BAB 11. Bintang Lambesiso
Sepuluh menit berlalu tanpa ada suara di antara mereka. Ruang rapat masih hening, dan Prima menghindari tatapannya sejak tadi. Prima tidak berhutang penjelasan apa pun padanya, sungguh. Maka gadis itu berdiri.
"Aku duluan, Mas."
"LDR membuat semuanya berubah." Gumaman Prima membuat Trisha menoleh. "Terlalu banyak kehangatan yang hilang dari hubungan kami."
"Lalu, apa hubungannya sama aku?" ucap Trisha gagal menahan diri. Demi Tuhan, rasa malu dan tidak terima yang luar biasa itu kembali menggelegak." Dan kenapa ada Mas Prima di dating app? You're engaged."
"Apa salahnya?"
Trisha menatapnya tidak percaya.
"Sasa, saya nggak niat selingkuh. Saya cuma kepingin ketemu orang baru, refreshing. Sebelum kamu, saya sudah ketemu orang lain di sana. Kami cerita tanpa saling ketemu, tanpa harapan apa pun yang membebani. Kami ngobrol banyak hal, pemenuhan kebutuhan intelektual yang nggak bisa saya dapatkan dari Faya. Tapi tiba-tiba dia off lama, jadi kami selesai. Menemukan pasangan hidup bukan satu-satunya motivasi orang untuk main dating app, Sa. Banyak orang yang sekadar cari teman sharing di sana, senang-senang atau seperti saya, sekadar beristirahat dari hubungan yang membosankan. Hal seperti itu bukan lagi hal aneh."
Sekali lagi, gadis itu berusaha memahami seperti apa pria yang tengah duduk di hadapannya.
"Dan kita bertemu," ucap Trisha singkat.
"Yah, tentang kamu, itu sedikit berbeda." Tiba-tiba lelaki itu mengusap belakang kepalanya dengan canggung. "Karena saya suka kamu dari hari pertama kita bertemu. Makin ke sini, kamu makin menarik di mata saya. Saya berusaha menahan diri karena saya sudah punya tunangan."
"Seharusnya memang begitu," balas Trisha dingin.
"Tapi ternyata kita ketemu di dating app, dan waktu-waktu yang kita habiskan bersama membuat perasaan saya semakin nggak terbendung. Sama kamu, saya merasa jadi diri saya sendiri. Kamu lucu, ceria, pendengar yang baik dan bukan orang yang gampang menghakimi. Sama kamu juga, saya bisa ngobrol banyak hal. Saya nyaman sama kamu. Jadi saya berpikir untuk mulai memperjuangkan kamu dan mengakhiri pertunangan dengan Faya begitu saya sudah siap. Karena dengan Faya, saya sudah nggak ada rasa lagi."
Trisha mengerjap. "Oh, wow."
Prima tersenyum. "Maaf jika saya sudah mengacaukannya di awal-awal hubungan kita. Tapi Sa, saya serius sama kamu."
Gadis itu menatap Prima yang dagunya masih membiru. "Mas Prima dan Faya, kalian sudah bersama berapa lama?"
"Tiga tahun," jawab Prima. "Kami bertunangan lima bulan lalu. Tapi itu sebelum hubungan kami menjadi dingin. Dan Sasa, kalau itu yang bikin kamu keberatan, saya jamin itu nggak perlu. Saya sama Faya juga belum menikah. Nggak ada yang salah jika kita memulai semuanya sekarang."
"Dan apa yang Mas harapkan dari hubungan kita nantinya? Kalau suatu saat hubungan kita jadi dingin, Mas Prima akan pergi ke dating app buat refreshing, begitukah?"
Kilat keterkejutan melintas di mata Prima. "Maksud saya bukan begitu."
"Tapi itu yang aku pelajari barusan. Kamu bosan, kamu main dating app untuk refreshing," balik Trisha.
Prima terdiam beberapa saat. "Jadi, tawaran saya tadi ditolak?"
"Of course, yes. Kamu masih tunangan orang lain, Mas. Dan meskipun kamu bilang hal seperti itu lumrah, aku tetap punya batas-batasku sendiri. Caramu lari dari masalah, itu sudah jadi bendera merah buatku." Trisha meraih tasnya dan berdiri. "Aku pikir, semua hubungan pasti punya titik jenuh. Pada suatu titik, kamu pasti akan menemukan kekurangan pasanganmu dan menemukannya di wanita lain. Jika kita bersama pun, kita mungkin akan punya fase itu nantinya. Tapi menurutku, lari nggak pernah jadi solusi. Aku pikir yang bisa menyelamatkan hubungan kalian, ya kalian sendiri. Mas bisa mulai duduk bareng Faya dan membahas ini sampai tuntas. Kalau perlu, pergi ke psikolog untuk cari solusi. Apa pun hasilnya nanti, aku rasa kalian perlu melewatinya dengan berani."
Mata dan hidung Prima kini memerah. Trisha menghela napas panjang demi mengurai sakit hatinya, lalu pamit dengan sopan. Gadis itu berjalan ke pintu, melotot pada pintu yang ternyata tidak tertutup rapat. Astaga! Semoga tidak ada yang mendengar obrolan mereka.
Tapi begitu gadis itu keluar, dia tahu doanya tidak terkabul.
Faya, dengan wajah yang sudah penuh air mata, melepaskan diri dari cengkraman Dion. Murka, kecewa dan putus asa terbaca di matanya saat ia menatap Trisha tanpa kata.
"Itu benar?" bisiknya terisak. "Kamu nggak tahu kalau Mas Prima sudah bertunangan?"
Trisha menggeleng meskipun ia tetap waspada.
"Aku sama sekali nggak tahu kalau dia merasa begitu, Yon," isaknya. "Akhir-akhir ini kami memang sering bertengkar, tapi aku nggak pernah tahu--aku pikir dia tertekan karena pekerjaannya."
"Dia di dalam. Kalau mau bicara, sekarang waktunya, Fay." Dion berkata sambil memberi tanda pada Trisha untuk segera pergi. Namun Faya menahan tangannya.
"Maaf," bisiknya terbata. "Dan--dan terima kasih karena sudah berkata seperti itu pada Mas Prima."
Faya masuk, dan Dion menutup pintunya.
"Mari beri mereka privasi," ucapnya memberi isyarat pada Trisha untuk mengikutinya.
"Bicara begitu sementara kalian menguping pembicaraan kami. Awesome," gumam Trisha.
"Faya tiba-tiba muncul di sini. Tapi jujur, saya kaget kamu bisa ngomong begitu. Bukannya kamu belum pernah pacaran?"
"Seriously, Mas?" jawab Trisha agak jengkel. "Belum pernah pacaran bukan berarti aku harus sepolos bayi. Apa yang dilakukan Mas Prima tampak salah di mataku."
"Kamu belum banyak melihat dunia, Sa."
"Terus, aku perlu memaklumi sesuatu yang salah cuma karena banyak orang yang melakukannya?" Trisha tertawa getir.
"Pertanyaan bagus," ucap Dion. "Tapi lucu juga, fakta bahwa kalian berkencan tanpa ada orang kantor yang tahu. Bahkan saya pun nggak tahu."
"Apa Mas Prima sengaja merahasiakannya?" Trisha bertanya balik. "Maksudku, aku nggak tahu. Aku pikir dia lajang."
"Hm. Faya bekerja di Surabaya. Nggak banyak yang tahu tentang hubungan mereka." Dion berkata. "Tapi kamu nggak belajar sesuatu dari tadi malam?"
Trisha mengerutkan kening.
"Seseorang datang dan bertanya sama saya tentang Prima," ucap Dion. "Dengan tergesa, dia ingin tahu seberapa aman pria yang sedang berkencan sama kamu. Nggak merasa perlu belajar sesuatu?"
"Barra?" Trisha terkekeh. "Dari dulu dia memang begitu, Mas. Ini bukan pertama kalinya."
"Hm, begitu? Atau kamu memang masih sepolos bayi untuk hal-hal tertentu?"
"Hm?"
Dion melirik Trisha dan menyelipkan tangan ke saku. "Draft untuk jadwal buku bulan depan, lima belas menit lagi, Sa. Dan tolong, kuatkan hati untuk beberapa hari ke depan."
Seluruh aktivitas berhenti kala mereka membuka pintu. Semua wajah kini tertuju pada Trisha, yang langsung merasa malu luar biasa.
Apa ini? Bagaimana mereka bisa tahu?
"Jangan dipikirin, Sa. Gue percaya." Meera, salah satu editor senior itu tersenyum lebar, disusul oleh anggukan dan senyum mendukung dari editor yang lain.
Trisha tersenyum canggung dan cepat-cepat pergi ke ruangannya sendiri. Tapi melihat Bastian, Sherly, Nora dan Mika menatapnya seperti melihat orang asing, gadis itu langsung merasa dingin.
"Jadi, lo beneran jalan sama Mas Prima, Sa?" tanya Mika tidak enak hati. "Gue kira waktu itu lo udah nolak."
"Lo tahu ini, Mik?" Bastian menoleh cepat.
Mika hanya mengangkat bahu, sementara Sherly mulutnya sambil memperlihatkan sebuah video yang sangat dikenali Trisha.
"Mbak Sasa jadi selingkuhannya Mas Prima? Pantesan ke nikahannya Verra kemarin sama Mas Prima."
"Mulut, Sher," tukas Bastian tajam.
"Apa? Kan begitu yang beredar di grup kantor! Terus kalau bukan selingkuhan, kenapa tunangannya Mas Prima marah?" bisik Sherly balas melotot.
"Udah udah, dengar dulu ceritanya." Nora mendekati Trisha dan tersenyum menguatkan. "Mau cerita sesuatu?"
"Kenapa Mbak Sasa mau-maunya jadi selingkuhan?" cerca Sherly ingin tahu. "Aku tahu Mbak Sasa susah cari jodoh, tapi bukan tunangan orang juga, Mbak. Mentang-mentang--"
"Sherly!" bentak Bastian. "Dengar dulu!"
Gadis itu melihat keempat orang yang berkumpul di depannya lalu tertawa sambil mengipasi matanya.
"Dapat video itu dari mana?" tanya Trisha.
"Dari Ega, anak keuangan itu. Katanya udah rame di sana makanya nyebar. Masuk Lambesiso kantor pula." Sherly menunjukkan tangkapan layar yang memuat video dan percakapan di bawahnya.
Viral! Pelakor basah kuyup dilabrak tunangan!
"Guys, ini Pak Prima sama
anak artistik itu, kan?"
"Wedyan!"
"Pak Prima sama Sasa?"
"Oh, pantesan nolak gue.
Saingan gue Pak Prima."
"Oh, wow. Apa gue langsung terkenal dalam semalam?" Trisha bergumam. "Tapi Athlas tadi malam memang rame, sih."
"Jadi selingkuhan kok bangga sih?" tukas Sherly hingga Bastian menatapnya emosi.
"Jadi?" Nora menyita gawai Sherly.
"Sini pada pasang kuping," gumam Trisha. "Gue mau berdongeng."
Maka, Trisha bercerita dari awal pertemuannya dengan Prima di Madam Rose, hingga alasan yang dikemukakan Prima barusan.
"Damn!" bisik Bastian begitu Trisha selesai bercerita. "Gue bahkan juga nggak tahu kalau dia udah tunangan. Mbak Nora tahu?"
Nora juga menggeleng. "Aku nggak pernah dengar Prima ngomong tentang tunangannya."
"Ih!" Sherly mengernyit jijik. "Lelaki macam apa itu?"
Sementara Mika masih ternganga. Ketidakpercayaan besar terpeta di wajahnya. Gadis itu baru saja tertampar fakta bahwa aplikasi dating app yang membuatnya bertemu dengan Januar, nyatanya menjerumuskan Trisha pada fitnah yang kejam.
"Kok bisa, sih?" pekik Mika untuk kesekian kalinya. "Gue seumur-umur belum pernah pakai dating app. Sekalinya pakai, ya Madam Rose itu. Gue match pertama kali, dan langsung dapat Januar. Tapi Sasa...kok bisa?"
"Ha.Ha. Maaf mengecewakanmu Ramika," ucap Trisha datar.
"Jangan salahin dating app-nya." Nora berkata sambil mengelus perutnya. "Mungkin aja, Prima cuma oknum dan Januar benar-benar mencari pasangan hidup. Dunia ini luas, dan pikiran orang belum tentu sama. Ada orang yang menganggap menikah itu wajib, ada juga orang yang menganggap tidak menikah adalah keputusan paling baik. Ada orang yang menganggap punya anak dalam pernikahan itu wajib, ada orang yang memutuskan untuk menjalankan pernikahan tanpa kehadiran anak. Childfree."
Bastian tertegun, sementara Sherly mengernyit.
"Ada orang yang menganggap nggak nikah itu keputusan paling baik? Kok aneh?" tukas Sherly. "Menikah itu melengkapi kebahagiaan kita!"
"Hanya karena lo menganggap itu yang paling baik, bukan berarti orang lain juga menganggapnya begitu," ucap Bastian dingin.
"Ya tapi ini menikah, lho. Mau apa manusia kalau nggak menikah?" bantah Sherly. "Makanya Mbak Sasa jangan kelamaan sendiri. Benar, kan? Ibuku bilang wanita itu rentan kena fitnah. Apalagi yang belum meni--"
"Astaga Sher!" bentak Bastian.
"Apa?" Balas Sherly berani. "Kan ini ngomongin fakta--"
"Udahlah..." Trisha sedang malas sekali mendebat Sherly. "Ayo kerja lagi. Gue mau beli es krim habis ini--"
"GEMMA NARATRISHA! MANA DRAFTNYA?!" Suara menggelegar Dion membuat kerumunan kecil itu bubar, kecuali Nora yang mengelus perutnya sambil menyipit tidak suka.
"Yon! Kamu bikin anakku kaget!"
"Buru kirim guys!" Trisha meraih mouse-nya dengan buru-buru.
Sebagai koordinator sub divisi artistik, Trisha betugas memeriksa pekerjaan teman-temannya sebelum diserahkan pada Dion.
Tapi seperti kata Nora, tidak pernah ada yang salah dengan layanan yang diberikan dating app itu. Sejauh yang dibaca Trisha, fungsi utama Madam Rose memang hanya sebagai aplikasi mak comblang. Tiba-tiba saja, Trisha jadi merasa bertanggungjawab untuk stalking media sosial teman kencan Mika. Hanya untuk berjaga-jaga, ingatkan Trisha untuk stalking Januar begitu ada waktu.
===
"Mika, mari kita berhenti bikin Januar bersin-bersin. Bentar lagi makan siang dan gue laper banget."
Mika yang sejak tadi bersemangat menceritakan Januar pada Sherly, melirik Bastian dengan sinis sekali.
Bastian mengabaikannya. "Mau pesan apa? Gue pesenin di Belario sekalian."
"Belario terus. Gimana kalau hari ini kita ke kafetaria atas?" usul Sherly.
"Sasa, this is my number. Amira."
Sebuah notifikasi di layar membuat jemarinya berhenti.
"Aku mau balikin bajunya.
Sekalian lunch, yuk?"
Gadis itu tercenung sejenak, lalu membalasnya.
"Sure."
"Vote ajalah guys!" Bastian menghentikan perdebatan antara dirinya dan Sherly. "Gue pilih Belario, Sherly kafetaria atas. Mbak Nora?"
"Kafetaria atas," jawab Nora. "Kakiku udah susah jalan jauh-jauh."
"Nanti gue gandeng," ucap Bastian pasti. "Mik, lo pilih mana? Mika!!"
"Heh!" Mika mengangkat wajah dengan terkejut. "Gue Belario."
Bastian menatap Trisha dengan memohon.
"Gue mau ketemu teman." Trisha meraih tasnya. "Tinggal bentar, ya."
Trisha menyusuri koridor, namun dia terlambat menyadari bahwa banyak orang yang mencuri pandang padanya sejak tadi.
"Nggak tahu diri!" Salah satu wanita terang-terangan berkata sambil meliriknya tajam. "Martabat Renjana makin hancur kalau gini."
Wanita yang satunya memperingatkan dengan senggolan, namun si wanita itu hanya mendengkus keras. "Ngapain baik-baik sama pelakor, Win?"
Trisha berdecak keras kala keduanya semakin menjauh. Tapi atensi itu tidak sampai di sana. Trisha berusaha tidak berlari saat menyebrangi lobi, meskipun bisik-bisik dan curi pandang itu benar-benar mengganggunya.
Sesampainya di tempat tujuan, gadis itu menunduk dan merasa sangat insecure. Dia buru-buru berjalan ke arah Amira yang sudah melambai dari tengah ruangan. Sementara Trisha memakai blus biru laut tanpa lengan dengan rok plisket panjang, Amira tampak elegan dengan blazer dan heels merahnya. Lipstik yang juga berwarna merah itu membuatnya tampak cantik dan anggun.
"Hai," sapa Amira ceria. "Kita makan dulu, yuk? Mau pesan apa?"
"Tiramisu sama matcha tea aja." Trisha menatap kartu identitas di dada Amira. "Barra cuma bilang kalau Mbak Amira kerja di Happyhouse. Ternyata pegawai Zigma juga, ya?"
"Aku drafter di ZigmaArchitect, cukup sering kerja bareng Mas Barra." Amira tersenyum. "Aku sering dengar Happyhouse dari dia, dan tertarik untuk bergabung. Aku terkesan sama alasan di balik didirikannya Happyhouse. Dia mengagumkan, kan?"
Trisha memandangi Amira beberapa saat, lalu mengangguk. "Dia memang mengagumkan."
Amira mengulurkan sebuah paperbag padanya. "Thank you so much, Trisha. Aku benar-benar diselamatkan malam itu."
"Nggak masalah, Mbak. Sebenarnya, Mbak Amira nggak perlu repot-repot. Bisa dititipin Barra aja," ucap Trisha mengaduk matcha tea-nya yang baru saja datang.
Amira tersenyum lagi. "Sudah aku duga. Kalian bukan cuma sekedar teman. Caramu minta aku nitipin barang pribadimu sama Mas Barra itu, udah menunjukkan tentang seberapa dekat kalian. But, do you like him? As a woman to a man? In a romantic way?"
Trisha tertawa kecil dan menggeleng. "Seperti yang Barra bilang, kami teman. Dua orang yang kebetulan tumbuh bersama. Rumah kami sebelahan. Dan dia mentorku dari SD sampai masuk perguruan tinggi. Barra jago fisika. Rugi banget kalau nggak diberdayakan, kan? Jadi, yah...begitulah."
"Ah, dia memang mentor yang baik. Sebagai drafter, aku dapat banyak ilmu dari dia." Amira tersenyum, namun binar kekaguman itu tidak mungkin tidak dikenali Trisha. "Meskipun usia kami tidak terpaut jauh, tapi dia jelas seniorku di Zigma. Di perusahaan konsultan arsitek sebesar Zigma, ritme kerjanya bisa sangat gila. Aku bersyukur waktu magang dulu, aku dapat timnya Mas Barra. Dia bantu aku menyesuaikan diri."
Amira menyila rambutnya di belakang telinga. "Keputusanku nggak salah, kalau begitu. Kamu bisa bantu aku, kan?"
Amira tersenyum kikuk ketika Trisha menatapnya dalam diam.
"Alasan aku mau ketemu kamu, sebetulnya, karena aku mau lebih mengenal Mas Barra. Soalnya dia...orang yang agak tertutup dan sulit didekati. Jadi aku pikir aku perlu memastikan. Dia, belum punya kekasih, kan?"
"Oh..." Trisha mengiris tiramisunya. "Setahuku nggak. Mbak Amira..."
Trisha menggantungkan pertanyaannya di udara. Namun sepertinya, Amira jauh lebih pengertian dari yang ia kira.
"I like him," ucap Amira tersenyum lagi meskipun pipinya memerah. "I admire him."
"Memutuskan untuk ambil langkah pertama?" tanya Trisha akhirnya.
Amira mengangguk dengan wajah yang semakin merah. Namun ia menatap Trisha tanpa ragu. "Aku lebih suka menciptakan kesempatanku sendiri daripada menunggu sesuatu yang belum pasti."
Trisha menyeruput minumannya perlahan. "It's good. Bertanya-tanya sendiri itu nggak enak."
"Iya kan?" Amira menyantap hidangannya sendiri. "Anak-anak Happyhouse bilang kalau kamu yang paling dekat sama Mas Barra. Nggak heran kamu lebih tahu tentang dia dibanding yang lain. Mas Barra suka masakan apa, Sa?"
"Dia bukan orang yang pilih-pilih makanan," jawab Trisha. "Intinya, Barra bukan orang yang rewel."
"Hmm...tapi pasti ada makanan yang paling dia suka, kan?" tanya Amira lagi.
"Sushi."
"Kalau homemade?"
"Sushi homemade bukan sesuatu yang susah," sambung Trisha. "Tapi kalau mau yang lain, olahan seafood dan bumbu asam pedas. Dia pasti suka."
"Hanya itu?"
"Mbak Amira, jangan terpaku sama informasi dari aku. Siapa tahu ada menu yang belum pernah dia rasa, tapi nyatanya dia suka."
"Benar juga," gumam Amira setuju. "Kalau hal-hal lain yang dia suka?"
"Jam tangan, lego seri arsitektur yang limited edition." gumam Trisha.
Amira mengangkat alis. "Lego? Dia masih suka permainan anak kecil begitu? Mengejutkan."
"Oh...wah, kenapa?" Trisha terkekeh. "Permainan anak kecil atau bukan, itu caranya menikmati sesuatu yang dia suka. Aku nggak akan pernah menyepelekannya kalau jadi Mbak Amira."
Amira tampak salah tingkah. "Begitu, ya? Pantas saja aku lihat banyak lego di ruang kerjanya. Tapi aku sama sekali nggak tahu tentang dunia perlegoan."
"Dia suka koleksi lego seri arsitektur."
"Oh, ada yang begitu?" Amira mengerutkan kening, yang diangguki Trisha dengan singkat.
"Kalau gitu, itu aja untuk hadiah uang tahunnya bagaimana?" tanyanya bersemangat.
"Sounds nice."
Senyum tulus itu terlalu kentara di wajah Amira, membuat wanita itu terlihat begitu cantik hingga Trisha kembali menunduk untuk menyantap hidangannya. Amira sepertinya wanita yang baik, ceria, apa adanya dan terlihat tulus. Jika nantinya mereka bersama, Amira juga pasti akan mengetahui semua hal tentang Barra. Semuanya.
Trisha berdecak lirih kala perasaan konyol itu muncul lagi. Kali ini disertai perih di dada yang membuat perasaannya sangat tidak nyaman,
dan tidak rela.
*TBC*
Selamat sore, happy reading.
Please be happy, be healthy, be safe yaa.
Luv yuu ❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro