Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SATU

Fella akan menyeret tetikus, hendak menutup semua tab. Pada laman Instagram yang dari tadi mengambil fokusnya, sepasang mata itu memelotot pada postingan terbaru. Gadis muda bermata sipit tengah memelut erat pacarnya. Senyumnya rekah dengan puncak hidung menempel di pipi kanan lelaki di sampingnya.

Lelaki itu yang selama empat tahun bersamanya. Hubungan itu berakhir setahun lalu dan...

“Masih ngebet stalking kamu rupanya.”

Dia berjengit. Buru-buru menutup semua tab. “Aku ngerjain skripsi, Rif.”
Rifgi nama cowok yang sekarang berdiri di dekatnya−Fella senantiasa memenggal suku kedua untuk meyebut cowok itu−tampak miris.

“Aku percaya kamu berniat mengerjakan skripsimu yang lagi-lagi teralih suatu hal nggak penting sama sekali.”

“Iya, iya. Bawel!”

“Lantainya sudah dipel?” Rif menengok penanda waktu di sudut layar komputer. “Sebentar lagi anak-anak pada datang, lho.”

Diangkat telapak tangannya kemudian ujung telunjuk dan jempolnya menyatu membentuk lingkaran. “Kamu sendiri siap-siap sana. Jangan ketiduran lagi kayak kemarin.”

Rif menyingkir tiba-tiba berbalik lagi, “Hei, jangan lupa kontak lagi Hani, jadwalnya digeser sementara menggantikan Seno.”

Begitu Fella sudah seorang diri di ruangan ini, dia menyemburkan napas kuat-kuat. Bayang-bayang gambar di laman instagram tersebut berputar terus di kepalanya. Memang apa yang bisa dilakukannya untuk melampiaskan rasa gondok itu selain membuatnya gesit dalam bekerja?

Dihubungi tiga tutor yang akan mengajar hingga malam nanti, memastikan mereka hadir. Lalu mengepel lantai tanpa kepayahan. Lima menit menjelang pukul tiga, Fella mengambil lap dan pembersih kaca. Menyemprotkan di bagian luar pintu, plang kayu berukir bertuliskan GYAN’S tak luput dibersihkan.

“Sore, Kak Fellaaa!!! Tiga gadis mungil muncul dalam pandangannya. Fella membalas sembari membuka pintu. “Jutek banget mukanya, Kak."

“Lagi bertengkar sama pacar kayaknya. Teteh biasanya gitu.”

Tidak menjawab apa pun, Fella hanya memberi senyum paling lebar pada salah seorang sampai terdengar lagi.

“Aku doain malam nanti Kakak sudah baikan lagi.

Anak-anak SD itu, kadang Fella tak mengerti kenapa begitu kepo dengan urusan orang dewasa.  Menyibukkan diri menjelang kelas pertama pada hari bimbel selalu dipilih Fella daripada dikepoi anak-anak yang terlalu cepat puber.

Helai dedaunan terserak di pekarangan. Fella melirik pada dinding pembatas di sisi kanan, jejeran Pohon Angsana sudah sangat lebat. Lagi, foto tadi menyela konsentrasi Fella. Mungkin alasan mengapa dia belum bisa berhenti memikirkan cowok itu bukan hanya karena Fella masih mencintai melainkan karena dia belum bisa menerima diputuskan secara sepihak.

Fella bahkan tak pernah merasa membenani cowok itu, tahu-tahu di suatu hari, Fella menerima fakta hubungan bertahun-tahun itu kandas. Tanpa alasan jelas. Dan belum sebulan, Fella sudah memergoki cowok tersebut bergandengan mesra dengan perempuan lain. Wajah dan penampilan yang biasa saja, dia merasa tak layak dicampakkan semenyakitkan itu.

“FELLA!”

Terkesiap, Fella spontan bergerak mundur. Menabrak salah satu pohon. Menahan nyeri, Fella mengusap dada berkali-kali tanpa lupa menghunjamkan pelototan pada bos rese yang menutup mulut menahan tawa.

“Aku nggak ada maksud bikin kamu kaget. Kupanggil berkali-kali, kamunya nggak ada respons.”

Ditarik tubuhnya, Fella belum membalas Rif. Debar jantungnya belum stabil.

“Kalau sempat ke Smoothy nanti, kamu tanyain ke Sandra, Dean jadi pindah hari ini apa nggak.”

Sepasang kelopak mata itu mengedip. “Dean anaknya Pak Rahadi?”

“Yup. Pastikan saja ke Sandra soal kedatangannya.”

Cowok itu sudah berbalik lantas Fella menghentikannya dengan menarik ujung kemeja Rif. “Artinya dia bakal menetap di Smoothy, bareng Pak Rahadi, begitu?”

“Dia akan mengambil alih kedai.” Rif menyengir. “Mungkin akan jadi kesempatan bagus untuk kalian saling berkenalan. Ayolah, ketimbang kamu terus membayangkan mantan yang nggak akan pernah mengajak balikan.”

“Rif!” Cowok itu melepas tawa keras dan bergegas masuk sebelum Fella menerjangnya dengan tinju keras.

***

“Mama, aku berangkat.” Diambil tangan wanita itu untuk kemudian dikecup punggung tangannya, lantas Fella beralih pada dua pipi cekung beliau.

“Ke kampus?”

Fella menyengir. “Ke Gyan’s. Lagian janji ketemu dosennya besok, kok. Kejauhan kalau mesti ke kampus ngerjain skripsi.”

“Hampir setiap hari kamu bilangnya ngerjain skripsi di Gyan’s, nggak ada kelar-kelar ini. Masih pagi begini juga, pacaran kamu ya di sana?”

Fella mengangkat rambut tinggi-tinggi lalu menggelungnya asal. “Mau pacaran dengan siapa coba. Aku pamit, Ma.”

“Mama pengin ngomong sebentar, jangan main kabur saja kamu.” Fella membalikkan lagi tubuhnya. Menatap sembari memberi senyum paling lebar pada Mama. “Belakangan kamu malah terlalu sibuk mengurus bimbel. Janjimu dulu, kalau kuliah keteteran, Mama Papa akan cabut izin untuk kamu kerja.”

“Ma, nggak ada yang keteteran. Serius! Mama tahu gimana riwehnya urusan skripsi ini.”

“Iya, sama tahunya kalau kamu sedang keasyikan kerja sampai menomorduakan kuliah. Nggak, biarin Mama ngomong dulu. Kamu pulang hampir pukul sepuluh malam, langsung tidur setelah itu. Besoknya, belum masuk jam kerja, sudah tancap gas saja ke sana. Ogah-ogahan, kan, kamu sekarang buat sekadar ke kampus? Dilawan dong rasa malas itu, Fel. Mau lanjut magister katanya.”

Niatnya menggebu-gebu ketika itu. Setelah perlahan rasa sakitnya menghilang, setelah Fella kembali menata hati, lalu disibukkan dengan bekerja di tempat bimbel Rif, niat itu memudar.

Baik Papa maupun Mama sejak dulu mendidik anak-anaknya agar mandiri. Papa terutama, beberapa kali menegaskan agar tidak mudah menangadahkan tangan begitu saja. Fella pertama kali bekerja paruh waktu saat semester empat, Papa mengizinkannya dengan syarat tak mengganggu kuliah. Jejaknya diikuti Raefal dengan bergabung bersama teman-teman mendirikan bengkel.

Dilepasnya helm ketika Fella tiba di teras Gyan’s yang asri. Bimbel ini baru berdiri empat tahun lalu, baru tahun kemarin Fella bergabung. Bekerja di bagian frontdesk, kadang-kadang menggantikan Kak Hani mengajar Matematika ketika tutor satu itu berhalangan hadir.

Sementara Fella turun dari motor, dia mencari kunci cadangan yang pernah diberikan Rif. Cowok itu sedang tidak ada di kedai, pesannya baru Fella lihat tadi. Pandangannya lalu tertumbuk pagar kayu di bagian samping, dedaunan kering terserak di sekitar kursi kayu di sana. Rif barangkali terburu-buru mengurusi sesuatu penting sampai tak lupa membersihkan teras.

Selain bangunan bertingkat dua ini dijejeri pohon besar nan lebat, cowok itu juga pecinta tanaman. Pot unik dari barang bekas yang sudah dicat disebar memenuhi teras, sebagian digantung di pagar kayu di kanan-kiri bangunan bimbel ini. Dari semua hal, Fella suka dengan konsep bangunan in. Bertingkat dengan lantai bawah disekati sebagian kayu berpernis mengilat. Dan, lagi Rifgi memberikan sentuhan tanaman menjalar di sekitar pintu kayu, mengarah ke jendela. Pada bagian bawah jendela, Rif juga memasang kotak panjang yang ditanami bunga pukul empat sore.

“Biar kalian semua pada betah.”

Kerap ketika tutor kelelahan, mereka sejenak akan berada di luar. Sekadar memjernihkan pandangan dan kepala mereka.

Seketika Fella terperanjat begitu tersadar pintu rupanya tidak terkunci. Sampai lupa mengunci pintu, pasti lebih rumit yang sedang diurus cowok itu. Sesaat, Fella mengamati keadaan di sekitar fontdesk. Rak-rak kecil ditempel di dinding. Sebuah tivi layar besar tak jauh dari meja kerjanya yang terlihat rapi. Lemari tinggi tempat Fella menyimpan berkas-berkas pengarsipan. Semuanya rapi.

Firasat Fella mulai tidak enak ketika menaiki tangga. Terdengar bunyi berdebum di atas. Mungkinkah tikus yang menyenggol sesuatu? Meski Rif amat peduli dengan kebersihan, beberapa kali memang Fella mendapati hewan pengerat bersileweren di belakang rak buku.

Tergesa Fella naik dengan melewati beberapa undakan tangga sekaligus. Dia baru akan melangka menuju lemari rak ketika menangkap bayangan sekilas dari kamar Rif di belakangnya.

Untuk beberapa jenak, Fella bergeming. Sibuk menduga-duga. Apa benar memang sudah pulang? Terdengar lagi suara berisik dari belakang, seperti seseorang yang sedang menggeledah. Fella hendak bersuara, tetapi tidak ada yang ke luar dari mulutnya. Dia memberanikan diri bergerak demi mengecek kamar yang pintunya hanya terbuka sebagian.

Tongkat pel tergelak tak jah di depan pintu, Fella sepelan mungkin menggerakkan kepala. Sesosok tampak membelakanginya dengan tangan mencari-cari di dalam laci. Satu tangannya melesakkan sebuah laptop ke ransel. Astaga, yang dilihatnya sama sekali bukan Rif!

Sebelum ketahuan, Fella akan berlari meninggalkan lantai atas ini, akan menjerit sekencang-kencangnya begitu di bawah. Akan tetapi, otaknya memerintahkan Fella mengambil tongkat pel lalu menyongsong masuk. Bersama tangan dan kaki gemetaran, tak lupa bibirnya melafalkan doa.

Diangkat tinggi-tinggi tangannya lalu mengayunkan tongkat itu ke pundak sosok yang membelakanginya. Sepersekian detik, sosok itu tertunduk. Sebelum berbalik, Fella kembali mengayunkan tongkat hingga erang kesakitan terdengar, berulang-ulang, tapi Fella menolak berhenti.

“STOP!!”

Fella bahkan mulai kepayahan, sayangnya, cocok di depannya belum juga tumbang. Dia bergerak mundur, mencari celah. Sepertinya dia harus kabur detik ini juga. Fella kembali mengayunkan tongkat, kali ini pukulannya harus telak! Alih-alih, benda di tangannya mendadak berhenti di udara. Fella mengerjap. Hal yang pertama kali disaksikannya adalah mata kelabu pekat. 

Detik berikutnya, usai Fella mendengar sendiri suaranya membahana di dalam ruangan tersebut, dia tidak lagi mengingat apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro