🎢23. Cause I will Never Give Up On You🎠
PINDAH sekolah.
Wonwoo tertawa nanar.
Pindah. Gadisnya akan dipindahkan. Semudah itu; sesederhana itu.
Pemuda itu berdecih, meludah di pinggir selokan koridor. Tangannya terkepal di balik saku seragam, rahangnya mengeras tanpa sadar. Memang semudah itu untuk membuatnya menyerah?
Rumornya bahkan beredar lebih cepat dari yang dapat ia duga. Percayalah, baru setengah jam pelajaran dimulai, tiba-tiba Junwoo dari klub olahraga mengiriminya pesan dengan deretan kalimat asal, isinya bahkan mampu membangkitkan emosi dalam sekejap;
Gadismu benar-benar akan pindah? Wah, wah, aku curiga kalian melakukan sesuatu di luar batas. Katakan, apa kau lupa menggunakan alat kontrasepsi?
Untungnya Wonwoo tidak langsung naik pitam. Walau jujur, kalimat Junwoo terlalu intens dan pasti akan menjadi biang gosip baru andai para gadis membaca pesan ini. Namun gosip baru berarti membuat masalah baru, sama saja dengan menceburkan diri dalam liang perkara. Young So juga pasti tidak akan suka.
Jadi alih-alih merespon kalimat Junwoo, Wonwoo lebih memilih untuk diam. Diam dan berpikir dalam tenang; apa ia telah melakukan kesalahan fatal sebelumnya?
Kalau iya, memang apa? Apa ini ada hubungannya dengan kencan lalu? Dengan kedatangan ibu Young So? Atau bagaimana?
Wonwoo mendadak teringat ucapan Changie beberapa hari lalu―tatkala ia sedang sibuk mengirimi pesan pada Young So di sela-sela belajarnya untuk kuis. Tanpa diduga-duga, Changie mendadak datang ke kamarnya dan dengan datar berkata, "Aku tidak tahu kalau adikku ternyata bisa jatuh cinta. Tapi tolong perhatikan juga nilai akademismu. Lagipun gadis yang kau kencani tidak akan merespon dengan kehadiran ibunya di rumah."
Jeda sejenak, Changie barangkali sedang memilah kata atau entahlah. Seingat Wonwoo, kakaknya tidak pernah menyaring kalimat saat berbicara. Ia lebih suka mengatakan fakta―kebenaran apa adanya walau memang menyakitkan. Namun yang kemudian Changie katakan benar-benar jauh dari ekspetasi Wonwoo yang cekak, "Wanita itu berwibawa dan terlihat galak, jadi berhati-hatilah."
Galak.
Wonwoo mendengkus, tergoda untuk membalas dengan cekikikan, "Harusnya kakak mengaca sebelum mengatai orang." Namun mendadak otaknya membawa kembali memori getir pada akhir kencan mereka; tatkala ibu Young So benar-benar memergoki anak gadisnya dipeluk lelaki, tatkala wanita itu muncul dengan wajah tertekuk marah bak drama di televisi, tatkala suasana berubah panas dan Young So langsung menjaga jarak.
Semua mendadak menjadi teka-teki dalam kepala. Wonwoo kemudian bertanya-tanya, apa yang sebenarnya salah di sini? Apa ibu Young So memang benar-benar tidak suka anak gadisnya disentuh orang? Bahkan pemuda tampan dan seksi yang digilai seluruh gadis?
Wonwoo berdecak, menghabiskan sodanya dalam sekali tenggak. Membolos sebenarnya bukan rutinitasnya, namun apa gunanya berada menghadiri kelas. dijejeli penjelasan mengenai pelajaran sementara otaknya berkelana memikirkan hal berbeda?
Pemuda itu bersandar pada tepi tiang, merasakan embusan angin membelai wajah hingga menerbangkan anak rambut. Bayangan wajah Young So sesekali tampak dalam kepalanya, membuat Wonwoo mendengkus lelah.
Benar juga, kalau dipikir-pikir, sudah berhari-hari bahkan lebih dari satu minggu dihitung dari hari setelah mereka kencan, Young So selalu menghindar. Di kelas atau kantin, jam makan siang atau sebelum bel masuk, bahkan saat jam night self-stdudy―jam yang Wonwoo tunggu-tunggu sebab ia bisa bertemu Young So di perpustakaan―juga dilewatkan, seolah-olah gadis itu selalu bergegas untuk pulang cepat.
Tunggu.
Atau mungkin memang benar. Gadisnya memang sedang menghindar.
Namun, kenapa? Kenapa baru sekarang ia menghindar kalau sejak dulu Wonwoo sudah menggantungkan begitu banyak masalah padanya? Kenapa baru sekarang gadis itu terang-terangan marah setelah kencan pertama berjalan baik-baik saja?
Bukankah itu sebuah kejanggalan?
"Aku tidak tahu kau bisa menemukan tempat bolos terbaik. Guru memang jarang mengecek pinggir laboratorium."
Wonwoo mendongak untuk melihat siapa yang datang, menekuk alis antara terkejut dan tak percaya, sebab yang kini mengajaknya bicara adalah orang yang sama yang dulu menjadi sasaran tinjunya. Pemuda itu menoleh linglung. "Kau berbicara padaku?"
Seokmin sebenarnya bukan pemuda tersabar yang pernah ada, jadi ia sendiri tidak bisa memaksakan tawa untuk menanggapi basa-basi bodoh itu. Ia hanya mengangkat alis menatap adik kelasnya yang tampak kalang kabut, lantas membalas dengan sarkas, "Kau kira aku mengajak bicara siapa? Tong sampah di pinggir tangga? Jangan berpura-pura bodoh, aku yakin kau juga tidak melihat siapa-siapa di sini."
Wonwoo berdecak, terpaksa berdiri dari posisi jongkoknya. "Maaf, aku sedang malas mencari ribut. Bertengkarlah dengan kucing di atap sekolah. Jangan denganku."
Baru pemuda itu berbalik, nyaris beranjak pergi kalau saja kalimat Seokmin selanjutnya tidak menahan langkahnya untuk berhenti.
"Tenang saja, aku tidak akan mencari ribut di saat kau sedang kalang kabut. Jadi gadismu benar-benar akan pindah? Sudah menyiapkan target baru atau bagaimana?"
Wonwoo menghela napas, kali ini berbalik dengan sabar dan menatap seniornya tajam. "Sudah kubilang, aku sedang tidak ingin mencari ribut."
Seokmin berdecak, semata-mata hanya mampu menatap kepergian Jeon sembari mendengkus tak paham. Terkadang Wonwoo yang menyebalkan dapat berubah sembilan puluh derajat hanya karena hal sepele begini.
"Sebentar lagi ujian, tidak usah khawatir. Gadismu tidak akan pergi."
Wonwoo berhenti.
Seokmin mengangkat alis, dalam hati merasa bangga sebab Wonwoo tetap mendengarkan ucapanya. "Sekolah tidak akan mengijinkan siswa pindah di tengah masa ujian kalau bukan karena keperluan mendesak. Kau tahu sendiri, tidak mudah mengejar ketertinggalan nilai di sekolah baru dengan sistem pelajaran baru. Jadi kau masih punya waktu satu minggu."
Wonwoo berbalik dengan kerutan kening. "Satu minggu?"
"Satu minggu untuk membuatnya bertahan, satu minggu untuk menyelesaikan masalah kalian." Pemuda itu menghela napas singkat. "Setidaknya kalau dia pindah, beri kenangan indah dan bukannya meninggalkan kepahitan. Kau tak lupa bagaimana tindakan bodohmu membawanya ke dalam rentetan masalah, bukan?"
"Tunggu, tunggu. Ada yang janggal di sini." Wonwoo menggeleng dengan tawa sinis. "Kau ... astaga, sejak kapan kau peduli? Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sepupu manjamu itu, jadi tidak usah terlalu ikut campur."
"Memang tidak ada hubungannya dengan Hye Sang." Seokmin mengendikkan bahu, "well, aku malah berharap Hye Sang tidak berhubungan denganmu."
Wonwoo mengernyit.
"Sebab kau sudah mencintai gadis lain." Seokmin mendengkus setengah tertawa. "Walau menggelikan, aku dapat membedakan keseriusan dan candaan. Kalau kau bermain-main dengan si galak Young So, mana mungkin kau rela terlibat perkelahian hanya untuk membelanya? Ingat, lelaki dinilai ketangguhannya dari ucapan, jadi berhati-hatilah."
Jeda beberapa saat, hening mengisi relung menit, nyaris mencekik tenggorokan masing-masing kalau saja selanjutnya Seokmin tak berucap, "Yang penting, tidak ada keributan. Oh, ayolah Wonwoo. Kendati kau 'Si Tengik Sialan' yang menyebalkan, aku yakin kau masih punya sisi kedewasaan. Jadi, dibanding mengingat konflik lama, aku ingin kita berdamai dan melupakan semua yang pernah terjadi dulu."
Wonwoo tak salah dengar, 'kan?
Apa ini benar-benar nyata? Apa seinornya benar-benar bertobat? Namun mengapa begitu tiba-tiba?
Wonwoo menelan saliva, nyaris berucap tetapi kembali bungkam saat seniornya itu kembali melanjutkan, "Dan untuk menebus kesalahanku, mengapa kita tidak bekerja sama untuk membereskan semua masalah yang ada? Membuat gadismu untuk tetap tinggal, misalnya, kedengarannya bukan ide buruk."
***
Semua akan baik-baik saja.
Young So menarik napas dalam-dalam.
Benar, semua akan baik-baik saja. Ini bukanlah masalah besar, toh dulu ia pernah menghadapi hal lebih parah dibanding sekadar gosip yang beredar. Dulu namanya pernah disertakan dalam hujatan pertengkaran Seokmin dan Wonwoo, dulu ia pernah dipermalukan oleh seniornya di depan semua siswa.
Jadi seharusnya, Young So juga tidak perlu repot-repot mendramatisir suasana dengan tangis tersedu-sedu setelah melihat papan pengumuman yang mendadak penuh dengan foto-foto aibnya. Gadis itu pernah digosipkan lebih parah, bahkan fotonya tatkala dicium Wonwoo pernah beredar pada headline web tidak resmi sekolah. Jadi ini bukan apa-apa, jadi Young So sendiri tidak terlalu merasa murka setelah membaca judul yang ditempel besar-besar;
'Kepindahan Ratu Es yang Mendadak, Siswa Curiga Jeon Wowoo adalah Dalang di balik Ini Semua'.
Satu kata yang Young So dapat pikirkan; memalukan.
Oh, ayolah! Gadis itu tidak menyangka semua siswa begitu 'antusias' dengan berita kepindahannya (percayalah, 'antusias' sendiri bukan kata yang tepat untuk menggambarkan ini semua), sampai berani membuat satu papan pengumuman khusus dengan judul aneh yang menguji kesabaran. Young So sendiri tidak akan tahu foto aibnya beredar kalau Changmin tidak menyeretnya dengan paksa menuju koridor utama.
Bagian paling mengejutkan bukanlah fakta bahwa nyaris seluruh siswa berkumpul bahkan berdesak-desakan sampai ke bagian dasar loteng, namun sebuah siulan para lelaki dan seseorang tiba-tiba menyelutuk, "Young So-ya! Sebelum kau dapat pergi dengan tenang ke sekolah lain, berceritalah dulu pada kami apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan Wonwoo."
Siswa di sampingnya terkekeh. Sementara Young So masih mencerna maksud pertanyaan barusan, Hye Sang, ratu dari segala ratu di sekolah―bahkan mendengar suaranya saja Young So muak―tiba-tiba ikut menyahut, "Tidak usah sok polos dan menyembunyikan semuanya." Gadis itu berdecih, memainkan poni dengan gerakan manis yang dibuat-buat sebelum menyambung, "katakan saja, kau dibayar berapa untuk 'bermain' dengan Wonwoo?"
Dibayar untuk bermain, katanya?
Young So menaikkan alis samar. "Kau bilang apa barusan?"
Hye Sang mendengkus setengah tertawa. Namun menggantikan kesempatannya berbicara, Yoo Jung, lelaki berandal yang dulu pernah Young So tolak malah membalas seenak jidat, "Kau membuat kami penasaran karena terus bersikap galak, tetapi pada akhirnya luluh pada Wonwoo. Kepuasan apa yang pernah ia beri, huh? Ah, atau jangan bilang, kalian sudah melakukan itu berkali-kali di luar sekolah? Sayang sekali, padahal aku ingin mencicipimu sebelum―"
"Kau pikir aku semurah itu?"
Koridor berubah hening dalam sekejap. Young So memang tidak menyentak, suaranya saja terdengar tenang namun tajam. Gadis itu menatap Yoo Jung tepat pada mata, tidak merasa gentar saat melanjutkan, "Lantas, untuk menjadi seorang lelaki murahan yang memohon tiap gadis untuk mengencaninya, apa kau tidak merasa malu sedikitpun?"
Yoo Jung terkejut. "Kau berani mengataiku?!" Nadanya naik beberapa oktaf, matanya melotot lebar. Pemuda itu tampak benar-benar murka, sebelumnya tak ada yang berani menghinanya terang-terangan di depan banyak siswa begini. "Kau kira kau secantik apa sampai berani menghinaku, hah?!"
"Cantik?" Young So mengangkat alis, masih tetap tenang tatkala kembali menyambung, "memang kau pikir kau setampan apa sampai berani mengataiku?"
Skakmat.
Semua siswa tak henti berseru dan menyorak. Suasana berubah panas dalam sekejap. Bahkan ketika Hye Sang menatap tak percaya, ketika Yoo Jung murka dan memasang tampang menyeramkan, ketika semua siswa menyebut namanya dalam gosip dan hinaan, Young So sama sekali tidak merasa bergetar atau malu seperti yang dulu pernah ia alami.
Hari ini, ia harus berdiri untuk dirinya sendiri.
Hari ini, ia harus berjuang membela diri dari celaan mereka.
Sebab barangkali, hari ini adalah hari terakhir ia berada dalam situasi menyudutkan seperti sekarang.
Pertandingan terakhir harus dimenangkan dengan baik, bukan?
Young So tertawa miris dalam hati. Terakhir kali. Tetaplah kuat, ini akan menjadi yang terakhir.
Yoo Jung tentu tak dapat diam setelah dicela demikian. Pemuda itu lantas maju dengan langkah tegap, napasnya terengah sebab emosi, ia sendiri sudah mengangkat tangan hendak memukul wajah Young So kalau sesuatu tidak menghalanginya.
Sesuatu—atau mungkin seseorang.
Semua terjadi begitu cepat, baik Young So, Yoo Jung, Hye Sang, bahkan seluruh siswa menahan napas saking terkejut.
Sebab alih-alih tinjunya mendarat pada pipi Young So, pemuda itu malah menemukan tangannya dicengkram erat oleh seorang pemuda. Tidak perlu menebak siapa, Yoo Jung pula agaknya tidak terkejut ketika melihat siapa yang datang. Pahlawan di siang bolong, rupanya.
Wonwoo sendiri tidak butuh waktu lama untuk menahan tangan Yoo Jung tanpa melakukan aksi apa-apa. Pemuda itu langsung menendang tulang kering Yoo Jung, melumpuhkannya hanya dalam sekali pukul. "Puas mengatai gadisku murahan?"
Yoo Jung mengerang kesakitan. Young So masih tercengang di tempat.
Sementara si pelaku, Jeon Wonwoo, tidak merasa bersalah sedikit pun dan malah menarik paksa kerah seragam Yoo Jung. Pemuda itu seolah terbakar emosi, matanya memicing tajam, rahangnya mengeras, bahkan ia tidak peduli mengenai sangsi andai guru BK melihat perkelahiannya lagi.
"Aku sudah bilang, jangan ganggu gadisku. Kau tahu apa soal keputusannya untuk pindah, hah?! Dasar, otak udang!"
Satu kepal tinju dilayangkan, semua siswa menahan napas untuk pukulan Wonwoo barusan.
Namun dalam kondisi lemah seperti itu, Yoo Jung masih dapat melayangkan tawa ejekan singkat. "Lalu kenapa dia memutuskan untuk pindah tiba-tiba? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan? Berciuman, berkencan berdua, kemudian apa? Pasti selanjutnya adalah tidur berd—"
"TUTUP MULUTMU, SIALAN!"
Beberapa hantaman lain yang lebih brutal. Kali ini bukan hanya di wajah, Wonwoo sudah membabi buta. Ia tidak peduli kendati namanya diteriaki Hye Sang, ia bahkan tidak peduli kala salah seorang siswa berusaha memanggil guru.
Si Jeon juga barangkali tak akan berhenti kalau saja Seokmin tidak datang dan langsung memisahkan mereka.
"Tahan dirimu, Jeon! Astaga, Bedebah Sialan. Sudah kubilang, tahan emosimu!"
Wonwoo masih belum selesai ternyata. Ia memang sudah tidak lagi memukuli Yoo Jung, namun sebagai alternatif pelampiasan emosi yang tak kunjung mereda, pemuda itu lantas berjalan menuju papan pengumuman. Jemarinya merobek semua foto aib Young So sampai benar-benar bersih, bahkan judul yang terpasang besar-besar ditarik paksa dan diinjak-injak di lantai.
Pemuda itu benar-benar kalut oleh amarah.
"Dengar, aku sudah mengulang ini beberapa kali. Aku tidak ingin seorangpun dari kalian ikut campur masalah gadisku." Wonwoo menekan tiap kata dalam kalimatnya, masih terengah-engah mengatur napas sebelum menyambung, "Dan tidak usah membicarakan masalah kepindahan. Tidak akan ada yang pindah di sini."
Detik itu matanya mengarah pada Young So, menatap iris gadisnya untuk beberapa sekon yang kelewat cepat.
"Sebab gadisku tidak akan pergi kemana-mana. Ingat itu baik-baik." []
If this story can reach 10k reads before the next part, I will update this story 2 times faster:)
So, go share it! On twitter, instagram, anything! Thankyou, ily^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro