Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 2. Apartemen

Pukul tujuh malam, jiwa Dion masih membara di dalam raganya. Sementara Trisha berkali-kali memijit matanya agar tetap fokus melihat layar.

"Dan, Sa, walau kamu harus membantu Prima, pastikan persiapan HUT nggak mengganggu konsentrasimu di tanggung jawab utama. Paham?"

Trisha mengangguk sambil tersenyum manis, berharap Dion luluh dan segera menyudahi rapat hari ini. Dia benar-benar harus bertemu Prima.

"Oke. Hari ini segini dulu. Ry, bagiin hasil rapatnya sama yang lain biar bisa dipelajari di rumah. Hati-hati pulangnya, kita masih punya banyak kerjaan," ucap Dion sebelum melangkah keluar.

"Salut gue," gumam Bastian. "Ketika polisi selalu bilang, " 'hati-hati di jalan, keluarga menunggumu', dia nyuruh kita hati-hati karena masih banyak kerjaan. Ugh! Kepala gue panas."

Trisha terkekeh sambil mengikuti Bastian ke pantry.

"Gula sekalian?" tanya Bastian berbaik hati.

"Dikit aja. Thank you." Trisha menyeruput kopinya dengan khidmat. "Lembur lagi, Bas?"

Bastian mengangguk. "Eliana Padma udah dipastikan nggak bisa hadir. Jadi mungkin nyoba ngelobi Rhaksa Candradewa buat ngisi HUT besok."

Ekor mata Trisha mengikuti punggung Bastian yang keluar pantry, lalu kembali menikmati kopinya. Hujan deras di luar, dan Trisha sedang malas hujan-hujanan. Untuk kesekian kalinya, gadis itu memeriksa gawai.

Nihil.

Trisha memutuskan untuk menelfon Barra. Namun, nomor Barra tidak bisa dihubungi. Trisha mencoba lagi, dengan hasil yang sama. Gadis itu ganti mencari nomor lain dengan khawatir.

"Mas Leo," panggil Trisha begitu nada tersambung. "Mas, mau tanya, udah pulang dari Solo?"

"Udah. Kenapa, Sa?"

"Oh...Barra lembur ya, Mas?"

"Tadi tiba-tiba dia cancel, bilangnya mau naik penerbangan selanjutnya. Beneran belum pulang, Sa?"

"Belum." Trisha meremas cangkir kala kekhawatirannya semakin membesar. "Nggak bisa dihubungi. Apa lanjut lembur, ya?"

"Coba nanti aku telfon kantor. Di rumahnya, nggak ada?"

"Belum cek. Aku belum pulang, Mas."

"Oke. Nanti aku kabari lagi. Jangan panik dulu, Sa."

"Thank you ya, Mas."

Trisha kembali menelfon Barra, namun hasilnya tetap nihil. Gadis itu keluar dengan buru-buru.

"Whups!"

Cangkirnya menabrak sesuatu sebelum menghantam lantai dengan bunyi memekakan. "Ya ampun! Sori sori Mas!"

Trisha meraih tisu dan menutul-nutulkannya di kemeja putih itu dengan panik.

"It is okay. Sa. Jadi berhenti raba-raba dada saya, bisa?"

Trisha langsung menarik tangannya, yang membuat pria itu tertawa.

"Nggak masalah, udah mau pulang. Tapi itu, boleh minta?" Prima menunjuk kotak tisu di tangan Trisha.

Trisha mengangguk. Gadis itu meremasi tangannya seraya mengawasi Prima yang membersihkan baju.

"A--anu...Mas..." Trisha memulai dengan gugup. "Yang tadi malam, sebenarnya...bukan mauku. Orang lain ngedaftarin aku di situ tanpa aku tahu dan--dia yang like balik ke profil Mas Prima. Aku sama sekali nggak ada niat pakai aplikasi itu. Jadi--aku nggak bisa menanggapi lebih jauh lagi."

Prima menatapnya beberapa saat. "Begitu? Sayang sekali."

Trisha mengangkat alis. Namun Prima hanya tersenyum kaku tanpa mengatakan apa pun lagi. Lelaki itu memunggungi Trisha kala membuat kopi. Trisha meliriknya dengan canggung, lalu memilih untuk membersihkan pecahan gelas di lantai.

Trisha mengira Prima akan langsung meninggalkannya tanpa kata, tapi ternyata ia justru mengulurkan satu gelas kopi untuk Trisha.

"Eh, thank you," ucap Trisha tidak enak hati. Gadis itu menatap noda kopi yang sudah melebar, mendadak tidak berselera dengan kopinya. "Bawa baju ganti, nggak?"

"Kenapa memangnya?"

"Itu-aku cuci dulu bajunya."

"Nggak perlu dipikirin, Sa. Nggak sengaja juga," ucap Prima. "Dion udah bilang kalau saya minta bantuanmu di HUT nanti?"

"Oh iya, sudah."

"Good." Prima tersenyum samar dan keluar, meninggalkan Trisha yang termangu dengan kecanggungan luar biasa.

==

"Nggak lembur. Nggak di Happyhouse juga. Udah cek di rumahnya?"

"Udah. Nggak ada orang." Trisha menekan nomor lift dengan tidak sabar. "Barra naik pesawat apa? Tahu nomor penerbangannya, nggak?"

"Sebentar, aku cek dulu. Jangan panik, Sa. Habis ini aku tanya sama yang lain. Mungkin dia ninjau lahan buat proyek selanjutnya."

"Tapi Barra bukan orang yang suka ngilang tanpa alasan." Trisha berjalan cepat menuju unitnya dengan air mata menggenang. "Gimana kalau pesawatnya kenapa-napa? Gimana kalau taksinya kenapa-napa? Gimana kalau-"

"Everything will be alright, Sasa. Barra nggak akan kenapa-napa. Yang tenang, oke? Nanti kita cari sama-sama. Sana mandi dulu. Nanti aku jemput."

Trisha mengucapkan terima kasih. Dengan kalut, gadis itu membuka pintu apartemennya. Ia sedang mencari-cari daftar nama pegawai Happyhouse yang mungkin disambangi Barra. Bisa saja dia mampir ke salah satu lahan happyhouse, atau memutuskan untuk membuat maket proyek berikutnya, atau tidur di sofanya-

"Heh!" Trisha melemparkan bantal pada gundukan besar yang teronggok di atas sofa. Namun lelaki itu hanya menggeliat dalam tidurnya, lalu berbalik memunggungi Trisha.

"Dasar!" Trisha melotot, lalu berdecak sebelum mengambilkan sebuah selimut. Diamatinya lelaki itu lekat-lekat, lalu menghamparkan selimut di atas tubuh Barra yang masih terlelap. "Capek banget ya, Bar? Ya situ ngapain pakai kelayapan, coba? Harusnya bisa pulang bareng Mas Leo-duh iya!"

Trisha cepat-cepat mengirimkan pesan pada Leo, yang dibalas Leo dengan banyak emotikon pisau. Trisha terkekeh.

Tapi, laki-laki ini memang terlihat sangat lelah. Ranselnya diletakkan sembarangan di kaki sofa. Pakaiannya masih pakaian kantor dan terlihat sedikit basah. Aroma samar bergamot dan woody itu tercampur dengan keringat dan pengharum ruangan, memberikan kesan maskulin kalem yang Barra sekali.

Trisha duduk di depan sofa dan meraih kapas. Dituangkannya cairan pembersih wajah untuk membersihkan wajah Barra yang terlihat agak kusam.

"Shh...there...there..." Trisha menepuk pelan dahi Barra kala lelaki itu bergerak kecil dalam tidurnya. Selesai dengan wajah, gadis itu menutulkan betadine pada goresan-goresan ringan di tangan Barra. Seperti biasa, Barra selalu membawa beberapa goresan ringan setiap pulang dari proyek Zigma.

Setelah memastikan lelaki itu tidak sekusam tadi, Trisha pergi mandi dan membuat makan malam. Tapi, ia justru mengerutkan kening ketika membuka kulkas.

"Satu, dua, tiga..." Trisha melotot. "Lima belas. Good. Mabuk brem? Siapa takut!"

"Sasa di sini, Tante."

Saat Trisha menoleh, makhluk berambut kusut itu sedang berjalan ke arahnya.

"Mama?" tanya tanpa suara, yang diangguki Barra.

"Sasa baik-baik saja. Iya, selamat malam." Lelaki itu menyerahkan gawai Trisha sebelum berjalan ke kamar mandi.

"Kamu nggak kangen Mama? Udah dua bulan nggak pulang, lho. Kalau Mama lupa wajah anak Mama terus ketukar sama anak tetangga, gimana?"

"Ya udah sih, nggak apa-apa."

"SASA!"

Trisha terbahak. "Kantor baru padat banget, Ma. Sebentar lagi ada event juga. Mungkin habis selesai event baru longgar."

"Minggu besok, bisa pulang, nggak? Arisan keluarga, Sasa. Kamu nggak lupa, kan?"

"Aku skip aja boleh?"

"Skip-skip gimana? Ini arisan keluarga. Ajang silaturahmi. Jangan sampai kamu skip! Nyapa-nyapa dulu, terus kabur nggak apa-apa. Kecuali kamu bawa calon suami buat jawab pertanyaan budhe-budhemu."

"Seriously, Ma?" tukas Trisha tidak percaya.

Juni tertawa mendengar protes anak sematang wayangnya. "Udah, ya. Makan yang banyak. Barra juga disuruh makan yang banyak."

"Beneran nggak boleh skip aja?"

"Kamu dengar Mama, Sasa."

Trisha hanya bisa mencebik lebih dalam. "Iya. Datang, tapi boleh skip, kan?"

"Boleh."

"Hehe. Night Mama."

Trisha kembali mengiris daun bawangnya meskipun pikirannya melayang pada acara keluarga yang akan diadakan satu minggu lagi.

"Bar, masa gue nggak dibolehin skip arisan keluarga?" omel Trisha saat Barra selesai mandi. Rambutnya lembab, dan dia sudah mengganti kemejanya dengan kaus. "Lo tahu pertanyaan apa aja yang bakal gue dapat? 'Kenapa belum ngenalin calon?', 'Udah umur dua tujuh lho, Sa!', 'Budhe kenalin anak teman Budhe, ya?' dan pertanyaan-pertanyaan macam itu--aduh!" Trisha mendongak sambil mengusap dahinya. "Kenapa berhenti di tengah gini sih, Bar? Dapurnya sempit ini! Sana ke depan--"

Barra menjapit bibir Trisha dengan jemarinya. "Bremnya cukup?"

Trisha mendelik, dan menepis tangan Barra. "Cukup banget. Itu kalau mau dibagi sama anak Happyhouse nggak apa-apa lho. Banyak banget astaga! Tapi makasih, ya."

"Happyhouse udah punya sendiri," ucapnya mendekat.

"Sana ke depan aja. Cuma bikin telur dadar kok." Trisha melirik Barra yang mematuhinya. "Ponsel kenapa nggak bisa dihubungi?"

"Lowbat."

"Hoo...tadi langsung ke sini? Kenapa nggak bareng yang lain? Ada tugas tambahan, ya?"

Barra meliriknya sebelum mengenakan kacamata. "Hujan tadi."

"Ya, terus?" tanya Trisha bingung.

"Ketiduran."

Trisha menatapnya dengan jengkel, teringat bahwa dia bahkan nyaris menangis beberapa saat yang lalu.

"Coba, Bar." Sasa meneruskan omelannya saat mereka di meja makan. "Tentang keluarga gue, gue yakin pertanyaan itu nggak akan kelar kalaupun gue udah nikah. Besok, gue pasti ditanya, 'kenapa belum punya anak?', 'lho, anaknya baru satu? Nggak niat nambah?' , 'Ya ampun, punya anak kok jaraknya dekat-dekat gini, jadi susah kan ngurusnya'. Dan itu nggak cuma satu dua kali. Boleh nggak sih, kalau gue jadi males ketemu keluarga gue sendiri?"

"Nggak usah pergi kalau nggak mau."

"Penginnya begitu. Tapi nggak boleh sama Mama." Trisha merengut. "Gue paham, kok. Di satu sisi, kita juga butuh menjaga tali silaturahmi. Tapi terkadang, pertanyaan-pertanyaan begitu bikin gue nggak nyaman. It's just...nanti gue pasti dibanding-bandingin sama sepupu yang udah nikah. You know? It is uncomfortable."

"Jadi, maumu?"

Trisha mengangkat bahu. "Tetap datang. Mau gimana lagi, kan? Sekalian pulang juga. Dua bulan nggak pulang."

"You'll get through it, then."

"Jelas!" sahut Trisha percaya diri. "Lo udah mulai mikirin pernikahan, Bar?"

Barra mengangkat wajahnya, membuat Trisha bisa menatap sepasang iris coklat yang bernaung di bawah alisnya.

Trisha mengangkat bahu. "Tentang pendamping hidup, istri, keluarga, semacam itu? You are twenty nine."

Barra kembali menunduk. "Udah."

"Terus?"

"Nggak ada terusannya."

Trisha mengamati Barra sambil menggoyang-goyangkan kakinya. "Lo nggak pernah dating."

"Itu jadi dosa sekarang?"

"Ya nggak sih." Trisha tiba-tiba menyadari bahwa saat ini, dia tidak berbeda dengan Sherly tadi siang. "Cuma... siapa tahu lo pernah dating tapi gue nggak tahu--"

Trisha mendelik ketika lagi-lagi, Barra menjapit bibir Trisha dengan jemarinya.

"Penasaran sekali," gumamnya datar. "Makan, Sa."

"Isshh!" tukas Trisha ketika Barra melepaskannya.

"Gue masih banyak PR," ucap lelaki itu.

"Apa? Happyhouse udah mulai stabil, kan?"

"Happyhouse bukan satu-satunya."

Kegemasan Trisha melesat hingga ke ubun-ubun. Tapi Trisha lebih gemas pada otaknya yang mendadak begitu penasaran dengan kehidupan asmara Barra.

Tapi kan, Barra memang begitu. Selain wajahnya yang sedatar tripleks, sikapnya pun bisa sekaku batu arca. Paling banter, lelaki ini akan berubah jadi es batu ketika sedang murka. Manusia di depannya ini, adalah manusia paling miskin ekspresi yang pernah Trisha kenal. Seolah Semesta mengamini profil seorang Barra, lelaki itu juga alergi serbuk sari. Coba, mana bisa dia bertingkah romantis macam lead male drama korea atau para hero di manga-manga shoujo?

Selama Trisha mengenalnya, lelaki itu tidak pernah berkencan. Maksudnya, mereka hampir melihat satu sama lain setiap hari, sejak mereka bertemu pertama kali. Mereka bersekolah di SD, SMP dan SMA yang sama, bahkan satu kampus meskipun mengambil peminatan yang berbeda.

"Ra, ada satu misteri alam semesta yang belum gue pahami sampai sekarang," celetuk Trisha. Selesai makan, gadis itu duduk di samping Barra dan memeluk bantal sofanya. "Cowok kalau mandi itu sebentar, tapi kenapa wanginya ngalahin cewek? Itu nggak adil. Rahasianya apa?"

Barra melirik Trisha yang menatapnya ingin tahu, lalu mendorong dahi Trisha agar jauh-jauh dari berkasnya. Gadis itu mencebik dan menyalakan televisi.

"Menurutmu, gimana kalau gue mulai serius tentang pasangan hidup?"

"Doesn't matter," ucapnya sambil mulai menggoreskan pensilnya.

"Hm...begitu."

"Hati-hati dengan laki-laki."

"You're a man, Mahesa Barrachandra."

"I am."

Jawaban itu membuat Trisha mengangkat alis. Ia mendekati Barra dan bertopang dagu. "Apa gue perlu hati-hati sama lo? Hm? Hm? Ugh, Barra berbahaya! Sasa ketakutan!"

Barra kembali mendorong dahi Trisha agar menjauh. Gadis itu terkekeh sebelum mengempaskan diri di punggung sofa, sementara Barra sudah sibuk dengan busur dan jangkanya untuk menggambar sketsa sebuah bangunan, dengan rumus-rumus kecil tertulis di sampingnya.

Trisha langsung pusing.

"Jadi, gue udah dibolehin jalan sama cowok?" gumam Trisha mengalihkan tatapan dari rumus-rumus neraka itu.

"Gue nggak pernah melarang lo punya pacar."

"Ha!" Trisha bersedekap. "Lo pernah bikin Erik trauma sama gue selama satu semester!"

"Mengharapkan cowok macam Erik?"

"Ya nggak, sih..."

"Lalu masalahnya di mana?" balik Barra, kali ini menatapnya tajam. "Lo perlu hati-hati, Sa. You need to make sure if he is good man or not."

"Kalau dia laki-laki yang baik?" balik Trisha keras kepala.

"It is good, then."

"Bagus, iya kan? Punya pendamping hidup yang baik memang hal bagus. Contohnya Mama sama Papa." Trisha mendengkus dan kembali memeluk bantal, merasa kurang suka dengan jawaban Barra. "Bar, tanggal lima belas besok ada acara nggak?"

"Kenapa?"

"Bisa temenin gue ke nikahan teman? Anak-anak yang lain pasti udah ada barengan."

"Hm."

Trisha mengerutkan kening. "Nggak cek jadwal dulu?"

"Lima belas, noted."

Gadis itu tersenyum lebar. "Thank you."





*TBC*

Selamat soree,

Please be healthy, be happy, and be safe.

Luv yuu ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro