BAB 19. Wejangan Nora
Pikiran Trisha mendadak kosong. Detik berikutnya, Trisha menarik pipi Barra kuat-kuat.
"Jangan. Ngomong. Macam. Macam," desis Trisha gemetar.
Lelaki itu mengamati Trisha dengan tatapan yang sulit dimengerti. Sebelum tanpa kata, Barra mengangkatnya ke meja buffet di samping mereka hingga Trisha terkejut. Lelaki itu menumpukan tangan di kanan dan kiri Trisha, lalu menunduk dalam seraya mengembuskan napas panjang.
Dari jarak sedekat ini, Trisha kembali menyadari betapa berantakannya Barra. Gadis itu meraih tisu dan menyeka keringat di pelipis lelaki itu.
"Pulang, Bar," ucap Trisha. "Lo capek banget sampai ngomong ngaco begitu. Seputus asa apa sih sampai segitunya jadiin gue tameng? Amira maksa banget, ya? Gue perlu ngomong sama dia? Biar gue kasih paham dia, hm?"
Barra mengangkat wajahnya. Matanya sedikit merah hingga Trisha mengusapnya cemas.
"Capek gini lho, Bar. Pulang, tidur!"
Namun Barra justru meraih kursi dan duduk di hadapan Trisha, meraih kaki gadis itu dan memijitnya lembut.
"Proyek belum selesai. Gue harus balik ke Bali besok pagi."
"Hah?" Trisha membelalak. "Terus ngapain lo ke sini?"
"Make sure you're okay."
Gadis itu mendengkus meskipun matanya memanas. "Lo kan punya ponsel."
"Lo yang nggak punya ponsel," balik Barra.
"Ya habisnya--" Trisha merengut. "Memangnya kalau gue bawa ponsel, lo bakal tanya kabar gue? Nggak, kan? Lo pergi aja gue nggak tahu!"
"Jadi maumu gimana?"
"Gue--" Trisha berdeham kala suaranya bergetar. "Gue mau banyak hal, tapi kayaknya itu nggak mungkin. Jadi jangan khawatir, gue oke kok. Nginep sini aja deh, Bar. Udah malem banget ini."
"Lo satu-satunya orang yang merasa kalau itu nggak mungkin," ucap Barra tenang.
"Memangnya lo tahu apa yang gue mau?"
"Sure."
Trisha mendengkus. "Dari mana? Lo bisa baca pikiran?"
"Sasa baru saja menunjukkannya, untuk kesekian kali." Barra menurunkan kaki Trisha dengan hati-hati. "Punya koyo?"
Rasa penasaran Trisha tergusur oleh pertanyaan Barra. Gadis itu mengangguk dan turun dengan hati-hati. "Thank you. Sebentar, gue ambilin selimut. Nggak mandi dulu?"
"Gue nginep di Happyhouse."
"Eh, jangan!" Trisha menahan kemeja Barra. "Kalau butuh apa-apa gimana? Lo kelihatan berantakan banget, tahu! Mending jangan sendirian, deh."
"Sasa," Mata lelaki itu kian memerah. "Gue udah berusaha menepikan diri dan kasih semua kesempatan yang ada, tapi kali ini gue nggak bisa lagi. I've reached my limit. What do you think about us?"
"Eh, kita--kenapa?" Trisha mendadak merasa takut.
"You and me, Sasa. Be my wife, will you?"
Pegangan Trisha di kemeja Barra terlepas.
"Take your time. Gue ke Happyhouse, dan jangan pernah lupa bawa ponsel lagi."
Degup pelan pintu yang menutup membuat Trisha mengerjap. Barra sudah tidak ada di apartemennya. Tangan yang sedari tadi kaku di udara kini terkulai di sisi, dan Trisha mulai merinding hebat.
==
"Hasil audit udah keluar?"
Suara Leo membuat Barra menoleh. Lelaki yang masih mengenakan baju batik itu menerima berkas dari Barra dan duduk di hadapannya.
"Sasa...baik-baik aja?" Leo berkata sambil membaca laporan audit di tangannya.
"Hm."
Leo melirik Barra yang terlihat sedikit berantakan. "Dari mana lo tahu kalau kami selesai?"
Sebab tadi, tiba-tiba saja lelaki itu menelfon Leo. Tanpa basa-basi, dia bertanya apa alasan Leo dan Trisha selesai.
"Jawabanmu di foto nikahan kakakmu."
Leo mengangkat alis. Pagi tadi sebelum semuanya terjadi, dia memposting foto keluarga besar dengan Trisha di dalamnya. Gadis itu terlihat begitu cantik dan bersinar.
DennyRahasta Selamat menempuh hidup baru sepupu @AristaW. @LeoHa mau sampai kapan Sasanya digotong-gotong? Lamar dong, Dek!
LeoHa @DennyRahasta Just broke up, dude. don't bring her up."
Dan kolom komentar menjadi sangat heboh.
Niat itu serius. Ia sudah mengantongi kotak cincin sewaktu mengantar Trisha pulang. Rasa takut ternyata membuat Leo begitu tergesa. Dia ingin memiliki gadis itu secepat mungkin. Pertama, karena dia memang sangat menginginkan Trisha. Kedua, agar dia tidak lagi merasa terintimidasi oleh keberadaan lelaki di hadapannya. Hanya saja, semuanya tidak berjalan seperti yang ia inginkan.
"Gimana bahumu?" tanya Leo akhirnya.
"Baik."
"Sasa tahu?"
"Barusan."
Insiden Barra yang tertimpa balok kayu itu sudah lima hari lalu. Hanya sobekan ringan, tidak sampai dirawat. Tapi Leo sengaja tidak memberitahu Trisha. Dia tidak ingin perhatian gadis itu teralih. Semakin digenggam semakin sakit, itulah Trisha baginya.
"Lo nggak kontak sama dia selama di Bali?" tanya Leo curiga. "Kalau iya, dia sudah pasti kalut banget."
"Gue menghormati keputusannya," ucap Barra. "Gue menghormati kalian. Lo sama Sasa mau mencoba, go on, then."
"Ternyata nggak berjalan baik. Dan kenapa lo bilang 'menghormati keputusan kami' ?" Leo bersedekap. "Lo tahu, gue udah lama punya asumsi. Now let's make it clear. Lo suka dia?"
"Iya," sahut Barra hingga Leo terbungkam sesaat.
"You love her, as a man loves a woman," ulang Leo, yang benar-benar ingin mengintip isi hati rekannya kali ini.
"Ya," jawab Barra kalem.
"Sasa tahu?"
"Barusan."
Leo terdiam sejenak. "Lo suka Sasa, tapi lo biarin dia nyoba sama gue. Sehat?"
Barra membalas tatapan Leo dalam diam selama beberapa saat, lalu menjawab, "Lo orang baik."
Leo terkekeh garing. "Lalu kenapa lo baru bilang sekarang? Barra, seriously! You made me look like a clown, man!"
"Gue punya alasan gue sendiri untuk tetap diam selama ini, dan gue nggak pernah anggap lo begitu," gumam Barra. "Selama dia belum sama gue, lo punya hak kalau mau memperjuangkan dia. Trisha mau mencoba, itu juga haknya. Sekarang setelah semuanya jadi begini, gue rasa gue nggak bisa menahan diri lagi."
"Seriously, dude!" Leo tertawa kaku. "Lo terlalu banyak pertimbangan!"
"Because I love her."
Jawaban singkat Barra membuat Leo berhenti tertawa. DIamatinya Barra yang masih membaca berkasnya dalam diam seperti biasa.
"Yah, Paling nggak, lo masih punya sopan santun dengan nggak menginterupsi kesempatan gue yang udah setipis rambut. Dugaan gue benar, dua-duanya. Sepertinya gue harus bersyukur sama keputusan Sasa tadi siang, karena gue cenderung nggak bisa berhenti. Tapi baguslah kalau begini. Nggak ada lagi celah yang bikin gue berharap."
"Hm. Jangan berharap lagi," timpal Barra.
Leo mendengkus. "Besok mau ke proyek jam berapa?"
"Gue balik ke Bali besok pagi." Barra meraih gawainya untuk memeriksa tiket. "Jam lima, jadi gue nggak sempat ke mana-mana."
"Ini nggak balik?" Leo mengamati rekan kerjanya. Barra tampak lelah. Warna kehitaman samar membayang di bawah mata, dan kemejanya kusut sekali. "Lo baru sampai sore tadi...dude, what are you doing?"
"Ngelamar Sasa."
Leo mengabaikan perih di dadanya dengan tabah. "Lo berantakan. Itu baju udah dari tadi pagi?"
"Kenapa memangnya?"
"Lo...jangan sekali-kali nerima klien dengan penampilan seberantakan itu!" tukas Leo. "Gue pamit dulu."
"Sebentar. Yo, ini buat kakakmu." Barra meletakkan sebuah bingkisan kecil di hadapannya, membuat Leo mengerutkan kening. "Maaf, gue nggak bisa datang di nikahan Arista."
"Nanti gue sampaikan, thank you. Mau pulang?"
Barra menggeleng. "Gue nginep sini. Lebih dekat ke bandara."
"Oh. Nggak nginep di apartemennya Sasa?"
Barra melemparkan pulpen padanya, namun Leo berkelit sambil tertawa kali ini.
"Kenapa? Bukannya kalian teman?"
"Keluar!" titah Barra dingin.
"Sekarang gue tahu kenapa lo sering nginep di Happyhouse!" Leo tertawa. "Sekarang gue tahu!"
Wajah lempeng itu hanya menatapnya datar hingga Leo keluar ruangan dengan geli.
Sudahlah, lawannya terlalu tangguh kali ini. Menginterupsi mereka sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Leo menatap dua bingkisan di tangannya, lalu tertawa lagi. Lawan yang tetap menganggap Leo sebagai teman. Menyebalkan.
==
"SASA!"
Ya?" Trisha tersadar. "Kenapa, Mas?"
"Kamu jelas nggak menganggap rapat ini penting." Dion berkata dingin. "Keluar, Sa. Panggil Bastian."
Hati Trisha mencelos. "Maaf, nggak lagi. Ilustrasinya--"
"Kosong, datar, tanpa suara, palet berantakan. Ilustrasimu mirip gambar anak TK," kata Dion yang menatap Trisha seperti vampir menatap mangsanya. "Ngomong-ngomong. Kemarin Barra menelfon saya. Kamu nggak angkat ponselmu, nggak ada di apartemen, dan nggak ada di kantor. Saya sampai telfon anak-anak, tapi kamu nggak ada di mana-mana. Kamu balik ke Venus?"
Trisha kembali mengingat puluhan panggilan dan pesan di gawainya. Juni bahkan berkata bahwa dia nyaris pergi ke apartemennya. Barra benar-benar menghubungi siapa saja.
"Maaf. Ponselku ketinggalan kemarin," ucap Trisha benar-benar merasa bersalah.
"Sama sekali nggak bijaksana," ucap Dion tegas. "Bagaimana kalau ada tugas dari saya tapi kamu nggak bawa ponselmu? Pekerjaan penting bisa sangat tertunda."
"Maaf, Mas Dion. Lain kali nggak lagi."
"Beri janji itu untuk Barra juga. Sepertinya dia lebih perlu dibanding saya. Dan kamu, jangan pernah kembali sebelum kamu selesaikan apapun masalahmu. Kalau masih kacau setelah ini, kamu keluar dari proyek Athena. Saya nggak cuma butuh ilustrator handal, saya juga butuh ilustrator yang profesional. Panggil Bastian, Sa. Sebelum kamu selesai dengan apa pun itu, pekerjaanmu akan dipegang Bastian."
"Maaf—tapi aku bisa—"
"Bastian, Sa."
"Jangan terlalu keras, Yon. Kamu dari dulu nggak pernah berubah," tegur seorang perempuan berambut panjang yang duduk di samping Dion. Athena tersenyum ramah pada Trisha. "Saya suka ilustrasimu. Saya harap kamu bisa menyelesaikan apa pun itu agar kita bisa bekerja sama lagi. Now, take your time."
Kalimat terakhir Athena segera mengingatkan Trisha pada Barra hingga gadis itu mengerang tanpa sadar. Dion melotot.
"Nggak kok, bukan karena Athena. Aku--maaf semuanya." Trisha buru-buru pergi ke ruangannya. "Bas, dipanggil di rapat Athena."
"Gue?" Bastian berpaling dari layar komputernya. "Ngapain? Kan lo ilustrator yang pegang Athena."
Trisha hanya menggeleng lelah. "Mas Dion marah. Tolong ke sana, Bas. Please."
Bastian mengernyit, tapi akhirnya beranjak juga.
"Kenapa?" tanya Bastian saat Trisha tiba-tiba meraih kemejanya. "Ck! hari ini lo kenapa, Sa? Tiba-tiba jadi aneh banget, tahu!"
"Gue--" Trisha melepaskan kemeja Bastian. "Nggak, nggak apa-apa. Sini gue gantiin kerjaannya."
Bastian mengangkat bahu, lalu kembali berjalan ketika lagi-lagi Trisha menahan kemejanya.
"Apa?" geram Bastian. "Lo ngefans sama kemeja gue apa gimana?"
Trisha menggaruk lehernya dengan linglung. "Bas, Nganu--be my wife."
Bastian terdiam sesaat, lalu nyengir malu-malu. "Sure. I'll be your sexiest wife, beb. Why not?"
Trisha mengerang frustrasi. "Nggak--ini...di skenario novel. Ini...apa artinya? Gue harus gimana? Gue harus--harus apa?!"
Kening Bastian makin berkerut, namun ia segera mengusap dagu, tampak menimbang-nimbang. "Karena itu jelas kode ngelamar--sumpah, ini anak kenapa, sih?"
Trisha menatap Bastian dengan ngeri. "Ngelamar?"
"Makanya jangan kebanyakan baca novel aja. Feel it, Sa. Feel it! Lo tuh sering baca romance tapi miskin romansa!" kecam Bastian kejam. "Jelas-jelas itu kode ngelamar. Lo bisa pakai ilustrasi klasik macam cincin, atau proposing scene. Itu, kalau lo mau bikin ilustrasi mentah-mentah dari judulnya. Tapi biasanya lo akan punya gambaran lebih jelas kalau baca isinya. And for God's sake, what's wrong with you? Yang lo tanyakan itu hal sepele. Lo yakin itu cuma skenario novel? Bukan lamaran dari pacarmu yang kemarin itu?"
"Bukan--udahlah! Sana ke ruang rapat!" tukas Trisha dengan perasaan tak keruan.
"Marriage proposal need to be answered properly. Mau itu skenario novel atau skenario kehidupan, jawab apa adanya, Sa. Tolak atau terima, lo perlu ngasih kepastian. Ini masukan dari gue sebagai cowok." Bastian berkata serius sebelum menelfon seseorang. "Beb, kayaknya Sasa emang dilamar sama yang kemarin itu..."
"Bas!"
Namun Bastian buru-buru keluar. "Mbak, kasih wejangan, tuh!" ucapnya saat berpapasan dengan Nora.
"Wejangan apa?" Nora mengernyit.
"Ada yang baru dilamar."
"Bas!"
Bastian terbahak. Samar terdengar obrolannya dengan Maura, yang membawa-bawa nama Trisha. Trisha tidak menggubrisnya. Sebenarnya, dia tidak punya waktu memperhatikan hal lain selain omongan Barra kemarin.
"Iya?" Nora menatap Trisha penuh suka cita. "Selamat ya, Sa!"
"Nggak--aku..."
Gawainya berbunyi, dan gadis itu langsung merasa panas dingin. Diawasinya saja panggilan dari Barra tanpa niat untuk mengangkatnya, lalu merasa bersalah saat panggilan itu berhenti. Tapi Trisha benar-benar bingung kali ini. Dia tidak siap menghadapi Barra. Dia tidak tahu harus bicara apa jika mereka bertemu.
Sebuah pesan pop up dari Barra tidak sengaja terbaca di layar gawai.
"Gue pulang. Nitip apa?"
Trisha mendesah keras dan mengempaskan diri ke kursi. "Kesempatan apa? Gue harus ngomong apa?"
"Ada yang bisa aku bantu?"
Trisha yang sedang menjambaki rambutnya, menoleh dengan terkejut. Ia lupa akan keberadaan Nora. Kini, ibu hamil itu menatap Trisha dengan alis terangkat.
"Baru dilamar, ya? Kamu bingung atau gimana?" Nora duduk di kursi Sherly. "Wajar, kok. Aku dulu juga sempat ragu waktu dilamar Bayu karena aku merasa kita kenal baru sebentar. Jadi, sini cerita. Mungkin ada yang bisa Mbak bantu."
Gawai Trisha bergetar lagi, dan Nora meliriknya kali ini. Trisha menatapnya tanpa daya, lantas meremasi tangannya saat panggilan itu berhenti.
Nora mengerlingnya. "Barra?"
"Dia--iya." Trisha menjawab dengan gugup. "Baru di Bali, jadi--"
"Yang melamar kamu itu, Barra?"
Pertanyaan Nora serasa menusuk kalbu Trisha. Gadis itu menatap Nora dengan kalut. "Aku harus gimana, Mbak? Aku harus apa? Dia tiba-tiba ngomong gitu--aku harus jawab apa?"
Nora mengangguk-angguk. "Apa yang kamu mau, Sa?"
"A--ku? Mbak, kamu nggak mengira ini hal yang aneh?"
"Nggak," jawabnya dengan mata berbinar. "Aku malah menduga hal ini akan datang ke kalian cepat atau lambat. Jadi, gimana ceritanya?"
Dengan buru-buru, gadis itu menceritakan dengan singkat apa yang terjadi kemarin, lalu mengerang kecil. "Aku harus jawab apa? Maksudku--aku nggak pernah nyangka dia bakal bilang begitu! Rasanya aneh, Mbak! Padahal, kami baik-baik saja selama ini. Lalu kenapa tiba-tiba dia bikin semuanya nggak enak begini? Aku--harus gimana?"
"Oh..." Binar di mata Nora semakin terang. "Pertanyaanku masih sama. Apa yang kamu mau, Sa?"
"Kenapa aku, sih?" tanya Trisha frustrasi.
"Karena kamu satu-satunya orang yang clueless di sini, Sa. Barra udah menyatakan niatnya. Dari yang aku tahu tentang dia, dia jelas bukan orang yang akan main-main dengan hal seperti ini. Dengan dia bilang begitu, bukankah dia justru membantu kalian memperjelas arah hubungan kalian?"
"Memangnya ada apa dengan hubungan kami?" sahut Trisha kalut. "Kami akan baik-baik saja. Kami tetap akan jadi teman sampai kapanpun."
"Hmm, begitu. Lalu, kamu mau apa kalau semisal Barra menikah sama orang lain?"
"Aku--kami akan tetap jadi teman--dengan beberapa batasan tentunya. Kalau kami sudah punya pasangan masing-masing, kami perlu menghormati batas-batas yang seharusnya ada, kan?"
"Jadi, kamu udah berpikir sampai di situ. Nggak pernah berpikir tentang sebaliknya? Alih-alih menjauh dan punya pasangan masing-masing, kenapa kamu nggak pernah berpikir tentang Barra yang jadi pasanganmu?" tanya Nora hingga Trisha terpaku.
"Dengan kamu yang menempatkan dia di atas segalanya, kamu yakin kamu nggak pernah punya keinginan yang sama? Atau sebenarnya, kamu nggak sadar kalau kamu punya keinginan yang sama?"
"Keinginan yang...sama?" Trisha merinding. "Tapi aku--"
"Sesimpel mau hidup bareng dia sampai akhir? Nobody compares to him? Nggak pernah kepikiran cowok selain Barra?" Nora bertopang dagu. "Kalau benar begitu, jawabannya cuma satu. Kamu jatuh cinta tanpa sadar."
*TBC*
Selamat hari minggu yaa. Enjoy your day
Luvv you
💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro