BAB 15. Siapa Tahu...
Langkah kaki Juni membuat Trisha tersadar bahwa dia menggambar sketsa Barra sejak tadi. Ia langsung melemparkannya ke tempat sampah tanpa basa-basi.
"Banyak pikiran?" tanya Juni yang kembali memilah berkas-berkasnya.
"Divisiku kekurangan orang akhir-akhir ini."
Gadis berkaus pendek itu mengikat rambut seadanya, beberapa helai rambutnya terjatuh lemas di kening dan leher yang ditempeli koyo. Baru pukul sepuluh pagi, namun Dion sudah menyerap jiwa Trisha seperti vampir yang rakus. Ia baru saja melepaskan Trisha setelah merecokinya sejak pukul tujuh pagi, lewat telepon.
Trisha mengambil kertas bekas lain dan mulai coret-coret tidak jelas. Ia sedang duduk santai di depan televisi bersama Juni yang sibuk memilah berkas-berkas kasusnya, sementara Guntur mengunci diri di ruang kerja.
Sub divisinya memang kekurangan orang. Nora cuti hamil, dan Mika baru akan kembali selasa besok. Belum lagi tugasnya untuk proyek Athena dan mengerjakan user interface untuk platform kepenulisan Renjana. Walaupun ini akhir pekan dan ia pulang ke rumah orangtuanya, bukan berarti Dion melepaskannya dengan sukarela. Trisha merasa akhir-akhir ini dia menua lebih cepat.
Padahal dulu waktu kecil, Trisha melihat kehidupan orang dewasa itu menyenangkan. Punya uang sendiri, bisa beli barang yang diinginkan, ramai dan punya banyak teman. Dia bisa seperti Juni yang memakai berbagai macam dress anggun dan menutupinya dengan blazer. Sekarang dia merasa masa kecil jauh lebih menyenangkan. Tidak perlu terlalu banyak pikiran, tanpa beban. Mungkin hal paling serius waktu Trisha kecil hanyalah Guntur yang memarahinya setiap Trisha ketahuan melompat pagar.
"Katanya capek, kenapa malah di sini? Sana istirahat aja."
Karena jika dia tidak melakukan aktivitas apa pun, isi kepala Trisha justru semakin membuatnya lelah. Namun Trisha hanya meringis pada Juni.
"Siapa itu?" Juni melongok saat bel pintu berbunyi. "Lihat coba, Sa."
Gadis itu beranjak ke depan, lalu matanya membulat. Trisha buru-buru mundur ke balik tembok untuk melepas koyonya.
"Hai," sapa Leo dengan cengiran khasnya. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, terlihat rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana jeansnya.
"Mas Leo, ada perlu apa?" tanya Trisha.
"Kebetulan ada proyek di dekat sini. Jadi kepikiran mampir, sekalian minta izin bawa kamu ke nikahan besok. Kamu udah bilang orangtuamu?"
Trisha menggeleng. "Rencanaku nanti bilangnya."
"Nggak masalah. Biar aku aja yang bilang. Jadi, apa ayah sama ibumu ada?"
"Ada. Tapi...Mas Leo tahu alamat rumah ini darimana?"
"Aku tahu lebih banyak tentang kamu daripada yang kamu duga, Trisha," jawab Leo ringan.
"Begitu? Aku merasa tersanjung." Trisha tertawa kecil. "Masuk dulu, Mas. Aku panggilkan Papa Mama."
"Tolong sambil bawa ini, Sa," ucapnya sambil mengulurkan sebuah paperbag.
"Eh...thank you. Ini apa?"
"Martabak. Aku nggak ngerti mama papamu suka martabak manis atau gurih. Jadi aku bawa aja dua-duanya," ucapnya canggung.
"Mereka suka semuanya, kok. Thank you ya. Masuk dulu, Mas."
"Siapa?" tanya Juni saat Trisha kembali ke dalam.
"Itu..., ada yang mau ketemu sama Mama Papa." Trisha berkata. "Sekarang, di depan. Papa harusnya udah break, kan?"
"Iya. Biasanya papamu chilling main solitaire jam segini." Juni menatap anak semata wayangnya dengan penuh ingin tahu. "Siapa sih? Bukan Barra, ya?"
Trisha menggeleng, lalu mengangkat bawaannya. "Martabak."
Alis Juni terangkat tinggi sekali, lalu terkekeh kecil. "Oh astaga, Mama panggil papamu dulu. Sana buatin minum."
Trisha pergi ke dapur, lalu tercenung sambil menatap martabak itu. Dengan Leo, semuanya terlalu tiba-tiba. Suka dengannya sudah lama, katanya? Jika itu benar, Leo menyembunyikannya dengan sangat baik. Atau dia saja yang tidak peka? Tapi...selama ini Trisha menganggap Leo sebagai teman. Pria bertalenta dengan pembawaan yang santai dan sangat sabar menghadapi musim dingin macam Barra.
"Bagaimana kalau kita coba sebulan dulu?"
Itu bukanlah keputusan yang buruk. Sebuah perkenalan bisa membawa banyak hal. Siapa tahu...
Ya, siapa tahu.
Gadis itu kembali dengan minuman dan beberapa camilan. Leo adalah salah satu manusia paling santai yang dikenal Trisha, tapi ternyata Guntur tetap bisa membuatnya gugup meskipun ia bisa mengatasinya dengan baik. Padahal papanya hanya menatap Leo lekat-lekat di balik kacamatanya. Hanya Juni yang duduk santai dan menanggapi dua lelaki itu dengan wajar.
"Silakan dicicipi, Nak." Guntur menawarkan camilan pada Leo. "Jadi, Nak Leo ini kenal Trisha karena bekerja di Happyhouse?"
"Betul, Om," jawab Leo ramah. "Trisha cukup sering main ke Happyhouse."
"Mas Leo co-founder Happyhouse, Papa," sambung Trisha.
Guntur mengangkat alis. "Begitu rupanya."
"Tadi kemana sebelum ke sini? Ada acara di daerah sini?" tanya Juni basa-basi.
"Klien saya kebetulan tinggal di daerah sini," ucap Leo.
"Klien?" tanya Guntur.
"Kebetulan, saya arsitek." Leo menyerahkan sebuah kartu nama pada Guntur dengan sopan.
"Begitu. Jadi, ada keperluan apa kemari?" tanya Guntur akhirnya. "Mau main catur sama saya?"
Trisha menatap papanya gemas, namun Leo justru menyambutnya dengan antusias.
"Dengan senang hati. Saya masih punya dua jam lagi sebelum menemui klien yang lain."
Guntur menatapnya tajam, sementara Juni mengamati keduanya dengan penuh minat.
"Tapi Om dan Tante, sebelumnya saya ingin meminta izin untuk mengajak Trisha ke pernikahan salah satu teman saya," ucap Leo. "Jika diizinkan, saya akan menjemput Trisha besok pukul delapan."
Keheningan yang canggung menyelimuti Trisha hingga gadis itu bergerak tidak nyaman.
"Ke daerah mana?" tanya Guntur.
Leo menjawabnya dengan ramah, yang membuat Guntur melirik Trisha.
"Dengan siapa saja? Atau hanya berdua?" tanya Guntur lagi.
"Ada dua teman saya yang akan ikut di mobil kami nantinya."
Guntur menatapnya lama. Sorot mata di balik kacamata itu tampak waspada dan penuh penilaian.
"Pastikan kamu mengemudi dengan hati-hati," ucap Guntur akhirnya. "Silakan diminum, Nak. Mari main catur setelah ini. Tapi jangan pernah menganggap bahwa mengalah dengan sengaja akan menjadi taktik bagus di permainan kita. Sepakat?"
Dan begitulah akhirnya mereka menghabiskan waktu satu jam kemudian. Juni meninggalkan berkasnya, lantas mengajak Trisha merawat pohon-pohon mawar yang perlu di-stek. Sementara di sisi teras lainnya, Guntur dan Leo saling beradu buah catur dengan serius. Guntur terlihat masih kaku, namun Leo mampu menanggapinya dengan santai.
"Jadi," Juni memulai kala Trisha memotong salah satu tangkai. "Ada yang mau diceritakan sama Mama?"
"Selain fakta kalau Sasa sayang sekali sama Mama, sepertinya nggak ada," sahut Trisha.
Juni berdecak kecil. "Leo kenal Barra, kalau begitu."
"Yep. Apa tanggapan Mama?"
"Dia cukup sopan karena meminta izin untuk membawamu pergi." Juni melirik Leo, yang menerima skakmat dari guntur di pertandingan pertama mereka. "Dia bisa mengimbangi permainan catur papamu."
"Mama, seriously?" Trisha memutar bola mata, sementara Juni tersenyum kecil.
"Apa? Nggak ada salahnya mengamati itu, kan?" sahut Juni. "Papamu suka sekali ngobrol serius sambil main catur. Pertanyaan tadi, seharusnya bukan apa-apa dibanding sesi wawancara yang sekarang, Sa."
Trisha mencuri pandang pada kedua lelaki itu. Kata Guntur, catur bisa membantunya membaca kepribadian seseorang. Mulut bisa berbicara apa pun, tapi mental dan tekad seseorang hampir pasti tercermin jujur dalam setiap langkahnya bermain catur. Bukan tanpa alasan Guntur memberi peringatan, karena Guntur paling tidak suka pada lawan main yang sengaja mengalah. Lawan main yang begitu, pasti langsung dieliminasi sejak awal.
"Gimana?" tanya Trisha yang duduk di samping Leo setelah lelaki itu meladeni Guntur selama satu jam belakangan. Kali ini, mereka duduk berdua di teras.
"Papamu jago. Aku harus lebih banyak belajar," ujar Leo nyengir. "Sasa juga bisa main catur?"
"Sedikit." Trisha mengangkat bahu.
"Apakah aku harus percaya?" Leo tertawa. "Sudah jam segini, aku pamit dulu, ya."
==
Lima menit lalu, Leo mengabari jika dirinya hampir sampai.
Trisha merapikan anak-anak rambut di kening, lalu memeriksa gelungan rambutnya. Gadis itu terlihat segar dan cerah dengan sapuan lipstik di bibir. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi, tampak puas dengan dress batik abu-abu selutut yang membalut tubuhnya. Trisha meraih clutch-nya, dan keluar kamar.
Ia menyapa Leo yang duduk bersama Guntur di teras. Lelaki itu terpaku sesaat, lalu tersenyum hangat.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Guntur.
"Sebentar lagi, Om," jawab Leo.
Guntur bergumam entah tentang apa, lalu masuk ke dalam meninggalkan mereka berdua.
"Aku lupa tanya, ada dresscode-nya ya?" Trisha ganti duduk di hadapan Leo yang tampak rapi dengan kemeja merah marunnya.
"Ada," sahut Leo ringan. "Tapi jangan terlalu dipikirkan, Sa. Aku nggak mau kamu merasa terbebani. Aku udah bersyukur banget kamu mau aku ajak ke sana. Jadi, just be yourself. You're already awesome."
Trisha tersenyum kecil. "Terima kasih. Jadi, siapa ini yang nikahan?"
"Teman kuliah. Kami dulu satu kamar kos," ucap Leo.
Trisha mengangguk paham. Gadis itu hendak meneruskan kalimatnya, namun sebuah mobil yang baru saja memasuki pelataran rumah menyita perhatian Trisha.
Seorang lelaki berkaus abu-abu keluar dari sana, sejenak menatap Leo sebelum berjalan mendekat.
"Ada urusan sama Barra?" tanya Leo saat founder Happyhouse itu mendekati mereka.
"Nggak. Dia memang sering ke sini buat ketemu Papa Mama." Trisha menjawab. Leo mengangkat alis, namun tidak berkata apa pun.
"Bro," sapa Leo saat Barra memasuki teras.
"Yo. Mau pergi?"
"Nikahan teman," jawab Leo.
Barra menatap Trisha beberapa saat lamanya, lalu mengangguk singkat. "Hati-hati. Om Guntur di dalam, Sa?"
"Hu um. Gue panggil dulu?"
"Nggak perlu. Permisi." Lelaki itu mengusap singkat kepala Trisha saat melewatinya.
Trisha langsung merapikan rambutnya, mencibir sikap Barra yang penuh persetujuan. Coba saja saat Trisha bersama Prima. Anak itu langsung berubah jadi kyuubi dalam hitungan detik.
"Kenapa, Mas?" Trisha bertanya pada Leo yang ternyata menatapnya sedari tadi.
"Barra sering kemari?"
"Cukup sering. Mungkin dua-tiga kali seminggu."
"Sesering itu?"
Pertanyaan Leo mengingatkan Trisha pada pertanyaan Prima dulu, dan kata batas bergaung di telinga Trisha sekali lagi.
"Iya," jawab Trisha. "Mas lihat rumah yang di sebelah? Itu dulunya rumah Barra."
Leo tersenyum. "Kalian benar-benar sering menghabiskan waktu bersama."
"Dia ke sini buat ketemu Papa, Mas." Trisha terkekeh kecil. "Aku pulang kalau weekend aja."
Senyuman Leo semakin dalam. Ia mengamati gadis cantik itu dengan sorot hangat sebelum berkata, "Kita mendadak sekali, ya?"
Kekehan Trisha memudar dalam kecanggungan.
"Tentu saja mendadak buat kamu, Sa. Dari sudut pandangmu, aku cuma orang luar." Leo berkata sambil mengamati pohon-pohon mawar yang baru saja di-stek. "Tapi buatku, semuanya nggak pernah semendadak ini. Aku mengamati kamu cukup lama. It's just--aku senang kamu mau mengambil waktu satu bulan itu."
Leo menatap Trisha yang tidak mempunyai kalimat untuk menjawabnya, namun lelaki itu nyengir lebar. "Kita berangkat sekarang?"
==
Matahari pagi bersemu malu, semburat jingganya terpantul sempurna pada permukaan danau buatan yang dikelilingi sebuah jogging track. Pepohonan rindang berjajar di sisi jogging track, tampak rapi dan terawat. Embun masih menggantung di ujung rerumputan, menahan aroma petrichor yang memanjakan paru-paru.
Hari masih muda, namun lelaki dua puluh sembilan tahun itu sudah memutari jogging track lebih banyak daripada biasanya. Napasnya terengah tajam, dadanya panas, leher dan kausnya bermandi keringat, namun ia berlari lagi dan lagi.
Fokusnya kembali saat seorang anak kecil menyenggolnya. Barra meraih lengan si anak agar tidak terguling jatuh. Anak kecil itu meminta maaf dan berterima kasih, lantas mengejar temannya sambil tertawa-tawa.
Barra membuang napas seraya menyugar rambutnya yang basah. Manik coklatnya mengawasi riak kecil yang berkejaran di tengah danau. Ia meraih gawainya, dan kembali membaca sebuah pesan.
Sepertinya kesempatan yang kamu paksakan tidak berhasil.
Menyerah saja.
Kamu tidak akan bisa.
Barra membacanya berulang kali, lalu mengantongi gawainya untuk kembali berlari hingga matahari meninggi.
*TBC*
Selamat siang, sudah adakah teori-teori yang bermunculan?
Mau naik kapal yang mana?
Leo,
Barra,
atau Pakbos Dion?
😶😶
Please be happy, be healthy, be safe yaa
I luv yuuu
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro