Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ENAM

“Selain promosi lewat akun medsos, kamu juga perlu mencetak brosur banyak-banyak, akan kubagikan satu-persatu pada siswa. Buat deh akun sosmednya sekarang, besok tinggal kamu unggah foto menu di sini.”

Lelaki itu menjenguknya tiga jam lalu. Khawatir Dean terlampau sibuk  hingga mengabaikan telepon Rifgi berulang-ulang. Detik ini, Dean salah sudah mengizinkan Rifgi berkunjung ke roof garden sebab Rifgi merasa betah di sana dan enggan beranjak pergi. Bagus seandainya cowok itu tidak berkomentar ini-itu.

Menganggap Dean tidak becus dalam pekerjaannya.
“Satu lagi! Ini sangat kusaranku, ketimbang menyewa tenaga profesional, kamu minta tolong saja pada Fella. Berkat sering memosting seluruh aktivitas sehari-harinya di instagram, hasil memotretnya bagus-bagus.”

“Selesai? Ide promosi via daring itu sudah saya pikirkan. Lalu soal brosur, cukup dua untuk ditempelkan saja di tempatmu. Terlalu boros membagikannya pada orang-orang, masih mending dibaca bukannya dijadikan kipas atau langsung dibuang. Kami nggak menggunakan kertas seperti Japan Mainichi Shimbun yang bisa tumbuh ketika ditanam.”

“Ada yang seperti itu?” Dean mengambil kembali laptop yang sempat dianggurkannya. “Ingat saranku, Fella bagus dalam memoret.”

“Berisik!”

Rifgi sekilas menatap daftar menu yang disodorkan Sandra, akan berkomentar kalau Dean tidak menyuruhnya kembali diam dengan memelotot. Besok pagi, perempuan itu kembali datang membuat dua menu baru. Semoga percobaan besok rasanya tidak kalah nikmat dengan yang tadi.

Dean tidak menyangka bahwa Sandra juga akan melibatkan Fella. Menurut Dean tak perlu memasukkan orang asing dalam hal ini. “Kita cuman butuh bantuannya, kok. Memberi saran buat minuman baru ini. Pendapatnya jujur dan obyektif, meski kamu bilang ini oke, aku tahu kamu masih ragu.”

“Nanti, kita ambil dulu gambarnya.”

Sandra meringis. “Bisa kita serahkan ke Fella. Lumayan lho daripada nyari food fotoghraper.”

“Saya bisa kok melakukannya.”

Tetapi, tidak mudah mendapatkan hasil seperti yang seringkali Dean lihat padahal beberapa aplikasi mengedit foto sudah digunakan juga. Pada foto yang kesekian, Dean menyerah. Menyerahkan keputusan pada Sandra sepenuhnya. Perempuan itu tidak berbicara banyak, Dean hanya menyimpulkan pada raut dan desah leganya.

Jadwal bimbel Gyan’s belum dimulai, tetapi beberapa anak sudah terlihat di sana. Sedang asyik bercengkerama dengan Fella. Sandra menyapa lalu menjelaskan kedatangan mereka sedangkan Dean hanya menatap ke arah lain. Menjadi risih kemudian ketika bisik-bisik dari remaja yang membicarakannya. Dia tidak besar kepala, Dean beberapa kali mendengar, ‘cowok bule, mata abu-abu atau biru. Mungkin bisa diajak pedekate.’

“Perempuan sekarang memang secentil ini, ya?”

Dean dan Sandra diajak ke dapur. Di sana, Dean seketika menyampaikan isi kepalanya hanya demi mendapati dua kepala yang menatapnya lekat. Fella lebih dulu berkomentar, “Siapa yang kamu sebut centil, aku dan Teh Sandra?”

“Remaja ingusan di luar.” Dua orang di antara mereka mengajak berkenalan, tidak mengizinkan Dean mengikuti Fella sebelum uluran tangan tersebut dibalas.

“Menurutmu, cowok sekarang nggak pada kurang ajar nggak, hm?”

“Fel, nggak dicoba dulu smoothies-nya?”

Diabaikan saja dengkusan Fella. Dean jauh lebih butuh penilaian Fella. “Sekarang tampilannya dengan yang dulu, jauh lebih oke yang sekarang. Ini aku, ya. Terlalu manis.” Dean juga berkomentar yang sama pada Sandra tadi. “Aroma yoghurtnya lebih kerasa, aku malah lebih suka mencium aroma buah yang lebih kuat.”

“Malah lebih bagus saat aroma buah dan yoghurt tercium sama kuatnya.”

“Itu juga boleh. Kalau dibandingkan semuanya, aku lebih suka yang sekarang. Masih ada nggak, bisa aku cobain ke Raefal dan Papa−mereka pecinta jus. Kalian mungkin butuh juga ulasan mereka. Gimana?”

Dean menjanjikan akan memberikan minuman gratis pada perempuan itu sebagai ganti imbalan telah memotret menu untuknya.

Rifgi tidak becanda mengatakan Fella bisa memotret. Hasilnya lumayan dan Dean meminta izin menggunakan foto yang tersisa untuk digunakan sewaktu-waktu.

***

“Dean, tolonglah, kamu nggak bisa bersikap nggak ramah pada pengunjung.”

Beramah tamah adalah kewajiban mutlak saat melayani konsumen, Dean mengerti sekali aturan itu, tetapi tidak ketika berurusan dengan remaja labil yang sedari tadi cekikan setelah memandangnya. Bergantian datang padanya meminta nomor ponsel atau mengajak selfi.

Dean dan Sandra tidak berharap banyak begitu kedai buka hari ini. Lalu, di siang terik Sandra mengetuk pintu kamar dan memintanya turun ke bawah. Melompat kegirangan ketika Dean berdiri di balik kasir. Sandra sempat membisikinya bahwa anak-anak SMP itu pelajar di Gyan’s, Dean tak peduli. Jika memungkinkan dia berharap bisa menceramahi mereka bahwa jauh lebih baik mereka langsung pulang ke rumah.

“Kalau aku mengganggu waktu tidurmu, aku nggak masalah ditinggal sendirian. Aku bisa mengurus pengunjung ini sendirian.”

“Apa sebenarnya yang kamu bicarakan?”

“Tampangmu.” Bisik Sandra. “Senyum lah sedikit. Anak-anak itu bisa saja nggak balik karena mengira salah satu dari kita nggak terlihat ramah. Kamu nggak akan mengacau setelah kita berhari-hari bekerja untuk kedai ini.”

Tidak ada bantahan meskipun Dean sangat ingin melakukannya. Lagi pula dia tahu, dia harus menekan egonya. Maka, Dean mencoba memberikan segaris senyum ketika anak-anak itu pamit. Bahkan masih sopan menolak ketika dipaksa berulang kali berfoto. Selang semenit kepergian siswa SMP tersebut, pintu kedai membuka.

Fella dan dua orang temannya memasuki kedai. Sandra membalas sapaan Fella, berbasa-basi sejenak lalu mulai cekatan membuatkan pesanan tiga pengunjung itu. Di saat Dean meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu di mesin pencari, satu suara membuatnya melengak.

Dua orang perempuan muda bersamaan menjulurkan tangan.
Diajak berkenalan terlebih dahulu bukan hal baru baginya. Hanya saja, rasa nyaman itu selalu saja muncul. Dean tidak antipati terhadap perempuan, sama sekali tidak, mungkin menjalin keakraban bukanlah keahliannya. Seperti sekarang, dalam hati Dean berharap Sandra lebih cepat mengerjakan pesanan Ulfa maupun Fira−dua perempuan ini.

Nyatanya tidak, melirik terangan-terangan ke sebelah, Sandra tampaknya sibuk mencari sesuatu. Lalu Fella, memilih posisi terjauh sembari berbicara melalui telepon.
Sungguh, Dean sudah menampakkan wajah bosan disertai jawaban cukup singkat, tak cukup menjadi sinyal bagi keduanya untuk pergi. Malah makin betah menanyakan hal-hal tidak penting,  ‘Apakah dia kerja paruh waktu di sini?’, ‘sudah punya pacarkah dirinya’, ‘kenapa Dean tidak melamar saja jadi artis?’ tak tanggung-tanggung menanyakan alamat rumahnya.

Dean sengaja mengingatkan bahwa mereka lebih baik duduk dan menikmati minuman yang sekarang berada di tangan, tetapi tak juga digubris.

Kalau Fella sungguh tetap di posisinya di pojokan sana, Dean yang akan memutuskan pamit ke atas. Tak lagi peduli pada pelanggan adalah raja. Begitu ketiganya pamit, Dean mengusap peluh.

“Aku optimis, kedai akan lebih ramai dari hari ini.”

Dean tidak menanggapi, percakapan sepihak tadi sepertinya menguras banyak tenaganya. Kembali pintu menguak, Dean hampir mengumpat, Fella rupanya. Melambaikan tangan pada Sandra dan berhenti tepat di depannya.

“Guys, ada sesuatu yang ketinggalan nggak di sini?”

“Bukan di sini tempatmu menelepon tadi.” Fella menggembungkan pipi ketika balas menatapnya. “Dan saya ingat, dua temannya itu terlampau sibuk mengobrol sampai lupa membayar tagihan tadi.”

“Nah, sepertinya aku butuh bantuanmu. Bantuan kecil, kamu pasti sanggup melakukannya. Bisa, kan?”

Dean tak menyangka Fella melakukannya dengan cepat. Menaikkan ponsel tepat di wajahnya lalu berbalik dengan cepat setelah memotretnya.

Beruntung Dean melakukannya tak kalah cepat. Dia menjangkau bahu Fella dan merampas ponsel.

“Kamu nggak sopan ngambil milik orang sembarangan!”

Dean tertawa sumbang dan bergegas menghapus foto yang diambil paksa oleh Fella. Akan tetapi, tangan perempuan itu menghalanginya. Dia lupa, Fella tergolong tinggi. Untuk bertahan, Dean mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kali ini perempuan itu memelotot jengkel.

“Kamu beneran nggak mau balikin ponsel itu? Dean, cuman satu foto, kok. Pelit amat. Bukan aku, teman aku tadi itu yang minta!”

“Asal kamu tahu, memotret orang lain tanpa izinnya itu melanggar privasi.”

Fella nyaris menggapainya ketika perempuan itu melompat, tak mau mengulur waktu lagi, Dean menahan lengan Fella dengan melingkarkan tangannya di sana sementara tangan lain menyentuh layar lalu menekan tombol hapus. Kemudian, pintu kembali terbuka. Keduanya melihat ke arah yang sama.

Satu perempuan lagi, menggelung rambut tepat di puncak kepala. Dan, “Kalian sedang merayakan apa sampai pelukan begitu?”

Tuhan, dia tidak bisa lagi menghadapi drama lainnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro