EMPAT
Gelas yang isinya sudah tandas itu diletakkan di atas meja kitchen island, tak peduli pada bunyi yang dihasilkan akibat berbenturan dengan meja. Hampir seminggu sudah dia tak melakukan apa pun, sungguh menumpang hidup seperti parasit. Tuan Besar sedang di luar kota, tanpa meninggalkan titah apa pun, sementara itu hanya berharap Dean melakukan komunikasi melalui telepati mungkin.
Bertumpu melalui meja, Dean membuka lemari pendingin. Didapatinya beberapa jenis sayuran dan sekantung entah berisi apa,
Menyandarkan diri pada meja, Dean membuka lemari pendingin. Perutnya menjadi lebih cepat lapar saat tidak bekerja. Diteliti kembali benda itu saat hanya menemukan beberapa jenis sayuran dan dua apel hijau. Ke mana semua mi miliknya?
Sandra muncul seraya menaikkan rambut sepunggungnya. Perempuan ini mengetahui seluk beluk rumah, bisa saja menjawab pertanyaannya. “Mi yang saya simpan di sini nggak ada.”
Perempuan itu urung mengambil sapu, melepas desah, dia mengarahkan telunjuk ke lemari kabinet tinggi dekat jendela. “Kusimpan di sana. Hari ini makan mi lagi kamu? Biar aku buatkan kalau kamu pengin makan sesuatu.”
Diraup bayam, kol, dan dua butir telur untuk kemudian bergerak ke kompor untuk menjerang air. “Tak perlu repot-repot. Saya menumpang di sini, Sandra. Tak perlu repot-repot, kamu mending di luar saja. Lagi pula, saya terbiasa mengurus diri.”
“Ini apa hanya perasaanku saja, kamu berubah menjadi sinis begini.” Sandra menjangkau sapu, tetapi tidak akan bergerak sampai Dean menjawabnya.
“Sedekat itu kita dulu, ya.”
“Kamu menjadi sinis dan nggak ada hubungannya apa kita akrab atau nggak sebelumnya. Mungkin ini bisa menjawab kekesalanmu, Om Rahadi akan balik besok. Siapkan saja rencanamu ke depannya mengenai kedai ini.”
Dean menjerang air, lalu mencacah bayam.Tidak ada lagi niatnya merespons Sandra. Lebih berguna menyampaikan kekesalannya pada sayuran di atas talenan ini. Sampai Sandra kembali berbicara, menyela fokusnya.
“Atau kamu bisa membantuku di luar nanti. Sambil kita mendiskusikan ide-ide yang ada di kepalamu. Satu lagi, seseorang menitipkan salam. Hani. Gadis manis yang mengajakmu mengobrol kemarin itu.”
“Panggil saja saya di atas saat kamu sibuk melayani pengunjung.”
Begitu saja, Dean tidak akan lagi membalas kalau pun Sandra berbicara. Perempuan itu untunglah mengerti penolakannya. Beberapa saat, Dean masih di dapur. Menyiapkan makan siangnya.
Sebelum Dean membawa semangkuk besar mi, Dean melongok ke luar. Tampak Sandra sedang mengelap permukaan mja bar. Tidak ada ide seperti yang diharapkan Sandra, lalu sekadar membantu perempuan itu menunggu pengunjung? That’s a silly thing. He perhap dies because getting bored.
Kemarin, dia menikmati seteguk minuman dingin Sandra. Tidak ada yang salah dari racikannya. Buah yang mereka pilih pun berasal dari buah segar organik. Dia sibuk menilik kedai lalu pengunjung datang. Seorang kenalan Sandra dan mengajaknya berkenalan, menahannya sampai Dean bosan sendiri mendengar omongan yang tidak putus-putus dari si pengunjung.
Maka, Dean meniti tangga menuju ke kamar. Cukup menyeberangi birai jendela, di sanalah dia sering menghabiskan waktu. Tidak ada rumput segar setinggi betis memagari tepinya dulu, kecuali area yang berdebu dan cukup panas. Kini, Dean tak ragu menelentangkan tubuh di bawah naungan pohon besar dari belakang bangunan yang menjulang tinggi; lebat daunnya hampir meneduhi sebagian rooftop.
Malamnya dia ke Gyan’s. Rifgi menghubungi tepat ketika selesai berdiskusi dengan Sandra. Di jalan, ketika mengingat-ingat raut Sandra, perempuan itu sepertinya tidak menyetujui rencananya. Terserah, hanya satu rencana itu yang sempat Dean pikirkan. Selebihnya, urusan Sandra dan Tuan Bos yang memutuskan.
“Hani, buruan deh! Lagian, siapa suruh yang menyarankan mengantarku pulang tadi.”
Dean menahan langkahnya memasuki pekarangan demi menemukan sesosok jangkung di mulut pintu. Bersedekap dengan wajah keruh. Dia di sana, bertahan menunggu sosok itu menghilang, dan begitu saja, perlahan ingatan samar-sama pemilik wajah tersebut membayang di kepalanya. Semakin Dean mengeruk informasi, semakin jelas kenangan itu menguak. Seseorang yang pernah menggebukinya di suatu pagi di dalam sana.
“Baru ingat, kita nggak searah.” Satu perempuan lagi muncul. Rambut digelung asal, lalu beberapa jepitan di puncak kepala. “Pulang jalan kaki saja kamu sana.” Dean baru akan memutuskan mundur, tetapi perempuan itu lebih dulu melihatnya. Wajahnya seketika semringah. Menyapa dengan heboh, “Dean!”
Niat itu batal, dia langsung saja menguakkan senyum. Perempuan itu lantas menghampirinya. Dean buru-buru bertanya, “Rifgi di dalam?”
“Tunggu sebentar saja di sini. Lagi ngobrol bareng anak-anak, sebentar doang, kok. Tadi aku ke Smoothy, kamu lagi sibuk di atas katanya.”
Jangan lagi, Dean tidak berharap diladeni perempuan ini. Pertemuan mereka tempo hari sudah Dean jadikan−
“Hani!”
Seruan itu datang dari sesosok jangkung tadi, menunjukkan ponselnya pada Hani. “Aku ditungguin Mama.”
“Ada tamu, Fel. Sabar.”
Dean menggunakan kesempatan itu untuk melewati Hani, celakanya, Hani menahan dengan menarik tangannya.
“Boleh dong aku minta nomor telepon kamu?”
***
Pertemuan mereka sudah diprediksi tidak akan menyenangkan. Dia turun mengambil minum begitu Tuan Bos mengobrol bersama Sandra. Dean sengaja menunggu dengan mengambil mi di lemari pendingin, dia mengabaikan pelototan Sandra kemarin dan kembali memindahkannya ke tempat tersebut.
Saat Sandra pergi, Dean akan segera mengemukakan rencananya.
Tetapi, amarahnya nyaris meledak ketika satu pernyataan muncul. “Apa kabar hubunganmu dan Yasmin?”
“That’s not your own business, Sir. Then, I don’t tell my secret things to the others.”
“Dean, this old man still be your father.”
Bisa saja Dean menertawakan kalimat tersebut, lucu sekali mendengar lelaki itu menyebut dirinya sebagai ayah setelah bagaimana dirinya ditelantarkan bertahun-tahun. Maka setelah dihabiskan isi gelas dalam sekali teguk, Dean tidak lagi berminat melanjutkan apa pun yang hendak diniatkannya tadi.
“Kamu tidak akan meninggalkan percakapan ini begitu saja tanpa mengabarkan perkembangan yang kamu lakukan seminggu ini di sini, Dean.”
“Sandra belum melapor rupanya. I do nothing. Memang pekerjaan seperti apa yang bisa saya lakukan tanpa sedikit arahan darimu, Bos? Sebaiknya tanyakan saja pada ponakan tersayangmu, dia punya sedikit gambaran apa yang sebaiknya dia lakukan terhadap kedai.”
Tidak diacuhkan seruan di belakangnya. Anggap dia seperti anak kecil yang tengah merajuk. Sebut saja, Dean sungguh tidak peduli. Lelaki itu yang kali pertama menebar kail dan memancing percakapan keruh. Dean terikat di sini karena murni urusan bisnis, seharusnya lelaki tua itu tahu batasannya.
Setibanya di rooftop, Dean berencana melakukan sesuatu yang mampu meredam sedikit amaranya. Meninju atau menendang dinding, semuanya percuma karena rasa sakit itu menetap kuat. Nyeri mencengkeram dadanya. Kesalahan terbesar yang dilakukan lelaki itu tidak hanya mengungkit hubungan mereka, melainkan menyebutkan nama perempuan sialan itu.
Yasmin, hingga detik ini Dean berharap bisa meneriakkan serapah bertubi-tubi pada angin agar menyampaikannya pada perempuan itu. Serius, apakah dia juga harus merasakan menjadi pesakitan seperti lelaki tua itu dengan ditinggal pergi orang yang disayanginya.
“Berengsek!”
Dia menelentangkan tubuh dan nyalang menatap langit kehitaman di atas sana. Pelan-pelan dipejamkan sepasang kelopak mata dan kejadian dua bulan lalu menggulir di benaknya.
Yasmin mendatanginya, mengungkit-ungkit kebodohannya lalu memutuskan hubungan. Segala yang dilakukannya berakhir pada Dean yang akhirnya menyerah.
“I can’t be someone for you anymore.” Yasmin membiarkan senyumnya merekah. Tanpa ada beban, seolah-olah menyakiti Dean bukan masalah besar. “Let me go for looking my own way.”
“Kasih aku alasan, Yasmin.”
“Lihat keadaanmu sekarang.” Wajah anggun itu memelas. “Aku nggak bisa lagi menunggumu, Dean. Maaf, tapi kamu kelihatan harus memulai dari awal dan aku nggak sanggup terus bersamamu hingga keadaannya membaik. Jadi, cukup sampai di sini saja.”
Dean ketika itu hendak mencegah Yasmin. Benar-benar ingin menahan agar Yasmin tidak perlu pergi, Dean akan menjadi apa pun yang diinginkan perempuan itu. Namun, sesuatu segera meluncur dari mulutnya. “Kamu menemukan seseorang.”
“Maafkan aku.” Andai Dean menemukan penyesalan, mungkin dia akan mengerti.
“Suatu saat,” Dean tetap tegap. Meski dadanya terpilin amat nyeri. “Saat kamu datang, betapa pun aku masih menginginkanmu, aku yakinkan nggak akan kembali padamu.”
Dua bulan amat panjang, tak lantas menjadikan nama perempuan itu enyah dalam hatinya. Tetap melekat dan membebani hari-harinya.
Dibuka matanya, dia tidak akan menjadi lelaki bodoh hanya menunggu satu wanita meski dia mencintainya sejak dulu. Padahal dia seharusnya mengerjakan sesuatu lebih penting, mengecek kembali buku bulanan kedai.
Saat Dean turun ke dapur, sudah ada Sandra di sana. Tersenyum lalu menunjuk naso goreng yang baru saja dipindahkan ke mangkuk besar. Dean tidak merespons, malah membuka lemari pendingin dan menjangkau sebuah apel. Sebelum menutup pintu, dia menemukan tersisa dua bungkus mi.
“Om Rahadi sudah tahu rencanamu. Dia langsung menanyaiku tadi sesampainya di sini. Sebaiknya kamu saja yang menjelaskannya langsung.”
Botol minuman yang tadi dikeluarkan sekarang diteguk. “Kamu saja yang bilang padanya, saya di balkon.”
“Jadi selama di sini, aku merangkap pula sebagai kurir?”
Dean melirik pada nasi goreng, nikmat sekali di penciumannnya. “Kamu melakukan banyak hal untuknya, menyampaikan pesan ini sama sekali nggak terlalu memberatkan.”
Di balkon Dean menunggu seraya menghabiskan apel. Kontan Dean merasa lapar, masalahnya dia sedang malas ke bawah. Bisa saja Sandra masih di sana dan mungkin akan menertawakannya ketika kembali memergokinya menyantap mi.
“Kamu yakin hanya itu satu-satunya cara untuk kedai, merombaknya habis-habisan?”
Tuan Bos muncul. Segelas minuman di tangan. Dean menggosok kening. “Datangkan chef terkenal dari restoranmu. Buat selebarannya di mana-mana. Masalah selesai.”
Sindiran itu tidak ditanggapi, Pak Rahadi kembali berbicara. “Tidak perlu sampai mengubah konsep, nggak ada yang salah dengan suasana kedai ini. Ide tentang selebaran itu masuk akal juga, kamu bisa melakukannya besok walau lebih mudah melakukannya dengan internet.”
“Memang hanya saya saja ya yang kepikiran tentang anak-anak sekolahan di bimbel itu. Belum lagi kampus yang jaraknya kurang dari sekilo, mereka nggak akan tahu bagaimana rasa minuman Sandra kalau melihat tampilan kedai ini sudah membuat mereka balik badan. Maaf, anak muda yang saya maksudkan tadi menyukai hal-hal kekinian. Smoothy jauh sekali dari kesan itu. Atau Bos tetep keukeuh mempertahankan kedai ini karena alasan pribadi? Terdengar sangat mencampuri urusanmu, tapi kalau Bos peduli dengan Sandra, Bos harus berani mengambil risiko.”
“Baik, asal kamu mematuhi satu persyaratanku.” Dean berusaha keras agar tidak menggerakan bola matanya. “Mural di bawah, jangan sampai kamu menghilangkannya.”
“Hanya itu? Karena kita setuju, seterusnya Bos nggak akan banyak komentar, termasuk menanyakan urusan pribadi.”
“Seperti semalam? Dimengerti. Oh iya, bersikap baiknya pada Sandra. Anak itu yang akan terus membantumu selama di sini.”
Bersamaan dengan itu, Dean sutersebutngguh menggerakkan bola mata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro