TIGA
Menjelang 25 menit kelas bubar, Fella mengambil plastik putih yang tadi sudah diisinya dengan empat tumlber dan kotak bekal kosong. Pertengahan bulan ini, jadwal para tutor untuk ditraktir minuman gratis di Smoothy, kebijakan Rif yang membuat pegawainya makin cinta pada cowok murah senyum itu.
Fella berjalan gontai tanpa semangat, di dalam hati terus memanjangkan doa agar tak perlu bertemu Dean di sana nantinya. Kejadian itu, kalau Fella ingat lagi, sungguh memalukan. Dia sudah meminta Rif agar menyampaikan permintaan maafnya. Seandainya pun bertemu, Fella berniat kembali meminta maaf. Akan tetapi, dia berharap lebih banyak agar cowok itu tak perlu bertemu dulu dengannya.
Pada outdor area, Fella mendapati Sandra yang melayani seorang pengunjung di balik kasir. Tak ada cowok itu di dalam. Maka, dengan mantap Fella menguak pintu lalu menuju ke bar sembari memberi senyum lebar pada Sandra.
“Minuman seperti biasanya kah?” diserahkannya bungkusan plastik tersebut dengan anggukan cepat, lalu Sandra menyebut pesanan yang dihafalnya. “Tiga ice berry and nut smoothies, banana berry, dan orange mango, semua toppingnya disamakan saja. Dan kotak pink ini, fruit salad with yoghurt.”
“Fruit salad ice chocolate, dengan porsi jumbo,” koreksi Fella. Ketika Sandra meliuatkan alis, Fella terkekeh. “Bos ganteng lagi nggak ada di tempat, aku yang ambil bagiannya.”
Begitu Sandra mengambil buah untuk kemudian dipotong-potong, Fella kembali menoleh ke belakang. Menyadari bahwa semakin hari, kedai kehilangan pengunjung. Bukan urusannya, tetapi Fella terkadang penasaran, minuman dingin berbahan baku buah buatan Sandra sangat lezat. Dia dan pegawai lainnya di Gyan’s tak pernah bosan memesan minuman di sini. Topping es krim homemade-nya pun tak kalah dari es krim pabrikan.
Sontak Fella teringat sesuatu, “Apa cowok itu menginap di tempat lain?” Sandra melengak, tetapi dua tangannya tetap sibuk. “Anaknya Pak Rahadi kudengar akan bekerja di sini. Dia punya restoran setahuku, belum lagi hubungan ayah dan anak itu nggak harmonis?”
“Dean memang akan bekerja di sini.” Senyum tipis dari Sandra, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Fella sebelumnya.
“Satu lagi.” Sandra menatap sekilas. “Teteh lagi dekat dengan Rif? Beberapa kali aku mendapati Rif ke sini untuk mengantarmu pulang.”
Masih senyum tipis yang sama. Fella sungguh dibuat geregetan. “Aku nggak akan bocorin ini ke yang lain. Rif beneran pedekate ke Teteh?”
Sandra menyodorkan pesanan yang sudah dimasukkan lagi ke dalam bungkusan plastik. Lalu, “Aku baru pengin menghubungimu, Dean.”
Fella menanapkan mata dan refleks berbalik. Tiba-tiba saja degub jantungnya tak keruan mendapati cowok itu bergerak ke arah bar. Maka, Fella memutar tubuh. Agak bingung apakah perlu menyapa atau langsung pergi saja usai membayar. Fella lebih condong memilih opsi kedua, sayangnya, mendadak dia susah payah mengeluarkan uang di saku jin. Lekas diberikan pada Sandra ketika berhasil mengambil uang. Dan..., dia menelan ludah begitu berbalik sudah mendapati si cowok bule berdiri tak jauh darinya.
Mata abu-abu pekat itu sudah lekat menatapnya. Tak ada cara lain untuk kabur, “H-haii.” Mengurangi gugup, Fella berdeham. Tiba-tiba menjadi salah tingkah begini. Cukup, tidak boleh lagi ada kejadian memalukan. “Kita bertemu lagi ternyata.”
Dean tidak mengedip, pandangan itu turun lalu kembali ke matanya. Seolah sengaja menilik penampilan Fella.
“Sepertinya kalian sudah kenalan.”
Wajah kebingungan cowok itu sontak membuat wajah Fella memalas. Wajah itu menunjukkan kebingungan. Pada Sandra, Dean menggeleng lemah.
Tahu begini, Fella langsung mengeloyor pergi saja tadi. “Teh, aku pergi sekarang. Makasih.”
Dia memanjangkan langkah agar tubuhnya segera menghilang dari tempat ini. Apa-apaan cowok itu, kenapa sampai tidak mengalinya? Sepertinya berniat sekali membuat Fella malu untuk kedua kalinya, cara lain untuk membalas dendam padanya kah?
Setibanya di luar, dengan tololnya, Fella melirik ke belakang. Mendapati dua orang itu mengobrol, kemudian balas menatapnya.
“Dungu banget, sih, kamu tuh!”
Ingin sekali Fella menyentil dahinya keras-keras. Sekarang dia menjadi tampak sangat bodoh di depan cowok itu. Dean akan menganggapnya tidak punya otak karena seringkali mempermalukan diri dan..., Hei, kenapa pula berpikir yang tidak-tidak?
Bukan urusannya seandainya Dean berpikir yang bukan-bukan tentangnya. Lagi pula, Dean bisa saja tidak mengingatnya. Fella menggeleng keras. Jauh lebih baik dia bergegas dan menyantap pesanannya.
***
Sejam lebih Fella tidak beranjak ke mana-mana, terus duduk di depan komputer. Berusaha memindahkan apa yang ada di kepala ke dalam tulisan. Waktu selama itu paling tidak bisa menghasilkan dua atau sehalaman lebih. Alih-alih, Fella mengetik kemudian menghapusnya lagi, kembali membaca ulang artikel dan buku-buku di sekitarnya. Begitu terus tanpa menunjukkan hasil sampai Fella henda menjambak rambutnya.
Sekarang pukul 14.10 ketika Fella melirik sebal penanda waktu di laptop. Fella lalu menempelkan kepala di meja. Menyerah. Padahal besok adalah janji bertemu dosen pembimbing, tetapi lihat saja, bab pendahuluannya saja belum kelar-kelar.
“Kamu bisa, kok.” Mangkuk putih sudah berada dalam pandangannya. Berisi potongan buah mangga saat Fella sedikit melengak. Rif lalu duduk. Rambut kusut dengan wajah mengantuk itu menatapnya. “Untuk sementara kamu jauhkan saja tanganmu agar tidak membuka akun sosial media. Niatnya awalnya sekadar melepas uneg-uneg, ujung-ujungnya kamu malah keasyikan balas komentar ini-itu.”
“Biar nggak sumpek, tahu!”
“Seminggu kamu datang lebih awal ke sini, Fel. Harusnya sudah jadi se-bab. Kamu tahu apa yang bikin otakmu macet, karena kamu menyiksa diri memelototi mantan yang sudah move-on.”
Fella meraup buku paling tebal dan menggemplangkannya ke tangan Rif, cowok itu menanapkan mata lalu meringis. “Bawel banget. Pergi mandi sana! Semalam kamu ke mana? Aku kaget karena mengira mendengar gas bocor saat di ruang tengah tadi, tahu-tahu itu suara dengkuranmu.”
Cowok bermata sipit itu tidak acuh. Meraup buah dengan garpu. “Kudengar dari Sandra, kamu bertemu lagi dengan Dean. Dia nggak mengenalimu, ya?”
“Mungkin aku kenangan paling buruknya, sampai dia lupa begitu. Baguslah, aku nggak perlu repot-repot merasa nggak enak hati saat bertemu lagi. Jadi, apa kabar hubunganmu dengan Sandra? Kapan akan memberitahuku secara resmi kalau kalian sedang berusaha serius? Ayolah, kamu nggak punya sahabat selain diriku. Ceritakan saja, aku bisa menjaga rahasia.”
“Astaga, Fel, kamu bahkan belum selesai bab satu!”
“Susah banget memangnya jujur kalau kalian pacaran? Kamu boleh nggak mau membicarakannya−”
Pintu terpentang secara tiba-tiba membuat Fella maupun Rif menengok ke arah depan. Hani, cewek berambut cokelat terang itu bergegas mengambil kursi dan duduk di depan Fella. “Hai, Bos. Fel, aku ada kabar penting.”
“Aku ke atas.” Rif memundurkan kursi dan bangkit. Memasukkan mangga dan meninggalkan tempat itu.
“Karena kabar penting itu, kamu relaian datang lebih cepat?”
Hani mengibaskan tangan. Ikut meraup potongan buah. Sementara Fella merapikan barang-barangnya. Ada Hani, aktivitasnya akan terganggu. Cewek itu akan heboh mencerita drama Korea yang ditontonnya atau menceritakan kabar terbaru apa pun dari boyband idolanya.
“Tadi aku singgah ke Smoothy. Tebak aku habis ketemu siapa, Fel?”
Apa pun yang akan dikatakan cewek ini, reaksinya selalu heboh. Lihat saja kerlip di matanya disusul tangan yang mengcengkeram hebat tangan Fella. Sepertinya dia bisa menebak sesuatu.
“Cowok bule, penghuni baru di Smoothy?”
“Oh... My, kamu sudah ketemu juga rupanya!” Fella membiarkan saja satu tangannya yang digenggam itu dilarikan Hani untuk didekap. Ya, cewek ini memang se-lebay itu. “Mata abu-abu. Alis tebal. Rahang keras kukuh itu. Ah, rambut pirang gelapnya. Aku bingung apa dia layak dibandingkan dengan Chanyeol. Tingginya pun sama. Ya sekarang aku positif dilema harus mengidolakan siapa-siapa.”
“Dia nggak sekeren Chanyeol, kok. Dia jelas-jelas dikenal seluruh dunia. Pintar memainkan alat musik dan−”
“Paling tidak, aku nggak punya saingan kalau menyukai Dean.”
“Sorry?”
“Fella, dia jelas cowok yang berpotensi untuk dijadikan gebetan. Dia nggak sesempurna Chanyeol memang.” Tolong, tak perlu merasa muak bagaimana Hani selalu membandingkan seseorang dengan member boyband itu. “Aku nggak suka wajah menyeramkannya. Kelihatan sombong. Apalah. Tapi, aku punya kesempatan besar menjangkaunya. Smoothy nggak jauh dari sini. Meskipun aku nggak secantik Yoona-Ahjumma, aku jelas-jelas nggak jelek.”
“Terserah.”
“Kamu nggak antusias banget. Aku beneran serius. Niatnya aku pengin ngajakin kamu ke sana lagi buat kenalan. Kamu sudah melihatnya lebih dulu. Jadi,” Hani melepaskan tangan Fella. “kamu nggak tertarik dengannya. Masih dalam mode susah buat move on, kan, kamu.”
“Kamu dan Rif, sama-sama menyebalkannya. Ungkit terus saja, aku tahan banting, kok!”
Hani meringis. “Sama sekali bukan begitu maksudku. Kalau begitu, kamu nggak akan menjadi sainganku mendapatkan cowok itu?”
“Is that really seriously?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro