TUJUH
Nb: Ngetiknya di hape, nggak kuat disunting. Semoga maklum kalau nemuin saltik atau kalimat efektif. Selamat membaca. ^_^
Begitu sampai, lekas Fella mengambil ponsel dan menghubungi Rifgi. Dalam tiga menit, Fella telah berulang-ulang menghubungi Rifgi, tidak ada hasil berarti sementara langit di atas sana semakin pekat. Fella enggan mengambil risiko untuk berbalik arah kembali ke rumah. Tak sampai semenit Fella merasakan titik air menyentuh tepat keningnya.
Segera Fella bereaksi dengan kembali ke motor dan melajukannya ke arah Smoothy bersamaan dengan deras hujan yang turun. Ada dua pelanggan di dalam, tetapi tidak ada Sandra. Malah, tidak ada seorang pun di balik meja kasir maupun meja bar.
Diusap-usap rambut dan kemejanya yang terkena hujan tadi. Dua pelanggan tadi berdiri, Fella mengulas senyum ketika pelanggan tadi melewatinya dan beranjak ke luar. Fella bergerak ke arah bar, menunggu dan sesekali melongok ke dalam. "Teteh!!!"
Seandainya Sandra belum juga muncul dalam beberapa menit, Fella akan kembali berseru atau malah mendatangi dapur. Kini yang dilakukannya adalah saling menggosokkan tangan, melepas kaitan kucir tingginya yang basah akibat hujan tadi.
Tiba-tiba Fella hendak buang air. Kembali Fella memanggil Sandra, tidak ada sahutan. Menahan dingin bisa dilakukannya, tidak dengan hasratnya ke kamar mandi. Urusan sopan santun atau lainnya bisa menyusul, Fella bergegas menuju ke dalam. Sebelum mencapai pintu ke bagian dalam bangunan itu, benda tersebut menguak. Kemunculan laki-laki itu kontan menghentikan gerakan Fella.
"Toilet, tolong." Dean bergeser, menuntun Fella ke dalam tanpa bicara sedikit pun. Sehabis merapikan rambut kusutnya tadi, Fella ke luar. Bermaksud kembali ke kedai, tetapi aroma yang menguar menahannya untuk mencari sumbernya.
Aroma pekat mentega menuntunnya membelok makin ke dalam, hanya membuatnya mendadak lapar saja. Dan, Fella mendapati sosok tinggi tegap membelakanginya.
Bukan Sandra melainkan Dean yang sepertinya memasak sesuatu. Ketika cowok itu berbalik, Fella tak bisa mengatakan apa pun selain melototi apron di tubuh Dean, lalu spatula di salah satu tangannya, yang omong-omong, Fella agak terpana menyaksikannya.
Bahkan ketika menonton Chef Juna di televisi bersama Mama, Fella tak setakjub ini. Adakah hubungannya dengan mata abu-abu dan rambut pirang berantakan itu?
"Ngapain di situ?"
Suara berat itu agak menjengitkannya. "Aku... Itu, hem." Sial, sebab Fella malah terbata menjawabnya. "Nggak ada Teh Sandra di depan."
Dean melepas apron, gerakan kepala cowok tersebut mengisyaratkan Fella untuk melangkah lebih dulu. Entah kenapa, dia tetap bergeming.
Berlagak begitu tolol. Hingga Dean tiba di hadapannya seraya membunyikan telunjuk. Fella tak menunggu lama untuk berbalik. Tolong, jangan biarkan cowok itu berprasangka kalau beberapa jenak tadi Fella terhipnosis. Dean, seperti yang dikatakan Hani berulang-ulang, the sexiest man ever they meet.
"Seharusnya kamu punya minuman hangat juga." Fella berdiri di depan bar. Dean masih menunggu pesanannya. Akan tetapi, AC yang terpasang malah membuatnya kedinginan. Dan tak jauh dari cowok itu, perutnya cukup nyaring berbunyi. Seburuk ini dirinya di depan Dean sekarang. "Aku pesan salad buah saja. Teteh ke mana?"
Dean meliriknya sekilas tanpa menjawab pertanyaannya. Mungkin lebih bagus. Dari pengalaman buruk sebelumnya, Fella tahu hal memalukan tadi tidak akan disimpan Dean di kepalanya. Walaupun Fella sempat jengkel karena tingkah cowok itu membuatnya merasa Dean lupa kejadian pertama kali mereka bertemu.
Dari jendela, hujan makin deras. Belum lagi tidak ada tanda-tanda Rifgi balas menelopan balik. Pesan yang dikirim beberapa detik lalu pun belum dibacanya. Fella berdoa hujan akan reda sebentar lagi.
Salad buah pesanannya tiba, bersama segelas air putih yang tadi diminta menggantikani minuman lain di daftar menu. Fella menyantap salad tersebut. Jauh lebih nikmat dari biasanya. Mengingat aroma masakan tadi, Fella sebaiknya tidak berdecak gaje. Cukup menikmatinya saja dalam dia.
Dean sudah meninggalkan bar. Barangkali melanjutkan kegiatan tertundanya di dalam. Dia agak menyesal lupa menanyakan apa yang sedang dibuat Dean tadi. Mungkin cowok itu akan berbaik hati menawarkan sedikit padanya. Astaga, aroma mentega itu sepertinya menetap di indra penciumannya. Ketika Fella menguyah seraya memainkan ponsel, secangkir minuman berwarna hijau muncul di depannya. Dean berdiri, dan Fella lagi-lagi terpana pada sosok ini. Kemudian...
"Minumlah selagi hangat."
Fella mendeham. "Sebagai gantinya, aku nggak boleh ngomong soal kamu yang mengenakan apron lucu berkepala kelinci? Aku becanda, kamu malah kelihatan hot-." Segera Fella menekap mulut.
"Seandainya pun kamu menutupinya, wajahmu berbicara banyak tadi."
Dean berlalu begitu. Fella memejam. Kesal sekali. Make yourself to be shy over and over, Fella. Dipandangi lagi cangkir tersebut, pelan Fella mengambil dengan dua tangan.
Aroma matcha yang membuat cepat-cepat meneguk minuman itu. Fella mencecap sedikit demi sedikit. Hangat mengaliri tenggerokan disertai aroma yang pas di lidah.
Fella meletakkan gelas kembali di meja. Mengarahkan kamera ponsel pada minuman yang baru saja disesapnya.
Sesampainya di rumah, bukannya bergegas ke kamar mandi, Fella duduk di lantai kamar. Mengunggah foto terbaik dari yang dipotretnya sewaktu di Smoothy. Mengunggahnya kemudian di akun instagram tanpa lupa menandai akun milik Smoothy. Menjelang tidur usai mengobrol panjang dengan Hani di telepon, Fella dikejutkan notifikasi dari akun @Deanaureliano. Komentar singkat dari cowok tersebut, "Many thanks."
Sengaja Fella tak ingin membalasnya, tetapi dia berbaring dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
***
Dari pesan yang dikirim Rif, Fella seketika berlari menuju gerbang sambil mendekap ransel berisi laptop. Hanya gerimis, tetapi dia tidak ingin mengambil risiko berjalan santai lalu gerimis menjado hujan deras.
Rif memarkir mobil tak jauh dari gerbang, selain mobil hitam berjarak beberapa langkah darinya, Fella belum menemukan keberadaan Rif. Dia mendadak urung menghubungi Rif saat jendela mobil hitam tersebut menggerakkan jendelanya ke bawah.
"Rifgi nggak bisa datang," Dean lalu memintanya masuk.
Kalau cowok ini yang dikirim Rif, mending pulang dengan gojek saja tadi. Fella mendekat, hanya untuk memastikan. "Ke mana Rif?"
"Di tempat bimbel. Jangan tanyakan kenapa dia menyuruh saya menjemputmu."
"Dan mau-maunya kamu-"
"Mau naik sekarang atau kamu menunggu gerimis menjadi lebih deras?"
Fella menggeret kaki. Duduk dan mengerutkan bibir. Beberapa saat setelah mobil bergerak, Fella menyahut. "Sebenarnya, aku nggak enak merepotkanmu."
Dean tetap memandang ke depan. Melirik sekilas padanya pun tidak. Tidak semua cowok ganteng seperti Rif. Ramah dan sangat menghargai lawan bicaranya.
"Meninggalkan Teh Sandra sendirian di kedai itu nggak masalah?" Sebab dalam beberapa hari kedai mulai didatangi beberapa pengunjung.
"Siswa kalian baru akan ke sana sejaman lagi, kami masih punya waktu."
"Dan teman-teman sekelasku? Hari ini mereka ramai melakukan promosi ke yang lainnya."
Fella tertawa begitu Dean berdengkus. Mereka memuji menu Smoothy, tetapi Dean lah yang jauh lebih sering mereka obrolkan. "Ini saranku, mereka nggak akan surut hanya karena kamu memasang tampang jutekmu."
Baiklah, Fella akan menahan mulut untuk mengungkit topik apa pun terlebih dahulu. Cowok di sebelah ini sungguh tidak peka dan terus membiarkannya bermonolog.
Fella mengirimkan protes pada Rif saat mobil berhenti di lampu merah. Umpatan Dean agak mengejutkan Fella. Begitu menoleh, Dean menatap jendela, lebih kepada pengendara motor di sana.
Pandangannya lalu berganti pada dua tangan yang mengeras di kemudi dan Dean senantiasa menatap pengendara motor yang sedang asyik bercakap dengan perempuan yang diboncengnya.
Lampu berganti warna, si pengendara motor bergerak ke arah kiri, pun dengan Dean. Seharusnya mereka tetap bergerak lurus.
"Kita lagi membuntuti motor yang di depan itu?"
Pertanyaan itu harusnya ditahan saja, Fella cukup penasaran. Dean masih tidak menjawab. Sorot mata itu berubah, dua tangan yang benar-benar erat menyentuh kemudi. Dan, berulang kali Dean mengumpat.
Parahnya, Dean mendadak mengerem laju mobil. Refleksnya cukup bagus, satu tangan menjadi penengah sebelum dahinya menyentuh dasbor.
"Dean, kamu niat bikin kita celaka?"
Cowok itu memejam. Fella menggosok-gosok kening, belum lagi tangannya agak kebas. Niatnya untuk turun saat itu juga batal saat Dean menyentuh lengannya.
"Maaf. Saya sungguh minta maaf. Tadi itu di luar kendali saya."
Sayangnya, wajah itu mendadak keruh dan... Fella melihat sesuatu yang lain di mata Dean hingga Fella menahan kesalnya. "Oke."
"Dahimu?" Tangannya ditahan mengelus kembali dahi yang terasa nyut-nyutan, gantinya Fella melirik Dean dengan pelototan tajam. "Pertanyaan bodoh. Pasti sakit. Di depan ada warung, kita bisa singgah sebentar di sana."
"Nggak apa-apa, kok, ini. Sakit memang, tapi kita nggak perlu singgah. Lagian, itu tempat makan, ada salep dan sejenisnya di situ?"
"Kita singgah saja dulu."
Sungguh, Fella berpikir Dean memedulikan sakit di dahinya. Cowok itu tahu-tahunya memesan mi instan biasa tanpa pernah mengungkit lagi keadaannya. Dean sialan, bisa-bisanya Rif memercayakannya pada cowok bule tidak peka ini?
Dean memesan dua porsi mangkuk jumbo. Menawarkan pada Fella lalu menyantap bagiannya. Aroma khas mi instan tersebut sejenak membuat Fella lupa. Akan tetapi, dia bersikukuh melontarkan pertanyaan untuk cowok ini.
"Aku butuh jawaban, siapa yang sebenarnya kamu buntuti tadi. Si pengendara atau cewek yang diboncengnya?"
Di luar dugaaanya, Dean menjawab ringan. "Perempuan yang ada di boncengan."
"Pacarmu?"
"Mantan." Fella pura-pura tidak mengerti ketika Dean menatapnya sekarang. "Kentara sekali, ya?"
"Kamu mengumpat berkali-kali. Intinya, aku nggak buta. I can see all of scary monsters on your face."
Hal tak terduga lainnya adalah cowok itu tersenyum. Fella memejam erat dan menggeleng. Jangan ingat wajah tampan... Fella, tolonglah, cowok itu menyebalkan!
"That's so silly."
"Sering kita melakukan tindakan impulsif, lalu menyadari itu tolol, dan menjadi keki karena melakukannya untuk seseorang yang nggak lagi memedulikan kita. Aku menyibukkan diri setahun ini karena nggak mau frustrasi mikirin mantan yang memutuskanku tiba-tiba. Tanpa alasan pula. Lebih menyakitkan lagi, dia sudah memiliki pacar sementara aku belum bisa melupakannya." Fella mendesah. Menyuap mi dengan sumpit. Lalu, "Rif seringkali mengingatkan bahwa aku terlampau banyak melakukan hal bodoh demi cowok itu. Semasa pacaran, aku membiarkan rambutku sepinggang tanpa pernah. Menutupi dahi dengan poni. Penampilan seperti itu membuatku mirip karakter anime. Meski aku nggak suka karena gerah, aku tetap melakukannya. Begitu putus, aku memotong rambu dan melakukan apa saja pada rambutku. Aku mendapatkan kebebasanku, Rif selalu ngomong begitu. Di beberapa kesempatan, aku kadang berharap Abrar mengajakku balikan."
Fella kini tak berhenti menyantap mi. Di luar, gerimis tadi menjadi lebat.
"Kamu hebat." Dean berhasil menandaskan isi mangkuknya. "Memilih nggak terpuruk karena seseorang. Dan Rif, anak itu selalu bisa diandalkan."
Keduanya diam dalam waktu cukup lama. Fella teringat, dua hari lalu dia menghapus semua kenangan dirinya dengan Abrar. Setahun lebih cukup baginya memberi cowok itu kesempatan.
Fella agak terkesiap karena jentikan jari di depan hidungnya. Sudah waktunya pergi. Sementara Dean di kasir, Fella menunggu di luar. Sedikit menjulurkan tangan demi menyentuh titik-titik, ditarik lagi tangannya begitu Dean muncul.
"Eh, tunggu." Dean menahan langkahnya menuju mobil. Fella ingin menanyakan sesuatu, tindakan Dean menghentikannya.
Cowok itu memindahkan poni lalu menyentuh lembut keningnya. "Kita sempatkan mampir di apotik untuk beli ice pack. Dahimu benjol begini."
Fella ingin menyingkirkan tangan itu sejak Dean hendak menyentuhnya. Celakanya, mata abu-abu itu kembali melakukan sihirnya. Memakukan Fella hingga dia tak mampu berkutik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro