BAB 20. Alasan
3000 words, darling. Enjoy
🐻❄️🐻❄️🐻❄️
Pukul sebelas malam, Trisha baru saja pulang. Dia mengantuk luar biasa, badannya remuk redam, dan kalimat Nora membuatnya terjaga hingga larut malam. Seakan belum cukup menderita, motornya mulai berulah hingga baru bisa ia nyalakan setengah jam kemudian.
Namun meskipun ia memaksa lembur hingga semalam ini, nyatanya target tetap tidak tercapai hingga Trisha marah pada diri sendiri. Gadis itu berjalan gontai sambil memijit pelipisnya, lalu berhenti kala melewati lobi.
Barra tertidur di sofa dengan wajah lelah. Ia bersedekap erat, mungkin demi menahan hawa dingin dari AC yang berada tepat di atasnya. Ransel dan sebuah paperbag merosot di kaki, sementara kemeja biru gelap yang ia kenakan terlihat sedikit berantakan.
Trisha meneruskan langkahnya dengan cepat, kemudian berhenti dan menatap Barra, meneruskan langkah lagi, kemudian berhenti lagi hingga ia frustrasi sendiri. Akhirnya, gadis itu masuk ke unitnya dan keluar sambil membawa selimut.
Diletakannya selimut yang masih terlipat di samping Barra dan berbalik pergi. Namun baru beberapa langkah, Trisha kembali hanya untuk menghamparkan selimutnya di atas tubuh Barra.
"Dia udah makan belum, sih?" Gadis itu mengamati Barra dengan penuh dilema. "Kayaknya juga belum sempat mandi."
Barra membuka mata, dan Trisha mati kutu. Mata yang mengantuk itu melirik Trisha, yang kini bingung harus berbuat apa.
"Dingin." Trisha menunjuk AC dengan kaku. "Lo--ngapain di sini jam segini?"
Lelaki itu terdiam sejenak, lalu meraih paperbag-nya. "Oleh-oleh."
"Nggak perlu," ucap Trisha pelan. "Itu buat anak Happyhouse aja. Pulang gih, udah malem ini. Jangan tidur di sini, nanti masuk angin. Udah ya, gue balik dulu."
"Sa,"
Trisha berbalik enggan, hanya untuk berhadapan dengan Barra yang ternyata sudah berdiri.
"Anak-anak udah dapat," gumamnya seraya menyelipkan paperbag di tangan Trisha.
Lelaki itu menatapnya sedemikian rupa hingga Trisha takut kalau-kalau Barra hendak mengungkit obrolan mereka beberapa hari lalu. Namun yang ada, Barra justru menepuk pelan puncak kepala Trisha, dan berjalan menuju lift tanpa menoleh lagi.
"Kamu jatuh cinta tanpa sadar."
Trisha cepat-cepat masuk ke apartemennya sendiri.
==
Sasa's
Paperbag itu berisi banyak pie susu dan sebuah tas rotan dengan nama Trisha yang terbuat dari akar yang meliuk, ditempelkan di salah satu sisinya.
Trisha juga menemukan sebuah amplop berlogo Zigma, terlipat dan lusuh karena tertindih oleh-oleh, dan tidak akan ditemukan jika Trisha tidak membongkar paperbag itu hingga habis. Tercantum nama Barra di sana, beserta beberapa berkas yang tidak dimengerti Trisha.
Gadis itu meletakannya di atas meja dengan pertimbangan kalau-kalau Barra kembali karena menyadari ada berkas yang tertinggal. Tapi hingga hari berganti, lelaki itu tidak kunjung tiba. Trisha menatap berkas itu dengan penuh dilema, namun pada akhirnya ia meraih gawai.
"Barra, ada berkas keselip di paperbag. Lo berangkat ke kantor atau langsung ke lapangan? Gue sebentar lagi berangkat."
Trisha memutuskan untuk menitipkannya di lobi saat pesannya tidak kunjung dibalas. Lagipula, ini lebih bagus karena dia tidak harus bertemu Barra.
"Terima kasih. Tapi Pak Barra belum datang. Mau menunggu dulu?" tawar sang resepsionis.
"Belum? Tumben," gumam Trisha.
"Mungkin langsung ke lapangan," ucap si resepsionis.
"Umm, nggak ada telfon dari Barra?" tanya Trisha buru-buru. "Sakit atau-ada kendala? Habis dinas dari Bali, kan?"
"Belum ada."
"Oh...oke. Thank you."
Trisha keluar dengan banyak pikiran di kepala, namun semua itu tergusur saat ia berpapasan dengan motor yang sangat dia kenal. Motor itu menyambangi Trisha, lantas wajah Barra muncul dari balik visor.
"Berkasnya?"
Trisha melirik Amira yang duduk di boncengan. Wanita itu memainkan gawainya, sama sekali tidak menatap Trisha. Nggak pegangan Barra. Bagus!
"Udah di dalam. Baru sampai jam segini?"
"Tadi ada urusan." Barra kembali menurunkan visor. "Thank you."
"Barra?"
"Hm?"
"Nggak--" Trisha melepaskan jaket Barra. "Nggak apa-apa. Gue balik."
Mengangguk singkat, lantas Barra pergi tanpa menoleh lagi. Amira meliriknya sebelum berbicara dengan Barra.
Gadis itu berpaling karena dia tidak suka postur tubuh Amira yang condong ke depan, lalu mulai menyalakan motornya. Namun hingga beberapa kali percobaan, motornya tetap tidak menyala.
"Lo jangan bikin gue tambah sedih!" Trisha melotot pada motornya. "Ayo dong! Gue bisa dihabisin sama Mas Dion kalau telat rapat!"
Trisha kembali mencoba menghidupkan motornya, namun nihil. Satpam dan beberapa orang di pelataran mencuri lirikan ke arahnya hingga Trisha malu sendiri. Pada akhirnya, gadis itu menuntun motornya menuju bengkel yang berjarak lima menit dari Zigma, lalu memesan ojek online.
===
"KELUAR!"
Suara tajam Dion membungkam seisi ruangan. Pelan, Trisha mengembuskan napas yang tertahan beberapa detik belakangan. Ia merapikan pekerjaannya, dan keluar ruangan dengan seribu beban di dada.
Diliriknya gawai untuk yang kesekian kali, lalu kembali mengabaikannya saat nama Barra tidak kunjung muncul di layar. Kejengkelannya naik dua kali lipat saat menyadari jika Barra tidak punya alasan yang mengharuskannya menghubungi Trisha.
"Lo yakin ini udah finishing?"
Suara Barni membuat Trisha kembali fokus.
"Iya. Ada yang kurang?" tanya Trisha.
Pria itu mengusap dagu. "Sorry, tapi ini bukan lo banget. Gue terlanjur berekspektasi lebih ketimbang cuma UI yang flat dan miskin suara begini. Coba diperbaiki lagi, Sa. Masih sempat ini."
"Iya. Sori Mas."
Barni melambaikan tangan ringan. "Next week ya. Pulang, Sa. Udah malem banget ini."
Trisha memeriksa jam tangannya, lalu mendesah lelah. Sudah jam sepuluh malam, sudah pasti dia tidak bisa mengambil motornya di bengkel. Setelah diusir dari rapat Athena, Trisha menghabiskan harinya bersama tim marketing untuk menyempurnakan platform kepenulisan Renjana.
Gadis itu meraih gawainya. Namun alih-alih membuka aplikasi ojol, ia justru membuka ruang chat dengan Barra yang sudah kosong selama beberapa hari.
"Udahlah, ojol aja beres." Gadis itu keluar ruangan, dan menemukan dua pria sedang bercengkrama.
Dion melirik Trisha, lalu menepuk pundak Barra sebelum berlalu. Langkah kakinya bergaung pelan sebelum menghilang, meninggalkan keduanya dalam hening yang sempurna.
"Ada perlu sama Mas Dion?" tanya Trisha senormal mungkin, yang dibalas Barra dengan gelengan singkat.
"Terus ngapain ke sini?"
"Nggak aman naik ojol malam-malam begini. Sa. Pulang?"
Trisha mengangguk canggung, membiarkan Barra mengimbangi langkahnya dengan tangan yang tersimpan di saku.
"Tahu dari mana kalau gue nggak bawa motor?" tanya Trisha saat mereka sampai di lobi.
"Satpam, dan Dion bilang lo masih di sini."
Trisha mengernyit. "Sampai tanya Mas Dion?"
"Not something new, Sa."
Ya...iya sih. Dia juga sering menanyakan keberadaan Barra di Happyhouse pada Luvy.
Trisha melirik Barra. Laki-laki itu sudah memakai kaus putih lengan pendek yang dipadu dengan celana panjang. Agaknya dia tadi pulang lebih dulu sebelum menjemputnya.
"Tadi pagi ke rumah Mbak Amira, Bar?" tanya Trisha, akhirnya menanyakan hal yang mengganggunya seharian.
"Hm."
"Ngapain?"
"Ada lahan Happyhouse yang perlu ditinjau."
"Perlu banget jemput dia juga?"
"Perlu banget."
"Oh...katanya nggak naksir Mbak Amira," celetuk Trisha. "You do the opposite."
"Bagian mananya?" balik Barra, yang langsung membuat Trisha bungkam.
"Beneran nggak naksir Mbak Amira?" Trisha bertanya pelan saat mereka sampai di mobil Barra.
"Hm."
Trisha melirik Barra dengan canggung, namun Barra hanya duduk di balik kemudi dengan tenang seperti biasa. Sepanjang perjalanan, gadis itu menyibukkan diri dengan pesan dari Barni. Dia benci rasa canggung saat bersama Barra, dia juga benci keheningan dingin saat bersama Barra. Tapi, dia tidak tahu cara menyikapinya.
"Nggak usah masuk, Bar. Sampai sini aja," gumam Trisha saat mereka sampai di depan gedung apartemen. "Thank you."
Gadis itu segera keluar dari mobil dan menuju apartemennya. Trisha mengempaskan diri di sofa dan memejamkan mata yang sudah panas sedari tadi. Kaki dan tangannya sakit, lehernya kaku, dan kalimat Nora yang tiba-tiba justru membuatnya tambah pusing.
"Siapa coba?" gumam Trisha lelah saat bel apartemennya berbunyi. Gadis itu berjalan ke depan dengan malas, lantas membuka pintu dengan enggan. "Kenapa, Bar?"
"Yang kemarin, udah dipikirkan?" tanya lelaki itu.
Gadis itu langsung memalingkan wajah. "Yang mana?"
"Sasa--"
"Kalau yang lo maksud itu tentang omongan waktu balik dari Bali, gue nggak mau ngebahas itu lagi. Gue nggak mau--gue nggak suka ngerasa bingung begini." Suara gadis itu bergetar. "Gue mau kita kayak dulu aja, Barra. Jangan ngomong begitu lagi."
"Itu jawabanmu?"
"Nggak--bukan begitu, maksud gue--"
"Kalau memang itu maumu, kenapa begitu insecure sama Amira? I've told you, the one whom I want is you, Sa." Barra membungkuk hingga pandangan mereka sejajar. "Jadi, bagian mana yang bikin bingung?"
"Gue..." Suara Trisha pecah kala matanya memanas. "Gue nggak ngerti harus gimana! Hubungan yang begitu bisa selesai, kan? Dan gue nggak mau kita berakhir kayak gitu. Gue--nggak mau kita jadi jauh untuk alasan apa pun--Barra, gue takut."
Tatapan Barra melunak. "Begitu. Bisa dimengerti."
Trisha meremasi tasnya sendiri saat matanya memburam. "Mengerikan, kan? Jadi--bukannya begini aja justru lebih aman? Just--with me forever."
"Tapi kita nggak bisa," ucap Barra datar. "Sesudah menikah nanti, keluarga harus selalu jadi prioritasmu, Sa. Di mata dan di hati. Now let's make it simple, do you want us or not?"
Melihat Trisha yang terpaku, Barra kembali berkata, "Sasa, semua jalan keluar dari kebingunganmu cuma satu: jujur. Gue pulang dulu. Besok gue jemput."
Dan Barra berjalan pergi, meninggalkan hawa dingin yang menusuk Trisha hingga ke relung kalbu.
"Kalau gitu jangan pulang dulu. Malam ini di sini aja," kata Trisha kalut. "Barra, gue kangen."
Langkah Barra terhenti, lantas ia kembali menyambangi Trisha dengan raut wajah yg membuat gadis itu mengerjap.
"K-kenapa wajahnya angker gitu?" Trisha mundur selangkah. "Tadi katanya disuruh jujur!"
Barra menghela napas panjang dan menutup pintu apartemen. Wajahnya sudah kembali kalem meskipun ia masih menatap Trisha dengan tajam.
"Ng..." Trisha meremas jemarinya, merasa sangat bodoh kala ia baru sadar jika dia akan berdua saja dengan Barra. Aduh terus ini gimana? "Gue--beli camilan dulu!"
Dan Trisha buru-buru keluar dari apartemen menuju minimarket di seberang jalan. Tapi sesampainya di sana, gadis itu justru berjongkok di depan minimarket sambil menunduk dalam-dalam.
Gerimis turun, membawa hawa dingin yang membuat Trisha sadar jika dia masih memakai pakaian kerjanya. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, sementara pikirannya penuh dengan hal-hal yang berputar ruwet di kepala.
"Dia alasanmu minta kita berhenti, kan?"
Perutnya bergolak tidak nyaman kala suara Leo terngiang.
"Sesimpel mau hidup bareng dia sampai akhir? Nobody compares to him? Nggak pernah kepikiran cowok selain Barra?"
Trisha memejamkan mata. Nyatanya, dia memang tidak pernah berpikir tentang lelaki lain selain Barra. Dari dulu hingga sekarang, hanya ada dia. Namun kata jatuh cinta, baginya terlalu dangkal untuk mendefinisikan rasa yang ia punya untuk Barra. Dibanding rasa suka atau cinta, nyatanya dia justru membutuhkannya. Butuh keberadaannya, suaranya, tatapannya, sentuhannya, atensinya. Dia membutuhkan lelaki itu di hidupnya.
Namun perkataan Nora kemarin justru membuatnya takut. Dia tidak pernah memikirkannya sampai sejauh ini. Di tidak siap pergi dari zona nyaman yang ia tinggali selama bertahun-tahun.
"Now let's make it simple, do you want us or not?"
"What a stupid question," celetuk batinnya dengan kalut. Mudah saja. Jawabannya adalah iya.
Gadis itu menarik rambutnya dan menunduk dalam-dalam. Dibiarkannya suara hujan membawa pergi kekalutannya. Hingga ia merasa lebih tenang, Trisha berdiri.
Lalu gadis itu menjerit saat melihat Barra bersandar di sampingnya.
"Sejak kapan di sini?" tanyanya shock.
"Belum lama." Lelaki itu meraih sebuah payung, yang langsung dikenali Trisha sebagai payungnya. "Pulang sekarang?"
Trisha menatap Barra selama beberapa saat, lantas melangkah tepat di sisi Barra, di bawah payung yang sama.
Karena, persetan dengan jatuh cinta atau apalah. Persetan dengan batas dan juga zona nyaman. Yang dia tahu, dia lelah menahan diri. Yang dia tahu, dia memang tidak mau laki-laki ini pergi.
Nora benar. Keinginannya sangat sederhana: Trisha hanya ingin bersama Barra selamanya.
===
Hal pertama yang ia lihat saat keluar dari kamar mandi adalah, punggung Barra yang sedang duduk menonton televisi. Trisha cepat-cepat ke balkon untuk menjemur handuk dan berlama-lama di sana, sebelum berbalik dan menemukan Barra berdiri tepat di hadapannya.
"Gue pulang," ucap Barra seraya membelai ringan puncak kepala Trisha.
"Lhoh! Jangan dulu!" Trisha berkata dengan panik. "Nggak apa-apa di sini dulu. Ini cuma-rasanya terlalu tiba-tiba buat...ku."
Demi apa pun, membalas tatapan Barra kala pipinya memanas adalah salah satu hal paling menantang di hidupnya. Pipi...pipi..please, jangan khianatin gue!
Barra segera menariknya ke sofa. "Masih susah dipahami?"
"Oh...cukup--susah dipahami. Kamu bilang begitu tiba-tiba dan..." Trisha berdeham. "You seem so calm. Oiya! Lihat mana bahunya!"
Trisha menarik Barra mendekat dan menggulung lengan kausnya. Gadis itu menyipit pada bekas luka sepanjang lima senti yang telah disatukan dengan jahitan.
"Masih sakit, Bar?" tanya Trisha dengan cemas.
"Udah nggak." Barra menutup kausnya, yang membuat Trisha merengut tidak puas. "Aku menunggu momen ini dari dulu. Pelan-pelan aja, Sa. Ada lagi?"
"Ng--you also seem confident about me. Sesuatu yang--masih susah aku definisikan sendiri karena...astaga Bar, ini tuh aneh banget! Kamu nggak ngerasa aneh? Canggung, gitu?"
Barra tersenyum tipis. "Because you're so funny, Sasa. So funny, and so obvious."
"Masa? Kapan?" Trisha menyipit.
Senyuman tipis Barra berubah jadi kekehan. "Tentang kamu, aku sudah sadar itu jauh sebelum pertanyaan-pertanyaanmu tentang Amira dan sebagainya. Tinggal menunggu waktu sebelum aku bilang semuanya sama kamu."
"Menunggu apa?" Trisha mengerutkan kening kala kalimat Barra terasa janggal.
"Besok saja. Ini udah malam." Barra menyila rambut Trisha ke belakang telinga. "Pulang dulu."
"Aku nggak bisa." Trisha menahan lengan Barra. "Apa itu maksudnya?"
Barra menatap gadis itu agak lama, lalu menjawab, "Aku mau semuanya nyaman untuk kamu sebelum aku melamar kamu. Tapi kalau dalam prosesnya kamu bertemu orang baik, aku akan melepaskan kamu. Leo orang baik, dan keluarganya juga baik. Dengan Leo, kamu akan baik-baik saja. Tapi kamu memilih pergi, dan aku nggak bisa menahan diri lagi."
"Me-lamar?" Trisha mengucapkan kata itu dengan degup jantung yang berantakan. "Ngelamar...aku?"
"Nggak mau aku lamar?" tanya Barra kalem.
"Bukan gitu--" Trisha berusaha mempertahankan nalarnya yang nyaris terbang. "Ini maksudnya...bukan ngelamar aku jadi pegawai Happyhouse, kan?"
Barra menatapnya datar, yang membuat Trisha berdecak, "Udah dibilang ini tuh tiba-tiba banget! Kalau di novel-novel, semua ada tahapannya, Barra. Tapi ini--tiba-tiba begini...Barra, kamu serius?"
"Aku serius," jawab Barra, yang membuat Trisha menggigiti bibirnya sendiri demi meredam gejolak hebat di perutnya.
"Dan apa maksudnya itu?" tanya Trisha. "Apa maksudnya 'semuanya nyaman untuk kamu'?"
Barra tidak kunjung menjawab. Ia kembali menatap Trisha dalam diam hingga gadis itu disergap rasa takut tiba-tiba.
"Restu."
Dan demi satu kata itu, seluruh rasa canggung Trisha tersapu oleh sebuah ketakutan mutlak yang perlahan merambati tubuhnya.
"Papa Mama?" tanya Trisha nanar. "Gara-gara yang dulu itu?"
"Hm."
"Nggak mungkin," bisik Trisha. "Papa Mama baik, Barra. Papa bahkan pernah berkunjung ke penjara. Seharusnya Papa udah memaafkan Om Barata. Papa nggak masalah kalau kita keluar bareng. Kamu juga, sering main catur sama Papa jadi--jadi nggak mungkin Papa belum memafkan kejadian yang dulu itu, kan?"
"Berteman sama kamu, ya. Lebih dari itu, nggak," ucap Barra. "Ada luka yang susah sembuh, Sa. Dunia ini nggak dibagi jadi hitam dan putih. Ada area abu-abu yang membuat sikap seseorang jadi sangat rumit. Kalau aku jadi papamu, aku bisa saja melakukan sesuatu yang lebih parah ketimbang menjebloskan orang yang nyaris membunuh istri dan anakku ke dalam penjara."
Trisha meraih wajah lelaki itu."Tahu ini sejak kapan?"
"Lima tahun lalu, waktu aku bilang sama papamu kalau aku mau melamar kamu."
Sebuah beban berat menghantam Trisha. Gadis itu merasa sesak, dan matanya memanas. Sebab jika apa yang dikatakan Barra adalah benar, lelaki ini sudah menanggung semuanya sendirian tanpa Trisha tahu. Seberapa banyak sebenarnya luka di balik manik cokelat itu? Seberapa banyak beban yang tersembunyi di balik wajahnya yang tanpa ekspresi? Bagaimana dia masih bisa setenang ini?
"Sebenarnya dari awal, nggak mudah buatku diterima Papa Mamamu lagi. Tapi aku nggak bisa melepaskan kamu. Aku pikir dengan membuat papamu terbiasa denganku, benar-benar mengenalku, Om Guntur mungkin akan berubah pikiran. Aku bukan ayahku, juga bukan kakekku. Aku mengusahakan kesempatan sekecil apapun untuk mendapatkan restunya sebelum bilang semuanya sama kamu. Aku nggak pernah berpikir membuat kamu memilih kita atau mereka. Kalau kita menikah nanti, bukan cuma diisi kamu dan aku saja. Ada orangtua kita di sana. Kita akan jadi keluarga, dan aku nggak mau mengabaikan perasaanmu sebagai putri, atau perasaan mereka sebagai orangtuamu."
"Tapi kamu bukan Om Barata," ucap Trisha dengan suara gemetar.
"Dia akan jadi besan papamu," ucap Barra. "Menerimanya jadi bagian keluarga pasti nggak semudah itu, Sa. Belum lagi track record keluargaku yang memang kurang baik, aku memahami papamu kalau dia susah percaya dengan keluargaku lagi."
"Tapi Om Barata udah nggak pernah berkasus, kan? Dia bebas juga karena keringanan berkelakuan baik, dan jasanya di panti jompo juga bagus."
"Sasa," panggil Barra. "Bukan kamu yang menyaksikan anakmu nyaris meninggal dengan luka parah di kepala. Bukan kamu yang menyaksikan istrimu nyaris meninggal karena kehabisan darah, dan bukan kamu yang kehilangan anak keduamu karena ulah tetangga yang selama ini kamu percaya. Papamu punya perasaan rumit terkait keluargaku, Sa. Kalau kita mau menghadapinya sama-sama, kita perlu memahami rasa enggan papamu."
Air mata Trisha turun tanpa bisa ditahan. Tragedi itu terjadi saat Barra kelas tiga SMA dan Trisha kelas satu SMA. Perusahaan yang pailit mengadakan PHK besar-besaran, dan ayah Barra terkena PHK. Dengan hutang yang semakin menumpuk, menghidupi tiga anak dan satu istri tidak lagi semudah dulu. Dalam keadaan yang terhimpit, Barata memutuskan untuk merampok rumah tetangganya. Aksi yang, sayangnya dipergoki Juni yang saat itu tengah hamil muda. Perempuan itu menjerit hingga membuat Trisha terbangun. Dalam kekalutan, Barata mendorong keduanya hingga jatuh di tangga lalu kabur. Juni perdarahan hebat, dan kepala Trisha robek. Jika Guntur tidak segera pulang malam itu, mungkin Trisha tidak akan selamat.
Efek tragedi itu mempengaruhi semua orang. Trisha harus menjalani operasi, ia juga kehilangan adiknya yang baru berumur enam bulan, Juni perlu dirawat selama beberapa hari, dan Papanya bergelut dengan rasa marah hingga berhari-hari. Barra juga terkena dampaknya. Fokus dan sekolahnya terganggu, dan ia nyaris menyerah pada mimpi yang dibangunnya dengan susah payah.
Barata menerima segala dakwaan dan meminta maaf pada Guntur. Tapi Guntur tidak sudi melihat wajah Barata. Yang dia tahu, Barata dipenjara setelahnya, dan Juni kembali pulih dengan Guntur yang selalu ada di sisinya. Awalnya, Guntur memang sulit menerima Barra. Tapi Trisha selalu memaksa Barra datang ke rumah, begitu terus karena toh, Trisha tidak pernah bisa jauh-jauh dari Barra. Barra tidak ada hubungannya dengan tingkah laku Barata, dan itu cukup bagi Trisha. Trisha pikir semua dendam dan sakit hati itu selesai saat akhirnya Guntur kembali bermain catur dengan Barra. Trisha pikir, mereka berdua kembali baik-baik saja.
Tuhan, seberapa banyak kebenaran yang selama ini tersembunyi darinya?
"Papa pernah bicara jahat sama kamu?"
Keterdiaman Barra membuat Trisha kembali sesak. "Kamu bukan mereka."
"Jangan dipikirkan. Papamu sedang nggak baik-baik saja."
"Om Barata--tahu?" tanya Trisha terbata.
"Tahu."
"Dan dia nggak setuju?"
Manik mata Barra menggelap. "Dengan Om Guntur yang begitu, Ayah khawatir semuanya nggak akan berjalan baik."
Trisha mencengkram kemeja Barra erat-erat, lalu didengarnya Barra menghela napas panjang.
"Sasa?" Lelaki itu mengusap pipi Trisha, menenggelamkannya dalam tatapan lembut di balik iris coklatnya. "Aku menawarkan sebuah hubungan yang serius sama kamu. Dengan komitmen, tanpa main-main. Sekarang setelah kamu tahu, pikirkan kembali semuanya dengan baik. Answer me clearly, is it yes or is it no for us."
"Kamu tanya itu setelah kita sampai di sini?"
"Pikirkan lagi. Kamu masih punya opsi."
Barra tahu bahwa semuanya tidak akan mudah bagi Trisha jika itu menyangkut Guntur dan Juni. Barra tahu seberapa besar rasa sayang Trisha pada mereka hingga Trisha tidak ingin membuat mereka kecewa. Dan memikirkannya saja, sesuatu dalam dada Trisha teremat sakit.
"Besok sore," ucap Barra. "Kita bahas besok sore, Sa. Udah malam, aku pulang dulu."
Saat tangan Barra meninggalkannya, rasa hangat juga terenggut darinya. Punggung itu menjauh, dan rasa takut yang begitu besar menyergap Trisha. Semua memori tentang hari tanpa Barra kembali, mengingatkan Trisha akan usaha menahan diri yang menyakitinya setengah mati.
"Yes." Trisha buru-buru menahan kemeja Barra hingga langkah lelaki itu berhenti.
"Ulangi," titahnya.
"Yes," jawab Trisha. "Yes for us."
"Kamu yakin?" Barra menatapnya tajam.
"Kesempatan yang kamu perjuangkan itu, aku juga lihat, Barra. Tapi kasih aku waktu sebelum bicara semuanya sama Papa," ucap Trisha dengan mata yang memanas. "Aku takut."
"We need to tell them, Sa."
"Iya, iya aku tahu. Tapi jangan sekarang," ucap Trisha dengan gelisah. "Jangan sekarang, jangan besok, jangan lusa juga. Tunggu sampai aku siap. Barra, ini nggak mudah."
Barra mengusap sisi kepalanya. "Approved."
Trisha berusaha menyelami perasaan Barra saat itu. Tapi tidak ada hal yang bisa ditangkap Trisha kecuali ketenangan yang nyata. Maka gadis itu memeluk Barra.
"Thank you for telling me this," gumamnya dengan suara yang gemetar. "And I am sorry. Maaf--untuk semuanya."
"Bukan salahmu, Sa. Berhenti merasa bersalah," ucap Barra kala membalas pelukan Trisha. "Wanna hear something? Kamu akan jadi orang pertama yang tahu tentang ini."
"Apa?"
"Aku punya calon istri. Namanya Gemma Naratrisha."
🐻❄️🐻❄️🐻❄️
*TBC*
Haii, selamat sore
Please be healthy, be happy, be safe yaa...
Luv yuuu
💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro