Dua
“Kau baru pulang, Nak?” tanya seorang wanita berusia pertengahan empat puluh tahun, ketika Jihyun baru saja melepas sepatu sneaker bututnya.
“Eomma, sudah kubilang kau tak perlu menungguku pulang. Udara malam tak baik untuk kesehatanmu,” cerocos Jihyun cepat.
Gadis itu segera menghampiri ibunya yang tengah menunggu di ruang tengah unit mereka.
Sebenarnya bangunan yang disebut pemiliknya sebagai gedung apartemen itu tidak benar-benar mirip gedung apartemen dalam bayangan kebanyakan orang. Lebih cocok disebut hasukjib tipe two-room karena pemilik gedung juga tinggal di situ.
Gedung itu hanya bangunan tua tingkat dua berukuran kecil. Setiap lantainya memiliki tiga unit sejajar. Tidak ada lift seperti yang biasa tersedia di apartemen modern, hanya ada tangga berukuran sedang.
Di lantai dasar, unit 01 ditempati oleh sepasang suami-istri tua bernama Kim Jaebin dan Sung Chaeyeong, yang sekaligus merupakan pemilik gedung tua ini. Gedung tua warisan dari orang tua Jaebin.
Seperti halnya yang lain, unit 01 memiliki tata ruang yang sama. Hanya saja, mungkin karena mereka pemilik gedung, jadi unit mereka lebih luas dibanding yang lain.
Unit di sebelah mereka, nomor 02 ditempati oleh kakak-beradik bernama Jung Eunbi dan Jung Eunsang. Sang kakak bekerja sebagai make up artist. Sedangkan adik perempuan yang tak kalah cantik darinya, Jung Eunsang, adalah mahasiswi jurusan seni peran.
Mereka berdua benar-benar seperti bidadari. Cantik sesuai standar kecantikan negara ini. Walaupun semua orang tahu, itu semua hasil sayatan pisau di atas meja operasi, tapi siapa yang peduli? Bukankah penampilan lebih utama daripada hati?
Untung saja Eunbi dan Eunsang tak seperti itu. Mereka tidak suka merisak seperti Miyoung dan dua anteknya. Meskipun kadang, Eunsang tak bisa menahan kalimat pedas dari mulutnya jika dia sedang jengkel.
Sayangnya, kini Eunsang sering tinggal sendiri karena Eunbi lebih sering menginap di lokasi syuting sebuah drama yang mengambil setting di beberapa landmark Busan. Hanya sesekali saja pulang ke unitnya.
Untuk saat ini, unit nomor 03 di ujung lantai satu masih kosong. Awalnya, nomor 03 didiami oleh seorang guru olah raga sebuah sekolah dasar di Haeundae. Namun, setelah menikah dua bulan yang lalu, istri guru olah raga tersebut enggan menempati gedung kecil yang menurutnya kumuh ini.
Unit 05 dihuni Park Jaeha, seorang staf di salah satu bank swasta. Sedangkan Jihyun sendiri menempati unit 07 di lantai dua paling ujung. Dan unit 06 yang ada di tengah, saat ini kosong. *)
Jihyun pertama kali pindah ke gedung gedung ini enam bulan yang lalu, saat rumah kecil yang dia dan ibunya tempati harus terpaksa disita bank karena mereka tak sanggup membayar hutang sekaligus bunganya pinjaman yang semakin hari semakin menumpuk.
Untung saja mereka menemukan gedung ini. Walaupun gedung ini sudah tua, kondisinya sama sekali tidak buruk. Ruangannya memang tak seluas kalau dibandingkan dengan gedung lain pada umumnya. Namun fasilitasnya cukup memadai, dan biaya sewanya termasuk murah. Tidak mungkin menemukan unit seperti itu di Haeundae.
Setiap unit memiliki susunan yang sama: dapur, ruang duduk yang mengarah ke balkon sempit yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian, satu bilik kecil khusus untuk kloset, satu kamar mandi kecil yang dilengkapi dengan mesin pemanas air, dan dua kamar tidur yang juga berukuran kecil.
Selain Eunsang yang kadang bicaranya pedas, semua gedung ini adalah orang-orang yang menyenangkan dan Jihyun sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri.
“Kau sudah makan?” tanya ibu Jihyun yang membuat Jihyun menghentikan kegiatannya menata belanjaan yang dia beli saat toko-toko hampir tutup. Di sini, jika toko hampir tutup, maka penjual akan memberikan diskon hampir setengah harga pada barang-barang yang mudah busuk. Seperti buah, sayuran, bahkan daging.
“Sudah, Eomma. Kebetulan tadi ada beberapa cake yang tidak terjual. Lalu kumakan saja," ujarnya tanpa berani melihat wajah sang Ibu karena takut ketahuan berbohong. Faktanya, dia menghabiskan ramyeon cup di mini market dekat kafe karena jatah makannya disembunyikan Miyoung.
Jihyun lalu duduk di sisi ibunya. Memijat lembut bahu ibunya yang mulai menua.
“Tadi Nyonya Cha ke mari. Besok sore cucunya berulang tahun. Beliau ingin aku menyiapkan segala macam makanan untuk pestanya nanti.” Ibu Jihyun berkata dengan hati-hati. Dia takut Jihyun akan marah jika dia menerima order makanan tanpa seizin gadis itu.
Jihyun menghentikan pijatannya lalu memeluk ibunya dari belakang dengan erat, “Maaf, Eomma. Aku belum bisa membahagiakanmu.”
“Seharusnya aku yang berkata seperti itu.” Ibu Jihyun mengelus lembut tangan Jihyun, “Gadis sepandai dirimu seharusnya melanjutkan kuliah, bukan bekerja full time sebagai cleaning service dan mengurus orang sakit sepertiku.”
Jihyun semakin mengeratkan pelukan di punggung ibunya, “Aku yang seharusnya banyak berterimakasih padamu. Jika itu wanita lain, pasti mereka lebih memilih menggugurkan aku dari pada membesarkan anak di luar pernikahan.”
“Ditambah lagi mata siluman yang aku miliki ini,” lanjut Jihyun cepat, “Jika Eomma tak menyayangiku, pasti Eomma sudah mencekikku ketika aku lahir.”
Ibu Jihyun berbalik dan memukul pelan kepala Ji-hyun berulang kali, “Gadis kurang ajar. Beraninya kau bicara seperti itu kepadaku.”
Jihyun malah tertawa terbahak sembari memegangi kepalanya, “Aku hanya bercanda, Eomma. Mana mungkin Eomma tega mencekik bayi lucu sepertiku.”
Belum sampai ibunya menanggapi, Jihyun sudah menyela, “Lebih baik kita tidur sekarang. Untung saja besok hari liburku. Aku akan menemanimu belanja untuk keperluan pesta ulang tahun cucu Nyonya Cha.”
“Kau mengizinkan?”
Jihyun mengangguk cepat, “Tentu saja. Asal aku turut membantumu. Aku tidak ingin Eomma kambuh lagi seperti waktu itu.”
Kemudian Jihyun menuntun ibunya ke kamar. Lalu menyusul masuk ke kamarnya sendiri yang ada di seberang kamar ibunya.
Jihyun merebahkan badannya dan menatap kosong langit-langit kamar. Membayangkan wajah seseorang yang pernah sekilas dia lihat fotonya, di dalam buku harian milik ibu.
Pria dengan rambut ikal kecoklatan, rahang yang kokoh dengan pipi agak tembam, hidung mancung, dan yang paling jelas dia ingat mata dengan iris berlainan serupa dirinya, cokelat tua dan cokelat terang.
Di foto itu, ibu terlihat begitu bahagia di sampingnya. Dengan latar pantai Haeundae di pagi hari. Di bagian belakang foto itu terdapat sebaris tulisan dalam huruf latin, bukan huruf hangul seperti yang dipakai kebanyakan orang Korea.
Andrew Wood and Ahn Jisuk, Haeundae Beach 19xx.
Entah kenapa saat itu Jihyun yakin bahwa pria asing yang ada di foto itu adalah ayahnya. Tapi saat Jihyun menanyakan hal itu pada ibunya, ibunya marah dan dan menyebutkan tidak sopan karena mengambil barang pribadi yang bukan miliknya. Padahal saat itu, Jihyun tidak sengaja melihatnya saat membersihkan kamar ibunya di rumah lama mereka.
Sejak saat itu, Jihyun tak pernah lagi menanyakan perihal pria asing bermata siluman yang ada bersama ibunya. Toh, jika Jihyun tahu siapa pria itu, dia tidak akan bisa berbuat banyak. Tapi satu hal yang pasti, Jihyun sangat membencinya karena pria itu lah yang membuatnya mengalami kesengsaraan selama ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro