🐻14. Dumb But CutiesーWait, What?🦔
JEON Changie tahu ada beberapa hal sensitif penting bila itu sudah menyangkut tentang adiknya; soal Wonwoo yang labil dalam memilih, soal Wonwoo yang suka mengartikan nafsu sebagai bagian dari cinta, pula soal Wonwoo yang kehilangan masa bahagia kanak-kanaknya dan berakhir menjadi remaja menyedihkan.
Baiklah, coret poin terakhir. Tak ada remaja menyedihkan, barangkali Changie saja yang terlalu mendramatisir suasana. Ia sering menerka-nerka akan seperti apa Wonwoo kecil yang cengeng setelah ditinggal bertahun-tahun oleh kakak kandungnya dan harus bertahan hidup sebagai seorang remaja sebatang kara. Well, Changie juga tidak akan mengaku diri sebagai yang bersalah, sih. Gadis itu hanya berusaha untuk berpikir rasional, toh kenyataan yang terjadi bertahun-tahun lalu memang pahit. Getir yang membendung dan ditampung terlalu lama nyatanya akan membentuk pribadi tangguh, namun tak menutup kemungkinan untuk juga menjadi rapuh.
Hati tiap orang berbeda, dan Changie percaya, Jeon Wonwoo, adik bungsunya yang menyebalkan itu adalah salah satu dari pria tangguhーsetidaknya begitu, semoga saja memang benar begitu.
Gadis itu menghela napas. Rambutnya tergerai rapi di atas bahu, dibalut sebuah topi baret beige yang ia beli dulu sekali tatkala belum terpikir untuk meninggalkan Seoul. Sudah lama, barangkali belasan tahun lalu dan sebuah hal mengejutkan kalau topi ini masih muat dikenakan pada kepalanya. Memori lama selalu memiliki pedihnya sendiri. Saat itu Changie masih ingat kondisi rumah tidak sama dengan yang Wonwoo tinggali sekarang, dulu rumahnya jelas lebih ramai, lebih sering ditempati banyak orang alih-alih sendirian.
Namun sayangnya, tak ada kehangatan yang diidam-idamkan.
Ibunya pergi dari rumah. Ayahnya depresiーbaiklah, ia akui kata ini juga tidak sebetulnya benar, hanya Changie lebih suka menyebut demikian sebab sehari setelah ibu pergi, alih-alih sedih dan membujuk agar istrinya kembali, ayah lebih suka menciptakan kesenangan sendiri dengan menggait lebih banyak gadis seksi yang biasa bekerja pada bar dan club malam. Rumahnya menjadi penuh oleh suara desahan, terkadang dentum musik pesta dan beberapa pemabuk yang berbicara ngelantur.
Pria itu gila, pikir Changie suatu hari, merutuk serta menangis tiap malam karena kekacauan yang terjadi dalam keluarga kecilnya. Ia tidak pernah berharap muluk, toh keberhasilan atas prestasi akademik, anugrah fisik yang menarik, bahkan kebahagiaan kecil saat memakan gula kapas sambil menaiki caraousel di taman hiburan juga tidak akan menggantikan rasa syukurnya terhadap satu hal; keluarga.
Well, beri tepuk tangan hebat pada sosok ayah yang telah merusak impian kecil putrinya. Bravo. Changie akui, ayahnya licik sekali.
Gadis itu menyesap kopinya perlahan, rasa panas menjalar melalui ujung lidah bersamaan dengan rasa pahit yang ia suka. Malam semakin larut, Changie lantas menoleh ke arah pintu yang masih terkatup, kemudian beralih pada layar ponsel yang menunjukkan kolom pesannya dengan Wonwoo.
Jeon Wonwoo
Kakakkk, hari ini tidak usah menjemput.
Ada proyek yang harus kukerjakan bersama teman, nanti aku akan pulang naik taksi
Lagi-lagi gadis itu menghela napas. Kalau ada harap yang mungkin boleh diwujudkan terlepas dari penyesalan atas kesalahannya bertahun-tahun lalu, Changie benar-benar berharap Wonwoo dapat tumbuh menjadi pria bijaksana, bukannya si otak kosong yang hanya tahu cara bersenang-senang.
Sudah cukup satu pria berengsek yang menggunakan wanita sebagai pelampiasan nafsu.
Tak ada lagi, tidak sebab Changie tak rela adiknya rusak lagi. Titik.
***
"Akhirnya selesai!" Jeon Wonwoo mendengkus keras-keras, serentak berdiri seraya kedua telapak tangan refleks memukul meja saking semangatnya. Senyum semringah terlukis di wajah, seruan kerasnya menggelegar memenuhi tiap sudut perpustakaan dan dalam sekejap langsung mengundang atensi siswa.
Penjaga perpustakaan meliriknya tajam. "Jeon Wonwoo-ssi, kau mau didepak keluar, hah?! Jangan membuat keributan kalau tak ingin namamu kutulis dalam buku pelanggaran!" hardiknya dengan kening berkerut, semerta-merta membuat tubuh Wonwoo merosot pada bangkunya lagi.
Pemuda itu membungkuk sebentar, kendati akhirnya bergumam pelan, "Padahal hanya teriak pelan, kenapa ditegurnya habis-habisan?"
Namun melirik kembali Tuan Dongーpenjaga perpustakaan yang usianya setengah abad lebih, Wonwoo mendadak bergidik geli. Sebab alih-alih mengalihkan tatap, pria tua berambut tipis itu masih tetap memelototinya tajam selama beberapa saat, sempat membuat suasana menjadi canggung sampai akhirnya ia memutuskan untuk memutus kontak mata dan kembali fokus pada pekerjaannya lagi.
Wonwoo menghela napas lega, menatap kembali layar laptopnya dengan senyum bangga tertera pada wajah. Tugas Matematika berisikan 150 soal sudah selesai setengah, barangkali masih ada 80 nomor yang kosong, tapi tak apa. Mengebut semalam dilanjut hari ini dan menyelesaikan 70 nomor lain adalah pencapaian luar biasaーkau tahu, matematika itu bukan pelajaran gampang yang dapat diterka jawabannya. Butuh kesabaran dan kemampuan khusus memeras otak dengan semua kegilaan angkaーyah, meski ada belasan nomor lebih yang ia contek dari Jean.
Tapi tak apa. Ia tetap bangga.
Yang lebih penting, tugas esai bahasa inggris format dokumen yang harus dikumpul maksimal tengah malam nanti sudah tuntas, malam ini Wonwoo yakin ia bisa tidur nyenyak. Pemuda itu menutup layar laptop, membereskan beberapa alat tulis juga kertas-kertas hasil hitungan matematika dengan semringah, nyaris bersiul untuk merayakan pencapaiannya kalau saja ia lupa bahwa Si Penjaga Perpustakaan sudah memperingatkannya keras tadi. Ia tentu tak mau didepak dan dicatat kembali dalam daftar nama si biang onar.
Sebetulnya kalau boleh jujur, Jeon Wonwoo sendiri tidak pernah pergi ke perpustakaan pada jam morning self-study, toh pagi-pagi pemuda itu sering mencuri waktu untuk bermain game di kelas. Siapa peduli, huh? Tempat duduknya di deret bangku belakang, kelas yang sepi dan hening juga mendukung aktivitas bermainnya diam-diam. Asal tak ketahuan, semua akan baik-baik saja.
Namun kalau mengingat semalam ia terlelap bahkan sebelum separuh dari tugasnya selesai, Wonwoo mau tak mau harus menelan bulat-bulat semua angan untuk bermain game atau bersantai, pada akhirnya tak punya pilihan lain selain melangkah dalam ruang pengap tempat timbunan buku diletakkan.
Well, asal ia bisa mencetak nilai bagus dan tidak dicurigai Changie, ia rela mengorbankan sebagian waktu bersenang-senang dengan game favoritnya
Pemuda itu masih melangkah mengelilingi rak buku besi, berusaha mengingat-ingat tempat awal dimana ia mengambil buku tenses Bahasa Inggris tadi. Ini salah satu hal yang ia tidak suka dari perpustakaan sekolah; buku novel dan pelajaran dipadukan jadi satu, terkadang membuat Wonwoo bertanya-tanya sebenarnya apa yang dikerjakan penjaga perpustakaan kalau tataan buku saja masih berantakan begini.
Namun tatkala tangannya tengah memilah-milah buku pada sebuah rak khusus buku bahasa inggris, pemuda itu terkejut oleh pandangan yang terpapar di depan mata. Seringainya dibangkitkan walau tipis, bukunya diletakkan asal di rak lain. Tepat beberapa meter dari tempatnya berdiri, Young So juga tengah mencari buku pada rak yang sama, memilah buku dari deret yang sama hingga jari mereka sempat tersentuh. Mata mereka bertemu, Young So refleks memalingkan wajah namun Wonwoo dapat melihat rona samar pada pipi gadisnya.
"Pst, mencari buku bahasa inggris juga?"
Young So terkesiap, terkejut tatkala tiba-tiba Wonwoo yang tadi berada di hadapannya kini sudah berdiri tepat di sampingnya. Entah kapan pemuda itu pindah tempat. "Astaga, orang gila ini lagi," gumam Young So namun Wonwoo dapat mendengarnya dengan jelas.
Pemuda itu terkekeh samar, menyandarkan tangan kanannya pada rak buku dan menyahut, "Bagaimana, ya?" Wonwoo mengusap dagu seolah-olah sedang berpikir, sementara Young So memutar bola mata sambil mendengkus pelan. "Tidak salah juga, sih. Aku nyaris gila karena tidak bertemu denganmu seharian kemarin."
"Kita bertemu saat malam, Jeon," sahut Young So datar, berusaha untuk menjaga volume suaranya tetap pelan tatkala menyambung, "Kau menyelinap masuk ke rumahku bak orang gila, tidak ingat?"
Wonwoo terkekeh, membuat Young So memelotot sebab suaranya cukup keras di tengah keheningan perpustakaan. "Satu jam saja tidak akan cukup untuk akuーaww, astaga! Sakit, lepaskan."
Young So tak punya pilihan selain mencubit lengan Wonwoo agar ia mengecilkan suaranya, namun gadis itu menggeleng frustasi tatkala lengkingan Wonwoo malah semakin menjadi-jadi. "Diam, bodoh," desisnya, melongokkan kepala pada area baca di perpustakaan lalu menghela napas lega tatkala tak ada yang melihat. Untungnya banyak kutu-buku berkacamata di sini memilih fokus pada pekerjaannya masing-masing. "Kita bisa diusir kalau terus berisik," lanjutnya setengah berbisik.
Wonwoo mengendikkan bahu, sejujurnya tak peduli soal volume suara yang bisa membuat perpustakaan gaduh. "Kau sudah merasa lebih baik?"
Young So menelan saliva, mengerjap dan entah mengapa terasa gugup saat Wonwoo menanyakan kondisinya. "Setidaknya tidak pusing dan panas seperti kemarin." Gadis itu berdeham, memalingkan wajah pada rak-rak buku sebab tak mau Wonwoo melihat wajahnya yang memerah. Mengingat hal yang terjadi kemarin malam entah kenapa dapat membuat pipinya memanas. "Kau sedang apa di sini? Tumben mengunjungi perpustakaan pagi-pagi."
Wonwoo tersenyum miring, menatap Young So dengan bola matanya yang teduh danーoh, astaga, tatapan itu. "Aku sudah bilang, Sayang, tugasku menumpuk kemarin. Tapi tidak usah khawatir, aku bisa menyelesaikannya dengan baik," katanya percaya diri, tidak lupa dengan kibasan tangan dan dagu terangkat angkuh.
Young So berdecih. Namun tetap saja, menatap Wonwoo, mendengar suara beratnya yang terkadang bisa menjadi lengkingan menyebalkan penyebab telinga pekak, gadis itu juga tak dapat menyangkal benaknya terus-terusnya memutar ulang memori semalam.
Jadi menghela napas pendek dan mengerjap pelan, Young So lantas berkata, "Ehm, soal kemarin ..." Gadis itu membuang tatapan pada deret buku bahasa inggris, pura-pura memilah mana buku yang akan diambil sebelum menyambung, "Terima kasih."
"Kemarin?" Wonwoo mengerutkan kening, namun tak butuh waktu lama untuk seringainya bangkit. "Untuk yang mana? Untuk aku yang menggendongmu, untuk aku yang menjatuhkan dirimu di kasur, untuk aku yang membuatkanmu bubur, atau untuk aku yang mencium keningmu lewat kecupan jari?"
Astaga, mendengar Wonwoo menyebutkan kalimat demikian secara rinci satu per satu tak dapat menahan imajinasi Young So untuk berkelakar soal yang terjadi semalam penuh. Gadis itu menggeleng kuat-kuat, pipinya memanas dengan rasa malu luar biasa sementara Wonwoo menahan tawa.
"Wajahmu nampak menggemaskan saat malu. Nah, begini dong. Lebih cantik dilihat, jangan marah-marah terus."
Young So berdecak. "Tutup mulutmu. Aku ..." ia mengerjap risih. "Aku sama sekali tidak merasa malu."
Wonwoo tergelak, meski suaranya terdegar seperti bisikan. "Iya, iya. Sama-sama," balasnya lembut. "Nanti kalau butuh bantuan, telepon lagi saja. Tidak susah, kok. Hanya tinggal mencari kontakku di ponselmu, lalu tekan tombol hijau. Akan kuangkat asal kau yang menelepon, aku berjanji."
Young So bungkam mendadak, namun tak mampu menatap Wonwoo lebih lama. Ada sederet magis aneh dari tatapan itu; tatapan teduh dengan kedua netra gelap sepekat langit hitam malam. Bagaimana hanya dengan tatapan saja, Young So merasakan hatinya bergetar. Bagaimana hanya dengan mata, gadis itu merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Apalagi dengan jarak sedekat ini, aroma parfum woodie dan floral yang menyeruak, Young So mendadak salah tingkah.
"Ehm, aku, ada ..." Gadis itu berdeham, dalam hati merutuk kepada diri sendiri, bisa-bisanya ia merasa gugup sementara yang di sampingnya hanyalah Wonwoo; hanya seorang Jeon Wonwoo, pria playboy yang sukanya berucap kata-kata manis. Tidak, tidak boleh tertipu. Tidak boleh terayu. Ingat kata-kata ibu, Young So. "Aku ada banyak tugas yang harus diselesaikan, permisi."
"Eh, tunggu."
Wonwoo menahan pergelangan tangan Young So cepat. "Berpisah begitu saja? Aku juga ada banyak tugas, kau tidak mau mengucapkan kata-kata untuk menyemangatiku?"
Young So menarik napas. Sentuhan dingin pada tangannya bisa ia rasakan dengan jelas. Jantungnya berdetak semakin cepat, ia juga dapat merasakan desir darah dalam tubuhnya bertambah cepat. "Semangat," ujarnya datarーlebih pada terpaksa dibanding motivasi. "Sekarang, boleh aku pergi?"
Wonwoo menyengir, namun tidak melepaskan genggaman tangannya pada Young So. "Kau tahu, aku juga tak keberatan untuk membantumu mengerjakan tugas."
Young So menggeram gemas, melepaskan genggamannya dari tangan Wonwoo secara paksa. "Tidak, aku masih bisaー"
"Kudengar ada proyek penting, 'kan? Tuan Kun yang memberi proyek, tidak terkejut, sih, kalau susah. Dengar-dengar juga, anak-anak kelasmu mengerjakannya berkelompok."
Young So bungkam, kerutan di keningnya muncul perlahan. Bagaimana dia bisa tahu?
Well, kalau menjabari lebih jauh, Young So yakin hanya akan merujuk pada rasa malu terhadap diri sendiri; bagaimana ia tadi bersusah-payah menemui Tuan Kun hanya untuk menanyakan siapa teman kelompoknya, namun pria berkumis tipis itu malah mengendikkan bahu tak acuh dan berkata bahwa Young So harus mencari sendiri sebab tak ada peraturan konkrit mengenai teman kelompok. Bebas memilih; dengan siapapun asal tugasnya terkumpul tepat waktu.
Masalahnya, tak ada seorangpun yang mau bekerja sama dengan Young So.
Bagus sekali. Setelah gosip, kini ia menjelma menjadi pengidap anti sosial. Kerja bagus, Young So.
Wonwoo terkekeh. "Ayo, kubantu mengerjakan. Mumpung tugasku sudah selesai, bagaimana?"
KRING
"Tidak bisa, sudah waktunya jam pelajaran. Aku permisi dulu."
"Ah, pulang sekolah bagaimana?" Wonwoo setengah berseru, sedikit panik saat ajakannya nyaris ditolak lagi.
Young So yang hendak berbalik lantas mengurungkan niat. Gadis itu tak langsung menjawab, hanya menjeda dalam bungkam dan Wonwoo mengangkat alis menunggu jawaban.
"Aku hanya akan membantumu mengerjakan proyek. Tidak lebih," pemuda itu menunjukkan dua jari membentuk 'V', menggigit bibir bawah gugup. "Boleh, ya?"
Gadis itu mendengkus, menatap manik Wonwoo yang ia baru sadari indahnya bukan main. Setengah pasrah dan setengah lagi berharap bahwa keputusannya tak salah, Young So akhirnya menyahut, "Nanti lihat saja dulu, kalau-kalau cuacanya memang mendukung."
Wonwoo tak dapat menahan luapan bahagia pada wajah, matanya memelotot tak percaya, bibirnya terangkat tinggi-tinggi membentuk senyuman. "Jadi kau menerima? Serius? Nanti kita kerja berdua?"
Young So memelotot. "Pelankan volumemu, Bodoh!"
Namun Wonwoo malah tergelak bahagia. "Akhirnya! Yes, akhirnya! Baiklah, nanti aku akan menjemputmu di kelas. Aku janji akanー"
"JEON WONWOO! SUDAH BERAPA KALI KUPERINGATKAN UNTUK MENJAGA KETENANGAN DI PERPUSTAKAAN? KAU BENAR-BENAR MENGUJI KESABARANKU, YA?!"
Wonwoo membeku.
Young So menggeleng tak habis pikir, namun tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Dasar, bodoh. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro