Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Belas

Hampir pukul sebelas malam ketika Jihyun dan Taehyung sampai gedung mereka. Suasana sudah sepi, selain karena sudah malam, musim dingin seperti ini membuat orang malas keluar rumah. Lebih baik menghabiskan waktu bergelung di bawah selimut atau di depan penghangat ruangan.

"Terima kasih untuk hari ini. Kalian semua mau menemaniku dan mencoba hal baru," tukas Taehyung setelah menemukan kunci unitnya di saku.

Jihyun menggeleng keras. "Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Maaf jika kadang aku tak sopan padamu karena yah... kadang kau ikut campur urusanku. Terima kasih sudah membantuku sejauh ini. Padahal kita belum kenal lama."

"Apa harus kenal lama untuk membantu orang?" tanya Taehyung retoris. "Aku... aku hanya ingin membantumu agar lebih percaya diri."

Pemuda itu kemudian menyerahkan cumi kering yang dibelinya di pasar Jalgachi tadi. "Untuk ibumu. Kau tahu maksudku."

Tawa mereka kemudian terburai lantang.

"Ya, ya. Tunggu saja hidangan-hidangan lezat buatan ibuku." Jihyun kemudian membuka pintu unitnya. "Aku masuk dulu. Jangan sampai besok kau terlambat."

"Aku tahu."

Taehyung menghela napas lelah sembari mengaktifkan ponsel yang dia matikan sejak tadi. Rentetan pesan dari kakak pertamanya langsung memenuhi layar ponsel.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, Taehyung menghubungi kakaknya yang protektif itu.

"Ke mana saja kau ini? Kenapa tidak mengangkat panggilanku? Hah, pesanku bahkan tak pernah kau balas. Apa kau sebenci itu pada hyung-mu sendiri?"

Taehyung bahkan belum membuka mulutnya, tapi sang kakak langsung mengomel seperti induk ayam yang kehilangan anaknya.

"Daebak! Hyung, kau keren sekali bisa mengomel sepanjang itu dalam satu tarikan napas," sindir Taehyung sebelum Seokjin mengomel lebih lama lagi. Taehyung hari ini lelah, dan dia ingin beristirahat, bukan mendengar omelan kakak pertamanya ini.

Terdengar decak sebal di seberang. "Taehyung-ah, kau tahu kan, aku sangat sayang padamu. Kami di sini sangat khawatir padamu. Kau bahkan tak pernah memberi kabar setelah mulai bekerja."

"Hyung, berhentilah menganggapku seperti anak kecil. Aku di sini baik-baik saja. Aku bahkan belum ada sebulan di sini, tapi kau bersikap seolah sudah bertahun-tahun aku tak menghubungimu."

"Lusa tepat sebulan kau pindah ke Busan, tapi aku belum bisa ke sana lagi sejak mengantarmu. Akhir-akhir ini aku sibuk. Namjoon sendiri sudah minta alamatmu dan berencana mengunjungi akhir pekan lalu, tapi batal karena Hyena masuk rumah sakit."

"Hyena-noona sakit apa, Hyung?" tanya Taehyung tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Seokjin malah tertawa renyah. "Hyena pingsan saat menyiapkan sarapan. Namjoon panik dan langsung membawanya ke rumah sakit. Ternyata dia hamil delapan minggu."

"Benarkah? Kita akan jadi paman!" seru Taehyung ikut berbahagia atas kehamilan kakak iparnya. "Namjoon-hyung pasti bahagia sekali. Seingatku dia pernah membahas ini saat kita kamping bersama dulu."

Tawa Seokjin kembali terdengar. "Ahh... waktu itu. Ayah sampai kebingungan saat kita tak bisa dihubungi dan meminta bantuan orang-orang untuk mencari kita."

"Kita? Kau yakin, Hyung?" tanya Taehyung retoris. Ada kegetiran di setiap kalimatnya. "Ayah hanya khawatir padamu dan Namjoon-hyung. Ayah bahkan menyalahkanku karena mengajak kalian kamping. Ayah juga --"

"Taehyung-ah... "

"Biarkan aku selesai bicara dulu. Aku tahu kau pasti akan mengatakan 'Ayah tak bermaksud seperti itu'. Tapi, faktanya Ayah memang seperti itu. Aku lelah, Hyung, sering disalahkan."

Mereka berdua sama-sama terdiam. Seokjin tahu, Taehyung sering menderita karena ketegasan ayah mereka. Namun, Seokjin juga tahu, ayahnya tak seburuk yang Taehyung katakan. Hanya saja, dalam keadaan emosi seperti ini, Taehyung tak akan mau mendengar ucapannya.

"Istirahatlah," kata Seokjin kemudian. "Kau tampak lelah. Apa pekerjaan itu begitu berat untukmu? Haruskah aku menghubungi Yoongi untuk mengurangi beban kerjamu?"

Terdengar decakan sebal dari mulut Taehyung. "Tolonglah, Hyung. Berhenti mencampuri urusanku di sini. Aku akan sangat malu pada manajer Min jika kau sampai meminta tolong padanya."

Helaan napas Seokjin terdengar rendah. "Aku harap hal ini tak membebanimu. Aku akan segera saat ada waktu luang."

"Baiklah, baiklah. Sesukamu saja. Toh, kau tak akan mau mendengarku."

Seokjin kembali tertawa. "Tidurlah. Aku tutup dulu."

Taehyung memandang layar ponsel lama, begitu panggilan berakhir. Berbeda dengan Namjoon, kakak keduanya yang tidak terlalu sering menunjukkan perhatian secara langsung, kakak pertamanya ini begitu cerewet sering bersikap seolah Namjoon dan Taehyung adalah anak kecil.

Seokjin memang perhatian, tapi kadang perhatiannya berlebihan membuat Taehyung kadang merasa jengkel.

Pemuda itu memilih untuk mengabaikan rasa jengkelnya pada sang kakak dan beristirahat dengan tenang malam ini.

***

Berkali-kali Jihyun mengetuk dan menekan bel unit Taehyung. Namun, tidak ada jawaban dari sang pemilik. Padahal gadis itu sendiri ingin menyerahkan titipan ibunya dan segera berangkat.

Gadis itu khawatir jika Taehyung terlambat dan mendapat teguran lagi karena pemuda itu pernah mengatakan bahwa pekerjaan ini sangat berharga untuknya.

Jarinya kembali menekan bel saat seseorang datang dari arah tangga. Pemuda yang baru datang itu tampak kerepotan membawa sebuah koper dan dua tas jinjing kecil.

Awalnya Jihyun ragu, tapi akhirnya gadis itu mendekat dan menawarkan bantuan. "Boleh aku bawakan tasmu?"

Senyum lebar terkembang dari pemuda itu seraya memberikan salah satu tas jinjingnya. "Tentu saja."

Pemuda itu berhenti di depan unit 05 dan mencari kunci unitnya.

"Ah, kau penghuni baru di sini? Aku bahkan tak tahu jika penghuni sebelumnya sudah pindah," kata Jihyun sembari meletakkan tas jinjing di atas koper.

Belum sampai pemuda itu menjawab, pintu unit sebelahnya terbuka. Taehyung muncul dengan rambut kacau dan muka bantalnya.

"Aku kira kau pingsan di dalam."

"Aku di toilet tadi," jawabnya lalu melirik sekilas ke pemuda yang ada di sebelah Jihyun.

Jihyun sendiri melihat arlojinya dan teringat sesuatu. Gadis itu menyerahkan tas tas titipan ibunya pada Taehyung.

"Ibuku belum sempat mengolah cumi darimu. Jadi, makanlah samgyetang ini. Aku duluan." Jihyun pamit dan tersenyum sekilas ke arah Taehyung dan membungkuk pada pemuda yang dibantunya tadi.

"Aku bahkan belum berterima kasih padanya," gumam penghuni baru itu.

Taehyung membungkuk sekilas lalu menghampirinya. "Kau penghuni baru?" tanyanya retoris, kemudian mengangsurkan tangan. "Aku Taehyung. Kim Taehyung."

Pemuda di hadapannya itu juga membungkuk lalu tersenyum lebar menjabat tangannya. "Aku Jung Hoseok. Panggil saja Hoseok. Hmm... lalu gadis yang ramah tadi?"

Taehyung memutar bola matanya sebal. "Ramah? Kau beruntung mengenalnya sekarang. Sebelumnya dia tak seramah itu. Waktu pertama kali bertemu saja, dia sinis sekali. Padahal aku sudah menyelamatkannya dari perundung."

"Ah, benarkah?"

Taehyung kembali mengangguk. "Tapi, akhir-akhir ini Jihyun berubah. Aku ikut senang melihatnya."

"Ah iya, kau butuh bantuan?" tanyanya kemudian. "Aku masih ada waktu sebelum masuk kerja."

Hoseok menggeleng. "Aku pikir sekarang tidak. Mungkin aku akan menghubungi nanti jika membutuhkan sesuatu. Hmm... boleh minta nomor ponselmu?"

"Tentu." Pemuda itu kemudian mendiktekan nomor ponselnya. "Omong-omong kau sudah sarapan? Aku pikir aku tidak akan bisa menghabiskan samgyetang ini sendirian. Ibu Jihyun selalu memberikan banyak makanan untukku."

"Kau berlangganan makanan padanya?"

"Berlangganan?" Taehyung tampak memikirkan sesuatu. "Ah, benar juga. Aku sangat suka masakan buatan ibu Jihyun. Aku sering merasa tak enak jika beliau memberikanku lebih. Kau tadi bilang seperti itu, aku jadi terpikir untuk berlangganan makanan padanya."

Hoseok tertawa. "Haruskah aku ikut mencicipinya? Dari ucapanmu, sepertinya masakan ibu Jihyun sangat enak."

"Tentu saja harus."

Mereka berdua tertawa dan Hoseok mempersilakan Taehyung masuk ke unitnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro