafsu itu beda tipis." Yoo Ri mengangkat dagu angkuh―sebuah kebiasaan lama yang dilakukan ketika wanita itu bercakap, "kau tidak akan pernah menduga siapa yang ada dalam hatinya, tahu-tahu kau hanya jadi pelampiasan di ranjang."

Ah, tunggu.

Kalau apa yang Wonwoo lakukan hanyalah demi nafsu semata, kalau semua kalimat yang pemuda itu ucapkan hanyalah deretan kata manis yang bertujuan membuat hati gadis berbunga-bunga, kenapa terasa begitu tulus? Young So dapat mengingat iris Wonwoo yang menyipit lugu tatkala pemuda itu tersenyum, bola matanya membulat dan memancarkan kilatan semangat tiap pemuda itu menyapa dirinya. Bahkan kalau tujuan pemuda itu adalah ranjang, maka sudah dari dulu ia lakukan.

Lantas, bagaimana kalau pemuda itu memang bersungguh-gungguh?

Bagaimana kalau ternyata, semua rasa cinta Wonwoo nyata―cipratan rasa euforia dan luka tatkala jatuh cinta memang benar-benar ada? Toh tadi setelah mendapat ciuman dadakan oleh Hye Sang, Wonwoo langsung mengusap bibir. Tampak betul pemuda itu tak suka, keningnya mengerut, matanya menyipit, bahkan sempat melayangkan beberapa protes kalau saja Yoo Ri tak membuka mulut.

Banyak tanda tanya beredar dalam kepala, Young So lantas meletakkan sendok makannya begitu saja. Netranya menatap lurus ke depan, tetapi pandangannya kosong dan linglung―tenggelam dalam pikiran yang kalut."Bagaimana kalau dugaan ibu salah?"

Yoo Ri mengerutkan kening. "Kau bilang apa?"

Saat itu, kesadarannya baru terkumpul penuh. Young So mengerjap. Berdiri di ambang keraguan antara harus memilih logika dengan rasa, gadis itu nyaris tak percaya tatkala bisikannya mengudara lirih, "Bagaimana kalau sebenarnya, Wonwoo tidak seburuk yang ibu pikirkan?"

Yoo Ri ternganga tak percaya. Bola matanya membulat sebelum wanita itu mendengkus tak suka. Sesuatu dalam wajahnya berkata bahwa ia murka―jelas saja, reaksi yang sudah Young So duga akan terjadi kalau ia mencoba melawan. Namun, gadis itu tak takut lagi. Tidak, kendati iris ibunya memicing tajam.

"Tutup mulutmu, kau membuat ibu marah."

"Tidak, semua ini belum jelas." Young So memotong kalimat ibunya, "ini aneh. Aneh sekali. Akhir-akhir ini ibu sering datang ke sekolah, muncul tiba-tiba, dan―"

"Ibu bilang tutup mulutmu!" Kedua tangan Yoo Ri bergetar, giginya bergemeretak, semata-mata hanya untuk menahan amarah yang meledak.

Namun entah dari mana keberanian yang ia dapat, Young So bahkan tidak lagi merasa bibirnya bergetar tatkala kembali menyelesaikan kalimatnya, "Dan dari mana ibu mengenal Hye Sang?"

"Tak dapat dipercaya, kau masih saja berbicara ketika ibu murka. Sudah lupa bagaimana tata krama berbicara pada orang tua, Nona?"

Young So menghela napas tertahan. Dadanya seolah ditekan oleh buncahan rasa penasaran. Ini semua terasa janggal. Ada sesuatu yang seolah ditutup rapat. Young So bahkan tak paham bagaimana dalam satu hari ibunya dapat mengenal Hye Sang, bagaimana dalam beberapa jam, Hye Sang muncul dengan pengakuan sebagai kekasih sah Wonwoo dan mencium pemuda itu di depan matanya.

Seolah sesuatu memang sudah diatur―direncanakan dengan teratur.

Yoo Ri membuang napas, semata-mata hanya untuk membuang emosi yang sedari tadi dipendam. "Dengar, Young So. Wonwoo itu sudah memiliki kekasih. Choi Hye Sang, gadis itu sendiri yang mendatangi ibu dan merasa risi sebab kau terus menggoda―"

"Dan ibu percaya?" Young So memberi tatapan selidik. Kemudian gadis itu mendengkus keras, tersenyum sinis tatkala melanjutkan, "Astaga, ini mustahil. Ibu lebih percaya seorang gadis yang entah darimana dan mengaku sebagai kekasih Wonwoo, dibanding aku―putri kandung ibu sendiri?"

"Memang ibu bisa percaya padamu?!" bentak Yoo Ri tajam. "Lihat apa yang kau lakukan tadi. Kau berduaan dengan Wonwoo dan―oh, ibu bahkan tidak mampu membicarakannya. Sudah berapa kali ibu harus tekankan untuk tidak dekat dengan lelaki?"

"Memang apa yang salah dengan laki-laki? Apa yang salah dengan cinta hingga ibu membenci―"

"Karena semua lelaki itu berengsek, Young So!" Yoo Ri mulai berdiri dari tempat duduknya. Bola matanya bergetar, selaput kaca tipis menyelimuti irisnya yang gelap―Young So kelewat peka untuk melihat perubahan kecil pada ibunya. "Ayahmu berkhianat dan pergi," lirihnya tertahan―dan aku tak mau kau mendapat kekasih yang lebih baik.

Young So bungkam. Pembicaraan malam ini agaknya sudah cukup menggores hati ibunya, sudah meembawa kembali beberapa kenangan buruk yang harusnya ditutup rapat dalam peti memori. Jadi gadis itu mengalah, memilih untuk berdiri dan membungkuk memberi hormat, sebelum kemudian berjalan keluar.

***

Lapisan jaketnya terlalu tipis. Udara dingin jadi leluasa menggigit kulitnya hingga menggigil. Young So tahu, keluar pada malam musim gugur dengan kaos serta lapisan kain tipis bukanlah ide baik. Namun diam di rumah sementara ibunya tidak berhenti berbicara mengenai Wonwoo dan Hye Sang juga bukan pilihan bagus.

Jadi Young So sendiri tidak menyesal ketika menginjakkan kaki dalam sebuah market kecil di ujung gang, meraih dua kaleng kopi hanya untuk mengisi perut.

Menelan sekaleng kopi dalam satu teguk, gadis itu nyaris terbatuk sesak tatkala mendadak isi kepalanya berputar, mengulas satu per satu serpihan memori pahit tadi pagi. Jeon Wonwoo yang cerewet itu, nyatanya bisa diam tak berkutik tatkala ditodong ciuman Hye Sang.

Namun, oh, ayolah! Itu bukan poin penting yang menjadi alasan Young So hilang nafsu makan dalam sekejap. Tentu bukan. Ditilik lebih jauh, gadis itu diam-diam merasa sesuatu menghantam ulu hatinya, sesuatu yang asing seolah menusuk beribu jarum dalam dada tatkala Hye Sang mengapit tangan Wonwoo manja, dengan suara lembut yang dibuat-buat lantas berkata, "Aku merindukanmu, Sayang.Kau lupa kita ada janji penting siang ini?"

Sayang, katanya.

Hoek.

Wonwoo mengulas gurat tipis pada kening. Pemuda itu bahkan sudah membuka mulut, barangkali hendak menyangkal sebelum kalimat Yoo Ri menandas tajam, "Kau bisa pergi dengan kekasihmu. Aku akan membawa putriku pulang." Irisnya menyipit tajam. Suaranya yang lembut nyaris mencekik kerongkongan−membuat atmosfer semakin tegang. Yang terjadi selanjutnya, Hye Sang menarik tangan Wonwoo paksa.

Jeon Wonwoo mendadak seperti anak domba pasrah yang menurut perintah majikan.

Payah.

Young So berdiri, menghentakkan kaki seraya melempar bungkus kopinya pada tempat sampah di ujung market. Jalanan sepi, hanya remang lampu yang menyertai. Muramnya cakrawala seolah memberi tahu gadis itu bahwa semesta juga berduka. Bau tanah mulai menggelayuti udara, tiupan angin membelai surai dan Young So sempat mengira ia akan berakhir menyedihkan sebab kehujanan di tengah jalan. Sial sekali. Rasanya seolah berada dalam sebuah scene drama romansa yang menyesakkan.

Gadis itu tertawa getir.

Bahkan realita selalu punya cara untuk meremukkan hati yang belum utuh pasti.

Namun tetap, sebuah pertanyaan yang menjadi bayang dalam tiap tidurnya; Apa dulu ayahnya memang sejahat itu?

Ah, tidak, tidak. Young So tidak membenci ayahnya. Sebab katakan, bagaimana kau dapat membenci seseorang yang bahkan kau tak tahu siapa? Kendati dulu Young So akui, ia pernah menaruh dendam pada ayahnya―well, hanya dendam seorang anak kecil yang lugu. Ia benci melihat ibunya disakiti, ia benci sebab dilarang untuk bermain dengan lelaki, ia juga benci sebab tak dapat memamerkan sosok ayah pada teman-temannya. Dan itu semua sebab ayahnya pergi.

Namun beranjak dewasa, akal dan hikmat yang berkembang lambat laut menyadarkan gadis itu bahwa semua amarah hanyalah sia-sia. Ibunya tidak pernah berkata apa-apa tentang ayahnya. Ibunya bahkan bungkam saat Young So tanya alasan ayah pergi. Jadi agaknya sedikit egois kalau Young So menyalahkan ayahnya sementara ia tak tahu apa-apa.

Gadis itu melangkah lambat. Sampai pada tikungan menanjak, matanya yang menangkap sesuatu tak terduga lantas membulat. Tanpa menunggu lama ia mundur beberapa langkah, bersembunyi di balik tiang lampu listrik di pinggir tikungan. Jantungnya berdetak cepat. Napasnya tercekat.

Young So baru tahu, ternyata seperti ini rasa sesak saat yang kaudapat tatkala melihat Wonwoo bercengkrama berdua dengan gadis lain.

Choi Hye Sang―oh, memangnya siapa lagi?

Anehnya, kali ini Young So tak punya keberanian untuk mengiterupsi. Tak mau pula sekadar pergi dan melewatkan momen dimana ia bisa menguping. Toh dalam lubuk hati, gadis itu juga penasaran apa yang mereka bincangkan di tengah jalan malam-malam. Jeon Wonwoo bukan seorang bermuka dua, bukan? Well, mari kita pastikan.

"Apa lagi yang mau kau katakan?" Wonwoo menghela napas panjang. Desahannya mengudara lelah. "Dengar, sampai sekarang aku masih tidak paham alasanmu menciumku di depan Young So dan ibunya tadi, tetapi bisa kita anggap kejadin itu sebagai angin lalu? Aku tidak ingin membicarakan sedikitpun tentang itu. Ada kesalahpahaman lain yang harus kuluruskan, jadi aku harap kau tetap menjaga jarak dan―"

"Gadis Tengik itu yang kau maksud?"

"Apa?"

Hye Sang tertawa sinis. "Kau masih mengharapka dia. Setelah apa yang terjadi kau masih mengharapkan dia. Benar-benar tak dapat dipercaya."

Wonwoo tidak menyahut. Pemuda itu hanya mengangkat bahu, berbalik tubuh dan hendak melangkah sebelum kalimat Hye Sang mengudara tajam, "Sepertinya aku harus mengingatkanmu bahwa ia hanyalah salah satu dari permainan kita dulu."

Iris Young So menyipit. Tunggu, apa?

Wonwoo berhenti kaku.

"Dulu kau menerima siapapun untuk menjadi kekasihmu. Sun Ah, Kaerim―semua gadis tergila-gila denganmu. Lalu kau datang padaku." Hye Sang menatap Wonwoo lurus. Senyumnya mengulas semakin lebar saat ia melanjutkan kalimatnya, "Kau tidak ingat kita berciuman di depan laboratorium sore hari sebelum klub musik dimulai? Kau memohon untuk menjadi kekasihku, bahkan kau rela melakukan apapun. Termasuk tantangan itu."

Wonwoo kembali menatap Hye Sang dengan netra menyipit tajam. "Itu masa lalu," katanya dingin, "sekarang aku punya pilihan sendiri. Kau tidak berhak untuk―"

"Kau menerima tantanganku untuk mencium gadis paling galak di sekolah―kau mencium Young So. Dan sekarang kau bilang kau lebih memilih gadis itu? Karena apa? Karena rasa bibirnya yang manis?"

Young So tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Atau karena nafsu semata?"

Jemari Wonwoo mengepal.

"Katakan Wonwoo, kau mendekati Young So hanya supaya dapat menidurinya, 'kan?"

"Kau tidak bisa tidak membuat masalah, ya ..." kata Wonwoo kesal, suaranya yang rendah membuat Young So membulatkan mata. Well, Wonwoo jarang memasang tatapan mata setajam dan sedingin itu pada seorang gadis. "Kau tidak tahu apa-apa, Gadis Manja. Kau selalu mengaitkan nafsu dengan cinta."

Hye Sang berdecih tak senang. "Memangnya aku salah? Kau tidak punya cinta. Tidak ada yang namanya cinta. Kalau disuruh jujur pun, aku tahu kau menginginkan tubuhku dulu. Namun setelah bertemu Young So ..." Gadis itu menjeda, menggeleng pelan saat kembali menyambung, "Katakan Wonwoo, apa yang gadis itu punya yang aku tak punya?"

Wonwoo mengangkat alis terkejut. Pemuda itu tak langsung menyahut, membiarkan semilir angin mengisi jarak di antara mereka. Ia tak tahu ruang pikir Hye Sang sesempit ini, ia tak pernah tahu gadis itu berpikir bahwa selalu ada upah di balik rasa.

Tidak, tidak demikian.

Terkadang, tak perlu sesuatu yang utuh sebagai pelampiasan rasa yang dipendam.

Wonwoo tersenyum tipis. "Dulu aku memang mendekatimu sebab tubuhmu―karena kesempurnaan fisikmu. Aku mendekati gadis-gadis karena, well, karena hasrat lelaki. Kau tahu; ciuman, pelukan, sentuhan fisik lebih dalamーsemua memabukkan. Tetapi hal lain yang harus kau tahu, ada satu rasa lebih indah, yang tidak hanya memandang kelebihan dan kesempurnaan fisik seseorang, yang tidak mendambakan kecupan tiap saat, yang memberi euforia dan luka yang setimpal."

Hye Sang mengernyit.

Wonwoo mengulas senyum lebih lebar. "Dan itu yang kutemukan pada Young So―Min Young So; gadisku," katanya dengan penuh penekanan.

Di tengah gemerlap malam, angin menjadi saksi, saat itu hati Young So diisi buncahan rasa lega yang mengalir deras. Euforia menyambut bak segerombolan lebah tanpa dapat dicegah. Gadis itu tidak tahu mengapa, tetapi bibirnya melengkungkan senyum tipis yang cerah. Rasanya ringan dan tenang.

Ia bahkan nyaris tak percaya dengan telinganya sendiri tatkala mendengar Wonwoo kembali membuka mulutnya lagi, "Jadi menyerahlah saja, Hye Sang. Hatiku sudah terlebih dulu jatuh untuk gadis itu." []

Niat semalem update, eh ketiduran:)).

Well, here you go <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro