👄15. The Secret That Never Be Expected👀
MIN Young So mendadak menyesali keputusannya menerima ajakan Wonwoo untuk mengerjakan tugas bersama. Proyek itu memang rumit, barangkali mustahil untuk dikerjakan sendiriーkecuali kau si kreatif yang dapat memaksimalkan penggunaan otak kanan dalam seni. Siswa diwajibkan membuat sebuah benda artifisial yang harus menggambarkan bangunan sekolah dengan jelas, lengkap dengan denah lantai satu sampai tujuh juga lapangan outdoor dengan perbandingan skala tertentu.
Tidak heran, sih. Tuan Kun yang memberi tugas; mengingat pria bertubuh jangkung itu perfeksionis sekali. Soal kekreatifan tak usah diragukanーwajar, umurnya sudah mencapai empat puluh lebih, pengalaman yang diperoleh pasti lebih banyak dibanding Young So yang ... oh, tidak usah diceritakan. Gadis itu bahkan lebih memilih menyelesaikan teka-teki soal fisika dibanding seni.
Wonwoo sendiri agaknya sudah benar-benar tutup telinga terhadap semua ancaman Young So. Saat pulang sekolah dan keduanya berjalan beriringan melewati lapangan outdoor, pemuda itu malah seenak jidat menyapa teman klub sepak bola seraya berseru keras, "Hei! Aku mau berkencan, lho! Bagaimana? Cocok tidak? Jangan iri, ya, lebih baik cari pasangan sana! Menyedihkan sekali."
Young So yang terkesiap lantas memelotot dan buru-buru menarik lengan Wonwoo keluar gerbang. Sesampainya di halte, baru gadis itu berani menampar wajah Wonwoo dan alih-alih meringis, pemuda itu malah terkekeh pelan. Hah, level sintingnya sudah naik pangkat ternyata.
"Kita sampai! Ini rumahnya, memang tidak sebagus dan serapi rumahmu tapi kuharap kau merasa nyaman di istana pangeranmu, Princess." Pemuda itu lagi-lagi tertawa. Barangkali dopamin dalam tubuhnya diproduksi miliar sel tiap detik, entah apa yang membuatnya selalu bahagia begini.
Namun kala Young So hendak melangkah masuk, tubuhnya mendadak diserang kaku tatkala tanpa peringatan atau apapun, Wonwoo tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyentuh rambutnya.
Gadis itu mengelak waspada. "Untuk apa dekat-dekat?"
"Ada daun di rambutmu, Manis."
Young So memutar bola mata seraya mendengkus, tetapi membiarkan tangan Wonwoo untuk mengambil helai daun dari rambutnya. Mendadak gadis itu jadi curiga tatkala merasakan belaian Wonwoo pada kepalanya mengalun lembut dari puncak hingga ujung rambut. Harus ia akui, sentuhan semacam itu memang menyenangkan dan nyamanーYoung So saja terkejut tatkala jemari kekar Wonwoo tiba-tiba mengusap puncak kepalanya gemas.
"Apa yang kau lakukan?! Kau janji hanya mengambilkanーASTAGA, WONWOO! Untuk apa dekat-dekat?! Lepaskan aku, sialan!"
Benar dugaan Young So, berawal dari modus 'ada-sesuatu-di-kepalamu-mari-kuambilkan', si gila Jeon itu malah mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Young So, sibuk mengikis jarak dan tanpa aba-aba lengannya langsung dilebarkan merangkul Young So erat. Nyaris membawa gadis itu dalam dekapannya yang kuat sebelum sebuah suara menginterupsi.
Sumbernya dari pintu depan. Entah harus bersyukur atau terkejut, tetapi alih-alih mendesah lega, Young So malah menemukan napasnya tertahan di pangkal hidung dengan sebuah suara nyaris seperti cekikan.
"Lepaskan, Jeon." Suaranya sedalam jelaga, tegas dan pastiーtanpa getaran atau ketakutan. "Kau ini agresif sekali terhadap wanita. Kalau ia berkata lepaskan, maka lepaskan."
Jeon Wonwoo agaknya lupa dengan sosok yang kini bersedekap di depan pintu kayu, tangannya terlipat angkuh di depan dada sementara tatapan matanya menusuk. Tidak perlu dideskripsikan lagi, nyatanya wajah itu tetap datar dan Wonwoo mendadak khawatir tatapan itu mampu mengeluarkan semburat api yang membuat Young So takut.
Harusnya pemuda itu ingat rumahnya tidak sesepi dulu.
"Gadis baru lagi, hm?"
Wonwoo menggeleng panik. Gadis baru, ia bilang? Oh, astaga! Yang benar saja! Bukankah kemarin ia sudah menceritakan semuanya? Changie tahu adiknya ini hanya mengejar satu gadis, Changie tahu adiknya tengah berjuang pada komitmen untuk satu orang kendati memang tidaklah mudah, Changie tahu adiknya sudah terlebih dulu jatuh untuk seorang gadis yang sama, namun kini lidahnya malah mengucapkan dusta dan membuat atmosfir keruh.
"Kakak? Apa-apaan," ia menyahut tak terima, mendengkus pelan untuk meluruskan semua persoalan namun suara Young So terlebih dulu terpecah di udara.
"Tidak, aku bukan kekasih Wonwoo." Well, tidak harus diperjelas lagi, bukan? Jeon Wonwoo playboy, pakar dalam bermain wanita. Young So benci pria. "Ia menawariku bantuan untuk mengerjakan tugas kelompok, tetapi aku rasa waktunya tidak tepat malam ini. Permisi."
Wonwoo buru-buru menahan pergelangan tangan Young So. "Hei, Manis, kau mau kemana? Ia hanya kakakku. Tidak, kita harus tetap mengerjakan tugas bersama. Akuー"
"Tidak, aku mohon jangan ada drama lagi." Changie mengangkat tangan pasrah, ucapannya barangkali tidak bermaksud apa-apa, tetapi wajah datar dan tatapan tajamnya sukses Young So mengernyit. Ekspresi apa itu? Marah? Kesal? Apa itu tanda bahwa Changie tidak suka dengan Young So, atau bagaimana?
Namun dugaan-dugaan itu hanya menjadi tanda tanya dalam kepala, sebab alih-alih mengusir Young So dengan kalimat-kalimat keji, Changie malah membuka pintu lebih lebar, memutar bola mata sebentar tatkala menyambung, "Jangan terlalu berisik. Jangan membuat desahan atau akan benar-benar kudepak kalian dari rumahku."
Young So nyaris tenganga, jujur saja tak menyangka dengan ketegasan yang wanita itu miliki. Katakan, apa itu benar-benar kakak kandung si Sinting ini?
***
"Jadi rencananya seperti ini; kita akan membuat rancangannya dahulu, kau dan aku akanー"
"Rancangan tidak sulit. Kau bisa membantu memikirkan masalah bahan, aku yang akan membuat rancangannya sendiri."
Wonwoo mendengkus setengah tertawa, menenggak jus jeruk yang ia buat dan mendesah puas. "Kau tahu sekolah tidak sesempit rumahku, Manis."
Young So mengangkat alis. Sempit ia bilang? Apa itu semacam kalimat bermajas yang ucapannya merendah-rendahkan dengan maksud tertentu untuk meninggikan diri? Well, kalau kau penasaran, rumah kakak-adik Jeon ini sebenarnya lebih dari cukup untuk ditinggali berdua. Baiklah, ditanya soal luas, rumah ini cukupーralat, sangatーluas dengan dua lantai yang terhubung oleh tangga kayu. Tak ada batas dinding antara ruang tamu dengan ruang makan dan dapur, lantainya terkaver marmer putih dengan sedikit semburat hijau pada bagian tepi.
Pencahayaan barangkali remang, warnanya saja kuning dan agak menyakitkan mata. Young So bertanya-tanya apa Wonwoo betah dengan suasana rumah seperti ini namun tatkala ingat seberapa mesum pemuda itu, Young So lantas hanya bungkam dan mengurungkan niat bertanya.
"Ini tugasku, Jeon." Gadis itu menyahut tegas tanpa ragu. "Kau hanya membantu, itu janjimu. Jadi jangan menyusahkan, ikuti arahannya saja."
Wonwoo terkekeh, menepuk-nepuk puncak kepala Young So dan gadis itu menghindar dengan kernyitan kening. "Gemas sekali, sih. Kau persis kakak, ya, ternyata. Galak, hobinya marah-marah, tetapi tetap imut."
Young So barangkali berniat memutar bola mata sebab ucapan Wonwoo sama sekali tidak penting. Namun tiba-tiba netranya terpaku entah menatap apa, sepersekon kemudian gadis itu mengerjap pelan sebelum mengalihkan pandang resah.
Sementara Wonwoo malah meneruskan ocehannya, menjeda dengan tawa terbahak-bahak sebelum menyambung, "Kau tahu, dulu kakakku pernah menanyakan tentangmu. Aku baru sadar kalian benar-benar mirip. Hanya kau lebih cerewet, Changie lebih ... yah, kau tahu, dingin. Matanya juga tajam, menyeramkan, kadang mengesalkan, aku sendiri berharap ia cepat-cepat menemukan pendamping hidup. Cinta dapat mengubah segalanya, benar, bukan?"
Young So menelan saliva, mendengkus pelan sembari menggelengkan kepala. Seharusnya kau lebih berhati-hati dalam mengucapkan kata, Jeon.
"Oh, begitu? Kau harap aku cepat-cepat mendapat pendamping hidup agar kau bisa bersenang-senang sendirian?"
Wonwoo terperanjat, nyaris terjungkal ke belakang kalau saja sofa yang diduduki tak memiliki sandaran punggung yang kuat. Pemuda itu menengok ke belakang lambat, berubah kikuk mendadak. "K-kak? Kenapaーapa ... bu-bukankah tadi ...?"
Changie berjalan mendekat ke arah sofa ruang tamu, matanya tetap tak berpindah dari sosok Wonwoo. "Apa? Kau pikir aku tidak dengar? Menghina kakak sendiri di depan orang asing." Lirikannya bergulir pada Young So, sukses membuat si gadis mengerjap dan mengalihkan pandang. "Apa itu sikap hormat yang harusnya seorang adik tunjukkan?"
Jeon Changie itu tidak terduga. Persis seperti Wonwoo, hanya cara mengejutkannya berbeda-beda. Kalau Wonwoo lebih suka mencium dan menggoda banyak gadis seenaknya sendiri, Changie justru sebaliknya (barangkali sedikit mengejutkan kalau gadis itu antiーoke, sangat anti kalau dari yang Young So lihat selama iniーterhadap semua hal berbau cinta). Haruskah Young So jelaskan seberapa keruh dan runyam suasana tatkala tiba-tiba Changie datang?
Tetapi, asal dirinya tidak ditinggal sendirian bersama Wonwoo di satu rumah besar yang sepi, tak masalah. Young So tidak keberatan dengan sifat dingin itu. Mungkin Jeon Changie memang seorang penyelamat.
"Aku tidakー" Wonwoo menggigit bibir bawah, menggaruk tengkuk canggung. "Kakak tahu aku tidak akan, ehm, mengarang cerita? Maksudku, aku berkata realita dan sepertinya memang benar."
Changie menyipitkan mata. "Kau benar-benarー"
"Tampan?" celetuk Wonwoo tiba-tiba.
"Keterlaluan."
Wonwoo mengerucutkan bibir, hendak mencibir namun ingat jarak antara dirinya dan Changie tidak lebih dari lima puluh sentiーentahlah, tiba-tiba kakaknya sudah duduk pada sandaran angan sofa dan itu membuat Wonwoo mengernyit. "Ada perlu apa kakak kemari? Aku dan Young So masih harus mengerjakan tugas jadiー"
"Aku hanya ingin membuat kue."
Tunggu, apa? Ia tidak salah dengar, 'kan? Selama belasan tahun tak bertemu, Wonwoo yakin kakaknya tidak pernah berkutat dengan hal-hal dapur. Wanita karir itu lebih suka bertatapan mata pada layar lebar laptop dibanding mengurusi keperluan rumah tangga. Lagipula membuat kue tidak semudah menggoreng sosis atau membalik telur dadar (yang mana Wonwoo sendiri masih tidak becus). Jadi mengerutkan kening dan menyipitkan mata curiga, Wonwoo lantas menukas, "Kakak bisa membuat kue?"
"Kau meremehkanku?"
"Tidak, maksudkuー" Uh, tatapan itu lagi. Wonwoo menghela napas menyerah. "Baiklah, kakak bisa membuat kue tetapi aku dan Young So akan tetap bekerja demi proyek kami. Manis, bisa kita mulai sekarang kerja kelompoknya?"
Young So tidak langsung menjawab, tertegun beberapa detik sebab tatkala itu pandangan Changie mengarah padanya. Namun di saat yang sama pula, Wonwoo mendadak memberi kode dengan ekspresi memohon dan memelas. Sebenarnya mereka kenapa, sih?
"Baiklah," gadis itu akhirnya bersuara, agaknya sedikit berat mengambil keputusan di tengah himpitan kakak-adik yangーsepertinyaーtidak rukun satu sama lain. "Aku akan membuat rancangannya dahulu." Young So membuka laptop, fokusnya teralihkan dan Wonwoo mendesah lega. Apalagi saat melihat kakaknya sudah melesat ke dapur dan benar-benar berkutat dengan kesibukannya membuat kue (bukan bermaksud meragukan kemampuan Changie, tapi sungguh, Wonwoo sempat mengira itu hanya alibi agar kakaknya dapat mengawasi interaksi adiknya dengan seorang gadis).
Wonwoo sendiri tanpa menunda-nunda waktu langsung menyiapkan beberapa stik dan potongan kayu kecil yang ia milikiーbekas tugas semester lalu yang masih ia simpan kalau-kalau ada tugas keterampilan baru. "Manis, kau mau membuat alasnya dengan papan kayu atau triplek? Atau marmer?"
Young So mengerutkan kening, menjeda gerakan jari pada laptop dan untuk beberapa saat gadis itu menumpukan tangan menopang dagu. "Papan kayu tipis? Atau triplek barangkali akan lebih baik. Nantinya akan kutaburi serbuk hijau tipis di atas permukaan sebagai representasi dari lapangan sekolah."
Wonwoo mengulum senyum. Entah apa yang lucu, entah apa yang membuat pemuda itu terkekeh sendiri bak orang sinting dan Young So baru ingat si Jeon ini memang agak miring. "Kau tampak benar-benar seksi saat berpikir keras begitu."
APA?!
Young So mendengkus keras-keras, berdecak kesal dan menjaga jarak beberapa senti lebih jauh. "Ayolah, Jeon. Tutup mulut dan otak mesummu sebab itu tak akan berguna pada tugas proyekku."
Wonwoo mengibas tangan santai. "Santai saja, Sayang. Proyek ini akan selesai sesuai waktu yang direncanakan. Percayalah padaku."
Entah sudah berapa kali Young So katakan bahwa ia benci gombalanーbukan hanya gombalan, ia benci semua kata-kata manis, semua ucapan serta kalimat yang mengusik hati. Namun dasar kepala batu, si bungsu Jeon agaknya tak pernah puas kalau tidak melihat gadisnya bertekuk lutut hanya karena rayuan receh begitu.
"Percaya padamu tidak akan membuat semua menjadi mudah." Gadis itu memutar bola mata, memfokuskan mata pada layar laptop dan melanjutkan perencanaan akan skala ukuran dan desain lantai satu.
Wonwoo menyenderkan punggung pada senderan sofa. "Memang," balasnya ringan, menaik-turunkan alis sebelum menyambung, "tetapi dengan percaya, kekhawatiranmu akan berkurang. Aku tahu Tuan Kun punya ekspetasi tinggi, jadi mari buat pria itu ternganga dengan hasil kerja kerasmu."
Young So barangkali hanya menggeleng tak habis pikir, hanya mampu membuang napas lirih tanpa menyahut lagi, namun jauh dari yang Wonwoo duga, gadis itu diam-diam menyematkan senyum tipis.
"Maaf, aku tidak suka menjadi pengganggu di antara dua remaja yang sedang kasmaran, tetapi Wonwoo, apa kau tahu persediaan gula dan susu kita habis?"
Wonwoo yang tadi sibuk mengukur triplek mendongak, memasang tampang penuh tanya. "Bukankah terakhir belanja tiga hari lalu? Aku yakin aku membeli dua kotak susu."
Changie berdecak. "Iya, lalu kau habiskan satu kotak dalam dua malam. Kemudian setengah dari kotak kedua sudah kugunakan untuk membuat kopi."
"Lalu?"
Barangkali kalau ada tongkat bisbol yang dapat memukul kepala Wonwoo, agaknya Changie juga tak keberatan sebab kini rasa gemasnya sudah melampaui akal. "Belikan untukku, Jeon. Aku tak dapat membuat kue tanpa gula atau susu."
Ekspresi Wonwoo berubah bingung. "Kalau begitu tunda saja membuat kuenya. Bisa besok, 'kan? Aku sedang mengerjakan proyek, Kak. Proyek penting," jelasnya dengan penekanan pada tiap kata, sedikit kesal sebab kakaknya selalu merusak momen pentingnya dengan Young So.
Changie mendengkus keras, membuat anak rambut di sekitar wajahnya berkibas pelan. "Justru karena teman perempuanmu main ke rumah, aku ingin membuatkannya kue sebagai jamuan tamu. Apa kau tidak malu seseorang datang namun kau tidak menyajikan apa-apa? Lagipun minimarket di ujung gang tidak jauh. Kau bisa pergi dan kembali dalam lima belas menitーsama sekali bukan waktu yang lama."
Well, ini aneh sebetulnya. Benar-benar aneh dan mencurigakan. Jeon Changie tidak pernah peduli terhadap tamuーsetidaknya itu yang Wonwoo ingat belasan tahun lalu soal kakaknya tatkala mereka masih duduk di bangku SD. Selalu setiap ayahnya pulang dengan dua atau tiga gadis klub, Wonwoo yang harus membuat minum dan menyajikan beberapa kue pada tamu-tamu ayah. Jangan tanya mengapa Changie tak membantu sebab gadis itu sendiri jarang keluar kamar kalau ayahnya pulang.
Alih-alih menjamu tamu, Wonwoo bahkan sempat mengira kakaknya antisosial mengingat ia tak punya banyak teman di sekolah, tidak bergaul dekat dengan anak para tetangga seperti yang Wonwoo lakukan, pula membenci keramaian dan bising pesta.
Tetapi kau tahu, hal-hal kecil terjadi karena sebuah alasan penting. Sampai sekarang Wonwoo yakin kakaknya punya alasan untuk menolak semua hal megah berkaitan dengan ayah mereka.
"Lalu bagaimana dengan Young So?"
Young So berdeham. "Kukira bukan ide buruk kalau kau pergi membeli susu dan gula di minimarket. Toh hanya sebentar, akan kuusahakan untuk menyelesaikan rancangannya sebelum kau pulang."
"Dan meninggalkanmu sendirian di sini?"
Gadis itu mengangkat bahu. "Ada kakakmu," sahutnya ringan.
Wonwoo mengerang frustrasi. Harusnya ia memikirkan kemungkinan lain sebelum mengajak Young So bekerja bersama di rumahnya begini. Pemuda itu lupa bagaimana mulut Changie yang tajam dan irit bicara nyatanya juga memiliki potensi untuk menghakimi orang dan membuatnya tersudutkan. Tidak masalah sebenarnya kalau Changie menjelek-jelekkan Wonwoo di depan Young So (mengatakan aibnyalah, bercerita masa kecilnya yang suka mengompol di kelas sebab takut presentasi di depan, atau bahkan kebiasaannya menggunakan dot kendati usianya sudah beranjak 7 tahun).
Tetapi bagaimana kalau Changie malah mendesiskan kalimat-kalimat tajam pada Young So? Bagaimana kalau—
"Kau ingin aku menunggu berapa lama lagi?" Suara Changie menginterupsi. Dari intonasi yang digunakan, Wonwoo dapat memrediksi kakaknya sedikit kesal sebab alih-alih bangkit dan pergi ke minimarket secepat mungkin, Wonwoo malah bergeming di sofa bermenit-menit. "Aku tidak akan membuat gadismu celaka. Kau kira aku psikopat idiot apa?"
Wonwoo menengak ludah, mulai bangkit dari duduknya dan berharap ia tidak akan menyesali keputusannya malam ini. Membuang napas pasrah dan melirik Young So terakhir kali (ya, setidaknya, terakhir sebelum lima belas menit perjalanan ke supermarket nanti), pemuda itu lantas berujar, "Baik, baik. Aku harap kakak tidak membuat tamu pertama kita meninggalkan kesan buruk." Ia menatap Changie waspada, berniat mengancam dan memberi peringatan lewat tatapan namun kakaknya malah menggoyang-goyangkan kaki seolah tak terjadi apapun.
Agaknya itu awal dimana rasa penyesalan mulai bercokol dalam batin Wonwooーpemuda itu akhirnya keluar dengan seragam yang dibalut jaket abu-abu, sneakers putih dan berlari secepat mungkin agar dapat sampai dan pulang secepat mungkin.
Sementara itu, suasana di rumah Wonwoo menjadi sepi. Tidak sesepi rumah dalam film horror, sih, sebab suara ketikan jari Young So menggema dan gadis itu berusaha untuk terus meredam suara jemarinya agar tak menciptakan atmosfir yang lebih canggung lagi. Nyala lampu kuning yang temaram, dinding putih bermotif kapal dan jangka yang penuh tempelan pigura.
Ah, pigura. Young So baru sadar Wonwoo punya banyak sekali pigura berisi foto masa kecil.
Lorong tangga yang sepi dan gelap, semilir angin malam mengetuk jendela. Young So mendekap laptop lebih erat dalam pangkuan, memusatkan mata mengetik dan mencoba untuk menghalau rasa takut.
"Jadi, sudah berapa lama kalian kenal?"
Suara Changie terpecah di udara, melebur bersama seribu keterkejutan dan Young So dapat merasakan jantungnya nyaris berhenti berdetak. Gadis itu mencoba menenangkan diri dan menetralkan ekspresi sebelum menyahut, "Beberapa bulan."
"Berapa lama kalian berkencan?"
Tunggu, apa?
"Sudah berapa kali ia menyentuhmu danー"
"Tunggu dulu. Maaf, apa aku tidak salah dengar tadi? Berkencan? Menyentuh?"
Changie mendengkus setengah tawa, namun sudut bibirnya hanya naik beberapa inci. "Jangan berpura-pura tak tahu. Si Jeon memiliki seribu cara magis untuk membuat gadis di dekatnya bertekuk lutut." Gadis itu melangkah menuju sebuah lemari kayu kecil di pojok ruangan, dengan banyak pigura dari berbagai bentuk dan ukuran tertempel pada dinding di samping lemari. Young So mengerutkan kening, sementara Changie bersedekap menatap satu per satu kenangan masa kecilnya dengan Wonwoo.
Sebuah foto menunjukkan Wonwoo masih bocah dan giginya ompong tiga, foto lain menunjukkan seorang pria jangkung dengan tubuh atletis menggendong Wonwoo kecil yang tertawa. Itu pasti ayah mereka, Young so membatin, namun sedikit bingung saat menolehkan kepala namun tidak menemukan satu pigura pun dengan foto anak perempuan kecil (yang seharusnya itu adalah Changie), atau foto dengan presensi seorang wanita yang seharusnya itu adalah ibu mereka. Malahan di sudut dinding lain terpapar foto pria atletis tadi dicium banyak gadis. Young So mendadak merasa geli.
"Kau, gadis yang dicium tiba-tiba oleh Wonwoo? Apa aku benar?"
Young So terkesiap, napasnya tertarik dan tenggorokannya tersendat tanpa sadar. Bagaimana ia tahu? "Benar," jawabnya hati-hati, "tetapi ... itu pasti sebuah kesalahan. Harus kuakui adikmu tampan walau mesum bukan main. Aku yakin otaknya pasti penuh dengan tontonan dewasa tetapi hatinya malaikat."
Changie mengerutkan kening, menoleh menatap Young So dengan ekspresi bingung.
"Maksudku, bukan malaikat sempurna berhati mulia. Tetapi terkadang ia membantu dengan ketulusan."
"Bagaimana kau tahu itu sebuah ketulusan?"
"Matanya," Young So menyelutuk lugu, "aku tahu ini bodoh. Tetapi si Jeon sudah membantuku tiga kali dan membawakanku makanan nyaris setiap hari."
"Dan kau kira itu sebuah ketulusan?"
"Mungkin?"
Changie tertawa sinis. Benar, semua gadis mudah dibodohi. Sejujurnya gadis itu juga sempat mengira Young So berbeda (mengingat gadis itu dingin dan selalu menghindari kontak fisik dengan Wonwoo) namun ternyata hatinya masih selembut kapas, masih selunak tahu basi. "Dengar, Young So, aku mengatakan ini padamu sebab aku tidak ingin kau menyesali masa remajamu begitu saja. Terkadang kita tidak dapat menilai seseorang lewat penampilan, atau mata, atau bahkan ekspresi wajah. Kau kira apa yang pria inginkan selain sebuah hubungan intim?"
"Apa?"
Changie mendengkus. "Aku tidak akan menjelek-jelekkan adik kandungku sendiri di depan gadis asing yang bahkan menerima Wonwoo saja barangkali tidak. Namun harus kautahu, si Mesum yang mengincarmu sekarang itu pernah melewati masa-masa sulit saat ia kecil."
Young So membulatkan mata, mulai tak mengerti kemana arah pembicaraan ini tertuju.
"Bukan sekali dua kali ayah kami mengajari Wonwoo soal berhubungan intim. Aku tahu, ia bukan teladan yang baik dalam keluarga kami." Changie menjeda sejenak, tersenyum nanar saat jemarinya menyentuh pinggir pigura dengan foto Wonwoo di dalam. "Jadi kalau kau masih mencintai keperawanan dan harga diri tinggi, kuperingatkan sebagai sesama wanita, jauhi adikku." []
Ganteng tak tertahankan begini mana bisah dijauhi, ya 'kan? :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro