Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10. Semestinya

Haiii,

Karena Barra nggak bisa ikut lomba balap karung, dobel up sajalah ya hari ini. Enjoy and happy reading 💕

🌸🌸🌸

"Bitch."

"FAYA!" Prima membentak. "Apa-apaan kamu?"

"Kamu yang apa-apaan, Mas!" Suara wanita membalas dengan lantang. "Kerja? Selingkuh, maksudmu?"

Potongan lemon terjatuh dari rambutnya kala Trisha membersihkan wajah yang terasa lengket. Namun belum sempat gadis itu bicara, perempuan asing tadi keburu menjambak rambut Trisha hingga ia menengadah.

"Kamu buta?" desisnya. "Lelaki ini sudah bertunangan!"

"Lepas," tukas Trisha.

"Masih berani--"

"Lepas!" Trisha menghentakkan tangannya hingga si perempuan tadi menjauh dengan terbelalak. Trisha merapikan pakaiannya yang kini basah tidak keruan. Ia sadar mereka jadi tontonan banyak orang, namun Trisha menatap Prima lurus-lurus.

"Dia siapa, Mas?" Trisha bertanya.

Faya--begitu Prima memanggilnya--menatap Prima dengan tajam. Lelaki itu balas menatap Faya dengan emosi sebelum berdecak dan menutup wajahnya sendiri.

"Sorry, Sa," gumamnya pelan. "I am so sorry."

Trisha menatapnya tidak percaya hingga terlambat menyadari Faya yang melempar makanan ke arahnya. Namubn, piring itu tidak pernah mengenai Trisha.

"Dasar keras kepala."

Demi mendengar suara rendah itu, Trisha membuka mata. Napas Barra terengah, dan rambutnya basah kena keringat. Punggung jasnya kini kotor, namun sepasang manik coklat itu menatap Trisha dengan tajam.

"Sasa, saya--"

Barra melirik, dan Prima langsung terdiam. Lelaki itu menariknya pergi dari lantai dua, sementara otak Trisha mendadak loading lama.

"Wait. Wait. Gue ada perlu." Trisha melepaskan diri, namun Barra menahan sikunya.

"Mau apa lagi?" tanyanya dingin.

"Pokoknya tunggu," pinta Trisha seraya melepaskan cekalan Barra.

Gadis itu kembali dengan cepat. Beberapa pelayan berusaha melerai Prima dan Faya yang masih beradu emosi. Trisha menyambar sebuah gelas di atas meja, entah milik siapa. Gadis itu berjalan dengan pasti, mengabaikan bisik-bisik maupun sorotan lampu gawai yang mengarah padanya.

"Mbak, tolong jangan kemari dulu!" Salah satu pegawai berkata dengan panik.

Namun Trisha mengabaikannya. Ia melemparkan isi gelas tadi ke arah Prima sampai seisi ruangan terkesiap. Gadis itu meletakkan gelasnya dengan keras hingga pecah.

"Anda salah target, Mbak," gumam Trisha pada Faya yang terbelalak. Telapak tangan Trisha terasa perih, namun emosi yang membara lebih berkuasa hingga Trisha mati rasa.

Ketika ia berbalik, wedges gadis itu terselip. Namun Barra menangkapnya tepat waktu. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menggendong Trisha di punggung dan membawanya pergi dari tatapan-tatapan ingin tahu di sekelilingnya.

Barra sudah melepas jasnya yang ternoda, meninggalkan kemeja yang sedikit basah karena keringat. Trisha menyembunyikan wajah di tengkuk Barra karena matanya memanas dengan cepat. Bisik-bisik dan tatapan orang-orang membuatnya malu luar biasa hingga rasanya Trisha ingin sekali tenggelam ke dasar bumi. Namun aroma yang sangat dikenalnya menguasai paru-paru Trisha, menyadarkannya jika ia telah berada di tempat yang aman. Tidak ada yang bisa menyakitinya di sini.

"Gue jadi selingkuhan." Trisha mengeratkan pelukan di leher Barra. "Ih, jijik banget."

Barra tidak menjawab. Dalam diam, lelaki itu mendudukkan Trisha di dalam mobil. Barra sendiri duduk di kursi kemudi, melonggarkan dasi seraya menatap Trisha dengan keangkeran level maksimal.

Gadis itu cemberut dengan mata yang makin memburam, lalu menusuk-nusuk pipi Barra. "Wajahnya jangan gitu."

Tatapan Barra semakin tajam, namun Trisha terselamatkan oleh dering telfon milik Barra.

"Pak Barra, Pak Bagas ingin bertemu." Suara perempuan berkata dengan sopan.

"Saya sudah pulang." Barra mengambil kotak kecil di laci dashboard. "Ada perlu apa?"

"Pulang?" ulangnya dengan sedikit cemas. "Tapi Pak Bagas ingin tahu rancangan Anda untuk proyek hotel Saga."

"Berkasnya ada di meja Bagas." Barra mengambil betadine dan beberapa lipat kasa. "Semua yang dia ingin tahu ada di sana."

"Baik. Akan saya sampaikan. Selamat malam."

Barra mematikannya dan meraih tangan Trisha.

"Duduh..." Trisha meringis. Luka-luka itu tidak dalam, namun banyak dan tersayat-sayat.

Lelaki itu menuangkan air minum di sapu tangannya untuk membersihkan tangan Trisha, lalu mengoleskan betadine di sekitar luka. Kemarahan yang tidak dimengerti Trisha masih menguar dari tubuh Barra, namun sentuhan lelaki itu tetap lembut dan hati-hati. Trisha menggigit bibir saat perih terasa di mana-mana. Barra meniup-niupnya, membuat rasa perihnya banyak berkurang.

"Perih." Trisha menggigit bibirnya. "Barra, perih."

"Nanti hilang. Kakimu, Sa."

Trisha mengusap wajahnya. "Sendiri aja. Sini betadine-nya."

Tapi alih-alih memberikannya, lelaki itu meraih kaki Trisha. Nyeri menyerang pergelangan kaki Trisha saat Barra melepas wedges-nya. Lelaki itu membersihkannya dengan air mineral seperti tadi, lalu mengoleskan salep antiinflamasi pada bagian yang mulai bengkak.

"Nggak ada inisiatif periksa medsosnya?" Barra bertanya sambil menutul-nutulkan betadine. "Atau tanya-tanya tentang dia sama Dion atau siapa pun?"

"Dia atasan gue."

"Lalu kenapa?" baliknya dingin. "Itu bikin dia jadi orang suci?"

Trisha terkekeh pedih. "Gue sepayah itu, ternyata. Ya ampun, gue jadi selingkuhan! Apa gue kelihatan kayak cewek yang gampang dibodohi? Apa gue seenggak layak itu sampai Prima menilai gue pantas dijadiin selingan? "

"You deserve better."

Trisha menyisir rambutnya yang lengket, lalu menarik lepas sesuatu yang menempel di sana. Ia terkekeh sedih, "Kencan pertama gue, dan lihat apa yang gue dapat? Daun mint di rambut gue. Menyedihkan."

Barra tidak menjawab. Lelaki itu masih menunduk dengan bibir yang terkatup rapat. Melihatnya, Trisha mengusap pipinya yang basah dan merasa sangat kesepian. "Lo jangan ikut-ikutan marah sama gue. Gue sedih banget ini."

Lelaki itu akhirnya menghela napas panjang.

"Ngeyel," ucapnya seraya mengetuk pelan dahi Trisha sebelum mengusap pipi gadis itu. Trisha mendongak dengan takut-takut hanya untuk melihat sorot hangat Barra yang hadir di sela-sela emosi.

"Permisi." Seorang pegawai Athlas mengetuk jendela. "Bisa ikut saya sebentar? Pak Manda ingin bertemu."

Trisha mengangguk. Namun belum sempat ia beranjak, Barra sudah turun lebih dulu.

"Jangan kemana-mana," titahnya. Lelaki itu bercakap sebentar dengan si pegawai, lalu pergi meninggalkan Trisha sendirian di dalam mobil.

Saat itu, rombongan pengunjung keluar dari kafe dan melewati Trisha. Mereka semua mencuri pandang ke arah Trisha, menunjuk dan berbisik-bisik hingga pipi Trisha panas sekali. Akhirnya, gadis itu menutup jendela mobil sambil berharap jika Barra segera kembali.

==

"Bar! Buka!"

Trisha menatap pintu di hadapannya dengan penuh emosi. Gadis itu mengusap wajahnya yang bersimbah air mata, lalu menendangnya sekuat tenaga.

"Buka!" teriak Sasa menendangnya lagi. "Lo lupa gue karateka, ha?"

Pintu itu masih bergeming hingga Trisha mendesis frustrasi. Gadis itu menyugar rambutnya yang riap-riapan bermandi keringat. Matanya memburam hebat, dan dia menendang lagi.

"MAHESA BARRACANDRA! BUKA!" Ia menendang berkali-kali. "Bodo amat pintunya rusak! Pokoknya gue nggak berhenti sampai--auw!"

Jika Barra tidak menangkapnya tepat waktu, Trisha pasti langsung tersungkur karena pintu yang mendadak terbuka.

"Pergi."

Suara dingin yang membekukan itu membuat Trisha langsung menegakkan diri.

"Apa-apaan--"

Namun sisa kalimat Trisha, tertelan oleh pemandangan miris di depannya. Wajah lelaki itu kurus tidak terawat, bibirnya kering dan pecah-pecah, kantung mata hitam terlihat di bawah mata, matanya memerah, entah karena kurang tidur atau menangis lama.

"Pergi, Sa."

Trisha menguatkan hati dan menggeleng. "Nggak mau. Kita berangkat bareng!"

Rahang Barra mengetat. Kedua tangannya mengepal dan tatapannya menajam hingga Trisha mundur tanpa sadar.

"Pergi," desisnya. "Jangan ke sini lagi."

"Nggak mau!" Trisha meraih tangan Barra. "Lo nggak boleh bolos lagi! Ayo berangkat!"

Gadis itu berdecak ketika Barra bergeming, lalu menariknya sekuat tenaga. "Barra--lo tuh...berat!"

Namun, Barra justru mencengkram tangannya. "Pulang," ucapnya sambil menuntun Trisha ke luar.

"Eh--nggak!" Trisha berpegangan pada kusen pintu hingga Barra terhuyung.

"Trisha, kepala--"

Trisha menepis tangan Barra yang berusaha meraih kepalanya, lalu mendorong Barra keluar kamar. Gadis itu mengunci kamarnya. "Kalau lo nggak mau berangkat, gue juga! Biarin gue jadi bodo! Nggak bisa kuliah! Nggak dapat kerjaan, nggak punya uang, terus nggak bisa beli kuota internet! Gue jadi sad girl seumur hidup dan mati kelaparan! Semuanya salah Barra pokoknya!"

Trisha mengusap pipinya dan bersedekap erat. Dia sudah bertekad bulat tidak akan mengizinkan Barra mengunci diri lagi. Kepalanya mulai pusing. Juni melarangnya pergi ke sekolah karena ini hari pertamanya keluar dari rumah sakit. Tapi Trisha kabur dari rumah karena dia tahu, Barra pasti tidak baik-baik saja. Jadi, mana boleh kenekatannya hari ini tidak membuahkan hasil? Dia akan membuat Barra keluar dari kamar ini meskipun harus menyeretnya dengan tenaga kuda!

"Sa," panggil Barra.

"Nggak boleh!" salak Trisha galak. "Lo udah kelas tiga, Bar! Nggak boleh bolos lama-lama!"

Hening, hening yang lama hingga Trisha nyaris yakin jika Barra memilih meninggalkan Trisha di kamarnya.

"Jangan teriak-teriak dulu," gumaman lirih itu terdengar. "Seragam gue di kamar. Gue mau mandi."

Trisha menggigit bibir demi menahan air matanya. Gadis itu membuka pintu, menatap Barra yang terdiam tepat di hadapannya.

"Barra, it is okay," gumam Trisha meskipun suaranya gemetar. Gadis itu meraih pipi Barra, mengusapnya demi mengatakan bahwa segalanya baik-baik saja. "Kemarin dicari guru BK, katanya mau kasih brosur universitas yang punya jurusan-jurusan arsitektur terbaik. Jadi, hari ini lo harus konsultasi."

Sepasang mata itu memerah dengan cepat. Ia meraih Trisha, memeluknya erat-erat hingga pundak gadis itu terasa hangat dan basah. Trisha balas menepuk-nepuk bahunya, berusaha memberi kekuatan seperti yang selama ini lelaki itu lakukan untuknya.

"Nanti kita jenguk Om Barata bareng-bareng," gumam Trisha dengan mata memburam. "Tapi lo masih harus main ke rumah karena gue nggak paham rumus-rumus absurd itu. Kalau gue nggak lulus gimana?"

Trisha membuka mata, bersitatap langsung dengan langit-langit kamar tamu Barra. Mood yang buruk nyatanya telah membuat Trisha bermimpi tentang memori usang.

Trisha menginap di sini, lagi. Rumah Barra lebih dekat, dan Trisha perlu menyingkirkan potongan buah dari rambutnya secepat mungkin.

Gadis itu memeriksa kakinya, lalu bersyukur nyerinya sudah jauh berkurang. Ia turun dengan hati-hati dari ranjang, membuat sweater Barra langsung menjuntai kebesaran di tubuhnya. Trisha menggulung lengan sweater-nya banyak-banyak hanya agar telapak tangannya terlihat, lalu keluar kamar.

Pukul setengah enam pagi. Trisha baru saja mengambil air minum saat Barra masuk rumah. Rambutnya sedikit berantakan dan wajahnya mengantuk, meskipun sepasang mata itu sudah awas saat bertemu tatap dengan Trisha. Ia menggantungkan kunci mobil hingga Trisha mengangkat alis.

Ngomong-ngomong tentang Barra, lelaki itu jadi sangat menyeramkan begitu ia keluar dari Athlas. Entah apa yang terjadi di dalam sana, yang pasti aura ekstra angker itu bertahan hingga mereka sampai di rumah.

"Dari mana?" Trisha memberikan satu gelas pada Barra yang mendekat.

"Happyhouse."

Kening Trisha mengerut. "Kapan berangkatnya?"

"Tadi malam."

"Ha? Kok gue nggak tahu?"

Barra hanya meliriknya sekilas, lalu berjongkok untuk memeriksa kaki Trisha.

"Udah nggak sakit, kok." Trisha menggoyang-goyangkannya.

"Mau berangkat hari ini?" Barra kembali berdiri.

Trisha mengangguk bingung. "Memangnya kenapa?"

Barra menghabiskan minumannya sambil melirik Trisha, tapi tidak menjawab.

"Ck! Tapi kalau kejadian tadi sampai diketahui atasan, urusan kami bakalan panjang," tukas Trisha gelisah.

"Baru kepikiran sekarang?"

"Keburu emosi tadi malam. Barra, lo lihat siapa yang disasar cewek itu pertama kali? Gue. Tanpa tanya apa pun, tanpa klarifikasi apa pun, tunangannya nyalahin gue! Semua yang ada di sana udah terlanjur menilai kalau gue yang salah." Trisha menghela napas panjang untuk menenangkan diri. "Tapi, kok lo tahu gue ke Athlas?"

"Nggak sengaja lihat kalian waktu mau ke apartemen," jawabnya. "Berangkat sama gue hari ini, Sa."

"Nggak perlu. Nggak sesakit i--tu..." Trisha menciut kala Barra menatapnya dengan tajam.

"Berangkat sama gue," ucap Barra sebelum mengeluarkan beberapa sayuran dari kulkas.

Gadis itu berdeham, lalu mendekatinya. "Tadi malam disuruh ganti rugi ya? Gue ganti berapa ini?"

Trisha mendongak ingin tahu, lalu mengaduh saat lelaki itu menjentik dahinya sebelum mulai mengiris sayuran. Hah, lebih baik Trisha langsung transfer saja tanpa banyak tanya.

"Sejak kapan lo tahu kalau Mas Prima...begitu?"

"Baru bisa memastikan kemarin."

"Tahu darimana? Gue nggak melihat sesuatu yang aneh di medsosnya."

"Lo kurang jeli, Sa. Nggak tanya Dion?"

Trisha ternganga. "Lo tanya Mas Vampir?"

"Harusnya itu hal pertama yang lo lakuin."

"Mas Prima minta dirahasiakan, jadi yah...Mas Dion bakal langsung curiga kalau gue tanya-tanya tentang Mas Prima sama dia, kan?"

"Dan lo oke dengan permintaannya?"

"Kenapa harus nggak oke?"

Barra memejamkan mata dan menghirup napas panjang. Alih-alih menjawab Trisha, lelaki itu mulai membersihkan sayuran.

Kebungkaman Barra adalah jawaban bagi Trisha, dan Trisha menyadari apa yang luput dari perhatiannya. Tapi hei, dia benar-benar tidak pernah berpikir untuk mencurigai Prima!

"Buat kasusnya Mas Prima, thank you udah ada di sana. Gue...pasti bakal malu kalau gue bener-bener jatuh setelah adegan siram wajah itu."

Barra lantas berjalan ke arahnya hingga Trisha mengerjap. Lelaki itu membungkuk sedemikian rupa hingga Trisha terduduk pada kursi di belakangnya. Gadis itu terkejut, tapi Barra belum selesai.

Kedua tangan bertumpu di kanan dan kiri Trisha, mengurungnya sebelum membungkuk hingga mata mereka sejajar. Dari jarak sedekat ini, Trisha bisa melihat celah-celah di iris coklatnya, juga bulu mata lurus yang menaungi tatapan datarnya. Hidungnya tidak terlalu mancung, namun terasa pas dengan bibirnya yang terkatup rapat. Garis rahangnya terlihat jelas, terbingkai oleh rambutnya yang sedikit acak-acakan. Samar, aroma bergamot dan woody tercium, bercampur dengan aroma pewangi pakaian dan parfum mobil yang begitu dikenali Trisha.

"Di sini saja," gumamnya hingga Trisha merinding sampai ke kaki. "Kakimu bisa bengkak lagi."

Setelahnya, ia kembali memotong sayuran, meninggalkan Trisha yang mencengkram bunga kolnya erat-erat.

==

"Nginep di Happyhouse."

"Oh..." Trisha baru saja membaca pesan Barra yang masuk pukul sebelas tadi malam. "Perlu gue bales?"

Barra hanya meliriknya, namun Trisha terkekeh. Gadis itu meraih tasnya kala mereka sampai di pelataran kantor Trisha.

"Hati-hati. Nanti nggak perlu jemput gue."

Gadis itu melambai hingga mobil Barra lenyap dari pandangan, lalu merogoh tasnya untuk mengambil nametag. Namun ia justru menemukan kunci gerbang dan kunci rumah Barra di sana. Keduanya disatukan dalam gantungan kunci besar berbentuk pom-pom bulu hitam berhias liontin kucing kecil.

Dia tidak tahu kapan Barra memasukkannya ke dalam tas Trisha. Gadis itu kembali menyimpannya, berusaha fokus pada apa pun yang terjadi hari ini.

Trisha membuka pintu ruangannya, namun pintu itu sudah keburu dibuka dari dalam, membuatnya langsung berhadapan dengan Prima yang memakai masker. Lelaki itu terkejut, namun tidak mengatakan apa pun selain melewati Trisha dan masuk ke ruangannya sendiri.

Trisha terkekeh tidak percaya. Pria itu mengabaikannya?

"Selamat...pagi?" Trisha nyengir canggung pada Dion yang berdiri di hadapannya begitu ia membuka pintu.

"Ikut saya," ucapnya.

Trisha meringis canggung, lalu mengikuti Dion ke ruang rapat.

"Sepertinya kemarin ada sesuatu yang seru." Dion menutup pintu untuk memberi privasi pada mereka berdua, lalu duduk bersedekap. "Sore harinya Barra datang ke kantor untuk menemui saya, malam harinya Prima datang ke rumah saya dengan wajah babak belur. Sebenarnya, ada apa? Ada sesuatu antara kamu sama Prima, ya?"

Semua pembelaan yang sudah disiapkan Trisha buyar begitu saja.

"Mas Prima babak belur?" ulang Trisha lamat-lamat demi menghalau lilitan aneh di perutnya.

"Katanya, Barra pelakunya," ucap Dion. "Jawab pertanyaan saya dulu, Sa. Ada apa antara kamu dan Prima?"

Trisha membuka tutup mulutnya dengan bingung, lalu berdeham. "Mas, Barra bukan orang yang suka main pukul. Tapi--tapi nanti aku tanya dia dulu. Terus tentang aku sama Mas Prima, kami sempat jalan bareng."

Dion tampak terkejut. "Jalan bareng? Kalian kencan?"

"Semacam itulah." Trisha berkata canggung.

"Kamu nggak tahu kalau dia udah punya tunangan?" Dion bertanya tajam.

"Nggak," tepis Trisha tegas. "Aku nggak tahu kalau Mas Prima punya tunangan. Aku salah karena sudah percaya dengan mudah, tapi yang paling salah di sini adalah orang yang sudah bertunangan tapi mengajak gadis lain untuk berkencan!"

Dion menatap Trisha dengan kaget, sementara Trisha mengelus keningnya demi memanjangkan sabar.

"Salahku juga karena terlalu percaya. Dia...sempat bilang nggak suka kalau hubungan kami diketahui orang kantor. Harusnya aku curiga saat itu juga. Yang jelas, dia berhasil bikin aku belajar."

Trisha menatap Dion yang sepertinya masih syok.

"Jadi, begitu," gumam Trisha malu. "Barra sama Mas Prima memang ketemu tadi malam, ketemu sama owner Athlas. Tapi aku nggak ikut karena aku diguyur minuman sama tunangannya. Jangan dulu diaduin sama orang atas, Mas Dion harus dengar dari kedua belah pihak. Barra bukan orang yang akan main pukul tanpa alasan."

Karena jika mau dibilang, Barra bahkan tidak suka kekerasan. Lelaki itu jarang terlibat adu fisik dengan siapa pun. Adu tinju terakhir Barra adalah saat kuliah dulu, sewaktu Erik melakukan hal tidak senonoh pada Trisha hingga Barra menghajarnya tanpa basa-basi. Keduanya babak belur. Ujung bibir Barra berdarah, dan mata Erik tidak bisa dibuka selama tiga hari. Setelahnya, Erik tidak pernah mengganggu Trisha lagi.

"Nggak akan saya adukan, Sa. Lagipula, Prima juga salah di sini. Saya tanya karena saya terusik. Barra yang selama ini cuma kelihatan di sekitar kamu, tiba-tiba nyari saya sore itu. Tanya-tanya tentang Prima, pula. Kelihatan buru-buru banget." Dion menghela napas panjang. "Sebagai teman Prima, saya harus minta maaf sama kamu. Kalau saya tahu lebih awal, saya pasti sudah menegurnya. But, are you okay?"

Trisha tertawa miris. "Selain rasa malu, aku oke-oke aja kok."

"Kalian inti tim saya untuk proyek Athena. Saya nggak bisa membiarkan problem personal mengganggu profesionalisme kerja, Sa."

"Aku jamin tanggung jawabku nggak akan terganggu, Mas," ucap Trisha. "Nggak ngerti sama dia, tapi urusanku udah selesai tadi malam."

Dion hendak berkata lagi, namun pintu yang terbuka membuat keduanya menoleh. Prima datang bersama dengan beberapa orang marketing lainnya, lalu terdiam saat melihat Dion dan Trisha di sana.

"Maaf." Prima berkata di balik maskernya "Saya nggak tahu ruangannya dipakai. Kita rapat nanti saja."

"Prim."

Dion menahan Prima yang hendak keluar dari sana.

"Saya perlu bicara dengan Prima saja. Thank you," ucap Dion pada yang lain, lalu kembali menutup pintunya. Lelaki itu menghadap Prima dan bersedekap. "Jangan kabur-kaburan. Kebiasaanmu dari dulu itu nggak pernah berubah. Lo perlu bicara sama Sasa. Lo hutang banyak penjelasan sama dia, dan sama gue."

Pintu berdebam pelan kala Dion meninggalkan mereka berdua di ruangan yang sunyi itu. Prima, yang masih memunggungi Trisha, menghela napas panjang dan menunduk dalam. Kemudian, ia berbalik dan menatap Trisha dengan sorot bersalah di matanya.

"Maaf, Sa."

===



*TBC*


please be happy, be healthy, and be safe yaaa...

Luv yuu

💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro