Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Into The Unknown

Yaya

Menjelang tengah malam. Gerakan pulpen ditangan kanan gadis yang sedang mengerjakan tugas sejarah itu berhenti menulis. Yaya merenggangkan badannya keatas. Mata coklatnya melihat jam dinding kamarnya—23.27. Sebentar lagi hari berakhir, badan Yaya memang lelah namun ia tidak merasa ingin tidur.

Tatapan gadis itu malah jatuh pada jendela kamarnya yang memperlihatkan sekilas rumah tetangganya yang di huni seorang kakek baik hati dan cucunya yang tampan(Ups!).

Yaya menghela nafas. Mau mengela berapa kalipun, Yaya tidak bisa berbohong kalau laki-laki bernama Boboiboy itu memang tampan.

Dia manis, lucu, baik dan ganteng, batin Yaya menambahkan.

Iya iya. Yaya tahu itu. Yaya tidak buta, hanya saja ia malu saja mengakui itu meski dalam hati sekalipun.

Ia hampir tidak pernah merasa tertarik dengan seorang pria. Tentu Yaya punya banyak cowok—tapi tidak ada dari mereka yang mampu membuat Yaya kepikiran seperti ini. Tidak seperti cowok-cowok lain, Boboiboy seperti meninggalkan kesan yang tidak bisa dilupakan otaknya. Seharian ini setelah bertemu dengan cucu Tok Aba itu, pikiran Yaya sering kali oleng lantaran wajah Boboiboy tiba-tiba hadir begitu saja.

Meski Boboiboy adalah sahabat kecilnya, tapi Yaya ia baru pertama kali bertemu dengan cowok itu. Salahkan amnesianya yang merepotkan banyak orang, sekarang Yaya harus berurusan dengan perasan mendebarkan setiap kali melihat ataupun mengingat Boboiboy. Ah, andai dia tidak hilang ingatan, Yaya tidak mungkin akan merasa dag-dig-dug-derr dan pasti biasa saja. Mungkin...

Yang paling tidak mengenakkan adalah bayangan senyum cowok itu yang paling banyak menginvasi pikirannya. Akibatnya Yaya jadi salting sendiri dan pipi tiba-tiba merah. Jangan tanya bagaimana jantung Yaya—serasa mau meledak.

Karena itu gadis itu memutuskan mengerjakan semua tugas sebagai upaya mengusir bayangan indah senyum—ARRRGGG! LUPAKAN YAYA! LUPAKAN !

Yaya mendesah lelah—kali ini dengan kepala sedikit pusing.

Gadis itu menatap jendela kamarnya lagi dan berjalan mendekat. Tangannya menarik tuas dan menggeser jendela ke atas. Semilir angin malam seketika membelai wajahnya.

Langit malam sangat bersih hari ini dengan bulan yang berterang lembut. Yaya mendudukkan dirinya di kursi dan memangku tangannya di kusen jendela. Saat kepala Yaya bersandar pada lengannya, semilir angin lagi-lagi membelai wajahnya. Yaya menutup matanya—memutuskan menikmati malam ditemani suara jangkrik meski tahu angin malam tidak menyehatkan.

Namun dengan begini, Yaya bisa sedikit menghilangkan bayangan pria sahabat kecilnya itu.

Lalu suara ketukan kaca mengagetkan Yaya.

Tek Tek Tek

Yaya langsung mencari asal suara tapi tidak menemukan siapa-siapa hingga dia mendongak keatas. Seketika itu mata Yaya melebar beserta mulutya.

"Hai Yaya."

Pria yang seharian dia pikirkan.

"Boboiboy? Sedang apa kamu diatas sana, astaga, awas jatuh." Pekik Yaya tertahan tidak mau membangunkan seisi rumahnya.

Sedang cucu Tok Aba itu jusru menertawakan Yaya yang khawatir dirinya jatuh. Lucu, batinnya.

"Yaya mau ikut naik,tidak? Bagus loh pemandangannya." Ajak Boboiboy seraya menjulurkan tanganya pada sang gadis.

Tapi Yaya langsung menolak, "Tidak mau, bahaya naik-naik keatas, Boboiboy, nanti jatuh. Kalau genteng aku ambrol gimana, kamu mau ganti?"

Boboiboy semakin menyengir lebar, "Aku seratus persen yakin gentengmu ini kuat Yaya, di tiban Gopal pun aku yakin tidak rusak. Ayo Yaya, tidak akan jatuh kok, aku akan memegangmu." Bujuk laki-laki itu lagi. Tangannya masih terjulur menanti Yaya menyambut.

Sekilas Yaya ragu, namun ada dorongan aneh yang membuatnya ingin menerima ajakan Boboiboy.

Dan itu yang dilakukan Yaya, menerima uluran tangan Boboiboy. Telapak dan jemari yang lebih besar dari tangannya itu langsung menggenggamnya erat-erat.

Yaya lagi-lagi menahan pekikannya lantaran tubuhnya yang mendadak ditarik ke atas keluar jendela. Hampir saja dia jatuh kalau saja tidak ada sepasang lengan menangkap pinggangnya.

"Ups! Hampir saja." Kata Boboiboy tepat waktu menangkap Yaya. Jantung gadis itu berdegup kencang sisa dari sensasi ditarik grafitasi yang menakutkan. Dan akhirnya keduanya berhasil naik ke atap rumah Yaya.

Yaya mengelus dada guna mengusir debaran kencang karena hampir jatuh tadi. Dia tidak menyadari dia berada dalam pelukan pria dibelakangnya. Boboiboy sendiri tidak peduli karena matanya hanya terkunci pada Yaya yang kini sangat dekat dengannya. Hidungnya bahkan bisa mencium wangi strawberry pada tubuh Yaya—memulas senyum bahagia di wajahnya.

Hingga akhirnya Yaya sadar dengan posisinya berada diantara kaki Boboiboy dan pinggangnya yang belum lepas dari lilitan lengannya. Segera saja Yaya menjauhkan diri—sama sekali tidak sadar dengan raut kecewa Boboiboy yang langsung hilang.

"Ah! Maaf Boboiboy. Apa aku menimpamu? Mana yang sakit." Ucap Yaya tidak enak hati.

Boboiboy membalas dengan cengiran lebarnya, "Tidak sakit kok. Kamu sendiri Yaya, tidak apa-apa kan?" tanyanya balik.

Lagi-lagi senyum itu, Yaya sekuat mungkin menjaga dirinya tidak gugup(terima kasih Tuhan karena ini malam pipinya yang merah tidak akan terlihat) "Aku tidak apa-apa. Cuma sedikit kaget tadi."

"Syukurlah. Nah, sekarang ayo duduk sini." Boboiboy menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Yaya menurut saja duduk di samping pria itu.

"Wahh...indah sekali..." kagum Yaya melihat langit.

Tepat diatas mereka, bintang-bintang berkelip sangat banyak menghiasi langit tanpa awan. Sinar bulan juga menambah keindahan alam yang jarang sekali Yaya nikmati.

"Benar kan kataku, disini memang bagus pemandangannya." Ucap Boboiboy seraya membusungkan dada bangga. Yaya mengangguk saja menyetujui.

"Apalagi kalau bersama seseorang yang special, jadi indah banget." Guman Boboiboy pelan sambil tidak lelah menatap gadis disampingnya, tidak berharap Yaya akan mendengarnya. Tapi gadis yang memakai kaos pink hangat, celana traning panjang dan kerudung pink lembut itu ternyata mendengar dan menoleh dengan mata melebar kaget.

"Apa?"

Boboiboy yang tidak tahu akan di tatap tiba-tiba tidak mengalihkan pandangan dari Yaya, alih-alih dia justru tersenyum lebar percaya diri—membuat Yaya yang jadi malu senditi.

"Tadi kamu bilang apa?"

"Memang aku bilang apa barusan?" tanya balik Boboiboy. Kilat jahil berbinar di matanya yang biru. Eh? Biru?

Yaya kemudian memperhatikan pakaian Boboiboy. Kaos putih dengan jaket biru, celana biru, sepatu ket biru, jam tangan biru dengan ban nya juga sewarna, bahkan topi nya juga biru, hanya di buat miring saja bukan ke belakang seperti tadi sore. Lalu Yaya kembali menatap mata Boboiboy tapi warnanya bukan biru tapi coklat normal. Apa tadi Yaya salah lihat?

"Tidak tahu, makanya aku tanya kamu." Jawabnya. Yaya menarik lututnya ke dada dan memeluknya. Dagunya dia taruh di atas lutut menatap atap-atap rumah tetangga.

"Yakin mau dengar, Yaya?" gadis itu menoleh lagi pada Boboiboy yang masih tersenyum jahil.

"Tidak usah, aku tidak mau dengar. Ngomong-ngomong, ku kira warna kesukaanmu orange tapi ternyata biru ya?" tanya Yaya seraya matanya menunjuk pada outfit Boboiboy yang semua biru. Boboiboy menunduk melihat busanannya sendiri kemudian menggaruk pelipisnya salting.

"O-Oh, tidak juga kok. Aku suka semua warna, kebanyakan bajuku juga begini, kadang aku bakal pakai biru tua seperti ini atau biru muda, kadang merah kuning, kadang merah hitam, atau bahkan hijau juga. Oh coklat sama putih juga." Jelas Boboiboy tidak berhenti bergerak random. Bibirnya terlipat ke dalam sementara matanya berusaha menghindari tatapan ingin tahu mata Yaya.

Yaya mengangkat alisnya. Merasa ada yang aneh dengan penjelasan Boboiboy tapi dia tidak mau memaksa. Privasi ada untuk di hormati dan Yaya akan memaklumi kalau memang Boboiboy tidak bersedia berterus terang padanya—sahabat kecilnya. Ugh, kok kayak ada yang sakit~

"Boboiboy, kenapa belum tidur?" tanya Yaya kembali menatap bintang-bintang di langit.

"Bagaimana bisa tidur kalau kepikiran kamu terus." Ucap Boboiboy spontan tanpa berpikir.

Dan tentu saja, lagi-lagi, mengagetkan gadis berkerudung itu, "Apa?"

Seperti sadar apa yang diucapkannya, Boboiboy dengan outfit biru tua itu langsung gelagapan, "Eh? Eh? Aku bilang apa? Eh—maksudku...aku bilang—tadi—Oh ya aku tadi membatu Atok dulu menghitung penghasilan kedai, tidak bisa tidur terus kesini, iya begitu—yang barusan bukan apa-apa kok." Jelasnya susah payah. Berkali-kali pemuda itu memuku-mukul bibirnya seraya berguman pelan 'bodoh' berkali-kali.

Tapi sayangnya, Yaya bukan cewek bodoh apalagi tuli. Gadis itu dengar yang diucapkan Boboiboy tadi, cowok itu tidak bisa tidur karena memikirkannya—sama sepertinya.

Diam-diam Yaya senang dirinya punya dampak yang sama untuk Boboiboy.

"O-Oh begitu." Balasnya dengan pipi sedikit merah.

Setelah Yaya tidak melihat lagi dirinya, Boboiboy langsung menghembuskan nafas lega. Gila, rasa-rasanya dia seperti terkena serangan jantung. Mematikan tapi Boboiboy suka. Dasar gila.

"Kalau kamu? Kenapa belum tidur, Yaya?" sekarang gentian Yaya yang panik. Tapi berhubung wanita adalah makhluk penuh muslihat, Yaya dapat menempatkan dirinya pada sikap tenang dan lembut, "Banyak tugas sekolah, aku berusaha mengerjakan semuanya hari ini." Jawabnya.

"Masih saja senang belajar rupanya..." batin Boboiboy.

"Setiap hari cuma belajar apa tidak capek?"

Yaya menjawab dengan gelengan kepala, "Tidak juga kok. Aku harus mempertahankan nilai-nilaiku terus bagus karena aku ingin kuliah ke luar negeri setelah lulus SMA nanti."

Mata Boboiboy membola, "Luar negeri? Seperti Harvand atau Oxford?" tanyanya tak percaya.

Yaya tertawa melihat raut wajah Boboiboy yang dirasanya lucu, "Kalau bisa Alhamdulillah. Tapi targetku adalah NYC, aku ingin belajar lebih ahli menjadi seorang designer."

Boboiboy mengangguk-angguk sok mengerti dan santai, padahal di dalam hati dia ketar-ketir heboh.

Yaya adalah perempuan pekerja keras, rajin, tekun dan berkemauan tinggi. Jika dia mengatakan ingin kelak kuliah di NYC, maka sudah pasti bakl pergi ke sana. Gadis seperti Yaya terlalu luar biasa dan sudah barang tentu suatu hari nanti Yaya akan mencapai cita-citanya.

Harusnya Boboiboy senang—karena salah satu keinginannya adalah Yaya memiliki hidup normal layaknya remaja, orang dewasa, dan manusia biasa.

Seorang Designer. Pekerjaan normal manusia bumi.

Dan untuk mencapainya, Yaya harus belajar di luar negeri. Jauh darinya. Jika nanti kembali ke kampong nya ini, dia tidak akan bisa menemui Yaya lagi. Memikirkannya membuatnya sedih.

"Kalau kamu sendiri?" tanya Yaya.

"Aku apanya?"

"Ya kamu bagaimana setelah lulus sekolah—eh ngomong-ngomong kamu sekolah dimana Boboiboy?"

Skakmat.

Sekujur tubuh Boboiboy langsung berkeringat dingin. Otaknya sudah tidak sanggup mengarang kebohongan lain. Yang tersisa hanyalah kebenaran—dan Boboiboy tidak mau membagi hal itu pada Yaya, tidak untuk saat ini. Belum saatnya.

Boboiboy melirik jam tangan biru di tangannya. Pukul 01.30, sudah pagi dan sudah saatnya dia kembali ke kamar.

"Ah, maaf Yaya, sepertinya aku terlalu lama mengajakmu mengobrol. Sudah lewat tengah malam, kamu harus tidur segera 'kan?"

Ucapan Boboiboy sontak membuat Yaya melihat jam tangannya. Dan benar saja, ini sudah dini haari dan dia harus segera tidur kalau tidak mau ketiduran di kelas nanti.

"Kamu benar. Oke, Boboiboy, aku tidur dulu. Kamu juga segera pulang, oke?! Dahh." kata Yaya tanpa menengok pada sang pemuda. Tidak seperti naik tadi, Yaya cukup lihai untuk turun dan sampai dengan selamat di dalam kamarnya.

"Oke, sampai nanti Yaya."

Yaya mengeluarkan kepalanya dari jendela untuk melihat lagi Boboiboy tapi pemuda bertopi dino sudah tidak berada di tempat.

"Selamat malam, Boboiboy." Balasnya pada sang angin yang berhembus pelan. Dia lalu menutup jendelanya dan mematikan lampu kamar.

Tidak menyadari di bawah—tepat di semak agak jauh dari kamar Yaya yang ada di lantai dua, Boboiboy menatap penuh arti kamar sang gadis pujaan.

"Malam juga Yaya, mimpi indah untuk ku 'ya?"

Hanya hembusan angin malam yang mendengar ucapan Boboiboy Taufan.

End of Chapter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro