Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🕊️21. Euphoria and All The Wound You'll Get🍃

PADA akhirnya, semua melebur menjadi bayang yang terkubur dalam malam.

Mimpi buruk itu ternyata nyata.

Young So berkali-kali mengerjap, meyakinkan diri bahwa semua ini realita. Bahwa apa yang kini gadis itu lihat; sosok ringkih berbalut sweater dengan jemari memilin, sosok lama yang harusnya membawa rindu dan memberi afeksi, sosok yang dulu ditunggu-tunggu dengan harap pula kasih, kini malah menjadi pangkal dari kerisauan hati.

Ibunya benar-benar sudah pulang.

Gadis itu tak berani mengangkat kepala, berkali-kali menarik napas kendati dadanya bergemuruh tak teratur. Rumahnya tetap hening, cahaya di ruang tengah masih menyala kuning, namun entah mengapa sesuatu terasa berbeda―sesuatu terasa salah. Ketegangan malah berujung pada kegerahan, rasa bersalah yang menumpuk pada akhirnya membendung sesak.

Ternyata benar, tak akan ada satu hal yang bertahan abadi dalam ikatan rahasia. Kebohongan lambat laun akan terbongkar, semua tipu daya akan tercium baunya. Dan saat itulah, seberapa berat kau mengutarakan penyesalan, semua berubah tak berguna. Sia-sia.

Young So mendadak menyesal.

Bukan, bukan maksudnya untuk pergi kencan diam-diam tanpa sepengatauhan ibunya. Bukan pula maksudnya untuk menipu dan membuat kejutan tidak menyenangkan dengan mencipta konflik alih-alih rasa nyaman.

Namun kau tahu, terkadang sesuatu dapat berjalan di luar kehendak dan akal. Siapa sangka, ibunya akan pulang begitu mendadak?

Semua yang bergulir bagai mimpi. Kendati demikian, Young So masih ingat betul rentetan alur yang terjadi―bagaimana keheningan yang merambat dipecah oleh suara rendah Wonwoo, bagaimana sapaan hangat pemuda itu malah berpulang malang sebab alih-alih diterima, ibu Young So tak menunggu lama untuk langsung meluncurkan sederet kalimat tajam yang memutarbalikkan suasana.

Semua benar-benar tak terduga.

Young So mengepal tangan, merasa kepalanya seolah ditumbuk oleh timbunan batu aspal. Berat dan sakit. Apalagi tatkala atmosfer hening melingkup, suasana serius menjadi penenun. Hatinya gundah, jemarinya saling bertaut dalam resah. Saat itulah sebuah suara terdengar, "Siapa lelaki itu?" Tidak terdengar marah. Begitu pelan dan tenang, tajam dan menyimpan segudang rahasia.

"Siapa lelaki itu?"

Young So dapat merasa bagian dalam perutnya seolah diremukkan dalam sekali pukul. Gadis itu mengalihkan pandang dengan resah, agak bertanya-tanya mengapa ia merasa gugup tiba-tiba. Seharusnya ini bukan masalah besar, ia hanya harus membuka suara, berbicara apa adanya tentang si gila Jeon dan mengklarifikasi fakta tentang hubungan mereka.

Harusnya semudah itu, harusnya sesederhana itu.

Namun alih-alih memberi kesempatan untuk putrinya dapat membela diri, Min Yoo Ri tetap tak goyah dengan pendiriannya sedikitpun. Wanita itu tetap duduk tegak di sofa paling ujung, tangannya terlipat di depan dada sementara irisnya yang sabit mengarah lurus. Rasa penat menggelayuti tubuh, menusuk tulang hingga rongga terdalam. Tetapi semua sirna saat melihat putri semata wayangnya disentuh lelaki. Tak peduli kendati sudah bertahun-tahun terhitung sejak terakhir kali ia bertemu Young So, wanita itu tetap tidak goyah. Bahkan di bibirnya tak tergores seulas senyum.

Ini yang Young So takutkan. Pernah mendengar bahwa orang tersabar menyimpan amarah terdahsyat? Nyonya Min barangkali terkategorikan sebagai ibu tegas dengan pribadi yang kuat, jarang sekali marah kalau tidak menyangkut hasil belajar dan masalah pria. Tetapi Young So dapat melihat semua perasaan tersimpan hanya dalam pandangan beku itu. Kekecewaan, kehancuran, kesedihan, siapa yang dapat menerka?

"Haruskah ibu mengulang pertanyaan ibu?"

Young So nyaris tersentak, mulai mendongak tetapi kembali menunduk saat menemukan ibunya tidak menatapnya sedikitpun. "Dia hanya teman," jawabnya kikuk. "Aku tidak―"

"Siapa namanya?"

"Apa?"

"Ibu tanya, siapa namanya?" Nada ibunya meninggi, Young So mengerjap tak mengerti.

"Atau kau memang sengaja menyembunyikan semua ini dari ibu? Kalau kau punya kekasih, kalau pemuda itu membuatmu bahagia lebih dari yang ibu lakukan? Kalau semua perintah dan titah ibu hanya menjadi pendengung yang membosankan? Begitu?"

Apa?

Young So buru-buru menggeleng. "Tidak seperti itu, ia hanya teman. Kami tidak menjalin hubungan apapun, aku bahkan tidak―"

"Kau pikir ibumu buta?!"

Satu bentakan dan Young So mendadak bungkam. Min Yoo Ri menatapnya dengan pelototan tajam, alis bertaut emosi, pula kepalan tangan yang bersemayam di atas paha. Ini bukan pertama kalinya Young So melihat ibunya marah. Wanita itu barangkali memiliki garis wajah tak ramah, namun saat marah semua berubah berkali lipat lebih seram.

"Kau pikir yang tadi ibu lihat hanya ilusi semata? Kau pikir ibumu ini bodoh, hah?!"

Young So menunduk.

"Sudah berapa kali ibu bilang untuk kau menjaga diri? Ditinggal sendiri kau sudah melacurkan diri dengan lelaki asing. Mau jadi apa nantinya?!"

Melacurkan diri?

Apa-apaan ....

Young So mendongak dengan alis tertekuk samar. Amarah memang berpendar lewat pelototan garang ibunya, namun ia tak melihat goresan penyesalan atau rasa bersalah. Gadis itu membuka mulut kikuk. "Aku tidak serendah itu, ibu."

"Kalau begitu buktikan! Dipeluk lelaki asing saat malam? Ibu curiga kau pernah memasukkan dia dalam kamar."

"Tidak, ibu, hentikan." Young So menyahut parau, suaranya serak saat air mata bergejolak minta keluar. Tangannya mengepal di atas paha, keringat mulai membasahi tubuh saking gerahnya. "Dia bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai seseorang yang berarti. Tidakkah ibu tahu bahwa semua kalimat ibu menyakitkan?"

"Dan tidakkah kau tahu bahwa tak ada hal yang lebih menyakitkan dari hati ibu yang tahu bahwa putrinya berkhianat?!"

Yoo Ri bangkit dengan napas terengah. Young So bahkan belum sempat menyahut, namun ibunya sudah terlebih dulu menyela, "Pemuda itu berbahaya." Ia menjeda, tetapi tatapan matanya tak berubah. Ketegasan masih bertahta tinggi pada wajahnya. "Kalau kau masih menganggap aku ibumu, maka jauhi pemuda itu. Kau tahu aku tidak mentolerir kedekatan dalam bentuk apapun."

***

Kencan manis itu berujung pada sebuah kesia-siaan.

Tidak usah ditanya seperti apa kejadiannya―percayalah, Wonwoo agaknya mulai yakin bahwa semesta tidak akan puas hanya dengan memberi satu kejutan buruk. Sebab tepat tatkala ibu Young So memergoki mereka, tepat saat Wonwoo mengulas senyum sementara Young So buru-buru menyingkir gugup, tepat tatkala Wonwoo hendak membungkuk dan memperkenalkan diri, wanita paruh baya itu malah berkata tegas, "Cepat pulang, bocah. Jangan sampai aku menemukanmu memeluk anak gadisku untuk kedua kali. Kau kira dia semurah apa sampai bisa disentuh seenaknya? Pulanglah atau kutelepon orangtuamu sekarang."

Diusir secara langsung?

Oh, astaga. Ini buruk. Benar-benar buruk. Awal manis berubah runyam dalam sekejap, apalagi kalau mereka ulang kalimat terakhir yang benar-benar memalukan; Pulanglah atau kutelepon orangtuamu sekarang.

Well, sekarang Wonwoo paham darimana kegalakan Young So berasal.

Tetapi tidak, itu bukan poin utama yang ingin ditonjolkan. Bukan itu pula titik balik dari semua kegaduhan hati. Pemuda itu sampai yakin bahwa semua hal utama dalam hidup bukanlah hal manis. Masih ingat rasa pahit yang membawa kejutannya sendiri?

Tertancap sekali dalam benak momen tatkala bintang berpendar di cakrawala, hari sudah larut malam tatkala pintu rumah Young So tertutup rapat tanpa celah. Gadisnya masuk tanpa mengucapkan salam, saat itu suasana berubah tegang dan Wonwoo tak punya pilihan selain berbalik pulang. Namun baru pemuda itu berbalik tubuh, ia malah dikejutkan oleh sebuah pemandangan ganjil.

Jeon Changie dan Sedan putihnya sudah menunggu di ujung jalan.

Dan satu kalimat kakakknya yang mampu membangkitkan rasa bingung sekaligus kesal dalam beberapa detik, "Jadi sudah melakukan apa saja selama kencan hari ini? Terlalu asyik, ya? Sampai tertangkap calon mertua."

Sial, ia lihat semuanya.

Skakmat. Wonwoo lantas terbungkam.

Banyak pertanyaan berseliweran dalam benak-soal Changie yang muncul mendadak, soal Changie yang entah kenapa bisa tahu adiknya berkencan, pula soal Changie yang selalu saja punya seribu satu cara mencari tahu urusan adiknya ini.

Itu meresahkan, jujur saja. Jeon Wonwoo bahkan tak henti mendengkus selama sepuluh menit terakhir, berkali-kali merutuki kalimat kesal dalam hati. Perjalanan di mobil saja diisi hening―well, tidak juga. Sebenarnya Changie sempat menanyakan beberapa pertanyaan yang Wonwoo jawab hanya dengan gumaman. Peduli setan, siapa suruh menguntit adiknya terlalu jauh?

Wonwoo rasa ia punya alasan untuk tidak menunggu kakaknya memakirkan kendaraan dan langsung masuk dalam rumah. Pemuda itu lelah―baik fisik maupun hati. Pikirannya diporak-porandakan oleh kelebat kejadian beberapa menit lalu yang tak henti berputar. Jadi Wonwoo sendiri tidak ingin memaksakan diri untuk menghadapi introgasi kakaknya lagi―sudah cukup introgasi di mobil, ia harap tak ada lagi.

Namun baru langkahnya mencapai anak tangga ketiga, pemuda itu kemudian mendengar kakaknya berseru setengah berteriak, "Jeon! Ini yang kau lakukan pada kakakmu? Mengabaikan begitu saja saat aku bertanya?"

Wonwoo lantas berhenti. Demi kesopanan dan rasa hormat yang barangkali sudah menipis, pemuda itu berbalik dengan dengkusan jengkel dan menyahut, "Ada apa lagi, sih? Kakak mau bertanya apa? Soal kencanku? Berapa uang yang kuhabiskan? Atau mengapa aku tidak cerita pada kakak tentang rencana kencan?" Pemuda itu memijat pelipis lelah, tampak raut wajahnya menggambarkan keresahan sementara Changie hanya melipat tangan di depan dada.

"Aku tidak suka diikuti, kak. Aku bukan anak kecil lagi," protesnya lelah. "Hanya karena kakak kakakku bukan berarti kakak dapat mencampuri urusan pribadiku."

Changie mengangkat alis samar. "Dari mana kau tahu bahwa aku menguntit?" tanyanya tenang. "Begini ya, Jeon, ada beberapa peraturan yang perlu kau ketahui kalau di bawah naungan atapku. Pertama, aku kakakmu―aku sang pemilik rumah. Jadi setidaknya saat kau pergi, meminta ijinlah terlebih dulu. Kau kira aku pengangguran sampai harus mengikutimu tiap detik? Kedua, kecanmu pasti mengarah pada sesuatu yang berbahaya. Maka sebagai antisipasinya, kuputuskan untuk membuntutimu dan ternyata dugaanku benar."

"Dugaan apa?" sahut Wonwoo tak terima, nadanya mulai meninggi walau hanya satu oktaf, "aku hanya mengajak Young So ke café, menonton, arkade, dan taman. Sudah. Tidak ada kamar, tidak pula hotel dan bar. Apa sih yang kakak pikirkan?"

Changie memutar bola mata. "Memang tidak di hotel, atau bar dan klub malam. Tetapi kau memeluk calon gadismu di depan ibu kandungnya sendiri―tidakkah itu gila? Dan oh, kau lupa kau masih membawa anak gadis orang, jadi jangan sentuh dia seenak jidat. Kau tidak ingat seberapa marah ibu Young So tadi? Tidak semua gadis bisa kau sentuh, Jeon."

Wonwoo berdecak. Hatinya masih panas, setelah kelelahan melingkup, kakaknya masih tak henti berusaha mengintrogasi? Setelah puas menguntit, apa perlu untuk kakaknya mendengar cerita lagi? Dan 'gila' katanya? Maaf saja, tetapi bagi Wonwoo, tidak ada yang gila selain seorang kakak yang menguntit adiknya berkencan selama 10 jam.

"Aku tidak mengerti apa yang Kakak maksud gila." Pemuda itu kembali berbalik, beranjak untuk melangkah setelah melanjutkan kalimatnya, "Apa dengan mengajak seorang gadis berkencan adalah sebuah kegilaan? Bukankah lebih gila seorang wanita dengan intuisi tinggi hingga memutuskan untuk menguntit adiknya? Bukankah lebih gila seorang wanita yang pergi bertahun-tahun dan kesepian sehingga memutuskan untuk mengikuti adiknya kemanapun ia pergi? Benar, bukan?"

Selesai. Wonwoo lantas melanjutkan langkahnya, tak peduli kendati Changie belum sempat menyahuti.

Namun tidak mengambil hati semua ucapan adiknya, Changie hanya mengerjap beberapa kali dan membalas dengan seruan, "Kalau begitu katakan padaku, apa pentingnya sebuah cinta kalau niatmu hanya untuk menyentuhnya?"

Tak ada sahutan, Changie mendengkus keras seraya menyibak poni lelah. Ia memejamkan mata setelah mengempaskan pantat di atas sofa, berusaha untuk menetralkan pikiran dengan menarik napas berulang kali. Dalam kegelapan yang ia lihat serta pikiran kabur dalam kepala, wanita itu mendadak terbayang semua kejadian malam tadi; siaran langsung bagaimana adiknya memeluk Young So, serta kelanjutan akhir tatkala Wonwoo diusir.

Semua akhirnya menjadi teka-teki dalam kepala. Ibu Young So; wanita tegas dan berwibawa ituentahlah, Changie harap firasatnya tidak benar-benar terealisasi menjadi sesuatu yang buruk. Well, kalau memang Wonwoo benar-benar jatuh cinta, Changie harap semua berjalan baik-baik saja. Ia harap tak ada yang terluka, bukankah cinta selalu membawa euforia bagi para pemeluknya? []

Ditinggal bentar udah gini ya kamu, Won:"), bikin tambah sayang huhu:(

Anyways, maaf baru bisa update. Thank you for keep waiting and supporting, I love you 3000❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro