Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

Tekad sekeras baja itulah yang menggiringnya untuk benar-benar keluar dari rumah. Meski berakhir menjadi pencuci piring di salah satu restoran lalu menempati kamar kos sempit.

Dean menukar banyak hal untuk kemudian mendapatkan kebebasannya. Tidak gampang berjuang sendirian, lambat laun, Dean melihat jerih payahnya. Restoran yang pelan-pelan sukses. Dia malah hendak membuka cabang lain.

Musibah itu datang sekejap saja. Ditipu mentah-mentah oleh rekan kepercayaannya, utang menumpuk, kemudian restoran bangkrut. Nyaris Dean berakhir di penjara andai Rahadi Rajanarda, ayahnya, seseorang yang amat dibencinya tak datang membantu.

Bertahun-tahun lalu Dean pergi dari rumah, kini tak ada alasan baginya menolak kembali ke tempat ini. Tidak ada pilihan lain, mungkin dia memang dikutuk menjalani nasib sialnya sekali lagi di sini.

Bangunan dua lantai itu tak ada yang berubah. Dean menjejak beberapa undakan hingga tiba di pekarangan yang telah disulap menjadi outdor area. Diusap bulir di kening, Dean menahan umpatannya. Bodoh! Dia seharusnya sejak tadi melewati rumput setinggi tumit itu. Mencari lelaki tua yang dalam beberapa waktu akan menjadi atasannya.

Tak urung Dean melirik ke sekitar, taman vertikultur melekat pada masing-masing dinding pembatas. Dua bangku panjang berlantaikan kayu vinyl mengilat diletakkan tak jauh dari dinding kaca. Selera lelaki tua itu, masih sama jeleknya sejak dulu!

Di depan pintu kaca, Dean melengak dan menatap lekat tulisan SMOOTHY cukup besar di atas sana. Saat menurunkan pandangannya, Dean menemukan perempuan mungil menatapnya seraya tersenyum lebar.

"Aku menunggumu dari kemarin."
Dean belum menjawab. Sepasang matanya berkeliaran menelisik bagian dalam kedai. Ada mural di dinding tak jauh dari bar. Pindah ke deretan kursi yang rapi. "Sepi sekali. Selalu seperti ini?"

Sandra menunjuk salah satu kursi tak jauh dari mereka. Menyilakan Dean duduk dan pamit sebentar untuk membuat minuman. Sebelum Sandra menjauh, Dean sudah mencegahnya.

"Jadi, di mana dia sekarang? Menyelesaikan pekerjaannya yang lain?"

"Masih seperti yang dulu rupanya. Kamu ingat kapan terakhir kali kita ketemu?"

Dean menghindari tatapan Sandra.
"Tiga atau empat tahun?"

"Om Rahadi ada di balkon, sedari tadi menunggumu."

Tanpa sadar Dean mendongak, melepaskan desah. Saat akan berbelok, Sandra menghentikan langkahnya. Dia berbalik.

"Aku senang kamu kembali."

"Wow, that's surprising me." Dean bergerak mundur. "Sandra, you find me here because I have nothing. Ketimbang mengemis di jalan, pilihan masuk akal adalah merendahkan diri kembali ke tempatnya. Paling tidak, saya nggak sendirian di sini."

Seandainya bertemu Sandra di tempat lain, keadaannya akan berbeda. Sungguh, moodnya hancur seketika berada di sini. Tidak ada yang berubah, hanya membangkitkan kenangan lama yang menyeruak ke dalam benaknya.

Dinding bercat monokrom. Pigura-pigura di dinding. Lorong di sayap kiri, kamarnya tersembunyi di sana. Apa kabar rooftop yang bersebelahan dengan kamarnya? Namun, langkah kakinya menggiring Dean beranjak lurus ke depan. Membuka pintu geser dan dengan mudahnya menemukan seseorang yang dicarinya.

Rahadi Janadarna, tak sedikit pun berubah. Selain titik-titik putih di antara helai rambut lelaki itu. Wajah itu, seketika Dean melempar pandangannya ke bawah, pada hamparan bunga berwarna-warni.

"Aku mengira kamu nggak akan datang, tapi Sandra berusaha meyakinkanku."

"Ada utang budi yang perlu saya bayar. Lagi pula..." Dean mengedik. "Anda tahulah."

Lelaki itu meliutkan alis. "Sandra yang menginginkanmu membantunya di sini, kamu juga harus tahu itu."

"Kita perjelas saja sekarang, sampai kapan saya terikat di sini, Bos−Ya, sebaiknya mulai sekarang saya membiasakan diri menyebut sapaan itu."

"Sandra menggantungkan hidup pada kedai, selain itu, aku tidak berharap Smoothy menghilang dan dilupakan orang lain. Bantulah Sandra dan dirimu dengan membenahi kembali tempat ini. Mengenai jangka waktumu di sini, kamu sendiri yang perlu menargetkannya."

"Dimengerti."

Dean tidak menginap malam itu di kedai, hanya memindahkan barang-barangnya. Menengok rooftop melalui jendela yang dibukanya lalu menghubungi seorang teman teman, kontrakannya tak jauh dari sini. Bangunan bertingkat bimbingan belajar katanya.

Menempuh kurang lima menit mengendarai mobil dan mendapatkan Rifgi menjemput di depan bangunan dwifungsi itu, seketika Dean merasa begitu tolol. Tak lain milik Rahadi Janardana, Lelaki Tukang Perintah itu ternyata!

"Berhenti menyebutnya sebagai 'lelaki itu', dia ayahmu. Lagi pula, Om Rahadi membantuku terlalu banyak selama ini. Dia−"

"Membiarkanmu membayar kontrak di enam bulan saat kamu baru memulai tempat ini. Di tahun kedua membiarkanmu tinggal begitu saja dan mengizinkanmu membayar di akhir tahun. Berikutnya, Tuan Bos memberikan diskon besar karena tetap saja, anak muda berbakat tak harus berhenti karena terkendala dana pas-pasan. Tujuanmu mulai dan bla bla bla. You told me over and over. But, I think you need to go out. A little slumber is something I wanna get."

Rifgi melempar bantal kemudian ke luar dari kamar.

***

Nasib buruknya belum berhenti pagi itu. Dean tengah mengubek-ubek di lemari kabinet, mencari berkas yang disuruh Rifgi. Dan, Dean nyaris ambruk tatkala nyeri luar biasa menghantam pundaknya.

Seorang perempuan muda, dari suara dan perawakannya, terus mengayunkan pukulan padanya. Secara tiba-tiba begini sulit bagi Dean mengelak apalagi segera merampas benda yang tidak hanya mampir di kanan kiri tubuhnya, pukulan terakhir mengenai pelipis dan sudut bibirnya.

Lanjut mengenai kepala ketika Dean melengak, kali ini mengerahkan tenaga untuk merebut kayu−ternyata tongkat pel. Beberapa jenak, Dean mendapati sepasang pelototan ke arahnya disusul jeritan keras. Tangannya belum sempat terulur membekap mulut pelaku pemukulan terhadapny, perempuan muda itu seketika ambruk.

"Merepotkan sekali," erang Dean.

Perempuan itu ditangkap Dean tepat waktu, dia akan celaka kali ini seandainya membiarkan kepala perempuan muda ini membentur lantai. Saat berhasil menyeretnya ke ranjang, Dean memaksa Rifgi pulang, apa pun yang saat ini tengah diurusnya.

Rifgi tercengang setelah tiba di kamar. Tidak menanyakan keadaannya, justru menuduhya yang tidak-tidak. "Kamu apakan dia?"

"Really? Don't you see some shit things on my face? The women put it on this."

"Fella." Rifgi memandangnya bergantian, lalu telunjuknya mengacung dengan nada khawatir. "Dia temanku, merangkap sebagai front desk di sini. Sampai pingsan seperti ini, apa yang terjadi? Omong-omong, wajahmu memprihatinkan."

Dean membenturkan tubuh di dinding, tanpa sengaja, menyebabkan nyeri di tangannya menjadi. "Tunggu saja temanmu itu siuman. Beruntung nggak ada lagi yang datang setelah mendengar teriakannya. Sampai ngilu saya mendengar jeritannya."

"Fella bergerak." Rifgi mendekat, Dean hanya memanjangkan leher kemudian melengos. "Dean, Fella sudah sadar."

Detik berikutnya, Dean mendengar kalimat tumpang tindih dari penuturan perempuan itu, siapa tadi namanya, Fella? Mengatakan mendapati seseorang pencuri hendak mengambil laptop dan mengacak-acak lemari kabinet Rifgi. "Kalau kamu nggak sempat bertemu dengannya tadi, mungkin kita menelepon polisi, Rif."

"Saya menyesal kenapa nggak membiarkan kepalanya terbentur tadi."

Rifgi memberikan teguran melalui tatapannya tepat ketika Fella menoleh. Sepasang matanya kembali menanap, segera menekap mulutnya. "Kamu!"

"Fella, Dean menginap semalaman di sini. Saat keluar tadi, aku melupakan berkas dan kuminta dia mencarinya."

"Semoga kamu belum lupa dengan memar-memar ini."

Fella memejam, menyentuh kepalanya. "Tadi aku terbentur ya? Sakit sekali."

"Bisa jadi karena saya terlalu keras menyeretmu ke ranjang tadi." Dean mengambil ransel di dekat nakas. Memanggul hanya dengan satu tangan, sontak mendatangkan nyeri. "Kronologi kejadian tadi, tanyakan langsung sekarang saja sebelum ingatannya memudar."

Diabaikan Rifgi di belakang yang menahannya pergi. Sepertinya dia membutuhkan kasur empuk di kamarnya saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro