Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌃22. What If She's Gone?🌆

"JEON Wonwoo, lelaki dengan kecepatan siput! Jadi ini yang kausebut sebagai bersiap-siap? Tidakkah kau tahu ini sudah pukul setengah delapan? Aku tidak membayar mahal sekolahmu untuk bermalas-malasan, kau mengerti?"

Wonwoo membelalak, kelopak mata yang tadinya tertutup lantas terbuka lebar. Pemuda itu bangun dengan cepat, sedikit terkesiap saat menoleh ke arah jam dinding. Pukul tujuh lebih lima belas, Changie memang hobi melebih-lebihkan perkara.

Pemuda itu mengerang sembari merentangkan kedua tangan, napasnya berembus kasar saat tungkainya melangkah paksa keluar kamar. Surai acak-acakan, kasur dengan selimut menyentuh lantai, suasana suram sebab gorden sengaja ditutup tanpa celah. Kamar berantakan, siapa yang peduli, huh?

Harusnya ini dapat menjadi pagi terbaik setelah semalam tidur lima belas jam penuh. Seminggu lalu ia telah diajar mati-matian dengan kuis, tugas, kemudian beberapa lembar kerja yang menyita waktu istirahat sampai subuh. Pemuda itu berniat balas dendam terhadap jam tidurnya kemarin―well, kemarin hari Minggu. Sekolah libur, jadi tidak ada salahnya untuk istirahat lebih awal. Namun siapa sangka jarum dinding bergerak begitu cepat dan tahu-tahu fajar sudah menyingsing begini?

Baru kemarin bermalas-malasan, kini Wonwoo tertampar realita untuk kembali menghadapi sekolah.

Tubuhnya masih menjerit lelah, terutama kedua kelopak mata yang masih memaksa untuk menutup diri rapat-rapat. Wonwoo sendiri tak berhenti menguap, merutuk kencang saat kakinya terantuk ujung tangga. Oh, bagus. Setelah puas berteriak dan membuat istirahatnya terganggu, Changie tak dapat ditemukan di sudut manapun.

"Kakak ...!" serunya sembari menggaruk tengkuk kesal. "Kakak dimana, sih? Suara saja yang keras, tetapi fisiknya kasat mata. Mengesalkan." Baiklah, itu sebenarnya hanya kalimat asal sebagai pelampiasan rasa lelah. Wonwoo sendiri tidak mengira kakaknya sudah berdiri tepat beberapa senti di belakangnya, sudah rapi dengan setelan kaos putih dan jeans kain di atas mata kaki. Wanita itu menyipit garang, tangannya terlipat di depan dada dengan tegas. Bahkan urat lehernya tampak begitu jelas, sepertinya Changie benar-benar kesal.

"Sudah berapa kali aku meneriakimu untuk bangun? Mau terlambat dan dihukum guru lagi? Kau kira sekolah itu tempat macam apa sehingga kau dapat datang seenak jidat?"

Duh, diomeli lagi.

Kendati dingin dan terkenal irit bicara, Wonwoo baru sadar kalau kodrat seorang wanita tidak akan pernah berubah; lambat-laun juga akan terdeteksi hobinya mengomel dan membesar-besarkan perkara. Bahkan Changie pun sama saja.

Pemuda itu berdecak, mengusap pelipis aras-arasan sembari mengumpulkan kesadaran tatkala menyahut, "Tidak juga. Sekolah memang bukan milikku, tetapi tak ada salahnya juga untuk bersantai sejenak setelah pekan tugas yang menyibukkan."

"Kalau begini aku tidak akan membayar uang sekolahmu. Impas, 'kan? Sekarang jangan banyak bicara. Kalau memang kau masih sudi menuntut ilmu, cepatlah mandi dan berkemas. Dan oh, tolong keramasi rambutmu itu. Baunya bahkan sudah menyebar di seluruh sudut kamar."

"Kakak berani masuk ke kamarku?" Wonwoo lantas membelalak, dalam sekejap wajahnya berubah merah padam. Namun seolah tidak menganggap hal itu penting, Changie malah berbalik badan dan melangkah santai menuju dapur.

"Kenapa? Takut rahasia 'tumpukan celana dalam kotor di atas kasur' terbongkar? Aku tahu kau merasa tampan, tetapi tolonglah kurangi kejorokanmu itu."

Boom. Wajah Wonwoo bukan hanya merah, tetapi sudah panas terbakar dalam rasa malu yang menyiksa.

"Kakak benar-benar penguntit kelas kakap! Menyebalkan!"

***

Jadi begini, bukannya Wonwoo sengaja ingin lari dari realita dan membuat kakaknya jengkel sebab telah bangun tiga puluh menit lebih lambat dari jadwal biasanya. Ia juga tidak suka membuat orang lain repot-repot berteriak dan mengganggu tidurnya yang nyenyak (walau jujur saja, mengganggu Changie adalah hal paling mengasyikkan di dunia), tetapi oh, sungguh, sekalinya marah, Changie lebih seram dari beruang kelaparan.

Si bungsu Jeon juga tidak ingin menciptakan masalah, ia sendiri tidak peduli dengan kesibukan pagi kakaknya, atau rutinitas wanita itu untuk bangun di atas jam 6 pagi. Asal tidak menganggu, itu sudah cukup.

Sebab yang Wonwoo inginkan hanyalah tidur pulas. Sesederhana itu.

Bukan pemalas, bukan pula lelaki yang hobinya mengeram di dalam kasur. Namun kalau kau seorang siswa dan telah menghabiskan tujuh hari sebelumnya full di sekolah―mengebut menyelesaikan tugas, mengejar tumpukan deadline yang benar-benar nyaris membawa kematian, pula menyelesaikan proyek kelompok hingga larut malam. Seminggu itu terasa menyiksa, Wonwoo bahkan menunda jam makan, tidur tiga jam sehari, tidak pernah pula membereskan kasur sebab terlampau lelah.

Nyatanya, sekolah tidak selalu seindah yang dikata orang.

Well, kini mari kembali ke realita. Alih-alih semua hal manis yang bisa ia dapat di samping tumpukan tugas―oh, percayalah, Wonwoo sudah membayangkan tentang Young So, bagaimana gadisnya akan sibuk belajar, sering ke perpustakaan, kemudian mereka akan bertemu dan tertawa―namun pemuda itu disadarkan oleh fakta bahwa seminggu kemarin semua berubah.

Min Young So seolah menghilang. Ditelan bumi. Lenyap. Daftar hadirnya terisi, gadis itu tidak pernah membolos malah. Namun tiap kali Wonwoo mencari, tiap kali Wonwoo ke kelas Young So untuk memberi gadisnya jajan, tiap kali Wonwoo berusaha untuk mencari waktu mengobrol, Young So tidak dapat ditemukan di sudut manapun.

Semua bertambah rumit. Wonwoo tidak pernah menemukan Young So berada di kantin, tidak pula di koridor saat jam istirahat, atau kelas saat pemuda itu datang pagi-pagi.

Seminggu melelahkan, namun Wonwoo tidak akan menyerah.

Bukankah menyerah hanya untuk orang yang payah? Kemarin ia hanya mengalah―mengalah dengan tumpukan tugas, mengalah dengan proyek yang menggunung, mengalah dengan waktu yang menuntutnya untuk menjadi produktif. Masa ujian sudah mau dekat, pemuda itu tidak dapat bermain-main kalau masih ingin naik kelas.

Namun kesempatan selalu ada, bukan?

Wonwoo melebarkan senyumnya, mengacak-acak dasi yang terlalu ketat saat berjalan melewati koridor tengah. Pagi ini sekolah tampak sepi, barangkali sebab semua siswa berlomba-lomba untuk mengumpulkan tugas mading dari kelas bahasa. Kalau tidak salah, hari ini batas pengumpulan akhir.

Wonwoo tidak ambil pusing, sih. Toh ia sudah mengumpulkan tugas tepat seminggu sebelum batas akhir pengumpulan. Seperti yang ia bilang, minggu lalu semua tugasnya dibabat habis tanpa istirahat, hasilnya hari ini pemuda itu dapat santai dan fokus untuk ujian.

Ujian? Tidak, kau bercanda.

Wonwoo dapat fokus untuk mencari gadisnya. Itu yang benar.

Pemuda itu merapikan rambut, berlari kecil saat hendak memasuki ruangan kelas Young So. Namun tatkala mencapai daun pintu, Wonwoo mendadak bertabrakan dengan seseorang―seharusnya sudah dapat ditebak siapa.

"Ah, kau datang lagi, Jeon."

Suara manis itu. Aroma parfum menyengat. Lipstik merah yang membuat bibir tebal. Jeon Wonwoo harusnya hafal jam-jam tertentu tatkala Hye Sang menjadi penunggu pintu di kelas milik Young So. Entah apa yang gadis itu lakukan, namun sejak minggu lalu Wonwoo datang untuk mencari gadisnya tiap pagi, Hye Sang selalu ikut datang bersama kumpulan gengnya yang aneh.

Wonwoo mendengkus. Senyumnya sirna mendadak, tergantikan dengan tautan alis antara kesal dan frustrasi. "Maaf, tetapi kalau kau menyapa untuk meminta waktu berbasa-basi, aku ingin menyanggah, waktuku mahal. Permisi."

Dikatai demikian tentu membuat sebal―percayalah, Hye Sang sudah mengepal tangan dan terpikir untuk melempar wajah tampan itu dengan sepatunya. Namun ini di depan kelas, ia masih mengingat bagaimana cara untuk meredam emosi dan menjaga tata krama di depan banyak siswa. Jadi gadis itu hanya mendengkus tertahan, berusaha melembutkan suara tatkala menyahut, "Tidak, sayang sekali Jeon, kalau menurutmu aku gadis putus asa yang begitu mendambakan percakapan ringan denganmu, kau salah. Salah besar."

Wonwoo mengendikkan bahu, sejujurnya tidak peduli dan beranjak untuk masuk saat tiba-tiba langkahnya dicegat.

Hye Sang memang tidak pernah menyerah. Alih-alih membiarkan Wonwoo pergi, gadis itu malah memainkan ujung rambut, menyipitkan mata dengan seringai tipis saat menyahut, "Memangnya kau mau apa? Mencari gadis manis yang membuatmu dimabuk cinta?"

Sindiran halus, hm? Wonwoo berdecak, lama-lama risih juga. Awalnya ia berniat untuk mencari Young So, melihat gadisnya, menanyakan kabarnya setelah seminggu menghilang bak uap. Namun belum sempat niat itu terealisasikan, Choi Hye Sang malah mencoba menyulut api di tengah segarnya pagi.

Wonwoo tentu tak ingin pagi indahnya terkontaminasi oleh emosi, jadi pemuda itu menyandarkan bahu pada pinggir pintu, berusaha sesantai mungkin saat membalas sarkas, "Maaf nona, tetapi apa niatku ada sangkut-pautnya denganmu? Toh aku mencari gadisku, Min Young So. Tidak yang lain."

Sepertinya berhasil, sepertinya itu membuat Hye Sang marah sebab wajahnya berubah merah padam. Dayang-dayangnya di belakang terkejut, tetapi Wonwoo sempat melihat salah satu dari mereka mencoba menahan tawa, entah siapa namanya. Yang jelas, dia bukan kawan setia. Hye Sang bodoh sebab memilihnya menjadi teman dekat.

"Kau keterlaluan. Apa guna otak kalau bukan untuk menyaring kata-kata? Aku juga tidak sudi mencampuri urusanmu dengan si aneh Young So."

Wonwoo menggaruk tengkuk aras-arasan.

"Namun sebagai kekasih, bagaimana bisa kau tidak tahu kabar menghebohkan yang menjadi bahan pembicaraan semua siswa?" Hye Sang tersenyum dengan angkuh, memilin ujung rambut yang dicatok lurus.

"Itu karena aku tidak hobi menggosip sepertimu."

Beberapa gadis yang duduk di bangku depan tertawa. Entah sejak kapan mereka mencuri dengar percakapan Wonwoo dan Hye Sang, namun yang pasti kelas mendadak berubah hening. Saat itulah Hye Sang memafaatkan momen untuk melampiaskan amarah dengan berkata, "Jadi kau tidak tahu kalau kekasihmu berencana untuk pindah sekolah?"

Apa?

Wonwoo mendengkus setengah tertawa. Kali ini tatapannya berubah serius, namun tetap ada nada mengejek saat ia menyahut, "Begini, Hye Sang, ratu cheerleaders yang sangat terhormat. Ada beberapa fakta yang aku ingin kau tahu. Pertama, aku tidak suka omong kosong. Kedua, aku tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk meledakkan emosi di depan kelas pagi-pagi. Jadi kalau tak ada urusan, jangan membuat gosip aneh. Lebih baik kau pergi dan urusi tim tarimu itu."

"Pergi dari mana? Kau kira ini kelas milikmu?" sahut Hye Sang tak terima.

Wonwoo berdecak. "Ini juga bukan kelasmu. Jangan bertindak seolah kau berkuasa." Pemuda itu kemudian memasukkan kedua telapak tangan dalam saku, memiringkan kepala dan menyambung, "Kau tahu, tidak ada tempat dimana kau dapat selalu dipuja. Jangan berharap semua akan bereaksi hal yang sama. Aku muak kalau kau terus mengatakan hal-hal tidak penting begini."

Hye Sang tertawa sinis. "Jadi kau benar-benar belum tahu."

Wonwoo mendengkus kasar, sudah tak tahan. "Dengar, kuperingatkan padamu sekali lagi. Aku tidak ingin mendengar omong kosong apapun, kalau kau memang membenci Young So, jangan buat gosip tidak-tidak dengannya. Kau tahu dengan siapa kau berhadapan. Jadi jangan macam-macam."

Hening seketika, Wonwoo dan Hye Sang saling beradu tatap, suasana berubah tegang dalam sekejap.

Namun benar-benar di luar dugaan, kejutan seolah dilontarkan saat tiba-tiba sebuah suara menyahut dari belakang, "Sayang sekali. Kau seharusnya tidak mudah marah sebelum tahu kebenarannya."

Suara itu. Nada datar itu.

Wonwoo menoleh. Perasaannya berubah campur aduk dalam sekejap. Secercah senyum baru hendak merekah, namun tak lama sirna.

Sebab sosok di hadapannya hanya menatap lurus, bibir terulas datar, nada bicara yang tenang tatkala menyambung, "Tidak usah sok peduli, Jeon. Aku memang akan pergi, semua akan berakhir." Young So membuang muka, wajahnya tampak pucat, bibirnya kaku dan lingkar hitam di bawah matanya menggelap.

Wonwoo ingin memeluk gadisnya sekarang, pemuda itu sudah cukup menahan diri selama seminggu lalu. Namun hatinya dipenuhi tanda tanya saat Young So tiba-tiba berkata, "Jadi jangan ganggu aku. Anggap saja, semua tidak pernah terjadi."

"Manis, tapi aku—"

"Tidak, tolong. Aku mohon." Gadis itu menjeda, menelan saliva dalam kebimbangan sebelum menyambung kalimatnya tegas, "Anggap saja, kita tidak pernah mengenal. Bukankah itu lebih baik dibanding menceburkan diri dalam kubangan masalah?"

Saat itu Wonwoo tahu, sesuatu dalam hatinya pecah berpuing-puing. Rasanya berbeda dengan goresan luka yang ia dapat saat tergesek di aspal. Rasanya tak sama dengan lelehan darah saat bibirnya robek akibat jatuh. Semua berbeda, rasa kali ini tajam dan menusuk.

Harapannya menguap, dadanya melepaskan sebuah rasa kekecewaan yang besar.

Bibirnya bahkan bergetar saat berucap, "Kau ... kau tidak serius, 'kan?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro